Iqbal Maulana (kanan) |
Hampir semua media di negeri ini orientasinya adalah
persoalan bisnis. Karena sesungguhnya media memiliki dua sisi.
“Terkadang media adalah objek yang dikuasai,” kata Alumni
Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas
Gadjah Mada (UGM), Iqbal Maulana, saat diskusi bersama Komunitas Ruang Literasi
dengan tema Media & Kekuasaan, di
Jalan Veteran 22, Margajaya, Bekasi Selatan, Ahad (18/11).
Subjek yang menguasai media ada empat. Pertama, pemerintah. Kedua, iklan
sebagai sumber masukan. Ketiga, pemilik
media sebagai pemodal dan sebagai orang yang ideologinya tersalurkan. Keempat, kelompok-kelompok yang penekan.
“(Kelompok penekan) ini kelihatannya
remeh, tapi punya pengaruh juga,” kata pria yang akrab disapa Alan ini.
Selain media itu dikuasai, lanjutnya, media juga menguasai.
Artinya, media menguasai masyarakat sebagai konsumen informasi. Lantas kita
harus bagaimana di tengah derasnya arus informasi?
Alan menyebutkan bahwa pentingnya seseorang agar punya
kemampuan dan pengetahuan mengenai literasi media. Literasi media, menurutnya,
bukan hanya sekadar tahu cara penggunaan internet dan berselancar di media
sosial saja.
“Literasi media berarti kita harus paham informasi atau
konteks yang ada pada informasi itu,” katanya.
Ia mengibaratkan, informasi seperti masakan. Di dalamnya
terdapat koki, bumbu, dan bahan-bahan sebelum masakan atau berita disajikan.
“Misalnya, ada warung padang yang ayam bakarnya gosong, ada
warung padang yang sambalnya pedas, tapi ada juga warung padang yang sambalnya
tidak pedas. Bumbu itu yang menentukan adalah koki yang memasak,” jelas pemuda
yang berdomisili di Kecamatan Mustikajaya, Kota Bekasi ini.
Sementara ‘koki’ yang memasak berita tentu sesuai dengan
kebijakan redaksional itu sendiri. Maka sebenarnya, bisa dikatakan bahwa
jurnalis adalah buruh.
“Kalau kita menyalahkan mereka karena banyaknya hoaks atau
berita palsu, mereka sebenarnya tidak mau menulis itu. Tapi mereka mencari uang
melalui itu,” katanya.
Jadi, imbuh Alan, konsumen berita harus mengarahkan telunjuk
untuk melakukan protes atau kritik bukan kepada Jurnalis yang membuat berita,
tetapi kepada sistem dari media yang di dalamnya mereka bekerja.
“Kenapa sistemnya seperti itu? Karena media hanya mengejar
dan berorientasi kepada uang, kalau online
ya hanya mengejar banyak yang meng-klik
linknya,” pungkas Alan.
Sebagai informasi, Ruang Literasi mengadakan diskusi interaktif di setiap akhir pekan. Yakni pada Minggu sore. Pekan depan, Ruang Literasi akan memulai diskusi tematik, dengan tema besar Agama dan Kemanusiaan di Alun-alun Kota Bekasi.