Sabtu, 02 Mei 2020

Dialog Bersama Pak Kiai, Membincang Ibnu Hajar dan Ki Hajar


Ilustrasi santri dan kiai. Sumber: santrinews.com

Pada suatu sore di halaman pondok, tetiba saja saya dipanggil pak kiai. Beliau meminta agar nanti malam, saya menemuinya di rumah. Sebab, ada beberapa hal yang ingin dibicarakan pak kiai. Tidak penting sih, kata pak kiai, tapi perlu. 

Saya penasaran. Sebagai santri mbeling yang sudah sangat keterlaluan, saya takut bukan main. Pikiran saya jadi kacau. Memikirkan yang tidak-tidak. Jangan-jangan, batin saya, pak kiai mau marah-marah karena saya sudah hampir dua bulan tidak masuk sekolah dan bolos. Sementara tempat yang paling sering saya singgahi untuk bersembunyi adalah musala, di balik mimbar, dan loteng pondok. 

Entahlah. 

Ngaji selesai. Saya bergegas untuk ke rumah pak kiai. Bahkan, karena sangat antusiasnya saya diminta untuk menghadap kiai, saya sampai tidak ikut berebut air minum putra pak kiai yang tadi mengajar ngaji. Saya senang, tetapi bercampur dengan perasaan was-was, takut, khawatir, dan cemas. 

"Jangan-jangan pak kiai mau marah," pikir saya berulang kali. 

Saya keluar pondok. Menuju rumah pak kiai. Sekira 50 meter sebelum tiba di pekarangan rumahnya yang luas itu, saya sudah melihat pak kiai duduk di bangku depan rumah yang menghadap ke jalan. Spontan saja, saya segera menundukkan kepala tanda takzim. Seraya membungkukkan tubuh sebagai isyarat penghormatan kepada pak kiai. Demikianlah tradisi santri di pesantren. 

"Assalamualaikum pak kiai," kata saya berucap salam saat tiba di depan gerbang rumah pak kiai yang terbuat dari kayu. Sangat sederhana. 

"Waalaikum salam, sini masuk. Bapak mau ngobrol sama kamu sebentar saja," jawab pak kiai sekaligus menjelaskan sedikit maksud yang akan disampaikan.

Saya masuk, mendekati pak kiai, membungkuk, mencium punggung tangan pak kiai, kemudian duduk bersimpuh (seperti duduk diantara dua sujud) di bawah. Kepala saya tetap tertunduk. Badan saya membungkuk. Bukan tidak berani menatap wajah pak kiai. Tapi bagi saya, wajah pak kiai sangat bercahaya sekali, sehingga saya merasa tidak mampu memandangnya lama-lama. Hanya sebentar-sebentar saja. Lagipula, ada anggapan bahwa jika santri memandang wajah pak kiai terlalu lama, maka itu merupakan perbuatan yang kurang baik. 

Benar saja. Pak kiai membuka percakapan dengan bahasan mengenai kenakalan saya selama ini. Beliau tahu semua tempat persembunyian saya kalau sedang bolos sekolah. Nasihat dan petuah diberikan sangat tulus kepada saya, agar tidak mengulangi segala perbuatan itu. Sebab sebagai santri, menurut pak kiai, saya akan secara otomatis menjadi tulang punggung masyarakat. 

Pak kiai lalu panjang-lebar meminta saya agar segera berubah menjadi pribadi yang lebih baik. 

"Ayo dong, kamu harus segera mengubah pola pikir kamu. Kalau pola pikir kamu sudah diubah, insyaallah pola tindakan atau perilaku kamu juga akan berubah. Tentu menjadi lebih baik. Kamu nanti, ketika sudah terjun ke masyarakat, pasti akan menjadi seorang opinion leader. Pendapat kamu akan didengar orang banyak. Kamu harus berubah. Mulai dari sekarang."

Saya hening. Tak berucap walau sekata. Menunduk-membungkuk. Sepi. Tetapi kemudian, pak kiai meminta saya untuk unjuk suara. Dimulai dengan pertanyaan, "Memangnya kenapa kamu tuh sering bolos sekolah?" 

Saya menjelaskan dengan sangat detail dan terperinci. Salah satu penyebabnya adalah karena saya sangat lemah di hapalan. Sehingga karena lemah itulah, saya jadi malas menghapal. Malas belajar. Belum lagi, ada banyak guru yang killer. Sangar. Menakutkan. Kalau ada murid yang salah sedikit saja, bentakan dan perlakuan kasar lain pun akan dilakukan. Saya bisa maklum, karena yang dilakukan guru itu adalah sebagai bagian dari mendidik. Sekali lagi, saya maklum. 

Setidaknya dua hal itu yang menjadi saya enggan sekolah, enggan belajar, bahkan enggan menghapal tugas apa pun yang diberikan, baik di sekolah atau bahkan di pondok. Setiapkali menghapal, saya langsung drop. Kepala pusing, badan menggigil, meriang, dan pasti akan menggejala selama seminggu. Saya sempat berpikir, mungkinkah saya akan gagal? Bagaimana jika nanti saya keluar pondok ini dan menghadapi masyarakat sementara saya tidak punya bekal ilmu yang cukup? 

Demikian saya menguraikan. Kami, saya dan pak kiai, sempat sama-sama terdiam selama hampir lima menit. Tanpa suara sekejap pun. Entah, mungkin selama pak kiai mendengar curhatan saya, beliau sibuk wiridan (zikir) dan belum selesai wirid-nya hingga saya tuntas bercurhat. Tetapi entahlah, itu hanya praduga saya saja. 

Tidak ada yang terlambat, kata pak kiai, asal mau segera membenahi segala yang kurang baik agar menjadi baik. "Soal bagaimana kamu menghadapi masyarakat, itu adalah tujuan. Tetapi ingat, kamu di sini sedang berproses. Nikmati setiap proses itu, biar nanti ketika sudah waktunya berhadapan dengan masyarakat, setidaknya kamu sudah mampu menghadapi mereka dengan ilmu; bukan dengan ego," jelas pak kiai. 

Saya mengangguk. Terdiam. Tetap membungkuk dan menunduk. Memasang pendengaran lebih tajam, karena saya mendengar pak kiai sudah menarik napas panjang yang bertanda bahwa beliau akan berbicara sangat panjang. Saya hapal betul bagaimana pak kiai saat akan memulai pembicaraan. Saya hapal, walau hapalan saya sangat lemah. Maaf. 

Usai menarik napas yang sangat panjang. Pak kiai memulai cerita:

"Ada sebuah kisah. Dulu, ada seorang murid atau katakanlah santri. Dia belajar di sebuah sekolah atau pesantren. Dia terkenal sebagai murid yang rajin sekaligus sebagai murid yang lambat dalam belajar. Bahkan, dia selalu tertinggal jauh dari teman-temannya. Dia seringkali lupa dengan pelajaran yang telah diajarkan gurunya di sekolah. Akhirnya, hal itu menyebabkan dia patah semangat dan frustrasi."

Saya mengangguk. Masih membungkuk dan menunduk. Masih dalam keadaan bersimpuh, duduk. Kini, posisi saya, sudah duduk sebagaimana tahiyyat akhir dalam salat. Miring ke kanan. 

"Dia, si murid itu, akhirnya memutuskan untuk pulang meninggalkan sekolah atau pesantrennya. Dia putus asa, patah-arang, pupus semangat. Namun di tengah perjalanan pulang, dalam suasana hati yang sangat galau di hati dan pikirannya, hujan turun dengan sangat deras, bahkan lebat. Akhirnya, dia berteduh di dalam sebuah goa."

Cerita terhenti. Hampir sekira tiga menit. Pak kiai kemudian batuk-batuk. Tanpa pikir panjang, saya masuk ke dalam rumah beliau, di dalam bertemu dengan ibu nyai, meminta izin untuk mengambil air agar nanti diberikan kepada pak kiai yang sedang batuk-batuk itu. Ibu nyai mempersilakan. Saya mengambil gelas kesayangan pak kiai dan menuangkan air putih hangat.

Lalu saya kembali ke tempat pak kiai, duduk bersimpuh, kemudian baru menempatkan gelas berisi air itu ke meja kayu jati berwarna coklat yang ada di samping tempat duduk pak kiai. Air itu lalu diminumnya setelah mengucap bismillah. 

"Sampai mana tadi?" tanya pak kiai, karena lupa cerita yang dipaparkan tadi sudah sampai mana. 

Saya menjawab sekenanya, "Si murid masuk ke goa pak kiai. Berteduh."

"Oke. Ketika sedang berteduh di dalam goa, pandangan si murid itu tertuju pada air di stalaktit yang jatuh secara perlahan tapi berkali-kali dengan ritme yang tidak terlalu cepat dan tidak terlalu pelan. Air itu menetesi batu besar yang ada di bawahnya secara terus menerus, tanpa henti. Dan lama-lama batu itu menjadi berlubang."

Pak kiai terhenti. Beliau meminum lagi air putih di gelas kesayangannya yang ada di samping tempat duduk. Lalu, pak kiai melanjutkan ceritanya itu. 

"Melihat fenomena tetesan air yang bisa melubangi batu itu, si murid itu terkejut. Kaget. Dia beranggapan bahwa yang dilihatnya itu adalah sebuah keajaiban. Melihat itu, dia lalu merenung. Kok bisa batu itu bisa berlubang hanya dengan tetesan air? Dia terus dengan saksama mengamati tetesan air itu. Dia juga jadi yakin bahwa air tetesan itulah mampu melubangi batu yang sangat keras dan besar, yang ada di hadapannya itu."

Dari peristiwa tersebut, kata pak kiai, seketika itu si murid sadar bahwa sekeras apa pun sesuatu, jika diasah terus-menerus, maka pasti akan menjadi lunak. Batu yang keras saja bisa terlubangi oleh tetesan air yang lembut, gumam si murid, lalu bagaimana dengan kepala manusia yang kerasnya tentu saja berbeda dengan batu?

"Jadi kepala ini pasti bisa menyerap segala pelajaran jika dibarengi dengan tekun, rajin, dan sabar," kata si murid, sebagaimana yang diceritakan pak kiai di hadapan saya. 

Saya masih terdiam, duduk dan mengangguk. Membungkuk dan menunduk. 

Saat itu, lanjut pak kiai, semangat si murid itu kembali muncul dan bertambah semakin besar. Kemudian dia kembali ke sekolah atau pesantrennya untuk menemui sang guru seraya menceritakan peristiwa yang baru saja dialami. Melihat semangat si murid yang tinggi, walhasil sang guru pun berkenan menerima muridnya kembali untuk belajar di sekolah atau pesantren itu. 

Saya masih terdiam, duduk, mengangguk, terbungkuk, dan menunduk. Sementara pak kiai masih saja melanjutkan ceritanya, saya tetap setia mendengar sekaligus menyerapnya agar mampu mengubah tatalaku kehidupan saya menjadi lebih baik lagi.

"Sejak saat itu, perubahan terjadi di dalam diri si murid itu. Sekarang, dia jadi murid paling cerdas dan mampu melampaui teman-temannya. Dia pada akhirnya menjadi ulama tersohor dan menulis banyak kitab yang sedang atau akan kamu pelajari di sini."

"Kitab apa itu pak kiai? Dia, si murid itu, siapa?" tanya saja membredel. Mungkin kurang sopan. Tapi saya penasaran. Maaf. 

"Kitab yang ditulisnya itu beberapanya adalah Fathul Bari syarah Shahih Bukhari, Bulughul Marom min Adillatil Ahkam, Al-Ishabah fi Tamyiz ash-Shahabah, dan masih banyak lagi. Ada yang berpendapat bahwa si murid ini sudah menulis dan berkarya sebanyak 282 kitab. Sebagian besar berkaitan dengan pembahasan hadits, secara riwayat dan dirayat."

"Murid ini bernama asli Syihabuddin Abul Fadhl Ahmad bin Ali bin Muhammad bin Muhammad bin Ali bin Mahmud bin Ahmad bin Hajar. Dikenal dengan gelar Ibnu Hajar Al-Asqalani. Dia lahir di desa Ashkelon, Palestina. Ya, julukannya adalah Ibnu Hajar atau Si Anak Batu."

Saya masih duduk, membungkuk, tertunduk, mengangguk. 

"Kisah Ibnu Hajar itu bisa jadi motivasi tuh buat kamu. Bahwa sekeras dan sesulit apa pun, jika kita benar-benar ikhlas dan tekun untuk terus belajar, insyaallah akan menuai kesuksesan. Jangan pernah sedikit pun menyerah atau putus asa. Karena kegagalan itu hal yang sangat biasa. Sementara kalau bisa berhasil bangkit dari kegagalan, itu baru luar biasa. From zero to hero, itu julukan yang menurut bapak insyaallah cocok buat kamu."

Saya tetap diam. Meresapi dan menghayati seraya berpikir agar nanti bisa berbenah diri menjadi pribadi yang lebih baik lagi.

Diam-diam, saya mencuri pandang. Melihat jam dinding yang ada di atas pintu masuk. Waktu sudah menunjukkan hampir pukul 00.00, tapi pak kiai rupanya masih ingin bercerita. Hal itu saya ketahui dari isyarat tarikan napas panjang yang diambil pak kiai. Baiklah, saya harus mendengarkan. Sebab, satu kalimat yang diucapkan pak kiai adalah ribuan hikmah kehidupan bagi saya. Yakin saya, begitu. 

"Ada lagi, nih. Di daerah Kalasan, Sleman, Yogyakarta, dekat Prambanan, dulu ada seorang guru, yaitu Kiai Haji Sulaiman Zainuddin. Beliau ini punya murid atau santri banyak sekali. Salah satunya adalah Suwardi Suryaningrat. Nah, muridnya yang satu ini kemudian oleh Pemerintah Republik Indonesia, karena jasa-jasa yang telah diberikan untuk negeri ini, diberi gelar atau diangkat sebagai Bapak Pendidikan Nasional. Lalu dia lebih dikenal dengan julukan Ki Hajar Dewantara."

"Jadi, Ki Hajar Dewantara itu murid dari seorang kiai? Beliau santri?" tanya saya kepada pak kiai. 

"Betul," jawab pak kiai singkat. Lalu melanjutkan dengan bertanya kepada saya, "Petuah apa yang paling kamu tahu dari Ki Hajar Dewantara?"

Lantas dengan sangat yakin, saya menjawab: "Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani. Artinya jika berada di depan memberi teladan, kalau di tengah memberi semangat, saat berada di belakang memberi dorongan."

"Betul," jawab pak kiai, singkat. Pak kiai meminum air sebentar, lalu melanjutkan bicaranya.

"Karena Ki Hajar Dewantara ini adalah santri, murid dari seorang kiai, maka beliau tentu sangat paham soal keteladanan. Kalimat petuah beliau yang awal itu merupakan pemaknaannya atas ayat: laqad kaana lakum fii rasuulillahi uswatun hasanah. Artinya, sungguh di dalam diri Rasulullah Muhammad Saw terdapat keteladanan yang luhur. Rasulullah itu adalah pemimpin kita, pemimpin umat Islam, berada di garis terdepan dalam barisan kaum muslimin, maka Rasulullah itu selalu meneladankan hal-hal baik."

Pak kiai melanjutkan bahwa dalam kalimat petuah Ki Hajar Dewantara yang kedua itu adalah pemaknaan dari ayat wa maa arsalnaaka illa rahmatan lil alamin. Artinya, Allah tidak akan mengutus Nabi Muhammad kecuali untuk menebar rahmat untuk seluruh alam. Jadi, kata pak kiai, saat berada di tengah-tengah masyarakat, seorang guru atau tokoh atau siapa pun harus memberikan semangat tentang kasih sayang agar para murid atau anak buah atau masyarakat menjadi terstimulus untuk terus berbuat baik.

"Nah di dalam kalimat petuahnya yang ketiga, Ki Hajar Dewantara itu sebenarnya sedang memaknai ayat: fadzakkir innamaa anta mudzakkir. Artinya, berilah peringatan, sesungguhnya engkau (Muhammad) hanya seorang pemberi peringatan. Maka, Tut Wuri Handayani itu maksudnya adalah bahwa seorang guru atau tokoh hendaknya terus-menerus tanpa lelah memberikan dorongan tentang pentingnya belajar dan menggali pengetahuan."

Kata pak kiai, mungkin sebagai sebuah pesan mendalam yang tidak akan bisa saya lupa, menjadi seorang guru atau tokoh di tengah masyarakat janganlah memaksakan kehendak. Serahkan semuanya kepada Allah. Jangan semaunya dalam bertindak. Jadilah seorang yang hanya sebatas menjadi pengingat, menjadi pendorong, atau sebagai stimulator agar orang lain mau berbuat kebaikan. 

"Menurut bapak, Suwardi Suryaningrat itu paham kisah Ibnu Hajar atau Si Anak Batu itu. Sehingga pada usia yang ke-40, santri dari Kiai Haji Sulaiman Zainuddin ini berjuluk Ki Hajar Dewantara. Ki Hajar itu artinya si Bapak Batu. Maksudnya, beliau adalah simbol ketidakpintaran tapi rela mendengarkan, rela merendahkan ego, dan rela menerima ilmu pengetahuan dari mana saja. Sementara Dewantara artinya adalah penolong bagi orang banyak."

Saya mengangguk-angguk lagi. Kali ini saya dapat pelajaran berharga dari pak kiai hingga larut malam, bahkan hingga pagi dinihari. Saat saya melirik ke jam dinding, waktu sudah menunjukkan pukul 02.30, tapi saya yakin sebentar lagi pak kiai akan menyudahi pertemuan ini. Ya, sebuah pertemuan yang sangat berharga. 

"Bapak yakin, 10 sampai 20 tahun lagi, kamu jadi orang hebat. Kamu jadi tokoh besar. Kamu jadi pemimpin masyarakat. Tolong jangan lupakan pertemuan ini dan pembicaraan kita malam ini, ya. Ingat juga slogan yang bapak kasih buat kamu: from zero to hero."

"Aamiin. Terima kasih banyak pak kiai."

"Ya sudah kamu balik ke pondok sana. Langsung tidur. Besok jangan bolos lagi. Manfaatkan sisa waktu di pondok supaya husnul khatimah kamu di sini. Oke?"

"Insyaallah pak kiai," jawab terakhir saya lalu mencium punggung telapak dan punggung tangan pak kiai, mundur sedikit, memakai sandal, mundur lagi, hingga jauh dari pantauan pak kiai, baru saya balik badan dan berjalan pulang ke pondok. Tidur. 
Previous Post
Next Post

0 komentar: