Sabtu, 30 Mei 2020

Sebuah Catatan: Jumatan Perdana di Masjid Agung Al-Barkah (Idulfitri Bagian 7-Habis)


Jumatan di Al-Barkah. Sumber foto: republika.id

Benar dugaan saya. Khutbah Jumat di masa pandemi akan lebih singkat, padat, dan substansif. Langsung ke inti persoalan. Sehingga, khutbah yang demikian itu akan sangat mengena di dalam hati dan pikiran umat. Hal inilah yang saya paparkan dalam tulisan sebelumnya. 

Salah satu aturan main dari dibukanya rumah ibadah (masjid), oleh Walikota Bekasi, adalah khutbah yang harus disampaikan secara singkat dengan durasi maksimal 15 menit. Tidak boleh lebih. Oleh karena itu, saya yakin sekali, para khatib atau pengkhotbah dituntut harus lebih kreatif dalam menyampaikan materi yang singkat sekaligus bergizi. 

Sebab selama ini, jujur saja, khutbah Jumat hampir tidak pernah didengar benar-benar saksama oleh jamaah karena isinya yang sangat membosankan. Kalau saja tidak ada hukuman murtad (keluar dari Islam) karena meninggalkan salat Jumat selama tiga kali berturut-turut, atau kalau saja tidak ada iming-iming soal keutamaan salat Jumat dan keutamaan hari Jumat, saya yakin tidak akan ada yang tertarik untuk salat Jumat yang di dalamnya ada khutbah yang (sebagian besar) sangat membosankan itu. Terutama khutbah-khutbah Jumat di tengah masyarakat muslim perkotaan. 

Tetapi pandemi yang saat ini tengah kita hadapi, memberi pelajaran penting soal tata cara ibadah berjamaah yang lebih substansif. Dari ibadah yang substansif itu, kita kemudian akan mendapatkan sebuah ketenangan dan ketenteraman dalam beragama. Terlebih jika, (seperti yang sudah saya jelaskan dalam tulisan sebelum ini), para khatib benar-benar menyampaikan materi khutbah dengan tema-tema yang sesuai konteks kekinian.

Misalnya mengenai muhasabah an-nafs atau introspeksi diri, menjaga solidaritas warga bangsa, gotong-royong saling membantu sesama, dan soal persatuan dalam menyikapi atau menghadapi pandemi yang tidak bisa diprediksi kapan berakhir. Tema-tema yang menyejukkan dan menenteramkan ini penting sekali untuk disampaikan dalam momentum ibadah jamaah, seperti salat Jumat, agar umat mampu tenang dan optimis untuk terus berkehidupan di tengah upaya menghadapi pandemi. 

Kemarin, saya salat Jumat di Masjid Agung Al-Barkah Alun-Alun Kota Bekasi. Dugaan saya, yang saya paparkan dalam tulisan sebelumnya, benar terjadi. Khatib salat Jumat menyampaikan materi yang lebih ke dalam (introspeksi diri) agar umat tidak stres menghadapi pandemi yang tak berkesudahan ini. Khutbah tersebut disampaikan dalam durasi 13 menit. Tujuh menit untuk khutbah pertama dan khutbah kedua berdurasi selama enam menit. 

Isi khutbahnya, singkat dan padat. Mungkin karena masjid itu adalah masjid di pusat kota, sehingga khatib dan materi khutbah harus benar-benar berkualitas. Tidak boleh sembarangan. Apalagi yang bacaan makhraj dan tajwidnya saja tidak beres, seperti beberapa orang yang merasa diri sebagai 'ustadz' di lingkungan tempat saya tinggal. 

Bukan saja khutbah dan khatib yang berkualitas, tetapi juga diterapkan aturan main atau protokol kesehatan yang sangat ketat. Seperti misalnya, saat saya tiba di gerbang, ada petugas (tentara, polisi, dan pengurus DKM Al-Barkah) di sana. Saya dicek suhu menggunakan alat yang mirip seperti tembakan. Suhu tubuh saya, 35 derajat celcius. Masih cukup aman.

Saya kemudian dipersilakan masuk dengan melewati bilik yang ketika berada di dalam, akan menyemprotkan cairan disinfektan. Saya pikir, ikhtiar tersebut harus diapresiasi betul-betul. Sebab, mengatur ratusan bahkan ribuan jamaah yang kemarin hadir untuk Jumatan itu, bukanlah perkara yang remeh-temeh. 

Kemudian setelah memarkir motor, saya mengambil air wudhu. Usai itu, saya mengenakan masker lagi, karena memang wajib untuk memakai masker. Lalu saya memilih untuk salat di lantai atas. Shaf-shaf masjid sangat rapi dan tertata. Dua shaf di sebelah kanan dan kiri saya, diberi tanda silang sebagai simbol menjaga jarak yang sekira 1,2 meter. 

Saya memilih salat Jumat di Masjid Agung Al-Barkah karena saya yakin khatib dan materi khutbah sudah pasti sangat berkualitas. Saya memang sudah beberapa kali salat di sana. Tetapi kali ini, saya seperti 'harus' salat Jumat di sana karena ingin merasakan sensasi yang beda: Jumatan perdana di masa pandemi di pusat kota. Itulah yang membuat saya akhirnya memilih Jumatan di Masjid Agung Al-Barkah yang berlokasi tepat di jantung Kota Bekasi.

Ternyata memang benar, bahwa materi khutbah dan sekaligus khatibnya memiliki kualitas yang sangat baik. Saya perhatikan jamaah-jamaah lain, di sekitar, kiri-kanan, tidak ada sama sekali yang tidur karena bosan mendengar khutbah. Terang saja, tidak tidur. Sebab, materi khutbah yang dibawakan itu sangat relevan dengan konteks kekinian.

Baca juga: JUMATAN: Masjid Kembali Dibuka (Idulfitri Bagian 6)

Apa materi khutbah itu? Yakni tentang ajakan untuk introspeksi diri, berkontemplasi, dan merenung. Oleh karena itu, khatib mengajak jamaah agar tetap teguh dalam bersabar menghadapi segala cobaan, termasuk pandemi yang sedang menimpa bumi pertiwi ini. Saat mendengar khutbah itu, hati saya bergetar. Merinding. Sekaligus berharap agar pandemi segera berlalu dan kita semua tetap diberi kesabaran yang teguh, penuh-sungguh. 

Khatib Jumat ini mengutip pernyataan Imam Ghazali soal tiga macam kesabaran dalam kitab Mukasyafatul Qulub. Pertama, sabar dalam ketaatan. Kedua, sabar dalam menjauhi larangan-larangan Allah. Ketiga, sabar dalam menerima musibah. Materi ini benar-benar relevan dan tepat sekali ketika disampaikan di saat kondisi kita yang sekarang sedang dituntut harus sabar.

Berikut ini penjelasan mengenai tiga macam sabar yang saya jabarkan dengan mengombinasikan antara materi khutbah Jumat di Masjid Agung Al-Barkah itu dengan elaborasi atas pemikiran dan pengetahuan, serta pengalaman saya sendiri. 

Sabar dalam ketaatan

Seberat apa pun aktivitas atau pekerjaan kita, ibadah kepada Allah harus tetap dilaksanakan. Ini sudah menjadi ketetapan bagi kita sebagai seorang hamba, yang memang harus memperhambakan diri di hadapan yang menciptakan hamba. Menyadari diri sebagai hamba yang kecil, yang tidak berdaya, yang tidak punya daya dan kuasa apa pun, merupakan hal yang penting. Kenapa? Agar kita tidak menjadi orang yang sombong dan (lebih parahnya) mempertuhankan diri sendiri atas orang lain. Ini yang bahaya. 

Maka, saat sudah sadar bahwa diri kita adalah hamba yang kecil; bahkan jika mengukur diri di dalam semesta yang diciptakan oleh Allah ini, kita akan merasa sangat kecil. Sebesar debu pun tifak ada. Oleh karena itu, kesadaran ini penting dibangun sebagai motivasi untuk terus giat dalam beribadah. Sekalipun memang harus kita sadari juga bahwa iman seseorang itu sangat fluktuatif, tidak bisa sekonsisten malaikat, tetapi juga tidak bisa sebengis iblis. Inilah cobaan kita, sehingga dituntut untuk bersabar dalam beribadah. 

Sabar dalam menjauhi larangan-larangan Allah

Selain itu, kita juga dituntut untuk bersabar dalam menjauhi larangan-larangan Allah yang telah ditetapkan. Sebagai manusia, kita dibekali dua sifat. Yakni sifat taat seperti malaikat dan sifat bengis seperti iblis. Artinya, kita tidak bisa selalu taat seperti malaikat dan tidak akan selalu bengis seperti iblis. Kedua sifat itu bercampur-baur dalam jiwa kita. Sehingga kita bisa berkecenderungan berbuat baik (positif), tetapi bisa juga memiliki kecenderungan untuk berbuat buruk (negatif).

Kesabaran kita diuji dalam mengelola dan mengendalikan dua sifat yang saling bertentangan itu agar outputnya menjadi kebaikan. Tidak kemudian kita menghilangkan salah satu dari keduanya. Kita hanya diperkenankan oleh Allah untuk mengendalikan. Inilah yang pernah saya tulis di dalam tulisan serial Idulfitri sebelum ini. Yakni soal bagaimana kita mampu mengendalikan hawa nafsu, menurunkan kadar ego, dan meredam amarah. 

Kalau itu sudah dapat kita lakukan, insyaallah kita akan berkemampuan menahan diri dari berbuat keburukan atau bermaksiat terhadap Allah. Kemudian yakinlah bahwa Allah akan memberikan ganjaran atas perilaku kita dalam bersabar untuk menjauhi larangan-Nya. Ganjaran yang diberikan, akan bermacam bentuk dan rupa. Bisa saja ganjaran itu berupa materi kebendaan, berupa kesehatan jasmani, berupa peningkatan daya spiritual, atau mungkin saja berupa ujian atau godaan yang lebih dahsyat agar bisa 'naik level' keimanan.

Sabar dalam menerima musibah atau ujian dari Allah

Terakhir, kita mesti bersabar dalam menghadapi ujian atau musibah dari Allah. Yakin dan percayalah terhadap janji-Nya di dalam kitab suci, bahwa segala ujian yang diberikan tidak akan pernah melampaui batas kemampuan kita dalam menghadapi ujian itu. Namanya saja ujian, berarti harus dihadapi. Kalau berhasil, kita akan segera dinaikkan level atau kadar keimanannya. 

Masing-masing dari kita, setiap manusia, memiliki kadar keimanan yang berbeda. Karenanya, ujian yang akan diterima pun sudah pasti tidak sama. Maka, jangan pernah iri dengan orang lain yang seperti tidak mendapat ujian berat dari Allah. Sebab, hanya Allah-lah yang benar-benar tahu kadar keimanan hamba-Nya. Sementara kita tidak akan pernah tahu dan tidak pernah bisa menilai kadar keimanan sesama kita. 

Saat ini, dunia sedang diuji. Seperti sedang di-restart. Kita dihadapkan pada pandemi global, yang merupakan ujian bagi seluruh umat manusia di muka bumi. Ujian pandemi ini tidak melihat latar belakang, status sosial, pendidikan, dan apa pun itu yang menjadi atribut kemelekatan seorang manusia di dunia. Kita semua sedang ujian, tanpa terkecuali.

Wallahua'lam...

Jumat, 29 Mei 2020

JUMATAN: Masjid Kembali Dibuka (Idulfitri Bagian 6)


Islamic Centre Kota Bekasi. Sumber gambar: kontraktorkubahmasjid.com

Saat Presiden Joko Widodo berkunjung, beberapa waktu lalu, Walikota Bekasi Rahmat Effendi mengumumkan bahwa rumah ibadah; seperti masjid dan gereja, akan dibuka kembali pada hari (Jumat) ini. Tentu saja kabar tersebut sangat membahagiakan. Terutama bagi kalangan yang gemar beribadah secara berjamaah.

Rasanya rindu sekali salat di masjid, karena saya sudah hampir 3 bulan, tidak pernah salat berjamaah di masjid. Sebagaimana dikatakan Ketua PBNU KH Marsudi Syuhud, dalam suasana pandemi seperti sekarang ini, hendaknya umat Islam mampu memindahkan suasana masjid dan musala di rumah masing-masing. Maka, saya pun demikian. Bahkan saat Ramadan, sebulan penuh, saya dan keluarga menggelar salat tarawih di rumah. 

Hal tersebut bukan lantaran saya takut terhadap virus yang kecil dan tak kasat mata itu. Tetapi lebih kepada mematuhi aturan pemerintah dan anjuran para ulama melalui PBNU dan MUI, yang menurut saya, para ulama di kedua organisasi Islam itu sangat berkompeten dalam mengeluarkan anjuran. Meskipun dalam beberapa hal, saya juga sering tidak sepakat dengan maklumat yang dikeluarkan MUI.

Singkatnya, saya tidak mau salat berjamaah di masjid karena itu sudah menjadi larangan dari pemerintah dan ulama. Masjid ditutup untuk beberapa saat. Tidak boleh digunakan untuk sementara waktu. Tetapi kalau saya tetap memaksakan untuk salat di masjid padahal sudah dilarang, maka itu sama saja seperti mencuci pakaian dengan menggunakan air kencing. 

Kabar dibukanya kembali rumah ibadah yang disampaikan oleh Bang Pepen (sapaan akrab Walikota Bekasi) menjadi kebahagiaan tersendiri bagi saya. Sebagian umat Islam, yang memaksa diri untuk salat berjamaah di masjid, sudah tidak perlu lagi sembunyi-sembunyi karena takut 'digrebek' petugas. Salat kok sembunyi-sembunyi? Aneh.
Hari ini, Jumat pertama di bulan Syawal, masjid di Bekasi kembali dibuka. Tapi tentu saja, masjid yang dibuka hanya di daerah yang sudah ditetapkan sebagai zona hijau. Selain itu, masjid yang dibuka juga diterapkan aturan main protokol kesehatan yang harus dijalani. Menurut saya pribadi, lebih baik tidak usah berjamaah kalau harus ribet dengan aturan-aturan. Tapi ya sudah, ini demi kepentingan dan kemaslahatan bersama dalam masa new normal di mana perekonomian lebih diutamakan ketimbang nyawa manusia. 

Berikut ini adalah beberapa aturan main atau protokol kesehatan yang wajib dipatuhi oleh pengurus rumah ibadah, yang saya dapat dari akun media sosial Humas Kota Bekasi. Pertama, tempat ibadah dibersihkan terlebih dulu dengan disinfektan secara berkala. Kedua, pengurus rumah ibadah menyampaikan pemberitahuan pelaksanaan ibadah kepada Walikota Bekasi. Ketiga, pengurus rumah ibadah menyediakan hand sanitizer dan pengukur suhu tubuh elektrik.

Keempat, setiap jamaah wajib memakai masker, membawa peralatan ibadah (sajadah, misalnya) masing-masing, dan memperhatikan physical/social distancing dengan menjaga jarak 1,2 meter antarjamaah. Kelima, khutbah/ceramah (dilakukan) sesingkat mungkin, maksimal 15 menit. Keenam, setiap jamaah tidak melakukan kontak langsung dengan sesama jamaah (seperti bersalaman dan berpelukan), dan segera membubarkan diri setelah melaksanakan ibadah berjamaah.

Ribet kan? Hahahahahaa.

Dari keenam aturan protokol kesehatan itu, saya paling setuju sekali dengan poin kelima. Ke depan, kita (umat Islam) tidak akan lagi mendengar khutbah Jumat yang sangat membosankan sampai bikin ngantuk dan tertidur saat khutbah berlangsung. Dipersingkatnya waktu khutbah, saya yakin, membuat para khatib Jumat juga meringkas materi khutbahnya. Sehingga, para jamaah akan mendengar khutbah yang lebih substansif.

Lebih jauh, saya optimis, panggung Jumatan tidak lagi digunakan sebagai corong untuk menyebarkan kabar kebencian terhadap agama atau kelompok keagamaan yang tidak sejalan-sepemikiran. Selain itu, saya juga optimis bahwa khutbah Jumat ke depan tidak akan ada lagi kebencian terhadap pemerintahan yang sah. Kalaupun khutbah kebencian ada, kita tidak akan lama mendengarnya karena maksimal 15 menit. (Dan) kalau khutbah Jumat berlangsung lama, kita berhak untuk melapor ke pihak yang berwenang agar kemudian ditindak tegas. 

Bahkan saya bisa menduga, tema-tema khutbah yang akan dibawakan khatib di atas mimbar, selama masa pandemi new normal ini cenderung tema-tema yang lebih ke dalam (introspeksi diri), anjuran berbuat baik atau bersedekah kepada yang lebih membutuhkan, menjaga solidaritas antarwarga-bangsa, gotong-royong membersihkan lingkungan, dan hal-hal positif lainnya yang tentu saja tidak ada sama sekali unsur kebencian di dalamnya. 

Sebab saya masih mengamini, bahwa peran khatib di atas mimbar itu masih sangat berpengaruh dalam membangun pola pikir umat. Oleh karenanya, saya menyayangkan, jika di masa-masa sulit seperti ini ada tema khutbah yang menyesatkan, seperti menyudutkan atau mendiskreditkan orang/kelompok lain (bahasa lainnya: ghibah atau bahkan fitnah). Semoga saja tidak demikian. Di masa yang sangat 'panas' seperti ini, umat Islam (dan termasuk juga saya) sangat butuh siraman rohani yang sejuk untuk kemudian menjadi energi positif dalam menjalani kehidupan. 

Harapan saya, khutbah-khutbah yang menyejukkan dan menenteramkan selama pandemi (sebagaimana yang saya duga tadi), akan menjadi sebuah kehidupan baru yang disebut new normal. Sebuah kenormalan baru sehingga akan berlanjut dalam jangka waktu yang sangat panjang sekalipun virus mematikan ini sudah berhasil dikalahkan. Artinya, khutbah Jumat yang sejuk ini menjadi sebuah kebiasaan dan kemudian menjadi aneh (atau bahkan keliru) jika khutbah dengan tema yang sejuk itu tidak disampaikan. 

Saya pun berharap yang sama, kepada para pengkhotbah nonmuslim di rumah ibadahnya. Haruslah tema-tema yang positif, menyejukkan, menenteramkan, dan merekat-satukan anak bangsa yang harus disampaikan kepada umat. Hal ini demi memperkokoh persatuan dan kesatuan yang tidak hanya sebatas jasmani tetapi juga rohani.

Mari kita bersatu dalam sebuah pengharapan dan doa yang sama. [Bersambung]

Wallahua'lam...

Kamis, 28 Mei 2020

Puasa dari Rasa Hormat Selama 11 Bulan (Idulfitri Bagian 5)


Ilustrasi. Sumber gambar: maxmanroe.com

Kita akan menemukan banyak hal jika mampu menerabas kesepian itu. Di dalamnya terdapat sebuah pembelajaran mengenai kedamaian dan ketenteraman, asalkan kesepian itu dimanfaatkan sebagai sebuah ruang besar untuk menjadi tempat bersemayam para kontemplator. Bagaimanakah kehidupan kita pasca ditinggal Ramadan?

Ini sudah hari kelima lebaran. Makanan, seperti kue kering atau opor ayam pasti sudah habis. Minimal, hampir habis. Tetapi sesungguhnya, bukan itu esensi Idulfitri. Bukan soal makanan yang sifatnya jasadiah. Bukan juga soal senang-senang, hura-hura, pamer kekayaan. Idulfitri adalah soal bagaimana kita mampu 'berpuasa' kembali setelah selama sebulan penuh dilatih berpuasa. 

Menurut Emha Ainun Najib, puasa yang sesungguhnya bukanlah pada Ramadan. Melainkan pasca-Ramadan. Di dalam hari-hari di luar Ramadan, kita sebenarnya sedang dimintai pertanggungjawaban soal peribadahan kita selama sebulan penuh. Kalau ibadah kita selama Ramadan baik, dilakukan dengan penuh ketulusan dan hanya semata mengharap ridho Allah, maka ibadah kita setelah Ramadan pun akan menjadi baik. 

Namun, ini yang banyak orang lupa. Bahkan melalaikan atau mengabaikannya. Menganggap bahwa setelah Ramadan pergi, maka semua aktivitas peribadahan selesai. Mentang-mentang Ramadan menawarkan keberlipatgandaan pahala jika kita beribadah, membuat sebagian orang malah kembali malas beribadah setelah Ramadan. Hal inilah yang menjadi penyakit kronis manusia modern, termasuk juga saya.

Kalau diibaratkan sebagai sebuah peperangan, maka sebenarnya Ramadan kemarin itu adalah perang kecil. Sementara kita, saat ini, sedang menuju perang yang besar. Beribadah di bulan Ramadan, tentu saja sangat mudah dan ringan karena sebagian besar orang melakukan hal yang sama. Meskipun ada sebagian orang yang lain, yang tidak berpuasa, yang secara refleks-manusiawi ia pasti akan menghormati orang yang sedang berpuasa; tidak makan-minum atau memancing amarah di hadapan orang berpuasa.
Tapi tentu saja akan berbeda keadaannya dengan kondisi setelah Ramadan. Kalau kita mempertahankan pola ibadah kita selama Ramadan, apakah kita juga akan meminta orang lain untuk menghormati kita? Apakah kita harus mengabari banyak orang bahwa kita masih melaksanakan ibadah sebagaimana pada bulan Ramadan? Ini yang sulit. 

Tidak akan mudah, ketika kita berpuasa di tengah keadaan atau kondisi sebagian besar orang yang tidak puasa. Beribadah di tengah orang-orang yang tidak beribadah. Berkebaikan di tengah keadaan masyarakat yang sudah mulai meninggalkan nilai-nilai kebajikan Ramadan. Apakah kita akan menuntut orang lain agar mau memperhatikan atau menghormati kita? Kalau di bulan Ramadan, wajar-wajar saja kita meminta oranglain menghormati (walaupun itu tidak bisa dibenarkan sepenuhnya), tetapi bagaimana jika tidak di bulan Ramadan? Saya rasa, kita harus kembali berpuasa. 

Kita harus berpuasa yang lebih besar. Yakni puasa dari rasa haus akan hormat yang diberikan oleh orang lain. Kita harus puasa dari dahaga penghormatan dan beralih untuk kemudian memberi hormat kepada orang lain yang tidak sepaham-sefrekuensi dengan kita. Menurunkan ego, mengendalikan nafsu syahwatiyah, dan menahan amarah yang sudah kita dapati pelajaran itu semasa berada 'pesantren' bernama Ramadan. Lalu, kini kita hanya tinggal mengaplikasikannya. 

Bagi saya, pengaplikasian merupakan bahasa lain dari pertanggungjawaban. Maka, sudah seharusnya pula kita mempertanggungjawabkan segala kebaikan yang telah dilakukan selama Ramadan kemarin. Jangan hanya karena Ramadan sudah pergi, lantas itu menandakan bahwa kebaikan pun disudahi. Justru masa-masa setelah Ramadan-lah yang apabila kita tekun beribadah sebagaimana pada Ramadan kemarin; baik ibadah secara ritual maupun sosial, maka akan sangat baik di sisi Allah. Saya yakin. 

Kasarnya, Allah akan sangat memperhitungkan ibadah orang-orang yang berhasil ditingkatkan (atau minimal dijaga konsistensinya) dari Ramadan ke bulan-bulan setelah Ramadan. Kenapa diperhitungkan oleh Allah? Karena inilah yang disebut takwa. Orang-orang yang takwa itu, akan selalu merasa diawasi Allah, sehingga untuk berbuat secuil keburukan saja, ia tidak berani. Maka, tentu saja, bagi setiap orang yang mampu mempertahankan atau bahkan meningkatkan kadar kualitas peribadahannya, ia akan mendapat 'apresiasi' dari Allah. 

Tetapi, yang harus digarisbawahi adalah, bahwa orang-orang yang mendapat gelar takwa sudah pasti tidak akan terpengaruh dengan hinaan atau pujian dari orang lain. Ia akan kebal oleh perkara keduniaan. Justru ia akan kian tebal atas keimananannya kepada Allah, sehingga beranggapan tidak akan ada seorang pun yang mampu memberikan apresiasi atau penghormatan yang lebih dari apresiasi atau penghormatan Allah. 

Singkatnya, hanya orang-orang takwa-lah yang mampu berpuasa kembali setelah sebulan penuh kemarin berpuasa. Kini, orang-orang takwa itu pasti akan melanjutkan puasanya. Mereka juga akan meningkatkan kadar kualitas puasanya. Yakni dari puasa jasadi ke puasa rohani. Dari puasa yang (pada saat Ramadan) penuh dengan eksistensi, menuju puasa yang lebih penuh esensi. Puasa yang mengharuskan kita memberi hormat kepada yang lain dan menahan diri dari rasa ingin dihormati. 

Ya, Ramadan sudah pergi. Tetapi nilai-nilai yang sudah kita dapati selama sebulan penuh kemarin itu akan sangat terkenang dan bahkan berguna, apabila kita mampu memanfaatkan kesepian atas perayaan Idulfitri ini dengan melakukan kontemplasi yang mendalam. Kita, meskipun tidak (atau belum pantas) bergelar takwa, tapi setidaknya kita mampu menyerap nilai Ramadan itu untuk kemudian dipertanggungjawabkan setelah ini. 

Setidaknya, kita punya persiapan dan kesiapan untuk beralih dari perang kecil kepada peperangan yang lebih besar. Yakni sebuah dimensi baru yang lebih menantang dan akan mendapat derajat yang kian tinggi di sisi Allah jika kita mampu meningkatkan kadar kualitas ibadah; baik ritual maupun sosial. Baik jasadi maupun rohani. Baik ibadah manusiawi maupun ibadah yang langsung berhadap-hadapan dengan sang ilahi. 

Jadi, mari kita bersiap diri untuk perang. Ya, perang yang lebih akbar. Perang melawan diri sendiri. Perang kepada ego, kepada nafsu syahwatiyah, dan perang terhadap amarah yang menggebu-gebu. Kalau kita berhasil melewati perang yang lebih besar dari perang kecil selama Ramadan kemarin (yang itu pun bisa dimaknai sebagai latihan menuju perang besar), maka jelas kita adalah orang-orang yang beruntung. Sebab, Allah langsung-lah yang akan memberikan apresiasi dan penghormatan itu. 

Tapi dengan catatan, kita harus berpuasa dari rasa ingin dihormati. Bisakah? Semoga saja, walaupun pasti sangat susah. [Bersambung]

Wallahua'lam...

Rabu, 27 Mei 2020

Merayakan Sepi Bersama (Idulfitri Bagian 4)


Ilustrasi. Sumber gambar: liputan6.com

Idulfitri adalah soal keramaian. Kita berkeliling kampung, misalnya, bersalam-salaman untuk saling meminta maaf atas khilaf yang selama ini diperbuat; disengaja atau tidak. Biasanya, orang-orang yang lebih tinggi strata sosialnya atau orang yang dituakan di lingkungan masyarakat, akan membuka pintu rumah lebar-lebar agar dikunjungi banyak orang: semacam open house

Tetapi Idulfitri kali ini sungguh berbeda. Kita seperti diingatkan atau ditegur oleh Allah bahwa Idulfitri hendaknya dirayakan dengan penuh esensi. Tidak berlebih-lebihan. Bahwa sesungguhnya, momen Idulfitri harus disikapi dengan merenungi diri. Bisakah membawa Ramadan ke dalam 11 bulan ke depan? Minimal, membawa rutinitas amalan ibadah ritual yang dijalani selama Ramadan kemarin.

Bagi orang-orang kaya, orang-orang yang secara sosial menduduki tempat terhormat, orang-orang yang berkelebihan harta, momen Idulfitri ini mesti dimanfaatkan untuk merasai perasaan yang sudah sejak dulu (sebelum pandemi) dirasakan oleh orang-orang yang merayakan Idulfitri dengan sepi. Tanpa perayaan apa pun. 

Mari kita juga merasakan betapa kesepian di momen Idulfitri itu mendatangi para tenaga medis, yang tentu saja tidak bisa merayakan Idulfitri bersama sanak keluarga. Bahkan tidak bertemu dengan anak-anaknya. Mereka harus berjuang melawan pandemi, meski dalam momen Idulfitri yang biasanya dirayakan dengan meriah; dengan berkumpul bersama keluarga besar. 

Atau bagaimana pula rasanya menjadi perantau yang terpaksa tidak mudik karena mematuhi aturan pemerintah? Mereka pasti merasakan sebuah perayaan Idulfitri yang sepi. Secara sangat terpaksa, mereka tidak berlebaran di kampung halaman, tetapi harus merayakan Idulfitri dengan sepi di tempat rantau masing-masing.

Baca juga: Merindukan Ramadan Kembali (Idulfitri Bagian 3)

Inilah sebuah esensi perayaan. Idulfitri yang sarat makna. Selebrasi yang membatin. Menusuk kalbu. Menembus dimensi otak. Mengajak kita untuk berpikir, berkontemplasi, merenungi diri. Bahwa sesungguhnya esensi Idulfitri bukanlah soal kumpul-kumpul, pamer harta, hura-hura, dan bersombong-ria sebagaimana yang telah dilakukan pada setiap perayaan Idulfitri sebelum ini. 

Pada perayaan Idulfitri kali ini, mungkin saja ada yang sedang menemani orang terkasihnya yang sedang sakit. Kemudian sudah barang tentu ada pula yang merayakan Idulfitri dengan berjuang melawan sakit yang didera. Walau bisa saja dikatakan bahwa kali ini adalah Idulfitri terberat, tetapi mari sama-sama kita gali makna terdalam dari setiap ujian atau cobaan yang diberikan Allah kepada kita semua. 

Allah tidak akan memberikan cobaan, rintangan, ujian, dan segala tantangan melebihi dari batas kemampuan kita sebagai manusia. Segala yang diberi oleh-Nya pasti akan dapat kita lewati. Asal dalam proses melewati cobaan itu, kita mampu sabar dan sadar soal bagaimana kemampuan kita menghadapinya.

Idulfitri kali ini, kita merayakan sepi bersama. Tetapi inilah sepi yang ramai. Kita semua, ramai-ramai, merasakan sepi yang sama. Apakah sepi ini adalah rintangan, cobaan, dan ujian? Bagi saya, tidak juga. Sepi adalah teman bagi keindahan. Kita bisa meratapi apa saja dalam sepi. Di dalam sepi, kita bisa melihat keramaian. Pada sepi, kita bisa bersiap-diri untuk kemudian menyatu dengan ramai.

Hal yang terpenting dalam perayaan kesepian ini adalah kita mampu saling menguatkan. Menghadirkan cahaya bagi setiap kegelapan yang dirasakan oleh orang lain. Bukan justru mengutuk kegelapan lantaran kita tidak punya keahlian untuk menghadir-hidupkan cahaya. Ada banyak yang bisa kita perbuat untuk menyembuhkan luka bersama ini. Minimal dengan doa yang terus-menerus dilafalkan untuk mampu menembus bahkan mendobrak pintu langit.

Baca juga: Memaknai Kembali Puasa Kita (Idulfitri Bagian 2)

Sekali lagi, ini adalah perayaan sepi bersama. Perayaan sepi yang ramai. Perayaan sepi yang dirasakan oleh banyak orang. Tidak hanya kita sendiri. Maka, mari kita saling menguatkan. Mari kita saling memberi arti bagi hidup dan kehidupan. Sepi adalah teman setia bagi setiap proses yang akan dijalani kemudian hari. Tidak perlu bersedih hanya karena melewati Idulfitri dengan sepi, karena kita semua merasakan hal yang sama. Ini sepi yang ramai.

Teman-teman pembaca yang terkasih, saya pun merasakan pula kesepian itu. Usai menjalani salat Id di musala, pada 1 Syawal lalu, saya langsung pulang ke rumah. Biasanya di gang rumah saya, orang-orang sudah berkumpul, saling bersalaman, memohon maaf, dan anak-anak saling berlarian membawa tas atau dompet kecil untuk menaruh uang pemberian dari para tetua.

Tetapi, saat saya sedang berasyik-masyuk bercanda dengan keluarga di dalam rumah, usai salat Id di musala, satu-persatu orang-orang mendatangi rumah kami, tapi tidak masuk. Hanya di luar gerbang, berjarak sekira tiga meter, kemudian menyatukan kedua telapak tangan seraya mengucap: mohon maaf lahir batin. Demikian seterusnya rumah kami didatangi orang-orang tapi tetap tidak ramai dan saling menjaga jarak. 

Ini pengalaman baru. Tentu saja bagi semua; siapa saja. Mendatangi rumah orang, tetapi tidak bermaksud bertamu. Hanya dari luar saja, berjarak yang cukup jauh, lalu memohon diberikan maaf. Awalnya, saya merasakan ada yang janggal dan kurang. Namun, inilah sesungguhnya esensi Idulfitri. Tidak banyak orang dalam keramaian yang berkerumun, tetapi tetap saling memberikan maaf walau tidak ada anggota tubuh yang saling bersentuhan.

Baca juga: Kembali ke Fitrah Kemanusiaan (Idulfitri Bagian 1)

Dan yang paling berkesan pada perayaan Idulfitri ini, di langit dekat rumah saya, ada pemandangan pelangi selama dua hari berturut-turut. Pelangi itu dinikmati oleh semua orang karena sangat jelas terlihat. Lalu, diabadikan melalui kamera handphone, dan kemudian dibagikan di media sosial agar orang lain juga dapat menikmati keindahan pelangi itu. Maka, bagi saya, fenomena pelangi adalah sebuah pertanda bahwa sebentar lagi, akan ada keindahan dalam hidup kita bersama. Yakni, kita akan melewati fase sepi ini dengan gembira. 

Apakah kesepian ini akan bisa kita lalui dengan waktu yang tidak lama lagi? Akankah kesepian ini akan berbuah pada keindahan yang juga akan dinikmati bersama dan beramai-ramai? Lalu apa yang harus kita lakukan saat kesepian ini pergi dan berganti pada keindahan yang akan kita rasakan bersama? Mungkinkah kita justru akan bersedih saat pandemi pergi, saat kesepian pergi, saat ramai kembali datang; sebuah momen di mana orang-orang mengira cahaya telah datang tetapi justru kegelapan yang menghampiri? [Bersambung]

Wallahua'lam...

Selasa, 26 Mei 2020

Merindukan Ramadan Kembali (Idulfitri Bagian 3)


Ilustrasi. Sumber gambar: detik.com

Saat Idulfitri telah tiba, bahkan berjalan berhari-hari dengan begitu sangat cepat, sebagian orang pasti akan merasa rindu dengan suasana Ramadan. Tetapi tentu hanya sedikit saja yang betul-betul rindu dengan bulan diturunkannya Al-Quran itu. Sebagian yang lain, justru berbahagia ditinggal pergi Ramadan. Sebab, bagi mereka, Ramadan adalah bulan pemenjaraan kebebasan. 

Merindukan Ramadan, bagi sebagian besar muslim Indonesia, saya yakin sekali, adalah sebuah kalimat yang terdengar sangat klise. Pura-pura. Tidak tulus. Mengatakan 'Aku rindu Ramadan' hanya dimaksudkan agar orang lain menganggapnya sebagai muslim yang memiliki keimanan sungguh-sungguh kepada Allah. Padahal, tidak sama sekali. Pesan-pesan Ramadan yang penuh dengan nilai kebajikan, akan diacuhkan begitu saja saat Idulfitri dan segala kenikmatannya datang mengemuka. 

Kita tentu merasakan bahwa Ramadan yang baru saja berlalu itu, sangat terasa berbeda dari Ramadan-Ramadan sebelumnya. Di Ramadan kali ini, kemarin itu, kita diberikan banyak kesempatan oleh Allah untuk berbuat bagi kemanusiaan. Maka, benar saja, banyak orang yang berbondong-bondong menggalang donasi, menyalurkan bantuan sembako, dan bahkan menjual atau melelang harta-benda untuk membantu sesama yang terkena dampak ekonomi akibat corona. 

Ini menarik kita perhatikan agar nilai-nilai itu dapat terterap dan terserap ke dalam proses perjalanan sebelas bulan ke depan. Inilah kemudian yang menjadi bentuk pengejawantahan kerinduan kita terhadap Ramadan. Bagi saya, rindu yang tak terwujud dalam tindakan sama dengan membaca buku tanpa aksi. Hanya seperti onani. Maka, mari kita mewujudkan rindu itu ke dalam tindakan selama proses perjalanan menuju Ramadan berikutnya di tahun depan. 

Ramadan kemarin itu, telah banyak memberikan arti. Kini, saatnya kita menciptakan 'Ramadan' di dalam kehidupan kita. Bisakah? Tentu saja bisa. Anggaplah bahwa semua bulan dalam perjalanan hidup kita ke depan adalah Ramadan. Sehingga, hanya sedikit saja peluang bagi kita untuk bermaksiat. Kita harus kembali 'berpuasa' agar mampu menurunkan ego dan mengendalikan syahwat. Ini yang terpenting. 


Saat Idulfitri, pada Ahad lalu itu, saya dan Mas Nisfu berkali-kali menggeleng-gelengkan kepala. Apa gerangan yang membuat kami demikian? Begini...

Di pemukiman tempat kami tinggal, terdapat tiga rumah ibadah umat Islam. Satu masjid dan dua musala. Sementara di kelurahan kami, hingga saat ini, masih ditetapkan sebagai zona merah penyebaran virus corona. Hal ini bisa dilihat di aplikasi PeduliLindungi yang sangat tepat dan akurat. Tetapi, orang-orang telah gagal menurunkan ego dan mengendalikan syahwatnya dalam beragama. 

Sehari sebelum Idulfitri kemarin, ibu mengabarkan bahwa musala dekat rumah akan menggelar Salat Id. Ibu lalu menyuruh saya untuk juga salat di musala. Bukan hanya saya, tetapi juga seluruh anggota keluarga. Kalau bukan karena ibu, saya enggan untuk salat Id di musala yang sudah pasti berjubel atau berkerumun karena banyak orang yang berbondong-bondong ke sana. Padahal, daerah kami ini sudah ditetapkan sebagai zona merah penyebaran corona.

Awalnya, saya ingin salat Id di rumah saja bersama seluruh anggota keluarga sebagaimana gelaran tarawih selama sebulan yang dilaksanakan di rumah. Tetapi berbeda dengan ibu dan bapak. Mereka berdua, ingin turut salat di musala. Saya akhirnya mengalah, menurunkan ego. Walau tetap dengan menggunakan protokol kesehatan dalam menjalankan salat Id di musala itu, tapi bagi saya menggelar salat Id di musala yang mengundang keramaian adalah bentuk pengkhianatan atas upaya kita melawan corona. 

Salat Id yang sebenarnya berhukum sunnah, yang apabila tidak dikerjakan tidak mendapat dosa, justru seolah-olah adalah perkara yang wajib. Bahkan, mengabaikan anjuran pemerintah dan ulama agar salat Id di rumah saja jika berada di zona merah. Jangan hanya karena memperjuangkan perkara yang sunnah, kita justru acuh tak acuh terhadap kepentingan yang lebih besar bernama: kemanusiaan. 

Bagi saya, salat Id yang digelar beramai-ramai di rumah ibadah kemarin itu adalah bentuk dari syahwat beragama yang gagal dikendalikan. Parahnya, panitia Idulfitri, sesaat sebelum salat Id dimulai, menyampaikan maklumat bahwa sehari sebelum Idulfitri, dirinya sudah mendapatkan informasi dari pemerintah terkait bahwa kelurahan kami telah ditetapkan sebagai zona hijau.

Setelah panitia itu memberikan informasi, saya langsung membuka handphone, mengecek semua jalur informasi dari pemerintah terkait corona. Hasilnya? Kelurahan kami masih zona merah. Bahkan kita bisa melihatnya di aplikasi PeduliLindungi. Kalau zona merah, berarti dilarang untuk menggelar salat Id. Kalau dilarang tetapi tetap dilaksanakan, hanya karena ingin menjalankan perkara sunnah, maka apa sebutan yang pantas untuk itu? Saya rasa, menyebut hal itu adalah bentuk kebodohan, sangat tidak tepat. 

Jujur saja, seketika itu, saya sama sekali tidak menaruh simpati terhadap gelaran salat Id yang 'dipaksakan' itu. Bahkan dibumbui dengan informasi bohong dari panitia Idulfitri. Sesuatu yang seharusnya diraih dari berbagai aktivitas peribadahan selama Ramadan, akan hilang seketika saat memperjuangkan perkara sunnah dengan mengabaikan anjuran pemerintah dan ulama, serta ditambah membohongi masyarakat. 

Sebagaimana yang telah saya sampaikan dalam tulisan sebelumnya, bahwa orang yang bertakwa adalah mereka yang mampu menjalankan perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya dengan sungguh-sungguh. Perintah-perintah Allah itu, terdapat dalam maqasid syari'ah yang lima. Yakni menjaga akal, menjaga kemanusiaan, menjaga agama, menjaga kehormatan, dan menjaga harta. 


Lalu menurut anda, pada kasus atau fenomena di atas, hal apa yang tidak diindahkan? Sila dijawab saja di dalam hati masing-masing. 

Jadi, saya pikir, hanya segelintir orang saja yang benar-benar mampu merindukan Ramadan dengan menyerap nilai yang telah didapat selama sebulan penuh. Yakni mereka yang mampu menurunkan ego dan syahwat. Terutama sekali ego dan syahwat beragama. Lebih gawat lagi, jika ego dan syahwat beragama itu tidak dibarengi dengan ilmu yang memadai. Bisa fatal urusannya. 

Guru saya pernah berkata bahwa orang bodoh yang menyelimuti diri dengan jubah agama akan sangat terlihat alim di mata orang awam ketimbang orang alim yang biasa-biasa saja. Inilah akhir zaman. Dimana orang-orang yang pengetahuan agamanya secuil, akan berani tampil mengurusi agama dan bahkan mereka akan marah jika didebat argumentasinya. 

Lantas bagaimana cara agar merindukan Ramadan dalam perjalanan sebelas bulan ke depan? Tentu saja dengan menghidupi kehidupan sehari-hari dengan wewangian Ramadan. Selain menjalani hari-hari dengan nilai-nilai Ramadan berupa amalan untuk diri sendiri, kita juga perlu agar peka terhadap sosial dan kemanusiaan di lingkungan sekitar. Jangan diabaikan hanya karena menuruti ego dan syahwat yang ada di dalam diri kita. 

Terakhir, saya ingin mengatakan bahwa tidak sembarang orang atau hanya segelintir orang saja yang dapat selaras; menyatakan kerinduan terhadap Ramadan tetapi juga menjalani hari-hari dengan berbagai nilai yang telah didapat selama Ramadan. Selebihnya, hanya klise atau pura-pura saja. [Bersambung]


Wallahua'lam...

Senin, 25 Mei 2020

Memaknai Kembali Puasa Kita (Idulfitri Bagian 2)


Ilustrasi. Sumber gambar: arahjaya.com

Bagi saya, yang seharusnya bertanggung jawab terhadap persoalan masyarakat yang selama ini berpuasa hanya sebatas ritual-formalistik, tanpa mengetahui tentang substansi berpuasa Ramadan itu, adalah para penceramah dan dai. Sebab, sebagian besar dari penceramah kita pun adalah mereka yang tidak 'serius' dalam menyampaikan ajaran agama.

Bahkan parahnya, sebagian penceramah atau dai kita selama ini, tidak memiliki ilmu yang memadai dan hanya modal percaya diri untuk naik ke atas mimbar keagamaan membawa satu atau dua dalil, tetapi sesungguhnya mereka sendiri adalah penganut agama yang masih hanya sebatas ritual-formalistik. Walaupun ada juga sebagian penyampai agama dari kalangan Islam, yang menyampaikan agama secara substantif. Tapi jelas, untuk persoalan ini, yang harus bertanggung jawab adalah para tokoh atau penyampai agama itu.


Sebab, perilaku konsumtif yang kini menjangkiti masyarakat muslim telah menjadi sangat lazim dan kecenderungan umum. Bahkan, dalam ibadah puasa Ramadan, tak jarang kita menemui ada saja orang-orang yang gemar menyalahkan atau menyakiti orang lain, berkata kasar, dan berlaku semena-mena. Hal ini dikarenakan puasa sebagian besar masyarakat kita hanya sebatas formalistik semata.

Puasa yang formalistik itu hanya sekadar memenuhi syarat dan rukun yang terlihat saja. Sebagaimana yang telah dijelaskan di dalam tulisan sebelumnya, yakni puasa awam menurut Imam Ghazali. Sementara sebagian besar masyarakat kita, belum mampu melakukan ibadah puasa yang substantif. Yakni puasa yang benar-benar menghayati makna terdalam dari perintah-perintah puasa itu sendiri.

Imam Ghazali pernah menjelaskan soal rumusan tentang ibadah yang sangat substantif. Menurutnya, dalam salat misalnya, bukan hanya sekadar aqwalun wa af’alun muftatahatun bittakbir wamuhtatamatun bittaslim (kata-kata, ucapan-ucapan, dan perbuatan-perbuatan, yang diawali takbiratul ihram dan diakhiri salam). Tetapi Imam Ghazali menambahkan syarat khusyu. Artinya, menurut Imam Ghazali, jika orang tidak khusyu, maka salatnya batal.

Begitu juga soal puasa yang seharusnya tidak dilakukan hanya sekadar menahan haus dan lapar atau makan dan minum. Tetapi para dai juga harus menambah kadar atau bobot materinya tentang nilai-nilai puasa yang lebih substantif. Bahwa membicarakan orang lain (ghibah), fitnah, berlaku kasar kepada orang lain, dan menggunjing orang lain, sudah pasti dinyatakan batal puasanya. Bukan sekadar dinyatakan batal secara etika atau sebatas dikatakan hilang pahala puasanya. 

Lalu, setelah puasa Ramadan selama sebulan penuh sebagai sebuah penggemblengan agar kita mampu melakukan pengendalian terhadap ego dan nafsu, pribadi yang seperti bagaimanakah yang semestinya terbentuk?

Teman-teman pembaca yang terkasih, mari kita buka ayat ke-177 dalam surat Al-Baqarah. Ayat ini bagi saya, akan menghadirkan sebuah nilai yang sangat substantif dari segala yang telah kita lakukan selama berpuasa pada Ramadan kemarin. Di dalam ayat itu dikatakan bahwa kebaikan itu bukanlah karena dengan menghadapkan wajah kita ke barat dan ke timur. Sebab itu merupakan sesuatu yang hanya sebatas formalistik. 

Akan tetapi, kebaikan itu adalah ketika kita mampu beriman kepada Allah dan mengerjakan segala sesuatu yang telah menjadi ketetapan-Nya. Selain itu, kita juga dianjurkan oleh Allah untuk mampu memberikan harta sekalipun kita sedang mencintai harta itu. Kita harus memberikannya kepada kerabat, orang-orang yatim, dan orang-orang yang miskin atau dimiskinkan oleh keadaan; serta diharapkan kita juga senantiasa bersabar jika dalam keadaan susah.

Jadi, di dalam puasa pun, harus juga ada komitmen-komitmen yang seperti itu. Komitmen personal dan sekaligus komitmen terhadap sosial. Ketika kita sudah keluar dari Ramadan, kita diharapkan menjadi pribadi yang lebih baik dan sekaligus juga memiliki kepekaan terhadap sosial dan terhadap kemanusiaan. 

Singkatnya, pribadi yang berhasil dalam menjalani puasa Ramadan adalah yang mampu membebaskan orang lain dari kegelapan, dari belenggu penindasan, dan dari kemiskinan. Inilah yang disebut yukhrijuhum minadz-dzhulumati ilannur. Atau dalam istilah RA kartini adalah habis gelap terbitlah terang. Ya, kita harus menjadi cahaya bagi kemanusiaan setelah melewati fase Ramadan. Inilah seharusnya yang menjadi output dari puasa kita selama sebulan kemarin.

Ayat 177 surat Al-Baqarah itu sebenarnya diturunkan untuk merespon kegelisahan umat Islam lantaran Nabi memindahkan kiblat dari Masjidil Aqsa di Palestina ke Masjidil Haram di Mekkah. 

Lalu Allah menjelaskan bahwa yang dikehendaki bukanlah persoalan mau menghadap ke mana, tetapi yang harus dipegang teguh oleh umat Islam adalah soal komitmen-komitmen tadi yang harus menjadi hal penting bagi kehidupan manusia itu sendiri. Jadi, formalisme agama (yang hanya mengedepankan simbolisasi keagamaan) harus segera dilampaui dengan hal-hal yang lebih substantif. 

Jadi mari kita maknai kembali puasa kita. 

Tujuan puasa Ramadan adalah agar menjadikan orang menjadi pribadi yang bertakwa. Sementara takwa itu sesungguhnya terbagi menjadi dua. Ada takwa individual dan takwa sosial. Jadi, selain kita mampu menjadi pribadi yang bersih yang bersedia menjauhi segala larangan-Nya, kita juga harus mampu menciptakan struktur sosial yang adil; yang tidak menindas; yang peka terhadap nilai-nilai kemanusiaan. [Bersambung]


Wallahua'lam...

Minggu, 24 Mei 2020

Kembali ke Fitrah Kemanusiaan (Idulfitri Bagian 1)


Ilustrasi. Sumber gambar: suaraislam.com

Ada beragam orang-orang Indonesia dalam menulis dua kata: Idul dan Fitri. Ada yang menulis dengan kata yang terpisah: Idul Fitri, ada juga yang menulis dengan mengikuti aksen bahasa Arab: 'Iedul Fithri, tetapi ada juga yang menulis: Idulfitri. Mana yang benar? Jawabannya, tentu saja semua benar. Tetapi yang tepat menurut Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI)--dulu EYD--adalah yang saya sebutkan terakhir. 

Mari kita maknai Idulfitri. Secara bahasa, Idulfitri terbagi menjadi dua kata. 'Ied dan fithri

'Ied bermakna kembali. Sedangkan fithri berarti fitrah. Sebagian besar ulama memaknai fitrah sebagai kesucian. Karenanya, Idulfitri bisa diterjemahkan sebagai kembalinya seorang manusia pada kesucian diri. Makna inilah yang seharusnya menjadi titik utama bagi cara pandang kita terhadap segala yang dijalani selama satu bulan penuh, yakni berpuasa (dan berbagai aktivitas ibadah pada Ramadan kemarin). 

Para penceramah atau dai, di awal-awal Ramadan, pasti akan mengutip ayat nomor 183 dalam surat Al-Baqarah. Sebuah dalil penguat untuk kemudian menyampaikan materi tentang kewajiban berpuasa sebagai perintah langsung dari Allah (mahdlah) yang harus dipatuhi oleh setiap muslim yang beriman. Di akhir ayat 183 itu, ada sebuah tujuan mulia, serupa iming-iming. Apa itu? Yakni, la'allakum tattaqun (supaya kamu sekalian bertakwa).

Lalu apa hubungan antara puasa Ramadan dengan Idulfitri yang memiliki arti kembalinya seorang manusia pada kesucian diri? 

Menurut saya, orang yang bertakwa--sebagaimana yang tersurat di dalam ayat tadi--merupakan dampak positif dari ibadah puasa (ditambah dengan ibadah yang lain) yang dilakukan sepanjang Ramadan. Sementara takwa, secara umum, bermakna: meninggalkan segala larangan Allah dan menjalankan perintah-Nya dengan kesungguhan hati karena mengharap ridho Allah. 

Perintah Allah, apa pun itu bentuknya, sudah barang tentu tidak akan pernah melanggar kesucian. Sebagaimana tujuan ditegakkan syariat Islam yang harus berlandaskan pada lima hal: yakni menjaga agama, menjaga diri, menjaga keturunan dan kehormatan, menjaga harta, serta menjaga akal. Dari kelima tujuan tersebut, tidak ada sama sekali yang melanggar kesucian. Itulah perintah Allah yang harus dijalankan dan diwujudkan oleh orang-orang yang bertakwa.

Maka orang yang bertakwa, yang telah dinyatakan lulus dari penggemblengan selama sebulan penuh, adalah mereka yang mampu melahirkan pribadi-pribadi yang suci. Yakni, mereka yang kembali sadar terhadap fitrah kemanusiaan, sebagaimana tujuan syariat Islam itu tadi. Orang bertakwa, yang telah selesai ibadah di bulan suci Ramadan adalah juga mereka yang senantiasa mampu membantu, menolong, dan menyelamatkan orang lain. Mereka yang senang menebar salam kebajikan kepada siapa saja.

Demikianlah makna Idulfitri dari sebagian besar ulama. 

Tetapi kemudian, sebagian ulama ada pula yang memaknai Idulftri sebagai hari di mana kita kembali berbuka (makan). Artinya, bahwa memang untuk berpuasa tepat di Hari Raya Idulfitri, hukumnya adalah haram. Maka, diartikan Idulfitri sebagai kembali berbuka puasa. 

Fithri, sebagaimana pendapat sebagian ulama, juga sering disebut atau dimaknai dengan berbuka atau makan. Yakni, memiliki akar kata yang sama dengan futhur atau ifthar. Tetapi, bagi saya, pemaknaan yang kedua ini hanya memperlihatkan cara-cara awam di mana makan dan minum adalah sesuatu yang sangat lumrah. Sesuatu yang memang dibutuhkan oleh manusia. 

Tetapi, mari kita lihat makna Idulfitri sebagai fitrah yang dalam makna pertama tadi. 

Saya melihat kehidupan ini memiliki dua dimensi. Yakni kebaikan dan keburukan. Manusia juga diberi naluri-naluri fitrah yang ada di dalamnya. Bahkan juga ada kecenderungan-kecenderungan nafsu (syahwat). Ada nafsu yang terkadang ketika kita tidak menempatkan itu pada satu tempat yang benar, maka ia akan menjadi buruk. Itulah fitrah manusia. Diberi nafsu. 

Nah kemudian, Islam ingin mencoba menaklukkan nafsu-nafsu yang tidak bisa terkendali itu melalui proses puasa. Sebagaimana yang telah jamak kita ketahui, bahwa inti dari puasa adalah mengendalikan kecenderungan-kecenderungan buruk dari manusia, sehingga dapat dikendalikan. Tentu saja diarahkan kepada hal-hal yang maslahat bagi kemanusiaan. Saya kira, inilah tujuan Allah memerintahkan kita untuk berpuasa. 

Lalu, pernah ada pertanyaan yang diajukan kepada saya. Ramadan adalah bulan yang di mana kita, umat Islam harus mampu menahan diri dan mengendalikan nafsu; tetapi kenapa kok justru sikap konsumerisme yang meningkat? Bahkan tak jarang, di bulan Ramadan, kita seringkali mendengar ada orang atau kelompok yang tidak kuasa menahan amarah. Bagaimana?

Saya lantas teringat soal materi para penceramah di awal-awal Ramadan. Yakni soal tingkatan-tingkatan puasa menurut Imam Ghazali. Menurut filsuf bernama lengkap Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al Ghazali ath-Thusi asy-Syafi'i ini, puasa terbagi menjadi tiga macam. Yakni puasa awam, khawas (khusus), dan khawasul khawas (paling khusus). 

Puasa awam adalah istilah yang ditujukan untuk orang yang mampu menahan diri dari makan, minum, dan segala yang membatalkan puasa secara jasadi sejak terbit matahari hingga waktu magrib. Inilah puasa yang paling umum dan dipahami oleh sebagian besar masyarakat terhadap makna puasa. 

Tetapi puasa awam ini tidak akan memunculkan efek-efek psikologis. Sebab, bagi saya, puasa harus punya dampak terhadap pribadi yang semakin meningkat kebaikannya, berdampak pada tingkat kepekaan sosial, dan juga tentu saja harus berdampak pada peningkatan daya spiritualitas kita. Maka, kita harus sudah mulai masuk ke dalam tingkatan puasa yang kedua. Yakni, khawas (khusus).

Bagi Imam Ghazali, salah satu kriteria orang-orang yang berpuasa dalam tingkatan yang kedua ini adalah mereka yang tidak hanya menahan lapar, dahaga, dan nafsu syahwatiyah saja, tetapi juga menjaga panca indera dari berbuat maksiat dan berlebih-lebihan, termasuk soal perilaku yang konsumtif. Tetapi yang kedua ini jarang sekali disosialisasikan di tengah-tengah masyarakat, sehingga banyak yang menganggap bahwa puasa hanya ritual formalistik belaka: yakni menahan haus dan lapar hingga bedug magrib. 

Sementara tingkatan puasa yang ketiga adalah fase yang sangat sulit. Lebih-lebih bagi saya sendiri. Inilah puasa khawasul khawas (paling khusus). Tingkatan puasa ini hanya bisa dijalani oleh orang-orang tertentu saja. Yakni puasa yang harus membuat pikiran kita tidak beralih dari Allah sama sekali, sehingga semua hal harus memikirkan Allah. Sedangkan perkara keduniaan tidak akan pernah terbersit sedikit pun dari orang yang mampu berpuasa pada tingkatan ini. 

Puasa yang pada tingkatan ketiga ini yang tidak bisa diikuti oleh banyak orang. Sehingga dampak dari puasa selama sebulan penuh kemarin, sama sekali tidak bisa tampak pada 11 bulan ke depan. Jadi, puasa kita (sebagian besar muslim Indonesia) tidak sama sekali memiliki dampak substansi atau inti dari ajaran agama itu sendiri: yang mengajarkan agar mampu menahan diri dari sifat keduniaan seperti konsumerisme. 

Lalu siapa yang bertanggung jawab terhadap persoalan masyarakat muslim yang hanya berpuasa sebatas ritual-formalistik, dan tidak mengindahkan substansi ajaran Islam soal puasa yang harus berdampak pada kemaslahatan kemanusiaan di 11 bulan setelah Ramadan? [Bersambung]

Wallahua'lam...

Sabtu, 23 Mei 2020

Sebuah Catatan: Kesan Ramadan di Rumah Aja (Mengakrabi Keluarga)


Keluarga. Foto ini diambil, jauh sebelum corona. 

Ramadan ini jelas sangat berbeda. Kita semua harus mengarantina diri sebagai upaya dari memutus penyebaran virus mematikan: corona. Kita seperti dipaksa harus diam di rumah, dipaksa pula agar mampu menjalani kehidupan yang disebut: new normal

Saya pun demikian. Selama Ramadan, sebulan penuh, saya selalu berbuka puasa di rumah. Hanya sekali saja saya buka puasa di luar, itu pun saya mengunjungi rumah Uwi di Bantargebang dan kemudian tarawih bersama keluarganya. Selebihnya, saya berbuka puasa di rumah. Walaupun beberapa kali, saya sahur di luar: di Posko Gusdurian Bekasi Raya, pada awal-awal Ramadan. 

Jujur saja, ibadah Ramadan selama pandemi ini, saya memiliki banyak waktu untuk benar-benar fokus beribadah. Saya yakin, anda juga merasakan hal yang sama. Selain punya waktu yang lebih banyak untuk beribadah, kita jadi lebih punya waktu juga untuk mengakrabi kembali keluarga. Ini yang saya rasakan. Kehangatan keluarga, tidak ada sama sekali tandingannya. 

Karena itu, selama sebulan ini, saya hampir tidak pernah ke mana-mana. Maka, sejak malam pertama Ramadan, saya dan keluarga menggelar salat tarawih berjamaah di rumah. Ini pengalaman pertama yang betul-betul sangat berharga. Kami memindahkan nuansa masjid/musala ke dalam rumah. Dalam gelaran salat tarawih itu, saya terkadang bertindak sebagai imam, makmum biasa, atau sebagai bilal. Tergantung kesepakatan saja.

Kalau ada Mas Nisfu, saya kadang 'pasrah' untuk menjadi imam salat isya sekaligus tarawih. Tetapi kadang juga, Mas Nisfu-lah yang mengalah untuk kemudian bersedia menjadi imam. Sementara bapak, kalau ada kami berdua, hanya fokus menjadi makmum. Kalau Mas Nisfu imam, saya yang memimpin wirid isya, bilal, memimpin doa kamilin sekaligus dzikir dan doa usai salat witir. Tetapi kalau saya yang menjadi imam, Mas Nisfu hanya bertindak sebagai pembaca doa dan bilal. 

Tetapi Mas Nisfu ini jarang di rumah karena kini menjabat sebagai Koordinator Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) Satria Biru, Semper Barat, Jakarta Utara, maka sering sekali hanya tinggal saya dan bapak yang bertanggung jawab atas berlangsungnya salat tarawih di rumah. Sementara makmum perempuan ada ibu dan kakak ipar saya, Mbak Niar.

Kalau Mas Nisfu tidak ada di rumah, kesepakatan saya dan bapak adalah: saya bertindak sebagai imam salat isya sekaligus memimpin wirid dan doa. Kemudian bapak yang menjadi imam salat tarawih dan saya menjadi bilal; memimpin doa kamilin; dzikir dan doa setelah salat witir. Oleh karena tanggung jawab inilah, saya tidak tega kalau harus berbuka puasa di luar. 

Namun perlu diketahui, meskipun secara kultur keislaman keluarga kami adalah Jamaah Nahdlatul Ulama, tetapi kami bersepakat untuk salat tarawih 8 rakaat ditambah witir 3 rakaat. Kenapa demikian?

Pertama, karena ini merupakan hasil kesepakatan keluarga. Kedua, saya menyadari betul dengan keadaan orangtua saya yang sudah beranjak sepuh yang pasti sudah berkurang tenaganya jika salat tarawih sebanyak 20 rakaat. Ketiga, kami sekeluarga pun menyadari bahwa salat tarawih adalah sunnah, sehingga tidak ada kewajiban mutlak untuk menjalani salat tarawih dengan rakaat tertentu.

Meskipun tarawih 8 ditambah 3 rakaat witir, saya tetap mengombinasikannya dengan bacaan bilal, dzikir, dan doa secara berjamaah. Jadi, untuk pembaca yang merupakan bagian dari fanatisme NU, tak perlu khawatir. Saya dan keluarga tetap bagian dari kelompok yang menghidupi kultur NU. Walau dalam hal tarawih, tidak sepenuhnya kami menjalani kultur NU. Tetapi kan, ada kaidah yang mengatakan: "Jika tidak didapati seluruhnya, jangan tinggalkan seluruhnya (yang mampu dikerjakan)."

Lalu pernah sekali, Mbak Nia (kakak perempuan tertua saya) bersama Mas Danang (suaminya), berbuka puasa di rumah. Sehingga rumah jadi sangat ramai. Ada 7 orang. Salat isya dan tarawih pun, jadi lebih asik. Pada kesempatan itu, saya 'mengalah' dari Mas Nisfu untuk menjadi imam isya sekaligus tarawih; dan memimpin wirid selepas isya, juga dzikir usai witir. Jadi posisi makmum adalah: Bapak, Mas Danang, Mas Nisfu, Mbak Nia, Mbak Niar, dan Ibu. 

Ada kejadian menarik, lucu, dan sangat menggelikan. Saya dan keluarga kalau ingat kejadian ini, pasti tertawa terkekeh-kekeh.

Jadi, bapak saya adalah orang yang terlahir dari keluarga pesantren yang sangat kuat nilai dan tradisi NU. Kakek saya dari bapak adalah seorang kiai kampung di Kebon Kosong, Kemayoran, Jakarta Pusat, sekaligus simpatisan partai politik berlambang kakbah. Maka, bapak saya ini, dalam kesehariannya, merupakan Jamaah NU yang fanatik. 

Bahkan menurut bapak saya itu, wajib hukumnya dalam salat tarawih membaca juz 'amma dimulai dari surat At-Takatsur pada rakaat pertama. Lalu diakhiri dengan salat witir yang membaca surat Al-Ikhlas, Al-Falaq, dan Annas. Sekali lagi menurut bapak saya, bacaan ini adalah wajib. Lantaran wajib untuk dibaca di salat tarawih, maka surat At-Takatsur hingga Annas, dilarang untuk dibaca di salat isya. 

Suatu ketika, Mas Nisfu menjadi imam isya (yang nanti sekaligus mengimami tarawih), sementara saya dan bapak menjadi makmum. Tapi dalam salat isya pada rakaat pertama, sesuai membaca surat Al-Fatihah, Mas Nisfu kemudian membaca surat At-Takatsur. Lalu, apa yang terjadi? Belum selesai At-Takatsur dibaca hingga tuntas, dalam salat yang hampir khusyuk, saya tetiba mendengar suara. 

"Ru, kok Mas Nisfu langsung tarawih sih?"

Awalnya saya cuek. Tapi kalimat ini berulang sampai tiga kali, hingga akhirnya saya yakin bahwa pemilik suara itu adalah bapak yang ada di sebelah kiri saya. Sesaat setelah sadar, saya langsung tertawa cekikikan dan membatalkan salat. Ini lucu menurut saya. Dalam keadaan masih salat, tangan masih sedakep di perut, kemudian bertanya soal salat yang sedang berlangsung. Hahahahahaha. 

Mas Nisfu semula juga belum sadar ada suara cekikikan. Ia masih fokus salat dan belum tahu bahwa dua makmum laki-lakinya, mungkin juga makmum perempuan, sudah batal salatnya. Mas Nisfu, usai membaca At-Takatsur, lalu rukuk. Dan apa yang terjadi? Bapak ikut rukuk! Ya Allaaaaah, ini benar-benar membuat saya tertawa sampai mengeluarkan air mata. Ini lucu sekali dan akhirnya Mas Nisfu pun membatalkan salatnya. 

Kami tertawa dulu sepuasnya. Bahkan ibu dan Mbak Niar pun terbahak-bahak. Kok bisa-bisanya bertanya saat salat sedang berlangsung? Kemudian ikut rukuk padahal salatnya sudah batal. Ini yang bikin saya hingga kini, masih suka tertawa cekikikan kalau ingat kejadian itu. Lucu sekali.

Kemudian salat dilanjut. Imam diganti. Bapak-lah yang menjadi imam. Tapi saya masih tidak kuat menahan tawa. Berkali-kali, tubuh saya bergetar, tertawa tanpa suara. Mas Nisfu yang sadar dengan yang saya lakukan itu, ia pun menahan tawa. Tubuhnya juga bergetar. Bahkan beberapa kali mengeluarkan suara desisan dari hidung. 

Saat bapak selesai membaca Al-Fatihah. Kami berdua, saya dan Mas Nisfu sebagai makmum, diam. Tidak mengucap Aamiin. Sebab, kami sadar, kalau bersuara, sudah pasti tawa kami akan pecah. Maka lebih baik diam saja, sembari menahan tertawa agar tidak bersuara sama sekali. Tapi, saya berusaha untuk konsentrasi. Di rakaat kedua, kami juga tidak mengamini bacaan Al-Fatihah bapak. Khawatir pecah. 

Di rakaat ketiga dan keempat, kami mulai tenang. Menarik nafas panjang berkali-kali, dan sudah mulai fokus kembali. Sampai akhirnya salam. Salat isya selesai. Lalu saya memimpin dzikir dan doa. Walau masih ada senyam-senyum menahan tawa, tapi tidak sampai pecah. Setelah dzikir dan doa bersama itu selesai, ada pertanyaan yang sangat menggelikan dari bapak.

"Tadi kok kenapa nggak ada yang Aamiin?" 

Pertanyaan itu sontak membuat kami kembali tertawa terbahak-bahak. Kami kembali tidak fokus. Tapi salat tarawih mesti dilanjut. Jangan sampai tidak. Walau kami menyadari bahwa salat tarawih adalah sunnah, tetapi kami tidak ingin ketinggalan untuk 'berebut' mendapat keutamaan dan ganjaran dari salat tarawih. 

Tarawih pun dilaksanakan. Kami menarik nafas panjang berkali-kali agar kembali fokus. Demikianlah saran ibu supaya tidak tertawa lagi. Bapak bertindak sebagai imam. Dalam suasana yang masih sangat lucu ini, saya dan Mas Nisfu masih saja menahan tawa dengan tanda-tanda tubuh bergetar dan keluar suara desisan dari hidung. Bahkan bacaan Al-Fatihah bapak pun, kembali tidak kami aminkan. 

Tapi sepertinya bapak tidak memasalahkan hal itu. Bacaan, oleh bapak, dilanjut ke surat At-Takatsur. Lancar sekali. Hingga pada ayat, tsumma latarowunnahaa 'ainal yaqiin, bapak tiba-tiba diam. Entah kenapa. Dalam diam itu, saya dan Mas Nisfu pun masih menahan tawa. Dan tiba-tiba, terdengar suara tawa yang pecah dari bapak. Salat kami pun batal. Padahal, kata saya ke bapak, tinggal satu ayat lagi. Kenapa kok malah tertawa? Bapak menjawab, karena tidak terdengar suara aaminn setelah bacaan Al-Fatihah. Kami, lagi-lagi, tertawa lepas dan terbahak-bahak sampai menangis. 

Singkatnya, kami tidak melanjutkan salat berjamaah. Melainkan salat sendiri-sendiri di kamar masing-masing. Keesokan harinya pun begitu. Salat sendiri. Tanpa berjamaah. Ini adalah resiko dari kesalahan kami yang tidak kuat menahan tawa. Sekaligus juga, ini membuktikan, bahwa iman kami masih tipis sekali. Mudah tergoda. 

Namun meskipun iman kami tipis, saya dan keluarga memiliki kehangatan yang bertambah tebal. Terlebih, bertambah hangat, saat menjalani Ramadan di tengah pandemi ini. Sungguh, Ramadan yang penuh dengan fenomena dan kebiasaan baru. Sangat mengesankan!

Semoga kita dipertemukan kembali dengan Ramadan tahun depan dalam keadaan yang lebih baik. Aamiin. Besok, insyaallah, kami menggelar Salat Idulfitri di rumah. Hal ini kami lakukan demi mematuhi aturan pemerintah dan anjuran para ulama. Bagaimana? Kami sudah menjadi warga negara yang baik dan umat Islam yang kaffah, kan?

Wallahua'lam...

Jumat, 22 Mei 2020

JUMATAN: Setahun Penuh Ramadan (Sebuah Renungan)


Ilustrasi. Sumber gambar: liputan6.com

Selamat Jumat. Semoga kita senantiasa dianugerahi kuat dan sehat. Hari ini adalah Jumat kelima, sekaligus yang terakhir di bulan Ramadan. Kita hanya tinggal menunggu keputusan sidang isbat yang digelar Kementerian Agama, apakah lebaran Idulfitri jatuh pada Ahad atau bahkan besok (Sabtu)? Kita patuhi saja pemerintah dan ulama dalam persoalan ini.

So, kini kita berada di pengujung Ramadan. Sudah 29 hari berpuasa; menahan ego, mengendalikan nafsu, dan meninggalkan segala perbuatan yang berpotensi membatalkan pahala puasa. Tapi ingat, puasa Ramadan ini hanya untuk umat Islam yang beriman, agar keimanannya itu meningkat sehingga berbuah pada ketakwaan. 

Ya, hanya orang-orang yang beriman saja yang mampu benar-benar berpuasa. Ibadah puasa ini merupakan ibadah khusus yang bersifat privasi. Tidak ada yang tahu apakah kita berpuasa, selain Allah dan diri kita sendiri. Maka, dari sekian banyak peribadahan di dalam Islam, hanya puasa di bulan Ramadan sajalah yang tidak bisa dimanfaatkan untuk ajang pencitraan. 

Saya teringat hadis Nabi Muhammad yang sangat sering disampaikan oleh para khutoba (penceramah) di masjid dan musala. Hadis itu adalah, "Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadan dengan penuh keimanan dan hanya berharap kepada ridho Allah semata, maka seluruh dosanya akan dihapus dan diampuni, bahkan dosa yang telah lama diperbuat sekalipun."

Jadi, atas dasar apa kita beribadah puasa selama satu bulan penuh? Apa pula yang kita harapkan dari ibadah puasa yang kita jalani itu? Kalau kita berpuasa lantaran benar-benar penuh-sungguh dengan teguh atas dasar keimanan dan hanya berharap Allah ridho kepada kita, maka tentu saja reward yang telah dijanjikan itu pasti akan kita dapati. Tetapi namanya saja reward, sudah pasti yang akan menerima adalah orang-orang pilihan saja, dan hanya beberapa saja. Tidak banyak. 

Lalu, apakah kita tahu siapa yang berhak mendapat reward berupa ampunan dari Allah itu? Ya wallahua'lam, hanya Allah yang tahu. Sebab puasa di bulan Ramadan ini, merupakan ibadah yang didedikasikan untuk Allah. Maka, hanya Allah sajalah yang tahu siapa yang akan diberi ganjaran kepada orang-orang beriman yang menjalani puasa dengan penuh-teguh berdasar keimanan. 

Dalam sebuah hadis qudsi, Allah berfirman: "Setiap amalan manusia adalah untuknya. Kecuali puasa. Sebab puasa hanyalah untuk-Ku dan Aku yang akan (berhak) memberikan ganjaran kepadanya secara langsung." 

Jadi seluruh peribadahan dalam Islam, Allah melalui Rasul-Nya pasti mengeluarkan pernyataan tentang jumlah ganjaran yang akan diberikan. Tetapi sangat berbeda dengan ibadah puasa ini. Berapa jumlah pahala yang akan diberikan oleh Allah kepada kita, tidak sama sekali dibocorkan. Paling-paling kita hanya diberitahu sebagaimana yang telah dijelaskan tadi: diampuni dosa-dosanya. Pengampunan dosa itu pun masih bersyarat; berpuasa dengan kesungguhan dan mengharap Allah ridho kepada kita. Selebihnya, kita tidak akan pernah tahu. 

Maka, dengan demikian, ibadah puasa di bulan Ramadan ini bukanlah ibadah yang sembarangan. Tidak semua orang bisa menjalani dengan baik, sekaligus juga tidak ada yang tahu, seorang pun, bagaimana kualitas ibadah puasanya. Hanya Allah yang berhak menilai dan memberikan ganjaran yang kita tidak akan pernah tahu. Bahkan, Rasulullah sendiri pun tidak tahu pahala ibadah puasa di bulan Ramadan. 

Hal itu diperkuat dengan hadis Nabi: "Seandainya umat manusia mengetahui pahala ibadah di bulan Ramadan, maka niscaya mereka akan meminta agar satu tahun penuh menjadi Ramadan." 

Pernyataan itu membuktikan bahwa pahala ibadah puasa di bulan Ramadan menjadi rahasia Allah. Kita tidak pernah tahu, termasuk juga Rasulullah. Hanya saja, kita diberi tahu bahwa amalan-amalan wajib di bulan Ramadan yang kita lakukan akan diganjar dengan pahala dua kali lipat. Sementara amalan-amalan sunnah akan diberi pahala sebagaimana pahala wajib. Itu saja. 

Maka, benar kata Rasulullah itu tadi. Jika kita tahu besarnya pahala di bulan Ramadan, kita tentu menginginkan setahun penuh adalah Ramadan. Tetapi sesungguhnya, saya memaknai hadis Rasulullah itu sebagai sebuah ungkapan yang sangat metafor. Sebab tidak mungkin, Ramadan akan diperpanjang hingga setahun penuh. Lagi pula, statement Rasulullah itu didahului oleh diksi: seandainya. 

Maka sesungguhnya, menurut saya, yang ingin disampaikan Rasulullah itu adalah agar kita mampu menghidupi 11 bulan setelah ini, dengan wewangian Ramadan. Tidak lantas menjadi liar, seperti kuda yang sudah lama dikurung dan kemudian dilepas tanpa kendali. Mungkin saja, kita seperti itu. Tetapi hal tersebut adalah ciri dari ketidakberhasilan dalam menjalani hari-hari selama Ramadan. Sekali lagi, yang berhak menilai adalah Allah. Tetapi kita hanya bisa mengetahui kisi-kisi, ciri-ciri, dan tanda-tandanya saja yang tidak tentu benar.

Lalu bagaimana cara agar kita mampu menjadikan setahun penuh adalah Ramadan? Bisakah demikian? Tentu saja bisa. Kita serap nilai-nilai Ramadan yang baik untuk menjadi warna dalam 11 bulan setelah ini. Saya teringat pesan para guru saya, bahwa Ramadan adalah ajang untuk latihan sebelum kita dilepas untuk berkompetisi di gelanggang yang lebih luas. Kalau kita bisa mempertahankan nilai-nilai Ramadan, maka sudah barang tentu kita-lah yang akan mendapat gelar takwa itu. 

Jadi, Surat Al-Baqarah ayat 183 soal gelar takwa itu, menurut saya, tidak serta merta diberikan oleh Allah dengan 'murah' dan apalagi cuma-cuma alias gratis. Hadiah takwa itu akan diberikan kepada kita sebagai sebuah proses panjang perjalanan pasca-Ramadan. Kalau berhasil dalam perjalanan setelah Ramadan, maka insyaallah, Allah akan menggelari kita sebagai orang yang bertakwa. 

Hati saya tersentuh menonton sebuah tayangan film pendek yang dibuat oleh islamidotco yang diunggah oleh akun instagram jaringangusdurian. Film pendek itu, dibuka dengan dialog seorang anak dengan sang ibu, yang sangat mengharukan. Dialog itu juga mengajarkan kepada kita untuk bisa menjadikan Ramadan hidup selama setahun penuh. 

"Bu, Ramadan itu apa sih, Bu?"
"Ramadan itu kalau kita menahan lapar dan haus. Juga kita tidak boleh marah kalau ada orang yang jahat dengan kita."
"Berarti kita Ramadan terus ya, Bu?"

Dialog singkat itu, bagi saya, sangat menyentuh sekali. Ditambah dengan latar suasana yang menggambarkan bahwa anak dan ibu itu adalah orang yang hidup di bawah garis kemiskinan. Tetapi juga sekaligus menjadi pelajaran kepada kita untuk bisa menanamkan nilai-nilai Ramadan, di luar Ramadan nanti. 

Salah satu nilai yang harus kita pertahankan itu adalah soal 'tidak boleh marah kalau ada orang yang jahat dengan kita'. Ini merupakan pelajaran yang telah kita dapati selama Ramadan kemarin. Yakni soal menahan ego, mengendalikan hawa nafsu, dan tidak mudah mengumbar amarah; lebih-lebih kebencian, apalagi merasa paling suci (sehingga berlaku semaunya) hanya karena memiliki nasab mulia.  

Ramadan adalah soal nilai. Tidak marah sekalipun dijahati oleh orang merupakan bagian dari ajaran agung yang terdapat di dalam Al-Quran. Mari, untuk bisa menjadikan Ramadan menjadi wangi selama 11 bulan ke depan, kita tadabburi Asy-Syuro (surat ke-42 dalam Al-Quran) ayat 40. Saya pernah menulisnya, beberapa tahun lalu. Sila dibaca: klik di sini.

Wallahua'lam...

Kamis, 21 Mei 2020

Yesus Kristus, Aktivis Kiri yang Menyatu dengan Rakyat


Ilustrasi. Sumber gambar: Website PGI

Hari ini adalah sebuah hari istimewa bagi saudara-saudara saya yang beragama Kristen, begitupun bagi saya. Istimewa sekali. Apa gerangan yang membuat istimewa itu? Jawabannya adalah karena hari ini adalah momentum peringatan Hari Kenaikan Yesus Kristus (atau yang dalam bahasa arab disebut Isa Al-Masih). 

Saya baru tahu, dari seorang pendeta yang saya tanya, hari kenaikan ini tepat 40 hari setelah hari kebangkitan. Hari kenaikan adalah momen di mana Yesus telah kembali ke sorga, ke tempat muasalnya. Lantas apa yang bisa kita petik dan pelajari dari perjalanan Yesus selama hidup di dunia?

Begini...

Yesus yang saya kenal adalah seorang aktivis gerakan sosial. Bahkan, saya berani mengatakan bahwa Yesus ini sangat 'kiri' sekali. Barangkali kalau Yesus hidup di Indonesia pada zaman ini, ia akan diteriaki oleh kebanyakan orang sebagai: antek komunis. Hahahahaha.

Ya, Yesus sangat 'kiri' sekali. Ia tampil dengan kesederhanaan. Menyatu dengan umat, rakyat, dan masyarakat. Ia tidak segan-segan menyeruak ke dalam sendi kehidupan manusia yang lain untuk menyampaikan kebenaran yang datangnya dari Tuhan. Tetapi meski ia adalah seorang utusan, ia tetap sederhana. Tidak ada benih kesombongan dan keangkuhan yang ditampilkan.

Oleh karena Yesus mampu menyatu dengan rakyat dengan tampilan sederhana itu, maka ia bukan hanya dikenal sebagai penggembala ulung. Tetapi juga orator yang sangat andal. Dalam komunikasinya, Yesus tidak pernah mengeluarkan bahasa rumit dan tinggi sebagaimana yang hanya dikuasai para rabi kala itu. Yesus tahu, bagaimana keadaan intelektual rakyatnya ketika itu, maka ia pun menurunkan kadar bahasanya; agar mudah dipahami dan pesan dapat tersampaikan dengan baik. Itulah keberhasilan sebuah komunikasi.

Yesus sangat berbeda sekali dengan aktivis mahasiswa saat ini yang gemar berdiskusi, tapi dengan bahasan akademis dan bahasa yang sangat sulit dimengerti oleh masyarakat awam. Yesus mampu menyampaikan gagasan cinta-kasih yang universal kepada masyarakat dengan bahasa-bahasa yang sangat sederhana. 

Cinta-kasih itu tak hanya sampai pada sebatas gagasan saja, tetapi Yesus telah berhasil mengaplikasikannya ke dalam kehidupan. Ia senantiasa bersikap ramah dan peduli kepada tetangga yang membutuhkan. Secara tidak langsung, Yesus paham betul bahwa perubahan harus dimulai dari lingkaran yang paling kecil.

Yesus tidak hanya melakukan muizoh hasanah (memberikan nasihat kebaikan), tetapi juga ia mampu melakukan uswatun hasanah (teladan kebaikan). Inilah metode dakwah yang harus ditiru oleh siapa saja, yang mendaku sedang berkepentingan membawa firman Tuhan. Jangan hanya banyak retorika, tapi juga wajib untuk memberikan teladan dari segala yang telah disampaikan.

Pada setiap laku dakwahnya, Yesus menekankan pentingnya sebuah moralitas. Ia telah mampu menjalani sebuah gerakan 'revolusi mental', jauh sebelum dicetuskan oleh Presiden Soekarno dan Presiden Jokowi. Dalam gerakan yang digagasnya itu, Yesus mampu melawan kejumudan zaman serta menjadi oposisi terhadap pemerintahan yang tengah berkuasa. Ini mirip sekali dengan aktivis yang sangat 'kiri'.

Yesus bersama keduabelas sahabat sekaligus muridnya, melawan penindasan yang telah dilakukan oleh feodalisme yang karakternya mirip dengan gaya kapitalisme. Ya, Yesus melawan kapitalisme lokal yang harus berhadapan dengan para Rabi Yahudi, juga harus melawan kapitalisme mental imperialis ala Romawi. 

Bentuk penindasan yang dilakukan oleh 'musuh' Yesus itu telah menyengsarakan rakyat selama beratus tahun, sejak kepemimpinan yang sangat adil: Raja Salomo atau Sulaiman. Mereka, para rakyat kecil, tertindas secara ekonomi, politik, dan dihancurkan pula kebudayaannya. Di saat yang bersamaan, para penguasa di sana ketika itu, mulai dari raja hingga pemuka agama, tidak pernah mengakomodasi kebutuhan rakyat kecil dan sangat senang memperkaya diri sendiri. 

Yesus datang untuk melawan semua kesewenang-wenangan yang selama beratus tahun sudah berjalan itu. Ia hadir untuk membangun tatanan sosial yang adil dan berkeadaban. Bahwa setiap manusia pada dasarnya adalah sama, menjadi mulia karena mampu memuliakan manusia lainnya. Yesus-lah sang revolusioner peradaban.

Sebenarnya sudah sejak bayi, Yesus menampakkan kelebihannya. Ia mampu berbicara dengan sangat lancar dan jelas untuk mengadvokasi tuduhan zina yang diarahkan kepada ibunya. Dalam bicaranya itu, si bayi Yesus tersebut juga berkhotbah soal pandangan monoteisme. Ia mengatakan bahwa yang membuat dirinya bisa berbicara adalah semata karena izin dan pertolongan Tuhan. 

Yesus ketika bayi, berbicara sangat menohok. Bahkan, ucapannya yang heroik itu diabadikan di dalam kitab suci. Ucapan bayi itu tentu saja sangat menyindir bentuk konsepsi mapan soal institusi kecil, yakni keluarga. Ia juga mengritik dominasi patriarki yang tumbuh subur di masyarakat, yang sudah berlangsung sejak zaman Namrud. 

Kurang lebih, bayi itu seperti ingin menegaskan bahwa Allah adalah sangat berkuasa. Bayi Yesus itu seolah mengatakan, "Memangnya Allah tidak bisa menciptakan manusia hanya dari seorang ibu saja? Ya suka-suka Allah, dong."

Bersambung...