Kamis, 28 Februari 2019

Menjadi Kader NU Militan, Bisakah?


Foto bersama dengan Menteri Hanif Dhakiri


Pada Jumat-Ahad, 22-24 Februari 2019 lalu, Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kota Bekasi untuk kali kedua mengadakan Madrasah Kader Nahdlatul Ulama (MKNU), masih di tempat yang sama, yakni Wisma Kemnaker RI, Ciloto, Cianjur, Jawa Barat.

Sebelumnya, saya pernah mengikuti kegiatan yang bertujuan menyelaraskan pemahaman tentang Islam Ahlussunnah wal Jamaah An-Nahdliyah ini pada sekira awal Agustus 2018. Maka sesungguhnya, saya ini sudah resmi --dan saya bangga-- disebut Kader NU Kota Bekasi.

Pekan lalu, MKNU diikuti oleh sekitar 150 peserta, bahkan lebih. Para peserta itu didominasi oleh pengurus Majelis Wakil Cabang (MWC) dan Pengurus Ranting (PR) NU se-Kota Bekasi, juga para kiai yang kelak akan mengurusi NU di tingkat cabang.

Sedangkan saya, datang tidak untuk menjadi peserta. Yakni hanya sebagai juru pencatat atau katakanlah jurnalis. Tak ada momen --kecuali saat saya tidur karena sudah tidak kuat menahan kantuk-- yang terlewat. Termasuk berbagai materi yang disajikan dari instruktur yang didatangkan dari PWNU Jawa Barat H Asep Saepudin Abdillah, Wasekjen PBNU H Ulil Abshar, dan Menteri Ketenagakerjaan RI M Hanif Dhakiri.

Saya menempatkan diri di pojok ruang, agak jauh dari peserta. Tujuannya, tentu saja agar bisa fokus mencatat poin-poin penting yang disampaikan pemateri. Sejurus kemudian, saya posting di website kebanggaan warga NU Bekasi. Perihal video dan foto-foto, saya tuangkan ke media sosial; facebook, instagram, dan twitter milik NU Bekasi.

Yang paling saya suka dari MKNU adalah egalitarianitas yang ditunjukkan selama kegiatan berlangsung. Meski secara sosial atau kedudukan di kehidupan, memiliki strata berbeda; tapi begitu dihadapkan pada persoalan menjadi NU yang kaffah, baik kiai, ustadz, atau pengurus biasa seperti saya ini, semua sama. Sama-sama belajar.

Menjadi NU memang tak semudah membaca surat yasin dan tahlil saban malam Jumat atau saat ziarah kubur. Tapi ada banyak sekali pengetahuan yang tentu akan membedakan status sebagai 'kader' dan 'warga'. 

Menteri Ketenagakerjaan RI, M Hanif Dhakiri, juga menjadi pemateri. Satu hal yang paling saya ingat, dia mengatakan bahwa NU kaffah itu adalah jika amaliyah, harakah, dan ghiroh sudah selaras dengan garis perjuangan sejak awal berdirinya Nahdlatul Ulama.

"Sejak zaman Rois Akbar Hadlratussyaikh KH Hasyim Asy'ari hingga Ketua Umum KH Said Aqil Siroj, NU tetap sama. Tidak sedikit pun berubah," kata Mas Hanif, begitu Caleg DPR RI Dapil Jawa Barat VI (Kota Depok - Kota Bekasi) ini akrab disapa.

NU akan senantiasa memainkan peran sesuai porsi, tidak berlebih dan juga tidak kurang. Sebagai contoh, misalnya, NU selalu bersikap kooperatif dengan penguasa, siapa pun pemimpin negeri ini. Maka sungguh, merekalah warga NU baru yang tak pernah ikut perkaderan jika mengatakan NU penjilat 'bokong' penguasa.

Ketika orde lama misalnya, ideologi komunis merangsek ke dalam tubuh pemerintahan, kemudian NU berperan dengan memasukkan ideologi agama ke dalamnya. Maka tercetuslah sebuah akronim; Nasakom (Nasionalis-Agamis-Komunis).

Tapi toh, para kiai pula yang ikut menumpas pemberontakan PKI ketika itu. Para kiai juga yang berdarah-darah memperjuangkan bangsa ini agar tidak terwarnai secara keseluruhan oleh paham komunis yang memang tidak sesuai dengan sosio-kultur masyarakat Indonesia.

Maka kemudian, NU memiliki siyasah atau strategi politik tersendiri. Yakni yang disebut sebagai politik kebangsaan; siyasah wathoniyah. Bukan siyasah sulthoniyah atau politik kekuasaan. Tugas NU bukan pada perebutan kekuasaan, tapi menjaga bangsa dari pendangkalan akal dan penindasan fisik. 

Namun demikian, kekuasaan tetap menjadi sesuatu yang mesti dicapai untuk mampu memberikan kemaslahatan kepada orang banyak. Ya, kekuasaan bagi NU bukan serupa senjata untuk melumpuhkan lawan dan mematikan gerak musuh, tapi bertujuan untuk melaksanakan tugas-tugas kenabian. Itulah kenapa kemudian ada konsep maqasid syari'ah.

Memelihara agama, jiwa, akal, harta, dan keturunan merupakan syarat mutlak yang harus dilakukan dalam rangka menegakkan syariat Islam di muka bumi. Nah, untuk mewujudkannya adalah dengan menduduki kekuasaan. Meski negara tak berhukum Islam, tapi jika kelima hal tersebut di atas mampu terpelihara, maka syariat sudah sangat jelas ditegakkan.

Ketua Umum PBNU, KH Said Aqil Siroj pernah mengatakan:
"Mencapai suatu kedudukan dengan niat tujuan yang baik dan cara yang baik serta benar, namanya himmah, bukan ambisius. Mencapai suatu kenikmatan dengan niat tujuan yang benar dan baik namanya 'azimah, bukan hubbusyahwah dan hubbudunya."

Oke, kita kembali ke MKNU.

Di tengah suasana hiruk-pikuk seperti akhir-akhir ini, NU yang kerapkali menjadi sasaran tembak bagi para pembencinya, dan politik identitas kian menguat, maka MKNU menjadi sangat berharga.

Betul, MKNU adalah sarana membentuk identitas baru. Tapi dalam sebuah organisasi, identitas itu sangat penting untuk menjadi acuan sejauh mana pengetahuan atau keilmuan seseorang yang terlibat di dalamnya.

Nah, kader NU inilah yang nantinya harus bertugas sebagai pemadam kebakaran. Memadamkan api permusuhan yang berkobar di mana-mana. Bukan justru ikut menjelek-jelekkan para kiai, dan bahkan pendahulu NU. 

Terakhir, saya ingin katakan bahwa percayalah bahwa karomah dan barokah itu nyata. NU bukan organisasi biasa karena terdapat energi positif yang mampu menggerakkan alam bawah sadar untuk tulus berkhidmat kepada masyarakat.

Jangan kemudian merasa paling berjasa dalam menjalankan organisasi NU. Sesungguhnya NU sudah besar dengan sendirinya tanpa dibesar-besarkan. Justru mereka yang merasa besar karena telah menghidupi NU, suatu saat nanti akan tersingkir dengan sendirinya.

Kini, kader NU pasca mengikuti MKNU punya tanggung jawab besar dalam mengemban amanah. Menjunjung tinggi martabat dan marwah para ulama, kewibawaan organisasi, serta harus tunduk-patuh pada agama dan negara.

Sebagaimana tema MKNU Angkatan Kedua Kota Bekasi itu, yakni 'Membentuk Kader Militan', itu berarti seorang kader wajib hukumnya memiliki jiwa militansi yang tinggi; kemauan dan tekad bulat untuk mengharumkan wewangian Aswaja An-Nahdliyah di daerah masing-masing, serta 'sendiko dawuh' terhadap titah dan petuah para ulama. 


Bagaimana? Bisakah kita menjadi kader NU yang militan? Wallahua'lam...


*Ditulis saat dalam perjalanan menuju Kota Banjar, di atas Kereta Api Luar Biasa Nahdlatul Ulama, 26 Februari 2019

Karomah Mbah Hasyim di Munas NU 2019


Muhammad Ammar di Munas-Konbes NU 2019

Ketua Pimpinan Cabang (PC) Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) Kota Jakarta Pusat, Muhammad Ammar, punya kisah menarik dalam perjalanannya menuju Pesantren Miftahul Huda Al-Azhar Citangkolo, Kota Banjar, untuk menghadiri Musyawarah Nasional (Munas) dan Konferensi Besar (Konbes) NU 2019.

"Awalnya sama sekali gak kepikiran bakal hadir di Munas NU. Kemudian malam Rabu, saya diajak teman untuk berangkat Rabu pagi," katanya, di sebuah warung kopi komplek Pesantren Miftahul Huda Al-Azhar Citangkolo, pada Rabu (27/2) malam.

Ia berangkat menggunakan kereta api dari Jakarta dan tiba di stasiun Banjar pada sore hari. Karena satu dan lain hal, Ammar memilih untuk berjalan kaki dari stasiun ke lokasi Munas-Konbes NU.

"Saya jalan kaki dan tahu kalau Pesantren Citangkolo itu jaraknya memang jauh, tapi ya berharap juga ada tumpangan gratis," kata Ammar seraya menahan tawa.

Sekira hampir seratus meter berjalan, ia kemudian bertawasul, mengirimkan surat Al-Fatihah untuk para pendiri NU, khususnya Hadlratussyaikh KH Hasyim Asy'ari.

"Dua kali saya juga sempat memberhentikan truk untuk menumpang sampai ke lokasi acara. Pertama tidak mau, dan mobil kedua ternyata ada sapi," jelasnya, disusul tawa pecah terbahak-bahak.

Namun, ia melanjutkan berkisah, tak lama setelah membaca surat Al-Fatihah untuk para pendiri NU, ada seorang polisi yang berjaga di simpang jalan dan menegur.

Ammar lantas memberanikan diri untuk bertanya, memastikan arah yang sedang dituju.

"Mau kemana, mas?"

"Ke Munas NU, pak. Masih jauh ya?"

"Wah jauh banget. Tadi ada teman saya yang barusan saja berangkat ke sana. Kalau tahu begini, bareng saja sama teman saya itu."

Usai berdialog, Ammar bersama teman-temannya diajak menunggu terlebih dulu di pos. Menanti berbagai kemungkinan terbaik, yakni ada tumpangan gratis ke lokasi Munas NU.

Tak lama kemudian, ada mobil yang diberhentikan polisi dan ditanya tujuan hendak ke mana. Pucuk dicinta ulam pun tiba. Ternyata pengendara mobil itu memang ada keperluan ke acara Munas NU. Di dalamnya hanya ada dua orang.

"Alhamdulillah dengan sangat ramah, yang punya mobil itu tidak keberatan untuk ditumpangi, dan akhirnya ada barengan juga ke sana. Barangkali ini karomah dari Mbah Hasyim," katanya, meyakinkan.

Merasa sedang menumpang, Ammar tidak enak hati saat sang supir bertegur sapa dengan salah seorang temannya untuk segera berhenti.

Namun supir itu menolak karena harus mengantarkan Ammar dan teman-temannya hingga tiba di lokasi tujuan.

"Ya sudah, Mas, kami turun di sini saja. Gak masalah cuma jalan sebentar aja kok," kata Ammar mengulang ucapannya yang semula ditujukan kepada pemilik kendaraan itu.

Ia pun turun di pinggir jalan yang tak jauh dari SMK Al-Azhar seraya berkali-kali menghaturkan terima kasih, dan melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki.

Ammar sangat bersyukur. Bahkan mensyukuri bahwa ada ulama yang sama sekali belum pernah bertatap muka tapi memancarkan energi positif bernama karomah untuknya.

"Sebagai warga NU, saya percaya karomah beliau (Mbah Hasyim) itu masih sangat terasa," pungkasnya dengan raut wajah serius dan kemudian menyeruput kopi yang ada di hadapan.

Minggu, 10 Februari 2019

Kiai dan Santri Menilai Puisi


Sumber gambar: hiburan.inilah.com

Sesaat setelah menonton pertunjukan pentas puisi, terjadilah dialog menarik antara seorang santri dengan kiainya yang juga dikenal sebagai budayawan kondang.

Santri: "Puisinya bagus ya, Kiai? Maknanya dalam. Sejuk sekali di telinga."

Kiai: "Hadza min fadli rabbi!"

Santri: "Tapi peserta terakhir kok beda ya, Kiai? Puisinya jelek. Maknanya dangkal. Bikin gaduh kuping."

Kiai: "Hadza min fadli zon!"

Santri pun manggut-manggut.

(Kang Subhan)

Jumat, 08 Februari 2019

Kisah Orang Madura Naik Unta di Arab


Sumber: risalahmuslim.id

Pemuda asal Sumenep, Madura, Jawa Timur, bernama Baedowi sedang melancong ke Arab. Sebagaimana orang Indonesia pada umumnya, ia juga ikut merasakan nikmatnya naik unta di padang pasir. 

Namun, unta di Arab tidak seperti unta di Indonesia yang ketika diperintah duduk, kemudian langsung duduk.

Saat Baedowi ingin menaiki unta, ia mengatakan: "Duduk! Sit... Sit.. Jongkok!"

Sayangnya, sang unta tetap berdiri. Tapi dengan sigap, pawang unta pun memberitahu.

"Bilang Assalamualaikum, baru untanya mau duduk," kata Dul Rohim, pria paruh baya asal Situbondo yang sudah sepuluh tahun bekerja sebagai pawang unta.

"Assalamualaikum," ucap Baedowi dengan mantap dan kemudian unta pun duduk. Ia lantas naik dan unta dengan seketika, kembali berdiri.

"Ayo, jalan. Jalan," kata Baedowi. Tapi memang dasar unta Arab yang tidak paham bahasa Indonesia, maka untanya pun tetap diam, sekalipun sudah dipukul-pukul punggungnya, masih tetap tak bergerak sedikit pun.

Kata Pak Dul, demikian pawang unta itu biasa disapa, "Bilang bismillah, nanti untanya pasti jalan".

"Bismillah," tegas Baedowi.

Unta jalan. Baedowi pun senang karena bisa jalan-jalan naik unta dengan sang pawang yang berjalan di sampingnya.

"Pak Dul, cara supaya unta ini bisa lari gimana ya?" tanya Baedowi.

"Bilang saja Alhamdulillah."

"Alhamdulillah."

Unta berlari. Baedowi sangat senang. Karena saking senangnya, ia ucap lagi, "Alhamdulillah".

Lari sang unta kian kencang. Sementara Pak Dul semakin ketinggalan.

Saat Baedowi sudah jauh, Pak Dul baru ingat, ia belum memberitahu cara bagaimana agar unta mau berhenti.

"Kalau mau berhenti, bilang saja innalillahi," kata Pak Dul berteriak dengan sangat keras.

Karena jauh, Baedowi tak mendengar sama sekali apa yang diucapkan Pak Dul. Unta terus berlari dengan kencang. Sampai akhirnya, Baedowi melihat di depan ada lubang yang sangat dalam.

Ia ketakutan dan mencoba menghentikan unta.

"Stop... Stop... Stoooooooooppp. Oooppppp. Oppppp!"

Namun unta tetap berlari, sedangkan lubang sudah terpampang jelas di hadapan mata. 

"Mati saya!" kata Baedowi, membatin.

Dalam kepanikannya, ia lantas berteriak sembari memejamkan mata. "Innalillahi...!"

Ciuuuutttt.... Unta akhirnya berhenti.

Saat membuka mata, Baedowi melihat dirinya berada persis di tepi lubang yang sangat dalam itu. 

Karena senang, bahagia, dan bersyukur ia tidak jadi mati, Baedowi lantas berteriak dengan sangat yakin.

"Alhamdulillaaaah."

Unta lari lagi, dan....

Tamat!!!

*****

(Cerita ini sudah banyak berkembang di media sosial. Saya hanya memperbarui gaya penulisan, termasuk tokoh yang ditampilkan agar lebih menarik)

Kamis, 07 Februari 2019

Lima Alasan Mendukung Jokowi - KH Ma'ruf Amin | Santri Nahdlatul Ulama




Sebagai santri Nahdlatul Ulama, tanpa disuruh atau diinstruksi, dengan sendirinya kami sudah pasti mendukung pasangan Bapak Haji Insinyur Joko Widodo dan Profesor Doktor Abah Kiai Haji Ma'ruf Amin. 

Setidaknya ada lima alasan dalam mendukung pasangan yang notabenenya adalah orang baik dan orang pilihan ini.

Berikut tayangannya:


Gadis (Bertepuk Sebelah Tangan)


Sumber: trenlis.co
Pagi ini, aku terbangun dengan dada yang sesak seperti menahan napas yang sulit keluar. Kaget. Degup jantung pun berdetak sangat cepat. Rasanya lelah sekali.

Aku ke kamar mandi, buang air sekaligus mengambil wudhu dari kucuran kran, bukan menggunakan gayung dengan air yang sedikit. Kemudian salat subuh yang sungguh pada waktu yang sangat telat. Tak apa lah, daripada tidak sama sekali.

Perlahan, sesak di dada mulai hilang. Detak jantung tak lagi berdegup kencang. Kuatur napas dengan sebaik mungkin, dan Allahuakbar. Kumulai salat, menghadap ilahi, mensyukuri nikmat karena masih diberi hidup.

Usai berzikir dan berdoa, kubuka media sosial. Sembari tidur-tiduran, mengisi libur dengan rasa malas, aku memilih foto yang cocok dan layak untuk diunggah ke akun media sosial; instagram.

Aku menemukan foto bersama Gadis di malam itu. Lalu terlintas di benak, rupanya Gadis hadir dalam mimpi semalam. Maka dengan semangat kuunggah foto bersamanya ke instagram. 

Tapi, aku tak menemukan username instagram milik Gadis. Pikirku, tak mengapa. Karena toh, yang terpenting adalah orang-orang tahu bahwa aku pernah foto bersama Gadis yang punya bibir tipis dan senyum yang manis ini.

Baca Juga: Gadis (Sebuah Pertemuan)

Kutulis caption menarik. Karena memang, tulisan-tulisanku tak pernah tidak menarik, semua pasti tertarik untuk membaca karya tulisku. Sombong? Ya tidak apa-apa, mumpung masih muda. 

Pepatah mengatakan, "Sombong tidak apa-apa asal tidak tawadhu."

Di caption fotoku bersama Gadis, ada banyak tagar yang kutulis. Hal itu untuk memudahkan orang lain mencari melalui tagar. Kesamaan visi atau pandangan seseorang juga bisa dibuktikan dari kesamaan tagar yang dibuatnya. Kira-kira seperti itu media sosial bekerja. 

Sekira beberapa jam setelah fotoku bersamanya terunggah, Gadis berkomentar.

Ya Tuhaaaan, betapa bahagianya aku. Ini namanya pucuk dicinta ulam pun tiba. Dicari-cari tidak ketemu, tapi giliran tidak dicari, dia datang dengan sendirinya.

Melihat dia berkomentar, aku langsung mengklik namanya dan masuk ke dalam profil instagramnya. Sayang, akunnya diprivate. Tapi aku tetap mengikuti, walau harus menunggu konfirmasi yang entah cepat, mungkin juga lama.

Tapi...

Di bio profil Gadis, ada username laki-laki. Aku penasaran dan kemudian, "Oh ternyata Gadis sudah punya pacar," begitu pikirku, singkat.

*****

Usai pertemuan malam itu dan berkenalan dengannya, aku pulang dan merebahkan tubuh yang lelah. Ternyata, Gadis hadir di mimpiku: kami bertemu dan dia bersama seorang laki-laki yang sama sekali tak kukenal.

Senyum bibir tipisnya yang manis itu, sembari menatap tajam, rasa-rasanya seperti ingin membunuhku dengan kesakithatian dan kecemburuan. 

Dan setelah aku tahu, Gadis sudah punya laki-laki idaman dan barangkali sudah lama juga mereka bersama, aku mundur. Tak mau memperjuangkan sesuatu yang tentu saja: sia-sia.

Setelah mengalami jatuh cinta pada pandangan pertama, barangkali ini pula yang disebut sebagai cinta bertepuk sebelah tangan.

Gadis...

Super Tawadhu ala KH Maimoen Zubair


Mbah Moen. Sumber foto: Akun instagram Gus Yusuf (yusuf_ch


Saat mengantarkan Syaikhona Dr Abdun Nashir al-Malibari sowan ke Sarang, ada (minimal) empat dawuh KH Maimoen Zubair yang sangat berkesan bagi saya. 

Empat dawuh itu menunjukkan begitu 'sundul langit'-nya ketawadhuan KH Maimoen Zubair. Empat dawuh keluar dari lisan mulia beliau dengan alami tanpa ada sedikitpun takalluf (paksaan):

طال عمري وقل عملي

"Umurku panjang tapi amal baikku sedikit."

Jika amal KH Maimoen Zubair yg telah menghabiskan umurnya untuk khidmah Islam dan Muslimin dianggap sedikit, lalu bagaimana dengan amal kami ini?

عمري فوق التسعين، ادع لي أن أموت على دين الإسلام

Kepada Syaikh Abdun Nashir al-Malibari beliau berkata: "Umurku sudah 90 tahun lebih. Tolong doakan agar saya meninggal dalam keadaan membawa agama Islam."

Bayangkan, ulama dan waliyyullah besar ini masih minta didoakan meninggal dengan membawa agama Islam. Padahal, amal kesalehan beliau untuk kemaslahatan umat Islam, khususnya muslimin Indonesia sudah tak terhingga.

Sungguh betapa tawadhunya beliau, seakan tidak menganggap amal baiknya hingga takut meninggal tidak membawa Islam.

 أنتم صاحب المؤلفات وأنا ما عندي تأليفات

Beliau juga berkata kepada Syaikh Abdun Nashir al-Malibari: "Anda penulis banyak kitab. Sedangkan saya tidak punya karangan apa-apa."

Padahal kita tahu Mbah Moen itu punya banyak kitab. Diantaranya adalah Tarajim Masyayikh Sarang, Maslak at-Tanassuk al-Makki, Ta'liqat 'ala Jauharatit Tauhid, dan Ta'liqat 'ala Bad'i al-Amali. Saking tawadhunya, seakan semua kitab itu tidak beliau anggap sebagai karangan ilmiah.

Syaikh Abdun Nashir al-Malibari pun berkata sambil menunjuk kitab Tarajim Masyayikh Sarang: "Lha ini, Kiai. Ini kan tulisan Panjenengan."

Mbah Moen menjawab:

إنما هي تراجم، وليس فيه علم

"Kitab ini hanya kumpulan biografi. Tidak ada ilmunya."

Semoga Allah selalu memberi Mbah Moen dan Syaikh Abdun Nashir kesehatan dzahir dan bathin. Dan semoga kita sebagai santri langsung atau santri dari santrinya KH Maimoen Zubair dapat meneladani akhlak mulia ini.

Ditulis oleh Kiai Nanal Ainal Fauz di Gedung PBNU Jakarta, Rabu 6 Februari 2019

Rabu, 06 Februari 2019

Perempuan Terlibat Terorisme karena Taat Mutlak pada Suami


Sumber gambar: wikiborneo.com

Ketika menikah dengan suaminya pada usia 16 tahun, “Humaira” membayangkan kehidupan rumah tangga yang normal dan bisa mengurangi beban finansial ibunya. Ia juga ingin segera meninggalkan kampungnya, karena para warga, menurutnya, tidak dapat menerima dirinya yang memilih memakai cadar.

Namun yang terjadi kemudian pada Humaira adalah “petualangan” dari satu daerah ke daerah lainnya, keluar masuk hutan, sebelum akhirnya ditangkap oleh polisi dan dipenjara.

Ia mengikuti suaminya, pelaku terorisme yang masuk ke dalam Daftar Pencarian Orang (DPO), dan rela berpisah dengan bayi perempuan semata wayang yang saat itu masih berusia delapan bulan.

Dari kampungnya di wilayah Indonesia timur, Humaira mengikuti suami ke belantara Sulawesi yang sangat lebat, sampai sinar matahari saja tidak bisa menembus pepohonan sehingga ia tidak bisa membedakan mana siang dan malam.

Humaira adalah salah satu dari beberapa istri teroris yang kisahnya diangkat dalam buku Perempuan dan Terorisme: Kisah Perempuan dalam Kejahatan Terorisme yang ditulis oleh Leebarty Taskarina, analis di Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).

Buku tersebut merupakan hasil dari tesis pascasarjana di Jurusan Kriminologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia.

Dalam penelitiannya, Leebarty melakukan wawancara secara mendalam terhadap para perempuan ini, dan ia menemukan bahwa mereka sering kali berada dalam posisi tidak berdaya dan tidak memiliki banyak pilihan selain patuh terhadap suaminya.

“Suami mereka selalu membawa dalil sami’na wa atho’na yang artinya aku mendengar maka aku taat,“ ujar Leebarty atau Barty pada peluncuran dan diskusi buku di Jakarta (12/1), dikutip dari magdalene.co.

Para suami tersebut, tambahnya, kerap kali berkata bahwa istri merupakan sekolah utama bagi anak-anak mereka yang nantinya akan meneruskan “perjuangan” ini.

Seperti pada kasus Humaira, “perjuangan” tersebut menghasilkan masalah ekonomi, psikologis, kesehatan,  bakan kesehatan reproduksi. Barty mengatakan, Humaira tidak diberi nafkah oleh suami dan menggantungkan hidup pada belas kasihan orang-orang yang menampungnya bersama sang anak.

Kemiskinan yang dihadapi Humaira kemudian mendorongnya menitipkan anak kepada saudara suaminya. Setelah itu, suaminya memerintahkan Humaira untuk ikut masuk ke dalam gerakan terorisme pada 2015.

Cendekiawan Islam Musdah Mulia menuturkan bahwa doktrin-doktrin pembodohan dan indoktrinasi patriarkal pada gerakan terorisme sangat merugikan perempuan.

“Seharusnya dalil ‘aku mendengar maka aku taat’ tidak bisa dimasukkan ke dalam konsep berkeluarga. Di dalam keluarga, baik istri maupun suami memiliki kedudukan yang setara dan wajib mengkritik dan mengingatkan satu sama lain. Jadi bukan ketaatan mutlak pada suami,” ujar Musdah, yang bekerja untuk Yayasan Indonesia Conference on Religion and Peace.

Ia mengatakan bahwa gerakan terorisme saat ini menargetkan perempuan untuk  menjadi bagian dari gerakan mereka karena perempuan dianggap lebih loyal. Selain itu, ujarnya, petugas keamanan tidak mudah curiga pada perempuan, apalagi yang membawa anak. 

AKBP Didik Novirahmanto, Kepala Satuan Tugas (Kasatgas) Foreigner Terrorist BNPT, mengatakan peran aktif perempuan dalam gerakan terorisme ini sangat diperhatikan oleh BNPT karena juga ada pergeseran peran perempuan.

“Dulu, perempuan memang hanya menjadi pendukung. Namun akhir-akhir ini, doktrinnya membuat perempuan juga berada di posisi strategis, seperti posisi perekrutan, dan merekrut sesama perempuan,” ujar Didik dalam diskusi.

Adanya upaya sistematis di dalam gerakan terorisme untuk merekrut perempuan, menurut Musdah, harus menjadi peringatan bagi perempuan untuk waspada.

“Kita perlu membekali literasi damai pada perempuan mengenai pentingnya melawan terorisme,” ujar Musdah.

Menurutnya, literasi damai ini harus diterapkan dalam beragama, terutama memilah-milah ajaran agama yang memuat paham-paham intoleransi. Ia menyarankan agar masyarakat tidak lagi menggunakan narasi yang dibuat oleh kelompok terorisme, seperti menyebut aktivitas mereka sebagai aksi jihad.

“Sekecil apa pun paham intoleransi tersebut, harus sangat diwaspadai, karena ini telah menjadi bibit kehancuran yang terjadi di Suriah saat ini,” ujar Musdah.

Didik mengatakan bahwa narasi-narasi damai juga seharusnya mulai disebarkan melalui  berbagai media sosial untuk melawan narasi yang digunakan oleh kelompok terorisme.

"Penelitian ini dapat membuka perspektif kita bahwa ternyata perempuan yang terlibat dalam aksi terorisme adalah korban. Perspektif baru ini dapat membantu memahami situasi dan kondisi mereka, dan membantu dalam proses deradikalisasi,” ujarnya.

(Elma Adisya)

Senin, 04 Februari 2019

Gadis (Sebuah Pertemuan)


Ilustrasi. Sumber: merdeka.com

Azan subuh menggema. Membangunkan kehidupan kota untuk kembali beraktivitas di awal pekan. Lafaz syahadat yang dikumandangkan muazin dengan suara khasnya, mengingatkanku pada sebuah pertemuan dengan sosok yang kusebut: Gadis.

Malam itu, sudah lama sekali sampai-sampai tak rinci aku mencoba menerawang ingatan.

Di ujung selatan kota, pertamakali parasnya terekam dalam benak. Matanya yang agak bulat, bibir tipis yang membuatnya manis, serta kerudung sederhana yang dikenakannya ketika itu, bagiku cukup untuk menghiasi keramaian. Senyumnya tak kalah indah dari langit yang bertebaran bintang.

Angin-angin bertiup kencang dengan teriring lantunan salawat para pecinta nabi, bersaut-sautan dengan bising klakson dan mesin kendaraan yang ramai melintasi jalan raya. Tubuhku dan orang-orang yang ada di sekitar tak sengaja tergerak mengikuti irama rebana yang mengiringi kisah perjalanan manusia suci.

Kalimat-kalimat tayyibah disenandungkan sebagai identitas dari keberimanan manusia di negeri ini. Orang-orang, pada malam itu, bersukacita memperingati penghulu alam raya yang diutus ke bumi untuk memperhalus budi dan mempertajam intelektual bagi peradaban.

Gadis itu berdiri tegap, sorot matanya tajam memperhatikan setiap orang yang melangkah di hadapannya. Meskipun begitu, senyum dari bibir tipisnya tak pernah lelah diberikan sebagai bagian dari ajaran kemanusiaan yang dibawa nabi.

Aku pun begitu. Juga tak luput dari pandangannya yang memukau. Bahagia, tentu saja. Ada perasaan bahagia bercampur bangga, bahkan sekaligus rasa penasaran yang berlebih untuk–setidaknya—mencari tahu identitas dirinya.

Dalam jarak sekira lima belas langkah dari tempatku berdiri, Gadis menjadi objek penglihatanku seraya meniadakan pandangan yang lain. Seperti syahadat, saat itu aku bersaksi bahwa tiada objek yang pantas dipandang selain paras manis miliknya. Barangkali, inilah yang disebut sebagai pandangan pertama. Takjub.  

Akan tetapi, berulang kali di dalam hati, aku mencoba menepis perasaan itu. Tapi semakin diupayakan agar rasa itu pergi, justru kian kuat rasa penasaran menggelora dalam dada. Karena itu, pandanganku sengaja kualihkan ke atas; ke langit yang sedang cerah-cerahnya.

Aku menyendiri, mensunyikan diri di dalam keramaian, memandang langit yang hening. Sembari membayangkan paras manis Gadis itu bergelayut manja di awan, beriring-iring dengan sekumpulan bintang yang melengkapi keindahannya

“Ah bodoh! Bukannya membuang justru malah membayang,” umpatku dalam hati.

Usai berdialog dengan diri, rupanya aku terkalahkan oleh bujuk rayu—entah siapa—untuk mendekat atau bahkan membincang walau hanya sekadar dua kadar. Aku beranjak, memutar arah sepasang sandalku ke depan dan memakainya, kemudian melangkah perlahan penuh ragu dan malu; mendekati Gadis.

Entah siapa yang lebih dulu, tangan kami berjabat, saling menggait satu sama lain. Masing-masing dari kami, secara bergantian, menyebut identitas diri yang paling fundamen; nama. Setelah itu, ada tekad dalam hati bahwa sekalipun sudah kutahu siapa biasa ia disapa, aku tetap menamainya Gadis

Tak lupa, kami berswafoto sebagai pengingat jika kelak di kemudian hari kembali bertemu. Senyumnya kini sudah abadi, baik di dalam ingatan atau pun pada gambar digital di gawai milikku

Sungguh, malam itu, bahagiaku membuncah. Gadis dan sebuah pertemuan di malam yang dianugerahi banyak berkah. Harapku, rajutan pertemuan akan senantiasa terangkai hingga batas waktu yang tak bisa ditentukan, kecuali jika semesta sudah berkehendak.

Gadis…