Ada yang unik saban Ramadhan datang. Dalil dan argumentasi keagamaan diulang-ulang setiap tahun. Seolah-olah umat pelupa. Disuguhi berbagai petuah yang itu-itu saja.
Lucunya, sebagian besar umat di musala dan masjid, baik di perkampungan maupun di perkotaan, manggut-manggut seakan mengerti. Sementara sebagian yang lain, selalu menebak tema ceramah para ustadz di atas mimbar. Tebakan itu pun selalu tepat.
"Dari tahun ke tahun, tema ceramah gak pernah ganti. Padahal kondisi masyarakat selalu berubah-ubah. Tapi, penceramah di mimbar-mimbar itu selalu membahas hal-hal yang sifatnya ngawang-ngawang (abstrak) Seperti puasa mendatangkan pahala, mendapat surga, bla-bla-bla," tulis Amat dalam status facebooknya, usai sahur tadi pagi.
Amat menyayangkan sikap para mubaligh yang seperti meninabobokan umat. Lebih-lebih, dia kecewa karena umat seperti dicekoki zat adiktif yang menenangkan sehingga tidak ada kritik yang bisa dilancarkan.
Begitu pikir Amat.
Lebih jauh, Amat pernah menyatakan bahwa Ramadhan sesungguhnya adalah ajang untuk mengubah diri menjadi seorang yang saleh, tetapi hanya musiman. Disebutnya, saleh tahunan. Mungkin, menurut Amat, karena suguhan adiksi yang menenangkan itu, sehingga umat menjadi giat beribadah di bulan Ramadhan. Rumah ibadah jadi ramai. Kitab suci dibuka. Setiap hari selalu menyisihkan uang untuk bersedekah. Silaturahmi jalan terus.
Mungkin semua itu karena pengaruh dari pemuka agama setempat. Masyarakat jadi mendadak saleh. Santunan anak yatim berjalan lancar. Hampir seluruh masyarakat Muslim Indonesia gandrung terhadap sesuatu yang sifatnya ritual-formalistik dan seremonial keagamaan. Lagi-lagi, kuat dugaan Amat bahwa ustadz, kiai, dan para tetua di kampung, berhasil mempengaruhi orang-orang awam. Akan tetapi, ada hal yang sangat disayangkan Amat.
Dia pernah mengomentari status Kiai Mudzakkar asal Rembang yang membahas terkait pahala dan keistimewaan Ramadhan.
"Pak kiai, alangkah lebih baiknya orang-orang seperti pak kiai ini nggak hanya berkoar mempedulikan masyarakat pada saat Ramadhan saja, tetapi juga terus-menerus melakukan pendampingan agar orang-orang di akar rumput nggak terjangkit virus saleh tahunan. Saya mohon kiai, komentar saya ini jangan dianggap hatespeech. Tolong dipertimbangkan, demi kemaslahatan umat."
Usai salat tarawih malam ketiga, Kiai Mudzakkar membuka layar smartphone-nya. Aplikasi facebook dibuka. Penuh notifikasi. Ada yang mengirim tulisan ke dindingnya, ada pula yang menyukai status yang baru diposting. Tak ketinggalan dan tak luput dari perhatian Kiai Mudzakkar adalah komentar Amat.
"Saleh Tahunan," kata itu yang membuat Kiai Mudzakkar berpikir. Berulangkali. Bahkan bertanya-tanya, "Benarkah selama ini, masyarakat Muslim Indonesia terjangkit virus saleh tahunan?" Kiai Mudzakkar termenung. Merenung. Apa yang salah dengan para pemuka agama sehingga tercetuslah istilah saleh tahunan?
Tak lama, dia tersadar.
Usai ngaji pasaran, pengasuh salah satu pondok pesantren di Rembang itu mengumpulkan seluruh santrinya untuk membincang 'saleh tahunan'. Di aula utama, baik santri laki-laki maupun santri perempuan dengan sangat saksama memperhatikan tokoh yang menjadi panutan mereka yang sedang berbicara. Sebagian ada manggut-manggut, tetapi ada juga yang bisik-bisik seperti membicarakan sesuatu terkait yang sedang dibicarakan. Sebagian lagi, tertidur sambil duduk. Sebab, waktu sudah tengah malam.
Apa hasil? Sepertinya, nihil.
Sebab, para santri masih disibukkan dengan berbagai kegiatan dan aktivitas yang membuat mereka enggan memperhatikan kehidupan masyarakat. Lagi pula, masyarakat di sekitar pondok pesantren pun seragam. Semuanya manut-manut saja apa kata kiai. Masyarakat setempat pun tidak saleh tahunan karena hidup di lingkungan yang sungguh-sungguh islami.
Sementara di lingkungan yang tidak berada dalam lingkaran keagamaan, penyakit saleh tahunan masih terjadi saban tahun. Namun, Amat tetap optimis bahwa sebelas bulan pasca-Ramadhan nanti, orang-orang di sekitarnya akan melanggengkan kesalehan, baik saleh secara ritual maupun saleh sosial.