Senin, 04 April 2022

Fenomena Saleh Tahunan


Ilustrasi. Sumber: NU Online


Ada yang unik saban Ramadhan datang. Dalil dan argumentasi keagamaan diulang-ulang setiap tahun. Seolah-olah umat pelupa. Disuguhi berbagai petuah yang itu-itu saja.


Lucunya, sebagian besar umat di musala dan masjid, baik di perkampungan maupun di perkotaan, manggut-manggut seakan mengerti. Sementara sebagian yang lain, selalu menebak tema ceramah para ustadz di atas mimbar. Tebakan itu pun selalu tepat.


Di hari kedua puasa, Amat mulai memperlihatkan kepongahannya. Melalui akun facebook milik pribadi, Amat menyinyir para ustadz yang setiap tahun seperti kaset kusut. Mengulang-ulang omongan yang sama. 


Amat selalu menempati shaf pertama saat salat Isya di musala dekat rumahnya. Tepat di belakang imam atau setidaknya rada ke kanan, berhadap-hadapan dengan mimbar. Dia gandrung soal agama. Kegigihannya mencari ilmu agama luar biasa. Sayangnya, dia enggan mondok. 


"Dari tahun ke tahun, tema ceramah gak pernah ganti. Padahal kondisi masyarakat selalu berubah-ubah. Tapi, penceramah di mimbar-mimbar itu selalu membahas hal-hal yang sifatnya ngawang-ngawang (abstrak) Seperti puasa mendatangkan pahala, mendapat surga, bla-bla-bla," tulis Amat dalam status facebooknya, usai sahur tadi pagi.


Amat menyayangkan sikap para mubaligh yang seperti meninabobokan umat. Lebih-lebih, dia kecewa karena umat seperti dicekoki zat adiktif yang menenangkan sehingga tidak ada kritik yang bisa dilancarkan.


Secara tidak langsung, para orator keagamaan di atas mimbar itu selalu menganggap umat sebagai objek yang pasif. Bahkan, dianggap sebagai bagian pelengkap saja. Parahnya, dianggap sebagai alat komoditas supaya ceramah-ceramahnya didengar dan para penceramah itu mendapat keuntungan.


Begitu pikir Amat.


Lebih jauh, Amat pernah menyatakan bahwa Ramadhan sesungguhnya adalah ajang untuk mengubah diri menjadi seorang yang saleh, tetapi hanya musiman. Disebutnya, saleh tahunan. Mungkin, menurut Amat, karena suguhan adiksi yang menenangkan itu, sehingga umat menjadi giat beribadah di bulan Ramadhan. Rumah ibadah jadi ramai. Kitab suci dibuka. Setiap hari selalu menyisihkan uang untuk bersedekah. Silaturahmi jalan terus. 


Mungkin semua itu karena pengaruh dari pemuka agama setempat. Masyarakat jadi mendadak saleh. Santunan anak yatim berjalan lancar. Hampir seluruh masyarakat Muslim Indonesia gandrung terhadap sesuatu yang sifatnya ritual-formalistik dan seremonial keagamaan. Lagi-lagi, kuat dugaan Amat bahwa ustadz, kiai, dan para tetua di kampung, berhasil mempengaruhi orang-orang awam. Akan tetapi, ada hal yang sangat disayangkan Amat.


Dia pernah mengomentari status Kiai Mudzakkar asal Rembang yang membahas terkait pahala dan keistimewaan Ramadhan.


"Pak kiai, alangkah lebih baiknya orang-orang seperti pak kiai ini nggak hanya berkoar mempedulikan masyarakat pada saat Ramadhan saja, tetapi juga terus-menerus melakukan pendampingan agar orang-orang di akar rumput nggak terjangkit virus saleh tahunan. Saya mohon kiai, komentar saya ini jangan dianggap hatespeech. Tolong dipertimbangkan, demi kemaslahatan umat."


Usai salat tarawih malam ketiga, Kiai Mudzakkar membuka layar smartphone-nya. Aplikasi facebook dibuka. Penuh notifikasi. Ada yang mengirim tulisan ke dindingnya, ada pula yang menyukai status yang baru diposting. Tak ketinggalan dan tak luput dari perhatian Kiai Mudzakkar adalah komentar Amat.


Spontan, ketika membaca komentar itu, Kiai Mudzakkar tersenyum. Dia bahagia melihat Amat yang sudah mulai peduli dan memperhatikan kehidupan masyarakat. Dia tidak membalas komentar Amat, tetapi hanya menyukai. Pertanda bahwa Kiai Mudzakkar memang setuju dengan pernyataan dan masukan dari Amat.


"Saleh Tahunan," kata itu yang membuat Kiai Mudzakkar berpikir. Berulangkali. Bahkan bertanya-tanya, "Benarkah selama ini, masyarakat Muslim Indonesia terjangkit virus saleh tahunan?" Kiai Mudzakkar termenung. Merenung. Apa yang salah dengan para pemuka agama sehingga tercetuslah istilah saleh tahunan?


Tak lama, dia tersadar.


Usai ngaji pasaran, pengasuh salah satu pondok pesantren di Rembang itu mengumpulkan seluruh santrinya untuk membincang 'saleh tahunan'. Di aula utama, baik santri laki-laki maupun santri perempuan dengan sangat saksama memperhatikan tokoh yang menjadi panutan mereka yang sedang berbicara. Sebagian ada manggut-manggut, tetapi ada juga yang bisik-bisik seperti membicarakan sesuatu terkait yang sedang dibicarakan. Sebagian lagi, tertidur sambil duduk. Sebab, waktu sudah tengah malam.


Apa hasil? Sepertinya, nihil. 


Sebab, para santri masih disibukkan dengan berbagai kegiatan dan aktivitas yang membuat mereka enggan memperhatikan kehidupan masyarakat. Lagi pula, masyarakat di sekitar pondok pesantren pun seragam. Semuanya manut-manut saja apa kata kiai. Masyarakat setempat pun tidak saleh tahunan karena hidup di lingkungan yang sungguh-sungguh islami.


Sementara di lingkungan yang tidak berada dalam lingkaran keagamaan, penyakit saleh tahunan masih terjadi saban tahun. Namun, Amat tetap optimis bahwa sebelas bulan pasca-Ramadhan nanti, orang-orang di sekitarnya akan melanggengkan kesalehan, baik saleh secara ritual maupun saleh sosial.


Kalau saleh tahunan masih saja berlangsung, maka ada hal yang mesti dikritisi dari cara penyampaian dan penjagaan yang dilakukan para pemuka agama terhadap umat.


Demikian, Amat berpikir.


Rabu, 26 Mei 2021

Kisah Guru dan Murid: Menutup Aib

 

Ilustrasi. Sumber: ideapres.com


Suatu ketika, sekelompok pemuda sedang menghadiri pesta pernikahan teman sejawatnya semasa duduk di masa putih-biru. Salah satu di antara mereka adalah Asep. Setibanya di lokasi, ia melihat Pak Solihin, seorang guru yang dulu pernah menjadi walikelasnya.

Lalu dengan sangat cekatan, karena dibalut rasa rindu yang menebal, Asep langsung menghampiri dan mengecup punggung tangan sang guru dengan penuh takzim (penghormatan) dan takrim (pemuliaan).

Usai mencium tangan gurunya itu, ia membuka percakapan seraya duduk di kursi kosong sebelahnya. "Masih ingat saya kan, pak guru?"

"Wah maaf, saya lupa."

"Masa sih bapak nggak ingat saya?" tanya Asep penuh heran.

Dia melanjutkan, memberi gambaran siapa dan bagaimana dirinya saat di sekolah dulu.

"Saya Asep, Pak. Murid yang dulu nyolong jam tangan punya teman di kelas."

"Ketika anak yang kehilangan jam itu menangis, bapak menyuruh kita untuk berdiri semua, karena akan dilakukan penggeledahan saku murid semuanya," lanjut Asep bercerita.

"Saat itu saya berpikir, saya akan dipermalukan di hadapan teman-teman dan para guru. Bahkan bakal jadi bahan ejekan dan hinaan. Mereka pasti akan melabeli saya sebagai pencuri. Harga diri saya pasti akan hancur selama hidup saya."

Pak Solihin  tetap dengan saksama menyimak cerita Asep sedari awal tadi, sembari berkali-kali menghisap rokok kretek kesukaannya. 

Asep melanjutkan uraiannya, "Bapak menyuruh kami berdiri menghadap tembok dan menutup mata kami semua. Kemudian bapak menggeledah kantong kami. Ketika tiba giliran saya, bapak ambil jam tangan itu dari kantong saya, dan bapak lanjutkan penggeledahan sampai murid terakhir."

"Setelah selesai, bapak menyuruh kami membuka penutup mata, dan kembali ke tempat duduk masing-masing. Saat itu, saya takut bapak akan mempermalukan saya di depan teman-teman saya. Tapi rupanya bapak tunjukkan jam tangan itu dan langsung bapak berikan kepada pemiliknya tanpa menyebutkan siapa yang mencuri."

"Selama saya belajar di sekolah itu, bapak tidak pernah bicara sepatah kata pun tentang kasus jam tangan itu. Bahkan, tidak ada satu orang pun guru atau murid yang bicara tentang pencurian jam tangan itu."

Setelah menjelaskan panjang-lebar, Asep mengajukan pertanyaan sekaligus pernyataan atas kekagumannya kepada Pak Solihin untuk meyakinkan ingatan bahwa dia-lah murid yang dulu pernah ditolong oleh sang guru. 

"Bapak masih ingat saya, kan? Saya adalah murid bapak. Kisah tadi itu adalah cerita pedih yang akan selalu saya ingat sepanjang hidup. Saya sangat mengagumi bapak. Sejak peristiwa itu saya berubah menjadi orang yang baik dan benar hingga sekarang saya jadi orang sukses. Saya juga mencontoh semua akhlak, sikap, dan perilaku bapak."

Guru yang dikagumi Asep itu pun akhirnya buka suara.

"Sungguh aku tidak mengingatmu, karena pada saat menggeledah itu aku sengaja menutup mata agar tidak mengenalimu. Aku tidak mau merasa kecewa atas perbuatan salah satu muridku. Aku sangat mencintai semua murid-muridku."

Pak Solihin menjelaskan kepada Asep bahwa saat ini sudah sama sekali tidak ada orang suci seperti para Nabi yang ma'shum atau terbebas dari dosa. Sebab yang ada sekarang hanyalah orang-orang yang aib atau keburukannya masih ditutup oleh Allah.

Ia lantas menyampaikan sebuah hadits Rasulullah yang diriwayatkan Imam At-Tirmizi. Disebutkan bahwa Allah akan menutup aib orang yang senantiasa menjaga aib orang selama di dunia. 

ومن ستر على مسلم في الدنيا ستر الله عليه في الدنيا والاخرة

"Barang siapa yang menutupi (aib) seorang muslim selama di dunia, Allah akan menutup (aibnya) di dunia dan akhirat."

Setelah mendengar penjelasan Pak Solihin, Asep berkali-kali terisak dan menyeka air mata. Asep merasa haru dan bangga pada keteladanan sang guru. Menurutnya, orang semacam Pak Solihin, saat ini sudah sangat sulit ditemukan.

"Terima kasih, Pak, saya dapat banyak pencerahan dari Bapak. Terima kasih juga karena sudah menutupi Aib saya."

"Iya sama-sama, Sep. Sana kamu makan dulu. Saya pamit pulang, ya. Salam buat teman-temanmu yang lain," kata Pak Solihin, seraya mematikan rokoknya yang sudah pendek dengan diinjak. Ia kemudian berdiri, menyalami Asep, dan berjalan ke luar arena pesta pernikahan. 

Selasa, 23 Maret 2021

Janji yang Terlupakan


Ilustrasi. Sumber: kalderanews.com


Kisah ini bermula ketika seorang pemuda, sebut saja Rohman, berbelanja di sebuah pasar tradisional di desa tempat tinggalnya. Baru selangkah turun dari motornya, Rohman dihampiri seorang pria paruh baya penjual pisang. 


"Pisang, Tong, matang di pohon," kata sang kakek menawarkan barang dagangannya kepada Rohman. 


"Saya belanja dulu ya, Kek. Nanti kalau sudah pulang, saya baru beli."


"Iya, Kakek tunggu ya."


Rohman lantas bergegas masuk ke dalam pasar dengan sedikit berjinjit. Semalam, hujan deras memang mengguyur desa sehingga pasar menjadi banyak genangan air keruh, becek. Kalau tidak hati-hati, celana panjang yang dikenakan Rohman bisa-bisa kotor karena kecipratan air keruh itu. 


Baginya, belanja di pasar segar memang jauh lebih nyaman tapi berbagai harga di sana pasti selangit. Karena itu, Rohman lebih memilih untuk belanja di pasar tradisional kebanggaan masyarakat desa, sekalipun harus rela melewati genangan air dengan sangat hati-hati. 


Usai membeli berbagai kebutuhan, Rohman pulang. Melewati banyak perkebunan dan persawahan yang mendominasi sepanjang perjalanan. Tetiba, ia melihat banyak pisang yang menguning tanda matang, tergantung di pohon pada sebuah kebun pisang yang dilewatinya. Detik itu pula, Rohman langsung ingat pada janjinya kepada sang kakek penjual pisang di pasar tadi. 


"Astaghfirullah," ucap Rohman seketika ia ingat kepada kakek itu.


Sebenarnya, ia ingin langsung putar balik. Namun, barang belanjaan berupa sayuran dan bahan lainnya sedang ditunggu sang ibu di rumah. Sebab, akan dilangsungkan pengajian bulanan majelis taklim di rumah, pada malam hari nanti. Karena itu, mau tidak mau, barang harus sudah tiba di rumah sesegera mungkin. 


Pikiran Rohman bercabang. Jika tidak segera kembali ke pasar, ia merasa bersalah kalau ternyata si kakek terus menanti. Sedangkan kalau benar pedagang pisang itu menunggu dalam waktu cukup lama, pasti akan bosan dan justru lebih memilih untuk pulang. 



"Nggak mungkin dia tunggu sampai pasar bubar," kata Rohman, membatin.


Bayangan kakek tua dengan kopiah miring dan kemeja putih agak lusuh terus menari di pikiran Rohman. Tiba-tiba, ia dikagetkan dengan bunyi suara klakson sangat nyaring. 


"Mas, jangan melamun dong. Bikin celaka aja!" kata seorang pengendara motor di belakang, yang terhalang Rohman karena mengurangi kecepatan motornya.  


Saat terkejut, gas ditarik sehingga motor Rohman melaju dengan sangat cepat. Sampai-sampai ia hampir saja menabrak seseorang yang sedang menyeberang. Rohman kaget bukan main. 


Tapi akhirnya, Rohman tiba di rumah. Sang ibu yang menanti di halaman turut membantu menurunkan barang belanjaan seraya memeriksa karena khawatir ada satu item yang luput dibelanjakan. 


"Loh kok kamu nggak beli pisang, Man? Kan pisang itu nanti kita masukkan ke dalam kotak nasi?" tanya sang ibu.


Mendengar itu, bayang-bayang wajah kakek tua sangat jelas tampak di pikiran Rohman. Ia beranggapan, sang kakek pasti masih menanti kedatangan Rohman untuk membeli pisang dalam jumlah yang banyak.


"Aku lupa, Bu. Memang pisang juga perlu ya?" tanya Rohman. 


Ibu hanya mengangguk seraya meninggalkan Rohman, membawa barang belanjaan ke dalam rumah. Rohman pun turut masuk ke rumah meneguk segelas air untuk menenangkan diri.


Lalu ia langsung keluar. Kembali memacu motor dengan kecepatan tinggi. Terik matahari yang muncul setelah sebelumnya mendung, tidak sama sekali dihiraukan. Di pikiran Rohman hanya ada bayang kakek dengan kayu di pundaknya. 


Tiba di pasar, Rohman melihat sang kakek masih setia menantinya di tempat yang sama. Ia merasa pilu. Batinnya berkata, "Bagaimana kalau aku tidak kembali? Ya Allah itu si kakek masih saja duduk menungguku dengan beberapa sisir pisang uli dan raja."


"Kek, pisangnya masukin semua (20 sisir) ke kantung ini ya," kata Rohman sembari berjongkok dan membuka kantung tas. Ia rentangkan kantung itu dan turut memasukkan pisang, membantu sang kakek. 


"Jangan, Tong, jangan diborong semua. Tadi saya sudah janji sama pemuda yang sudah lebih dulu pesan pisang ini. Nanti dia kecewa. Tadi juga banyak yang mau beli, tapi nggak saya kasih karena sudah janji dengan pemuda itu," kata kakek dengan intonasi suara yang menunjukkan bahwa dirinya sudah lunglai. 


Tak terasa, Rohman meneteskan air mata dari balik kacamata yang dikenakannya. Ia kemudian melepas masker dan helm. 


"Kek, maafkan saya, sudah bikin kakek menunggu. Kakek belum makan ya karena nungguin saya?"


Dilihatnyalah Rohman dengan saksama, dari kaki hingga kepala. Sang kakek merasa heran bahwa ternyata pemuda ini yang tadi berjanji ingin membeli pisang tapi lama tidak kembali, sehingga membuatnya menunggu. 


"Maaf, tadi saya pulang dulu, Kek," kata Rohman lagi. 


Rohman tidak mengatakan kalau sebenarnya ia lupa untuk kembali. Namun setelah membayar harga pisang, ia menyelipkan satu lembaran seratus ribu rupiah ke saku baju sang kakek. 


"Jangan, Tong, kan pisang kakek sudah diborong. Bayar saja sesuai harga," kata kakek, menolak seraya tangannya menahan tangan Rohman. Namun, Rohman tetap meninggalkan uang itu ke saku sang kakek. Akhirnya, uang itu diterima juga. Hati Rohman pun lega. 


Saat melangkah ke motor sambil membawa borongan pisang yang sangat banyak itu, terlintas di benak Rohman tentang hadits Rasulullah yang menyatakan bahwa ciri-ciri orang munafik ada tiga. Salah satu dari ketiga ciri orang munafik itu adalah jika berjanji tidak ditepati. 


"Karena bisa jadi, orang yang kita janjikan bakal betul-betul berharap," ujar Rohman dalam hati, kemudian ia menyalakan motor dan segera melaju, kembali ke rumah. 

Kamis, 10 Desember 2020

Gara-gara Humor, Gus Dur Masyhur di Negeri Abu Nawas


Sumber gambar: NU Online


Presiden Republik Indonesia keempat, KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur merupakan sosok yang sangat dikenal dengan kelakar-kelakarnya. Dengan humor, ia dapat mengritik berbagai macam kebijakan pemerintah yang tidak berorientasi pada keadilan. 


Bahkan dalam sebuah kutipan yang sangat populer, Gus Dur pernah menyatakan bahwa perdamaian tanpa keadilan adalah ilusi. Melalui humor pula, Gus Dur dikenal dengan sosok yang cerdik dalam berbagai situasi dan kondisi.  


Gara-gara humor pun, Gus Dur sangat dikenal di Negeri seorang sufi cerdik bernama Abu Nawas. Saat ia berkuliah di Universitas Baghdad, Irak dan menjadi mahasiswa di sana, Gus Dur pernah mengeluarkan anekdot soal anjing dan kepala ikan.


Alkisah, Gus Dur bersama sepuluh temannya yang berasal dari Indonesia, Gus Dur menyewa sebuah rumah besar. Untuk menghemat waktu, mereka juga bergiliran memasak.


Ketika tiba giliran Gus Dur untuk memasak, menu yang disajikan selalu istimewa berupa jerohan yang terdiri dari ati ampela, paru, dan lainnya yang memang biasa dimakan di Indonesia. Namun ternyata makanan itu tidak biasa dikonsumsi oleh orang Irak. 


Teman-temannya menikmati saja apa yang disajikan Gus Dur dan tidak menanyakan bagaimana strategi mendapatkan makanan enak dan murah itu.


Suatu ketika aka nada rombongan tamu dari Indonesia. Untuk menyambutnya, para mahasiswa itu berencana membuat masakan istimewa dengan makanan seperti yang dibuat oleh Gus Dur. Maka pergilah salah seorang mahasiswa ke penjual daging untuk membeli jerohan-jerohan itu.


“Pak minta jerohan 10 biji,” kata salah seorang mahasiswa itu kepada pedagang.


“Oh ya, mana temanmu itu yang biasa minta daging-daging jerohan ini untuk makanan sepuluh ekor anjingnya?” tanya pedagang tersebut, menanyakan Gus Dur. 


“Hah?” mahasiswa itu kaget bukan kepalang bak disambar petir karena tak mengira bahwa Gus Dur akan memperlakukan teman-temannya sama dengan anjing untuk mendapatkan makanan itu secara cuma-cuma alias gratis.


Ia pun langsung buru-buru pulang dengan hati penuh amarah karena tak terima diperlakukan sama dengan anjing. Ia langsung dan tak segan-segan memarahi Gus Dur.


Dikutip dari Jurnal Kebudayaan dan Demokrasi Pesantren Ciganjur (2010), kelakar Gus Dur tersebut sangat memiliki kesan mendalam bagi Duta Besar Irak untuk Indonesia kala itu, Ismail Shaafiq Muhsin.


Bahkan humor Kepala Ikan dan Sepuluh Anjing itu, menjadikan Gus Dur sangat terkenal di Irak. Menurut Ismail, kini cerita tersebut menjadi kisah yang banyak diceritakan dan menjadi anekdot di mana-mana di Kota Baghdad. 


“Di Baghdad, memelihara satu ekor anjing saja adalah sebuah kerepotan tersendiri. Lalu bagaimana ada seorang mahasiswa asing (Gus Dur, maksudnya) bisa memelihara sepuluh ekor anjing? Karena itulah seorang pemilik warung bersimpati kepada Gus Dur yang ingin membeli ikan sehingga dengan senang hati dia memberikan kepala ikan secara gratis kepada Gus Dur secara berkala,” katanya.


Jumat, 04 Desember 2020

Humor Gus Dur: Salib di Sirip Ikan

 

Sumber gambar: NU Online

Ada-ada saja. Barangkali begitu celetuk kita saat mendengar atau mengetahui celotehan Gus Dur yang natural tapi bisa bikin perut sakit karena kekocakannya. Ya, Gus Dur bisa menyajikan perkara sulit menjadi mudah, dengan humor. 


Bahkan terkadang, humor-humor Gus Dur yang dilempar itu bernuansa 'dark joke' tapi tetap saja lucu. Orang-orang pasti memahami Gus Dur sehingga tidak akan marah. Sekalipun marah, Gus Dur pasti akan menanggapinya dengan santai. Gitu aja kok repot!


Menjelang Natal seperti sekarang ini, ditambah Desember juga adalah disebut sebagai Bulan Gus Dur, saya jadi teringat sosoknya. Tentu saja dengan humor-humornya yang segar dan menyegarkan. 


Jadi begini...


Suatu ketika, Kang Maman Imanulhaq berbincang dengan Gus Dur di masjid samping rumahnya, Al-Munawwaroh Ciganjur, Jakarta Selatan. Hari sudah larut. Gus Dur terdiam dan enggan beranjak dari tempat duduknya.

 

Kali ini Kang Maman yang berusaha melontarkan joke atau humor yang biasa melekat pada diri Gus Dur, namun saat itu Gus Dur masih saja terdiam.


Kang Maman mengungkap beberapa fenomena aneh yang kerap muncul di negeri ini. Misalnya, dulu ramai batu ajaib yang dipegang bocah Ponari di Jombang, Jawa Timur.

 

Selain itu, di Cirebon, Jawa Barat juga heboh karena ada simbol menyerupai ‘salib’ di beberapa sirip ikan hias. Namun ternyata sebelumnya, para kiai sudah mendatangi Gus Dur dan menanyakan soal fenomena itu.

 

Saat itu Gus Dur hanya berbicara singkat.


"Kiai jangan heran. Itu nggak aneh," kata Gus Dur. Para kiai dibikin penasaran tentang perkataan lanjutan Gus Dur.


“Kalau ada ‘salib’ di sirip ikan mas, ya wajar toh,” lanjut Gus Dur.

 

“Wajar bagaimana, Gus?” tanya salah seorang kiai muda coba menimpali Gus Dur.

 

“Lah wong Mbah-nya ikan-ikan itu kan PAUS,” kata Gus Dur singkat disambut geerrr para kiai yang terpingkal-pingkal.

Senin, 30 November 2020

Humor Gus Dur: Kabur karena Takut Ketahuan

 

Ilustrasi. Sumber gambar: klikdokter.com


KH Abdurrahman Wahid memang benar-benar cerdik sekaligus lucu. Seperti kita tahu, Gus Dur pernah nyantri di Pondok Pesantren Tegalrejo, Magelang asuhan KH Chudlori.


Sebagaimana kebiasaan para kiai pada umumnya, saat dini hari tiba Kiai Chudlori selalu bangun untuk mendirikan qiyamul-lail atau shalat malam. 


Gus Dur, sebagai santri, tentu saja mengetahui dan bahkan mengamati kebiasaan Kiai Chudlori. Suatu ketika, terlintas di benak Gus Dur untuk mengambil ikan di kolam milik kiai saat dini hari. Ia lantas mengajak teman-teman sekamarnya untuk menuntaskan keinginan makan ikan.


Ketika temannya sedang asik menyerok ikan, Gus Dur tak ikut serta. Alasannya, ia bertugas untuk mengawasi situasi di sekitar kolam. Benar saja, Kiai Chudlori melintas di dekat kolam. Seketika itu pula Gus Dur memberi kode agar teman-temannya kabur. 


Sementara itu, Gus Dur berdiri di pinggir kolam dengan memegang ikan hasil curian. Saat berpapasan dengan Kiai Chudlori, Gus Dur bertutur, "Tadi ikan milik Kiai dicuri."


"Mana pencurinya?" tanya Kiai.


"Kabur Kiai, Alhamdulillah saya mengusirnya dan hasil curiannya saya selamatkan," kata Gus Dur dengan percaya diri sembari memperlihatkan ikan yang ada di tangannya.


Sang Kiai mengangguk-angguk saat mendengar penjelasan tersebut. Atas jasa Gus Dur, Kiai Chudlori berkenan untuk memberikannya ikan tersebut kepada Gus Dur sekaligus dimasak bersama teman-teman santri yang lain. 


Setelah tahu cerita di balik ikan yang akhirnya digoreng, teman-teman Gus Dur yang kabur saat mencuri ikan itu kesal karena Gus Dur seolah melakukan pencitraan di hadapan kiai. 


Gus Dur dengan santai menjawab, "Wong awakmu melu mangan iwakke. Iwakke kan saiki wis halal wong wis entuk izin soko kiai (Kamu juga ikut makan ikannya. Ikannya juga sudah halal karena dapat izin dari Kiai)."


Ada-ada saja akal bulus Gus Dur.


*Diadaptasi dari buku Humor Para Kiai: Menebar Tawa Menuai Hikmah karya Chalis Anwar (2019)

Sabtu, 07 November 2020

Kenapa Kiai NU Lucu? Ini Jawabannya...

 

Ilustrasi. Sumber gambar: islamidotco



Beberapa hari lalu, saya sebagai unsur Pemuda Lintas Agama turut hadir dalam agenda Penyusunan Kebijakan Teknis Inovasi Pembudayaan Ideologi Pancasila, Direktorat Pembudayaan, Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), di The 101 Hotel Suryakancana, Kota Bogor.


Dalam forum terbatas itu, hadir pula Budayawan Nahdlatul Ulama (NU) Zastrouw Al-Ngatawi yang merupakan Ketua Tim Penyusunan Kebijakan Teknis Inovasi Pembudayaan Ideologi Pancasila. Di dalam forum, Mas Zastrouw benar-benar serius mengeluarkan gagasan tentang bagaimana Ideologi Pancasila harus benar-benar dibudayakan, utamanya ke anak-anak muda yang memiliki keterbatasan dalam membaca sejarah.


Itu di dalam forum. Berbeda ketika di luar forum alias pada diskusi informal. Sembari menghisap rokok, mencicipi kopi, serta merasakan hawa dingin Bogor, Mas Zastrouw bercerita soal penyederhanaan gagasan yang kerap dilakukan kiai-kiai NU. Penyederhanaan itu dilakukan para kiai melalui metode humor.


Misalnya saja, Mas Zastrouw bercerita soal salah seorang kiai NU (saya lupa nama kiai yang disebut Mas Zastrouw) yang ceramah dan bercerita soal peristiwa hijrah Nabi Muhammad. Dalam kesempatan itu, kiai yang disebutkan oleh Mas Zastrouw sangat interaktif dengan audiens. 


Sang kiai bertanya kepada hadirin, "Bapak-bapak, ibu-ibu, dan hadirin semua, Nabi itu pernah hijrah dalam upaya menyebarkan dakwah Islamiyah. Bapak-ibu tahu kan?"


"Tahuuuuu," sahut hadirin. 


"Kalau tahu, dari mana dan ke mana Nabi Hijrah?"


Pertanyaan tersebut tidak langsung dijawab oleh hadirin. Ini menandakan bahwa masyarakat harus "dituntun" untuk mengetahui segala hal. Oleh karena itu, perlu penyederhanaan gagasan agar dapat dengan mudah diterima. 


"Baik akan saya jelaskan," kata kiai.


Kiai tersebut kembali menjelaskan dengan pertanyaan, "Nabi Muhammad itu hijrah dari Makkah ke Madiiii...."

"Uuuunn," sahut hadirin serempak. 


Saya pun terkekeh-kekeh mendengar cerita itu langsung dari Mas Zastrouw.


Kemudian, ia pun melanjutkan ceritanya. Kali ini, yang menjadi bahan cerita humornya adalah Gus Dur. Kita semua tahu, Gus Dur adalah seorang kiai yang kaya akan humor. Bahkan, dalam menyampaikan segala sesuatu yang sangat serius sekalipun, Gus Dur bisa membawakannya dengan humor dan tentu saja mengajak hadirin untuk berinteraksi. 


Dalam ceramahnya di hadapan masyarakat Madura, Gus Dur menjelaskan enam agama yang ada di Indonesia. Sembari menjelaskan, Gus Dur bertanya kepada hadirin. Beginilah gaya kiai NU dalam ceramah yakni berinteraksi langsung dengan hadirin; tidak satu arah yang sangat menjenuhkan. 


Gus Dur bertanya, "Agama pertama itu agama Is…?"

"Laaaam," jawab hadirin kompak.


"Kemudian agama kedua, Kris?"

"Teeeeen…."


"Ya, benar. Ada Katolik dan Protestan."


"Kemudian keempat, agama Bu?"

"Dhaa....."


"Lalu, kelima ada agama Hin?"

"Duu......"


"Nah, yang terakhir adalah agama KONG?"

Dijawab serempak, "GUAAN..!"


Mendengar cerita Gus Dur yang disampaikan Mas Zastrouw itu, saya kembali terpingkal-pingkal. Kocak, Kong Hucu kok malah jadi Kong Guan? Hahahahahahaha.


Lalu saya bertanya ke Mas Zastrouw, kenapa sih kiai NU itu punya khas kalau ceramah itu dengan humor alias lucu? Jawabannya sangat sederhana sekali.


"Ya karena kiai NU sudah tahu bagaimana psikologis masyarakat. Mereka itu sudah pusing dengan kehidupannya, maka jangan ditambah pusing dengan materi keagamaan yang dibawakan. Kiai NU tahu bagaimana caranya agar agama itu bisa dianut dengan enak, bukan beragama dengan seenaknya," jelas Mas Zastrouw. 


Saya pun manggut-manggut. Paham. Kemudian teringat pesan Nabi, Khatibunnasi 'ala qadri uqulihim. Artinya, bicaralah kamu (komunikator/kiai) sesuai dengan akal atau pikiran mereka (komunikan/masyarakat).

Jumat, 23 Oktober 2020

Cara Pukul Mundur Polisi Represif saat Demonstrasi

 

theconversation.com
Polisi represif. Sumber: theconversation.com



Akhir-akhir ini, situasi nasional sedang gawat-darurat. Biang kegaduhannya tentu saja DPR dan Pemerintah yang pada awal Oktober lalu mengesahkan rancangan undang-undang yang bermasalah.


Semula, jadwal pengesahan pada 8 Oktober 2020. Tapi ternyata, tanpa pemberitahuan sebelumnya, tiba-tiba acara Rapat Paripurna dimajukan menjadi 5 Oktober 2020. Rakyat dikecoh. Maka sudah barang tentu, wakil rakyat dan pejabat pemerintah itulah biang kegaduhan negeri ini.


Setelah rapat, gedung DPR dikosongkan karena alasan akan ada jadwal reses hingga November. Padahal, bisa jadi, mereka takut didemo oleh rakyat yang sekarang sudah tak merasa diwakili. Barangkali, di Pemilihan Legislatif berikutnya, banyak yang Golput. 


Akhirnya, demonstrasi besar-besaran terjadi di mana-mana. Polisi, atas nama menjalankan tugas, bersikap represif dan korban pun berjatuhan. Di sisi lain, rakyat yang merasa punya hak bersuara, tidak terima dipukuli dan ditembaki gas air mata oleh polisi. 


Entah salah siapa.


Beberapa waktu lalu, saya ngopi-ngopi bersama salah seorang aktivis yang ikut menolak UU Cipta Kerja. Dia mengaku menyaksikan sendiri betapa polisi sangat represif karena didukung dengan fasilitas negara yang memadai. Sementara rakyat, hanya bermodalkan tangan kosong.


Dengan modal sikap skeptis sebagai jurnalis, saya bertanya-tanya soal berbagai kejadian yang menimpa dirinya selama aksi di bilangan Istana Negara, Jakarta. Katanya, dia bahkan sampai dendam dengan aparat polisi yang kurang ajar. 


"Kenapa sih demonstran selalu kalah sama polisi? Lagi-lagi polisi yang dibilang jahat atau represif? Padahal rakyat pendemo kan juga susah diatur," tanya saya kepadanya.


"Ya pasti kalah, lah. Mereka pakai pentungan, tameng besi, dan gas air mata. Mereka juga punya peluru karet dan peluru tajam. Sementara kita tangan kosong. Ya pasti kalah," katanya, menjelaskan.


Dia melanjutkan, "Kalau pendemo sulit diatur, wajar. Begitulah psikologi massa aksi. Makanya semua rombongan harus antisipasi karena penyusup sewaktu-waktu bisa mengacaukan situasi."


"Kira-kira siapa penyusup itu?"


"Bisa jadi penyusup itu dari kalangan polisi sendiri alias intel. Dia nyamar dengan kaos atau baju bebas, bukan seragam. Kemudian dia sendiri yang mengacaukan massa aksi," tambah dia.


"Oke oke. Lalu gimana cara memukul mundur polisi? Supaya jangan pendemo mulu nih yang dipukul mundur dan selalu kalah," tanya saya sekali lagi.


"Gue sih sebenarnya punya cara buat mukul mundur polisi. Tanpa pakai senjata tajam, benda tumpul, benda keras, dan sesuatu yang selama ini dianggap membahayakan. Senjata yang gue maksud ini sama sekali bukan termasuk senjata yang dilarang oleh undang-undang hukum positif negara."


"Apa itu?"


"Tapi ini harus ada solidaritas dan kesepakatan dari semua pendemo. Nggak bisa kalau cuma gerak masing-masing. Ini butuh gerakan masif dan solid."


"Oke siap. Emangnya senjata itu apa?"


"Jadi," katanya memulai penjelasan tapi terpotong karena dia membakar rokok terlebih dulu.


"Gue punya ide. Sebelum demo, masing-masing rombongan massa aksi harus nyewa, minimal, satu mobil (truk) sedot WC atau mobil tinja itu. Tahu kan? Sebelum berangkat aksi, pastikan dulu tangkinya penuh."


"Lha terus mau diapain?"


"Lu kebanyakan nanya, Ru. Pikir aja sendiri. Gas air mata lawan semprotan mobil sedot WC yang isinya kotoran manusia menang mana? Gue yakin polisi bakal mundur. Ini yang gue maksud senjata lunak, bukan senjata tajam, atau benda tumpul dan benda keras," jelasnya. 


"Jadi maksud lu ketika polisi mulai represif, itu selang sedot WC disemprotin ke arah barisan polisi?"


"Ya, semprotin ke mukanya, bajunya, seluruh tubuh lah. Biar pada kocar-kacir mereka. Solutif nggak?"


"Au ah."

Senin, 19 Oktober 2020

Cerita Orang Madura Memanggil Anaknya dengan Teropong

 

Ilustrasi. Sumber gambar: productnation.co


Ada orang Madura naik haji dengan anak laki-lakinya. Bersama jamaah lain yang satu regu dengannya, ia ditempatkan di maktab yang berada di lantai 9 sebuah gedung. Ketika sedang berdiri di dekat jendela, ia melihat anaknya di bawah alias di halaman gedung.


Melihat anaknya di bawah yang seperti hendak pergi, orang Madura itu lantas memanggilnya. Karena jauh, ia berteriak sangat keras. “Cong-cong ke sini, cong.” 


Teriakan keras itu membisingkan dan cukup mengganggu jamaah lain di kamar yang sedang beristirahat. Tentu saja, sekeras apa pun teriakannya tak mungkin bisa didengar sang anak. Sebab jarak antara lantai 9 dengan halaman gedung itu sangat jauh sekali.


Gimana ini, orang kok teriak-teriak begini. Waktunya orang istirahat lagi,” gerutu salah seorang jamaah haji yang tengah beristirahat di dalam kamar.


Akhirnya, ada seorang jamaah haji lain yang cerdas. Sebut saja Karsidi. Kebetulan ia punya alat keker (teropong) yang sebenarnya banyak dijual di Arab Saudi seharga 15 riyal. Karena tahu orang yang teriak-teriak itu adalah orang Madura dan khawatir akan salah paham jika ditegur, maka Karsidi menyapanya dengan sangat baik dan bijak.


“Itu anaknya jauh, Pak. Makanya tidak dengar,” kata Karsidi memulai pembicaraan.


Enggak, dekat itu. Lha wong kelihatan kok,” jawab si orang Madura dengan suara lantang, bersikukuh.


“Iya kelihatan tapi kan kecil. Itu karena jauh di sana,” jelas Karsidi sembari meminjamkan alat teropongnya kepada orang Madura itu.


Saat diberikan dan kemudian menggunakan alat teropong, maka sang anak yang ada di halaman gedung itu terlihat sangat besar dan dekat. Karena dianggap dekat, akhirnya orang Madura itu memanggilnya pun dengan sangat pelan.


Cong-cong ke sini cong,” teriak orang Madura dengan sangat lirih.


Dengan demikian, jamaah haji di kamar itu bisa kembali melanjutkan istirahat. Sementara orang Madura itu sibuk memanggil anaknya dengan teropong dan dengan suara yang sangat pelan. 


Solutif, kan?


*Cerita ini disadur dari buku ‘Kisah Jenaka KH Hasyim Muzadi: Indonesia Ha..Ha..Ha..!!’