Rabu, 28 Desember 2016

JANGAN KRITIK PETUNJUK KAMI!




Di tepi sungai yang menjadi sumber perairan semata wayang, terdapat deretan rumah yang manusianya tak saling kenal satu sama lain. Sibuk. Orang-orang di sana lebih mengedepankan ego dan kepentingan masing-masing.

Prinsipnya, tak boleh saling ganggu. Karena memang kesempatan untuk menganggu pun lenyap dilahap waktu. Mereka tak membutuhkan siapa-siapa. Jangankan agama, Tuhan pun mereka tak butuh.

Dan suatu ketika, mereka sendiri yang lebur termakan gelap. Sedikit pun pelita tiada. Hanya sisa satu lilin harapan yang, jika mati, musnah sudah peradaban.

Lalu, kehidupan sudah tiada. Sepi. Tak ada lagi hiruk-pikuk kesibukan duniawi yang mereka cipta. Ingar-bingar kebahagiaan tanpa sesiapa tak lagi menjadi teman, yang semula dianggap, abadi.

Tak butuh waktu lama; Tuhan menurunkan kuasa. Kehidupan berganti. Di tepian sungai itu, kini hidup beragam makhluk. Dari manusia hingga sesuatu yang sengaja tak Tuhan tampakkan.

Semua menjadi indah rupa. Saling bicara dan tegur sapa. Berbagi canda, menimbun nestapa. Kala sedih bersama, saat suka semuanya bergembira. Tenteram, nyaman, dan aman; barangkali itu yang dirasa.

Tuhan tak tinggal diam. Dia beri petunjuk kepada masing-masing makhluk, agar hidupnya tak sama dengan kehidupan yang sebelumnya. Tiap-tiap yang bernafas, menyebut nama-Nya berulang-ulang; pagi hingga malam, dan sampai pagi lagi.

Namun dalam mencapai titik pertemuan dengan Tuhan, dilakukannya dengan cara yang berbeda. Sesuai dengan petunjuk yang didapat. Rupanya, Tuhan memang sengaja memberikan petunjuk yang beragam.

Mereka, satu sama lain, menjadi heran melihat keragaman itu. Karena merasa benar, mereka saling mendebat. Berdasarkan petunjuk yang didapat, yang juga berbeda, tetapi memiliki kesamaan makna; menuju titik satu; Tuhan.

Klaim kebenaran dan tudingan kesalahan mencuat sepanjang masa. Sementara Tuhan berasyik-masyuk menyaksikan perseteruan itu. Dia menggeleng-gelengkan kepala dan menyunggingkan senyum di bibir pinggir sebelah kiri atas, layaknya seorang dewasa yang melihat perkelahian anak-anak usia 5 tahun.

Petunjuk yang Tuhan beri sebagai penunjang moral dan keluhuran budi itu, kini menjadi senjata ampuh untuk menghancurkan musuh. Siapa pun yang berbeda adalah musuh dan harus segera dimusnahkan.

Mereka lupa, bahwa hidupnya berawal dari ketiadaan. Kemudian menjadi ada dan mereka sendiri yang justru berniat meniadakannya kembali. Seperti tak menyadari bahwa perbuatan itu justru mencederai perasaan Tuhan.

Di salah satu pohon rindang, mereka pasang spanduk berukuran jumbo bertuliskan, "JANGAN KRITIK PETUNJUK KAMI! KARENA PETUNJUK INI DATANGNYA LANGSUNG DARI LANGIT!"

Mereka menggunakan strategi bertahan, yang seolah-olah teraniaya. Sementara menganiaya adalah makanan sehari-hari. Segala argumentasi yang tak ada di petunjuk itu, dianggap salah. Padahal di petunjuk yang lainnya, terdapat argumentasi yang bersifat menguatkan.

Pada akhirnya, petunjuk itu melembaga. Mengorganisasi. Mereka berkelompok. Saling baca petunjuk, mengingatkan, kalau sudah tepat, serang! Petunjuk yang Tuhan beri menjadi alat untuk melumpuhkan yang lain.

Mereka, berangkat dari kelompok yang memiliki kesamaan latar belakang; berteriak saat diserang. Menjadi riuh, gaduh, dan ricuh. Seakan di tiap sudut mata angin, harus mendengar keluh-kesahnya itu.

Tetapi menjadi sunyi, saat salah satu dari mereka ada yang melakukan kesalahan. Menyerang dan melukai musuh; yang mendapat petunjuk berbeda dari Tuhan. Bahkan, mereka kembali merancang strategi untuk dapat berteriak; mencari pembenaran kolektif, agar kembali mendapat kemenangan.

Akhirnya mereka bersepakat, menjunjung tinggi nilai kebenaran yang berdasarkan petunjuk pemberian Tuhan itu adalah harga mati. Dari situ, menjadi bebaslah untuk memberi kritik dan bahkan celaan bagi petunjuk yang lain. 

Mengkritik petunjuk lain dengan berdasar petunjuk sendiri ialah hal wajar. Tetapi saat petunjuknya dikritik dengan berdasarkan pada petunjuk yang lain, itu adalah sebuah kesalahan.

Kesepakatan yang lain adalah, saat merasa diserang, teriak sekencang-kencangnya. Tetapi kalau ada salah satu dari mereka yang menyerang, harus dibela. Kalau tidak bisa membela, lebih baik diam.

Kelak hingga Tuhan kembali memusnahkan kehidupan, spanduk besar itu tetap eksis di pohon rindang pinggir sungai, "JANGAN KRITIK PETUNJUK KAMI! KARENA PETUNJUK INI DATANGNYA LANGSUNG DARI LANGIT!"

Jangan lupa pula, saat melakukan kesalahan dan tersiar kabar yang menyudutkan, katakan bahwa itu adalah pengalihan isu semata. Jangan cemas, Tuhan selalu bersama.

Hingga suatu ketika, ada seorang yang melangitkan doa, berharap agar kehidupannya menjadi sibuk; tak butuh siapa dan apa; juga Tuhan dan petunjuk-Nya.

Ia menginginkan kehidupan yang dijalani, persis seperti kehidupan sebelumnya. Sibuk. Tak punya kesempatan untuk menganggu satu sama lain. Hanya itu.



Sekian...



Bekasi Utara, 28 Desember 2016



Aru Elgete

Selasa, 27 Desember 2016

HABIB RIZIEQ (TIDAK) MENISTA AGAMA?


Sumber: megapolitan.kompas.com

Perayaan Maulid Nabi Muhammad dalam Islam, dan Hari Raya Natal Yesus Kristus bagi umat Kristiani, sangat berdekatan. Hal ini, bisa berpotensi menjadi alasan penguat Kebhinnekaan, dan pula sebaliknya.


Sabtu (24/12) malam, di Jl Arabika 8 No 3 Perumnas Pondok Kopi Jakarta Timur, Habib Rizieq bersama Front Pembela Islam (mungkin juga bersama GNPF-MUI), mengelar acara tabligh akbar dalam rangka memperingati Maulid Kanjeng Nabi Saw.

Dalam ceramahnya itu, dia menyinggung berbagai isu yang sensitif. Pertama, kasus penistaan agama yang dilakukan Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, yang hingga kini belum menemui titik final.

Kedua, fatwa MUI yang mengharamkan ucapan Selamat Natal kepada Umat Kristiani. Ketiga, (masih) fatwa MUI yang melarang pemilik toko atau perusahaan memaksa pekerjanya untuk memakai atribut natal.

Keempat, soal kontroversi kelahiran Yesus Kristus atau Isa Al-Masih (keduanya hanya berbeda bahasa, kalau saya keliru tolong diluruskan).

Ceramahnya itu menjadi viral di media sosial setelah salah seorang jamaahnya mengunggah video berdurasi kurang-lebih 21 detik di akun Instagramnya.

Menjadi lebih seru saat Pengurus Pusat Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PP-PMKRI) melaporkan Habib Rizieq ke pihak yang berwajib untuk diproses hukum.

Dari beragam isu yang berkembang, pelaporan tersebut dianggap sebagai ajang balas dendam atas kasus sebelumnya (yang dilakukan Cagub DKI Jakarta nomor urut 2).

Namun, Ketua Umum PP-PMKRI, Angelo Wake Kako menyatakan, dirinya sama sekali tidak berafiliasi dengan partai atau kegiatan politik mana pun. Hal itu, murni karena merasa tersinggung atas ucapan Habib Rizieq dalam ceramahnya.

Banyak yang beranggapan bahwa Habib Rizieq tidak sedang menista agama Kristen. Mengingat dia adalah orang yang keilmuannya tidak bisa diragukan lagi. Seorang yang diyakini berada di garis keturunan Nabi Muhammad Saw.

Tanggapan Saya



Demi merawat Kebhinnekaan dan menjaga keutuhan NKRI, saya perlu menanggapi hal ini. Saya tidak akan tinggal diam seperti bersembunyi di balik tembok besar, yang sesaat lagi akan rubuh menimpa keharmonisan kita semua.

Perlu diingat, tanggapan saya ini tidak dimaksudkan untuk menyudutkan Habib Rizieq apalagi agama Islam. Saya tidak lebih pintar atau lebih alim darinya. 

Tulisan ini adalah bagian dari keresahan yang harus ditumpahkan. Sebagai awam yang jauh dari keilmuan, sekali lagi, saya tidak bermaksud mencaci atau menghina Habib kebanggaan Umat Islam itu.

Pertama, mengenai tataruang dan tatabudaya. Kedua hal itu yang terlebih dahulu ingin saya bahas. Karena kita takkan pernah lepas dari keadaan ruang dan kebudayaan yang melingkupi kehidupan.

Saya sedikit ingin bercerita.

Saat saya sedang menjadi santri di Taman Pendidikan Al-Quran (TPA) Darul Maghfiroh, Cilincing, Semper Barat, Jakarta Utara, pernah suatu ketika remaja masjid setempat mengadakan Tabligh Akbar.

Seperti biasa, mikrofon yang digunakan corongnya diarahkan ke luar sehingga satu perumahan pasti mendengar suara penceramah. Warga di sana pun beragam, tidak semuanya beragama Islam.

Ketika sedang membicarakan sesuatu yang dianggap sensitif dan khawatir menyinggung perasaan warga yang tidak beragama Islam, penceramah pun bersikap cerdas. Dia berbicara tanpa menggunakan pengeras suara.

Dengan begitu, yang dapat mendengar ceramahnya hanya orang-orang yang berada di sekitar Masjid Darul Maghfiroh saja. Sementara warga di luar, yang bukan beragama Islam tidak bisa mendengar isi ceramah itu.

Kandungan ceramahnya ketika itu, persis seperti yang diutarakan Habib Rizieq beberapa hari yang lalu. Mengenai larangan mengucapkan selamat dan merayakan natal bagi seorang Muslim, serta Lam Yalid Wa Lam Yulad dan Yesus Kristus yang dianggap sebagai Anak Tuhan.

Dari perspektif atau sudut pandang Islam, pendapat Habib Rizieq dan penceramah itu (saya lupa namanya) soal larangan dan Anak Tuhan itu tidak bisa disalahkan. Karena pasti memiliki referensi yang dijadikan landasan untuk menyampaikan pendapatnya.

Tetapi, dalam penyampaiannya perlulah menyesuaikan diri dengan tataruang dan tatabudaya yang ada.

Budaya kita masih mengedepankan ketokohan. Ketika seorang yang ditokohkan menyatakan A sebagai kebenaran, otomatis B dan C tidak benar. 

Maka, sebagai komunikator yang baik, menurut saya, perlu membaca situasi dan kondisi (tataruang) agar pesan dapat tersampaikan tanpa gangguan apa pun.

Saya melihat, Habib Rizieq kurang menempatkan diri pada ruang yang pas, sehingga menimbulkan efek yang juga kurang pas.

Maksud saya, kalau saja dia berceramah di Masjid dengan tanpa pengeras suara dan tidak direkam dalam bentuk audio-visual, jalan ceritanya tentu akan berbeda.

Kedua, kita sedikit kembali ke permasalahan Ahok yang dilaporkan atas kasus penistaan agama.

Jujur, saya pun kecewa dan tersinggung. Dia adalah tokoh yang saya dambakan agar dapat memberikan signifikansi perubahan bagi Ibukota.

Dengan tanpa melihat tataruang dan tatabudaya, dia mengatakan sesuatu yang seharusnya tidak dikatakan. Sehingga menimbulkan reaksi yang luar biasa dari Umat Islam.

Saya tidak sedang membandingkan atau bahkan menyandingkan Ahok dan Habib Rizieq. Karena keduanya memang tak saling banding dan juga tak saling sanding. Tapi, menurut saya, kedua tokoh itu memiliki titik gravitasi yang sama.

Ahok dan Habib Rizieq saat menyatakan satu kalimat, seluruh pendengar atau komunikannya tertawa terbahak-bahak. 

Hal itu menyiratkan bahwa kebenaran adalah sesuatu yang telah disepakati bersama.

Atau, kebenaran merupakan apa-apa yang keluar dari mulut komunikator yang notabene adalah seorang yang ditokohkan.

Saat Ahok menyatakan, "Jangan mau dibohongi pakai surat Al-Maidah," sontak semuanya tertawa.

Begitu pun saat Habib Rizieq mengatakan, "Kalau Tuhan beranak, bidannya siapa?" seluruh jamaah, seketika itu bergembira.

Padahal, kalimat yang mengundang tawa itu justru melahirkan ketersinggungan yang membutuhkan pertanggungjawaban.

Ketiga, saya bukan pembela Ahok dan Habib Rizieq. Dan bukan pula penggemar keduanya. Kalau terpaksa harus membela, saya membela sekadarnya. Jika terpaksa harus menggemari mereka berdua, saya tidak melakukannya secara berlebihan.

Sejak kecil, saya diajarkan ibu agar tidak berlebihan dalam membenci dan mencintai seseorang. Dengan begitu, kata ibu, terdapat sedikit ruang untuk mengkritik dan memberi apresiasi.

Saya menyesalkan statement Ahok dan Habib Rizieq itu. Sekalipun keduanya menganggap bahwa kalimat yang diucapkan itu adalah sebuah kebenaran, menjadi sangat disayangkan ketika diungkapkan di ruang publik dan di dalam ruang kebudayaan yang saya jelaskan di atas.

Bagi siapa pun yang saat ini sedang menjadi seorang yang ditokohkan, saya harap, agar mampu menempatkan diri dalam berkomunikasi. Selain itu juga bisa memposisikan diri di ruang dan kebudayaan yang pas, agar pesan tersampaikan dengan baik, serta melahirkan efek yang tidak buruk.

Jadi, benarkah Habib Rizieq (tidak) menista agama? Kita lihat proses hukum.

Sebagai penutup, saya akan meninggalkan kutipan dari Gus Dur dan Kanjeng Nabi Muhammad Saw. Salah dua orang tokoh yang paling saya rindukan.

Gus Dur pernah berkata: "Kalau tidak ingin dibatasi, maka jangan membatasi. Kita sendirilah yang harus tahu batasannya masing-masing."

"Al-Muslimu man salima al-muslimuuna min lisaanihi wa yadihi," dawuh Kanjeng Nabi.

وَلا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ كَذَلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ أُمَّةٍ عَمَلَهُمْ ثُمَّ إِلَى رَبِّهِمْ مَرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
(Maha benar Allah atas segala firman-Nya)

Satu lagi, ada kutipan yang saya dapat dari Instagram @NUGarisLucu, "Lebih baik mencari persamaan daripada sulit merawat perbedaan."




Wallahu A'lam




Bekasi Utara, 27 Desember 2016



Aru Elgete

Senin, 19 Desember 2016

ENDONESA: Negeri Peracau



Aku pernah bermimpi
tentang sebuah negeri
yang Toto Tentrem Kerto Raharjo
Gemah Ripah Loh Jinawi,
di setiap sisi
kanan dan kiri
semuanya bersatu
tak saling iri
membenci dan dengki

Di setiap kotanya
orang-orang tak pernah membeli durjana
sebab bangsanya sudah saling percaya
tanpa menaruh sepeser curiga
umpatan dan hinaan
kata mereka, untuk apa?

Kiranya itu warisan berharga dari leluhur
dari para tetua yang sudah menjadi ruh
bersanding dengan kuasa
berpeluk dengan perkasa
juga bermesra dengan cinta



Namun lucunya,
kini datang segerombol manusia
alih-alih membela bangsa
malah seperti membawa petaka

Mereka datang dari luar
punya alibi membantu negara
untuk kepentingan siapa?
aneh



Mimpi itu membuyar
saat kelucuan-kelucuan mulai tampak
Hahahahahaha
ENDONESA
di tubuhmu ada permata
terbalut intan dan berlian
tapi,
sejak globalisasi ditambah reformasi
pemikiran impor mulai menjarah dan menjajah
kau tergerogoti oleh bangsa sendiri

Hahahahahaha
ENDONESA
maafkanku, kini
aku hanya bisa mendoa
agar tubuhmu tetap terjaga
tetap suci
tetap tak terkotori
oleh segala macam barang impor

Jangan sampai kita mengaduh
sebab sembako melulu impor
tapi justru pemikiran dan organisasi tak lahir dari rahim ibu sendiri

Jadi, siapa asing dan aseng itu?
asing...
aseng...
Asong?

Hahahahaha
Dasar ENDONESA
ada-ada saja
memang ada saja
yang kerjanya pura-pura galau
supaya bisa mengigau
dan bikin kacau-balau
akhirnya,
kita semua yang risau
Hahahahahaha




Hey kamu, ENDONESA
kapan tamasya?
Kalau sudah, yuk kita lawan asing dan aseng itu.





Bekasi Utara, 19 Desember 2016



Aru Elgete

Sabtu, 17 Desember 2016

MEMBACA AGUS HARIMURTI, PEMIMPI(N) BARU IBUKOTA


Agus-Sylvi, pasangan nomor urut 1 dalam Pilgub DKI Jakarta. 

Sudah terlalu lama kita mendebatkan persoalan Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok dan Al-Maidah 51. Bangsa Indonesia menjadi terpecah. Kehilangan budaya dan kearifan lokal yang dimiliki.


Sehingga beberapa hari lalu, saya menulis “AHOK DAN AIR MATA BU(D)AYA”. Sudah saatnya kita menjadi produktif dalam berkarya, inovatif untuk mencari pemecahan masalah atau solusi, dan inspiratif dalam menyampaikan gagasan.

Karenanya, mari kita beralih kepada Agus Harimurti Yudhoyono (Selanjutnya ditulis AHY). Dia-lah pemimpi(n) baru untuk Ibukota.

Gagasan dan ide kreatifnya memiliki peluang besar untuk mengatasi beragam permasalahan di Kota Jakarta.

Bersama pasangannya, Sylviana Murni (Selanjutnya SM), dia ingin merevitalisasi Kali Ciliwung dari hulu ke hilir. Selain itu, AHY dan SM punya cita-cita untuk membuat Green Smart City.

Putra Cikeas itu, ketika terpilih menjadi pemimpi(n), akan membagi-bagikan uang dengan nominal yang terbilang besar kepada setiap RW di Jakarta.

Hal itu dimaksudkan untuk meminimalisasi ketimpangan yang terjadi; antara si miskin dan si kaya.

Harapan saya, semoga Mas Agus juga berhasil meminimalisasi ketimpangan antara si rajin dan si malas. Tujuannya hanya satu, agar Ibukota menjadi lebih baik lagi.

Pasangan ini sudah tidak diragukan lagi. Sebagai mantan TNI, AHY pasti punya strategi jitu untuk melakukan pembenahan di Jakarta.

Karena seorang tentara harus punya cara yang baik untuk mencapai visi atau tujuan yang diharapkan.

Maju terus dan pantang menyerah; begitulah kiranya motto hidup seseorang yang dididik secara militer. 

Sementara itu, ada SM. Seorang birokrat yang berpengalaman. Mengabdi untuk Jakarta selama 31 tahun, mengalami 7 gubernur yang berbeda gaya dan watak kepemimpinan, serta sudah merasakan 11 jabatan.

Tak ada lagi yang harus dikhawatirkan jika SM memimpi(n) Ibukota untuk lebih maju, aman, adil, dan sejahtera. AHY dan SM adalah pasangan yang tepat. Tampan dan cantik serta berpengalaman merupakan kunci dari keberhasilan mereka dalam kontestasi politik DKI Jakarta tahun ini.

Pada Kamis (15/12) malam, Kompas TV menggelar debat terbuka untuk ketiga calon gubernur dan wakilnya. Namun, acara yang dipimpin Rosiana Silalahi itu hanya dihadiri dua pasang kandidat. Ahok-Djarot dan Anies-Sandi.

Semua orang bertanya-tanya, kemana AHY-SM ketika itu? Mungkinkah keduanya takut, sehingga terkesan menghindari debat? Jawabannya tidak. Mas Agus dan Mpok Sylvi adalah seorang petarung dan pemberani. Tidak mungkin takut.

Mereka tidak berkenan menghadiri undangan televisi untuk berdebat. Alasannya karena AHY-SM hanya ingin mendebatkan visi-misi saat ada undangan dari Komisi Pemilihan Umum atau penyelenggara pemilu DKI Jakarta.

Mereka sudah dua kali menolak hadir di acara debat yang diselenggarakan oleh stasiun televisi swasta. Itulah strategi mereka, pemimpi(n) baru Ibukota. Jangan disepelekan. Mereka berdua itu keren, lho. 

PENYAYANG ANAK DAN SEORANG PLURALIS

Agus Harimurti, Annisa Pohan, dan putrinya; Aira. Sumber: Instagram @annisayudhoyono


Saat tidak menghadiri undangan Kompas TV, rupanya AHY sedang menyaksikan pementasan putrinya. Hal itu diketahui dari akun Instagram kepunyaan istrinya, @annisayudhoyono yang mengunggah foto keluarga kecilnya.

Di sana, nampak seorang anak kecil yang mengenakan pakaian ala natal. Merah dan sedikit putih. Menurut saya, cucu Pak Beye itu baru saja merampungkan pementasan yang bertema atau bernuansa natal.

Dari itu, saya menyimpulkan bahwa AHY adalah seorang ayah yang sangat mengutamakan kebahagiaan anaknya. Dia rela menolak panggilan Kompas TV demi untuk melihat langsung pementasan yang dibawakan putrinya.

Dia juga tidak mempermasalahkan cucu presiden keenam itu mengenakan pakaian natal. Saya berpikir, dia paham konteks dan relevansi hadits “man tasyabbaha qoumin fa huwa minhum”.

Dengan begitu, saya semakin yakin kalau Mas Agus adalah pilihan terbaik. Dia penyayang anak, gaul, muda, tampan, dan tentunya punya pengalaman yang tidak dimiliki orang lain. Begitu pun Mpok Sylvi.

Wah, pengalaman mereka berdua sudah tidak bisa diragukan. Terlebih ketika saya tahu, AHY itu Pluralis. Dia tidak takut anaknya kehilangan keimanan hanya karena mengenakan atribut natal. Keren.

Selain pengalaman yang lebih, AHY memiliki pengetahuan keislaman yang menyamudera (luas, red).

Dia, barangkali, beranggapan bahwa tidak ada hukum Islam yang melarang penggunaan pemakaian atribut natal. Buktinya, dia memakaikan baju bernuansa natal kepada putri kesayangannya itu.

Karena mungkin menurutnya, pengharaman itu hanya sekadar Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), yang tidak absolut dan boleh untuk tidak diikuti.

Karena fatwa itu sifatnya anjuran atau imbauan. Tidak wajib dan tidak berdosa kalau tidak dikuti. AHY-SM adalah pilihan tepat untuk menjadi pemimpi(n) baru di Ibukota.

Jadi, kebenaran sudah terang-benderang, saudaraku. Mari pilih pemimpi(n) yang bisa diandalkan. Yang punya pengalaman dan bersedia bekerja untuk rakyat. 

Menciptakan solusi yang atas berbagai masalah di Jakarta. Yang penyayang dan pluralis. Yang punya strategi jitu untuk perbaikan dan kebaikan. Dia adalah Mas Agus Harimurti Yudhoyono dan Mpok Sylviana Murni.

Jangan Mengecewakan Mas Agus dan Mpok Sylvi



Tuluslah dalam mendukung. Pilih sesuai kata hati. Tidak menjadi bunglon, yang terkadang putih, terkadang hitam. Tak punya pendirian. Kalau tidak memilih, katakan tidak. 

Ah, bapak yang ada di foto itu, pasti bikin Mas Agus, Mpok Sylvi, dan timsesnya baper.

Dia mengenakan kaus bergambar dan bertuliskan Agus Yudhoyono. Tapi ternyata selfie bareng Pak Djarot, temannya si penista agama itu. Ya Allaaaaah, maafkan bapak itu, ya.

Padahal Mas Agus itu baik. Punya visi-misi yang mulia, serta cita-cita luhur untuk membangun Ibukota yang lebih baik lagi. Jangan sepelekan dan remehkan putra Pak Beye itu. Dia-lah Pemimpi(n) terbaik untuk DKI Jakarta.

Mungkinkah, foto di atas itu merupakan salah satu strategi jitunya Mas Agus, ya?



Wallahu A'lam



Kaliabang Nangka, Bekasi Utara, 17 Desember 2016



Aru Elgete

Kamis, 15 Desember 2016

Ahok dan Air Mata Bu(d)aya



Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok dipeluk kakak angkatnya (seorang Muslimah) usai membaca nota pembelaan, Selasa (13/12) siang. Sumber: bintang.com

Kata sebagian orang, ngomongin Ahok itu menyita waktu dan menguras tenaga. Lebih baik bicarakan hal lain yang lebih penting. Sebab, katanya, Ahok ini adalah pemecah belah bangsa karena sudah menista Al-Quran dan menghina Ulama.


Dia-lah biang keladi yang membuat gaduh Bumi Pertiwi, walaupun sebelumnya ada peran Buni Yani yang bertindak sebagai "Penerang Peradaban". Ah, tapi ada beberapa poin yang ingin saya kabarkan. Lagipula, saya tidak merasa capek kok.

Jadi, mari kita perbincangkan Ahok. Bukan untuk mencaci dan mem-bully karena dia sudah menyakiti hati sebagian besar umat Islam. Juga tidak untuk memuja layaknya para dewa di Mahameru.

Saya melihat, bahwa ada yang tidak beres dari cara pandang kita terhadap pecinta Gus Dur yang satu itu. Loh? Ahok itu, bisa dibilang, adalah Gusdurian juga. Dia hadir di perayaan Haul Gus Dur tahun kemarin (2018). Waktu itu, dia di-bully habis-habisan sama pembawa acara ternama, Soleh Solihun.

Begini, sewaktu Ahok membacakan nota keberatannya, Selasa (13/12) pagi, kenapa dia harus menangis? Apakah tangisan itu hanya artifisial untuk mendapat simpati orang banyak dan kemudian elektabilitasnya meningkat drastis? Mungkinkah dia baper dengan cara caper? Hmmmm, atau jangan-jangan tangisan itu benar-benar tulus?

Karena setahu saya, saat kejadian itu, di linimasa media sosial terdapat banyak tagar #AirMataBuaya sekaligus mengumpatnya dengan cacian yang menyakitkan. Ada juga tagar #BebaskanAhok yang dibuat oleh pendukung dan simpatisannya karena terenyuh mendengar kalimat-kalimat yang diungkapkan di depan para hakim. 

Hari itu, dunia menjadi hampir gelap, agak kelabu tapi cenderung pekat. Warga Indonesia menjadi dua kubu. Simpatisan dan Antipatisan. Semuanya tumpah ruah, baik di dunia maya atau pun dunia nyata.

Pada hari itu juga, saya memilih untuk merebah-pasrahkan diri di kasur yang empuk. Dari kamar yang hanya berjarak sekitar 5 meter dengan televisi, samar-samar saya mendengar Ahok sedang membacakan eksepsinya.

Jujur, detik itu juga saya menitikkan air mata. Entah terharu atau bukan. Yang jelas, saya menangis. Saya juga tidak tahu apa yang membuat tangisan saya tumpah di atas bantal bergambar "peta Indonesia" itu.

Setelah dua hari berlalu, saya baru tahu. 

Ketika itu, saya menangisi keadaan yang terjadi pasca-Ahok membaca dan bercerita di kursi pesakitan sebagai tersangka kasus penistaan agama.

Sekira lima menit setelah terbangun dan mendengar suara serak-serak basah Ahok itu, saya membuka handphone. Melihat semua linimasa media sosial yang saya miliki, seperti Path, Instagram, Facebook, Twitter, BBM, Google+, dan Line.

Semuanya tentang Ahok. Pembenci dan pemujanya saat itu, sedang berlomba dalam kebaikan; katanya. Dan ternyata, sesuatu yang saya tangisi langsung terjadi. Kalau boleh memberi tagar, saya akan gunakan #AirMataBudaya dan #SayangiAhok.

Loh, kenapa?

Karena sejak kasus Ahok ini bergulir, kita seperti sudah kehilangan budaya. Baik budaya bangsa maupun budaya agama (artinya segala sesuatu yang dilakukan Rasulullah sehingga dianjurkan untuk diamalkan secara turun temurun).

Saya rasa, kebiasaan atau budaya yang dilakukan Kanjeng Nabi dan para wali penyebar Islam di Bumi Nusantara ini adalah menyayangi sesama manusia, walau musuh sekalipun.

Saya curiga bahwa Ahok ini merupakan pintu masuk utama untuk menghancurkan nilai kebangsaan kita. Bayangkan, hanya karena Ahok, seorang santri bisa tidak lagi menghormati kiainya.

Bahkan, seorang Buya Syafii tidak lagi diakui sebagai sosok terhormat oleh jamiyahnya: Muhammadiyah. Padahal, adab itu mesti diletakkan di atas ilmu pengetahuan; itu kata kiai yang tetap saya anggap sebagai kiai, sekalipun berbeda pilihan politik.

Dulu, Pak Kiai sering mewanti-wanti para santri agar tetap berpegang teguh pada kebenaran dan keteguhan hati. Sekalipun harus berbeda pandangan dengan kiai, silakan kemukakan dengan argumentasi yang berdasar dan kedepankan adab.

Saat ini, para kiai, gus, ustadz, dan guru di Buntet Pesantren Cirebon ada juga kok yang tidak sepemikiran dengan saya. Tapi, saya gak berani berlaku kurang ajar, soalnya ilmu saya bukan dari google, tapi dari mereka. Hehehehe.

Kembali Ke Ahok 

Budaya menghormati orangtua, kini sudah luntur. Budaya memaafkan juga telah lenyap tersapu guntur. Budaya mencaci, membenci, dan mengumpat-damprat justru tengah menjadi sajian ternikmat sepanjang umur.

O, Tuhan. Ujian macam apa ini? Air Mata Budaya sudah membanjiri singgasana Ibu Pertiwi. Dia tenggelam dalam nestapa dan kedurjanaan duniawi. Terlihat dari kejauhan, dia menyeka airmata dengan kebayanya yang sudah compang-camping; akibat digerogoti anaknya sendiri.

Bukankah dalam Ali-Imran ayat 135 Kau mengungkap kriteria seorang yang bertakwa? Tuhanku, sungguh, Firman-Mu bukan hanya terdapat di Al-Maidah 51 itu. 

Kau katakan bahwa orang-orang yang bertakwa itu adalah mereka yang menafkahkan hartanya di waktu lapang dan sempit; mereka yang menahan amarahnya dan memaafkan kesalahan orang lain, yang kini dan lalu. Semoga kita termasuk ke dalam golongan orang-orang yang bertakwa.

Duhai Tuhanku Yang Mahalembut, Kau juga pernah beri sinyal tentang kriteria takwa di ayat lain, kan? Aku pernah membacanya di Al-Maidah ayat 8.

Kau menyuruh orang-orang beriman agar mampu berlaku adil. Kau juga memberi ultimatum agar jangan sampai kebencian kepada kelompok atau seseorang tertentu mendorong kami (kaum beriman) untuk menjadi tidak adil. Kau menganjurkan agar kami berbuat adil, karena keberimanan kami akan Kau angkat menjadi sebuah ketakwaan.

Ahok, Pembenci dan Pembelanya

Saya pernah dinasihati ibu, ketika itu. Katanya begini:

“Kalau mencintai jangan berlebih, bila membenci jangan terlalu. Keduanya harus berada pada takaran yang pas. Untuk menghindari takaran yang berlebih atau bahkan kurang, maka cara pandangmu harus diubah. Bahwa di dunia ini tidak hanya ada warna hitam dan putih. Paham?”

Sampai saat ini, sesungguhnya, saya masih belum mengerti makna di balik kalimat itu. Silakan maknai sesuai dengan ukuran lingkar otak anda. Multitafsir pun tak masalah.

Saya tidak akan melaporkan anda ke MUI untuk repot-repot membuat fatwa, apalagi sampai mengerahkan massa untuk menuntut keadilan, agar anda dipenjara karena penafsiran anda tidak sesuai dengan saya.

Jujur, Wallahi, Demi Allah, saya kadang gregetan melihat tingkah laku si pembenci yang benar-benar antipati dengan si pecinta yang benar-benar fanatik. Kadang-kadang juga suka geli memperhatikan mereka semua. Aneh.

Ahok begitu kok dicinta? Ahok begitu kok dibenci? Payah.

Saya justru ingin banget ketemu Ahok. Tapi, saya masih takut dibilang dan dianggap pecinta fanatiknya Ahok atau pembela si penista.

Saat suatu hari nanti diperkenankan Tuhan untuk bertemu dan diberi kesempatan bercengkerama dengan Ahok, saya akan memberi kesempatan kepada dia untuk memperbaiki sikapnya.

Dakwah itu kan mengajak bukan mencak-mencak. Dakwah itu kan merangkul bukan memukul. Dakwah itu kan mendidik bukan menghardik. Dakwah itu kan dengan kebenaran dan kesabaran bukan dengan cacian apalagi ujaran pembunuhan. Demikian kata Pak Kiai.

Mari kita kembangkan budaya luhur bangsa kita. Kita jaga dan lestarikan teladan Kanjeng Nabi yang santun, yang tidak kagetan, yang tidak gampang marah, yang penyantun, yang penyabar, yang berdakwah dengan cinta.

Kita memang tidak bisa sejajar dengan Nabi Muhammad, tapi apa tidak bisa meniru, setidaknya hanya, secuil perilaku yang luhur itu? Secuil saja.

Kata siapa saya tidak tersinggung? Saya tersinggung kok. Tapi ketersinggungan saya tidak sampai melebihi batas kesabaran. Karena kata Mamah Dedeh, kesabaran itu gak ada batasnya.

Dengan ini saya katakan bahwa saya pembenci sekaligus pecinta Ahok; dengan kadar yang secukupnya. Tidak lebih dan kurang. Cukup. Sekian.



Wallahua'lam...


Kaliabang Nangka, Bekasi Utara, 15 Desember 2016


Aru Elgete

Selasa, 13 Desember 2016

Membaca Kauniyah-Nya Untuk Kehidupan


Selat Sunda, dalam perjalanan Bakauheni-Merak, Senin (12/12) petang.

Melanjutkan tulisanku sebelumnya, bahwa Kenduri Cinta memberikan cara pandang baru dalam melihat sesuatu. Di sana tidak sekadar mengajarkan bagaimana menadabburi ayat qouliyah. Tetapi juga memberikan pembelajaran yang tidak sembarang orang tahu. Yaitu mengenai penadabburan ayat kauniyah.

Kebenaran Tuhan tidak hanya terdapat pada teks kitab suci. Kebersatuan kita pada Dzat Ilahi tak sekadar dengan mempelajari kitab sucinya saja. Bahwa semesta, sesungguhnya adalah kebenaran atas keberadaan Tuhan yang secara langsung dapat kita saksikan; tanpa perlu berdebat menyoal tafsir yang tak tunggal.

Maka tepat sekali, ayat qouliyah Tuhan yang pertama adalah Iqro’ Bismirobbik alladzii kholaq. Membaca itu penting. Hal mendasar yang harus dilakukan untuk menemukan kebenaran yang hakiki. Proses menemukan kesejatian tidak akan pernah menemui titik akhir sebelum kita mampu membaca.

Dalam Firman Tuhan itu, Dia tidak menekankan bahwa pembacaan yang harus dilakukan adalah soal teks kitab suci. Tetapi bersifat universal. Tidak ada objek setelah kata “Bacalah!”. Barangkali, Dia sengaja tidak memberikan keterangan sesuatu apa dan bagaimana yang harus dibaca.

Karena itu, saya beranggapan bahwa Tuhan seperti menyiratkan agar kita mampu membaca segala sesuatu yang ada di kehidupan. Membaca situasi dan kondisi agar tak tersesat di jalan yang keluar dari koridor kebenaran-Nya.

Sebagaimana pesan Semar, yaitu ada dua kunci untuk mencapai ketenteraman hidup; Eling lan Waspada. Keduanya, bisa dimaknai sebagai pembacaan sesuatu atau situasi dan kondisi, agar tercipta ketenteraman.

Membaca Ayat Kauniyah Tuhan pada matahari yang mulai rebah di persemayamannya, Senin (12/12) petang. Lokasi, Selat Sunda.

Jadi, sudahkah Anda membaca kauniyah-Nya? Adakah ayat-ayat (tanda-tanda) keberadaan-Nya yang berhasil kita baca melalui alam, bukan sekadar teks kitab suci?

Saya pribadi merasa lebih dekat dengan Tuhan saat sedang membaca kauniyah, daripada qouliyah-Nya. Namun dengan begitu, bukan berarti saya menafikan Firman Tuhan yang dibukukan itu.

Kemarin, 10 Desember 2016, salah seorang teman yang sekaligus senior di kampus mengajak saya untuk bertandang ke kampung halamannya, Bandar Lampung.

Sepulang dari Kenduri Cinta, saya sempat tidur untuk meringankan beban mata. Saya terbangun pada jam 2 siang dan kemudian berangkat dari Bekasi jam 5 sore, menuju Pelabuhan Merak.

Sesampainya Merak jam 10 malam, rehat sebentar, kemudian menuju tempat bersandar Kapal Ferry untuk menyeberang ke Bakauheni. Di atas alat transportasi itu, saya merasa sangat rugi kalau tidak duduk di luar. Karena hal itu (naik Kapal Laut) adalah kali pertama.

Saya ingin melihat keadaan Laut di malam hari. Katanya, Laut itu damai dan mendamaikan. Terlebih saat disaksikan di kegelapan.

Embusan angin laut yang membuat gelagepan tak menyurutkan keinginanku untuk melihat keadaan tubuhnya. Saya ingin membacanya, menelaah, dan memaknai. Dengan begitu, saya akan merasa dekat dengan penguasa semesta; yang merajai bumi dan langit.

Ternyata, sifat Tuhan yang terkadang feminis, juga maskulin, dapat divisualisasikan melalui keadaan Laut yang terkadang lembut dan terkadang juga menampakkan amarahnya.

Menurutku, segala sesuatu yang diciptakan tak akan jauh berbeda dengan si pencipta. Hasil karya seorang pencipta adalah gambaran dari yang punya karya.

Begitu pun Tuhan dan Laut. Keduanya saling menguatkan satu sama lain. Laut adalah ciptaan Tuhan dan Tuhan-lah yang menciptakan Laut.

Tuhan lebih sering tergambar sebagai sosok yang feminin. Dia-lah Sang Maha Pemberi yang dengan kelembutan-Nya mampu menyayangi, mengasihi, memaafkan, melindungi, dan mengayomi.

Tetapi, jangan sesekali meremehkan feminitas Tuhan. Sebab, Dia juga bisa tergambar menjadi sosok yang maskulin. Tuhan itu Perkasa, Raja diraja, Laa Hawla wa Laa Quwwata wa Laa Sulthona Illa Billah. Tiada kekuatan apa pun yang dapat menandingi-Nya.

Pun Laut. Dia adalah ketenangan. Lembut. Laut dapat menerima segalanya, bahkan sampah sekalipun. Namun dengan kelembutannya juga, dia mampu mensucikan dirinya sendiri. Dia tidak butuh bantuan siapa pun untuk membersihkan tubuhnya dari noda yang membandel.

Tak jarang, Laut dijadikan sebagai tempat untuk bertransaksi barang haram; narkoba, obat-obatan terlarang, dan bahkan menjadi pintu masuk kelompok teroris. Dia menyimpan banyak energi dan selalu menerima siapa pun yang ingin menikmatinya; orang baik ataupun jahat.

Namun, jangan kira laut tak bisa marah. Kalau selalu diganggu, suatu saat dia akan menjadi gelombang besar yang akan menghancurkan segalanya. Meremehkan kelembutan Laut sama dengan mengerdilkan keberadaan Tuhan.

Mengagung-agungkan Tuhan, menurutku, bukan hanya dengan memekikkan nama-Nya, tetapi juga dengan merasa tak punya daya apa pun kecuali mendapat izin dari-Nya. Saat itu (12/12) aku merasa kecil di hadapan Tuhan.

Lalu, apa yang dapat kita ambil pelajaran dari hasil pembacaan saya atas kauniyah Tuhan itu? Bagaimana resolusi pandang kita dalam melihat beragam fenomena yang terjadi akhir-akhir ini?

Mampukah kepribadian Laut dapat menginspirasi untuk menciptakan solusi atas intensitas konflik yang meninggi? Dapatkah kita meniru kelembutannya sebagai bentuk penghambaan diri kepada Tuhan?

Saudaraku, marilah kita mencontoh sikap dan kepribadian Laut. Mampu menerima segala macam pandangan yang -bahkan- cenderung berpotensi mengotori keimanan kita.

Saya teringat pesan Kiai Muhammad Ainun Nadjib, "perbanyak menerima (masukan), perbanyak mendengar, dan kurangi berkomentar. Lembutlah dalam bertutur agar dapat melihat segala sesuatu dengan menggunakan kacamata cinta".

Artinya, jangan menutup diri. Karena Laut pun bersifat terbuka, dia menampung kehidupan, memberi banyak manfaat kepada makhluk, dan tidak membalas kejahatan dengan kejahatan serupa kecuali jika memang itu terpaksa harus dilakukan.

Selama kelembutan bisa dijadikan sebagai solusi untuk melawan kejahatan, maka lakukanlah. Jangan tergesa, karena Laut pun tidak selalu memberikan gelombang besar (tsunami) sebagai bentuk amarah.

Jadi cobalah berpikir out the box, membuka diri pada perbedaan, tidak melulu berkumpul dengan teman-teman di kelompok sendiri sehingga pikiran menjadi picik, otak pun membeku.

Karena dengan membuka diri dan belajar dari Laut, kita akan merasa lebih dekat dengan Tuhan. Ketahuilah, bahwa harimau ditakuti karena diamnya sementara anjing dijadikan mainan karena gonggongannya.

Yuk, mencontoh kepribadian Laut. Tenang, damai, lembut, dan suci. Dia tidak pernah mengotori diri sendiri dengan perilaku yang gegabah. Namun, sesekali mengeluarkan amarah untuk memberikan pelajaran, itu perlu dilakukan kalau memang terpaksa harus dilakukan.

Kesimpulannya, jangan selalu membaca teks kitab suci tanpa mengindahkan teks semesta. Bahwa, kedekatan dan kemesraan Tuhan akan sangat terasa saat kita membaca Kauniyah. Membaca Laut adalah salah satu cara untuk merekatkan diri pada Tuhan; pemilik jagat raya yang menghadiahkan segala macam keindahan.

Di Selat Sunda, saya merayakan Maulid Nabi Muhammad dengan sangat sederhana. Membaca salawat asyghil di tengah embusan angin yang kencang nan sejuk. Sila, klik di sini.


Wallahu A'lam



Selat Sunda, 12 Desember 2016



Aru Elgete 

Sabtu, 10 Desember 2016

Titik Koordinat Kita Berbeda, Sayang






Tulisan di bawah ini adalah soal perjalanan keberagamaan saya. Setiap manusia pasti pernah memiliki pengalaman yang membawanya sampai di titik yang sekarang dirasakan. Saya pun begitu. 

Bahwa saya pernah mengalami beragam gejolak di dalam diri yang justru menjadikannya lebih dewasa. Itu adalah proses. Tentu, kita pernah merasakan rasa pahit di hari kemarin dan menemukan rasa manis di hari ini, atau justru kita akan menemukan rasa yang lebih pahit.

Hal itu yang disebut hukum alam. Segalanya berjalan dinamis, berdialektika dengan keadaan yang selalu berubah-ubah. Bahkan, kita sering menemukan ruang kosong yang di kemudian hari terwarnai oleh perjalanan kedewasaan.

Tak jarang pula, kita berusaha meniru gaya orang lain sebelum menemukan keakuan yang sejati. Seperti itulah hidup. Kita akan dengan sendirinya menemukan beragam peningkatan intelektual yang tidak dapat ditemukan di suatu senja, setahun atau dua tahun lalu.

Kita tidak perlu jauh membuka lembar masalalu, misalnya. Saat ini, coba perhatikan diri sendiri, adakah perbedaan posisi kita dari beberapa menit yang lalu? Apakah cara pandang kita terhadap sesuatu, berbeda dengan saat 3 detik yang lalu? Karena berbicara soal titik koordinat berarti juga membincangkan mengenai posisi atau lakon yang sedang diperankan.

Mendiskusikan konsep Tuhan di depan anak kecil, tentu berbeda dengan mendebatkan soal bentuk-Nya di hadapan seorang teolog. Jelas berbeda juga ketika kita menggambarkan konsepsi Tuhan kepada orang-orang yang atheis dan agnostik.

Penjelasan lain, apakah berada di posisi atau titik koordinat yang sama antara orang yang setia menonton Metro TV dengan yang setia pada TVOne? Jelas berbeda bukan? Karena memang kedua stasiun televisi itu juga tidak berada di posisi yang sama. Lantas, apakah kita mesti meniadakan yang lain lantaran keberadaan yang tidak sama?

Satu lagi, bagaimana komentar kita soal pencopet? Menurut seorang yang menjadi korban pencopetan, ia akan menyatakan bahwa pencopet itu jahat. Tapi apakah kita akan mendapati pernyataan serupa dari si pelaku pencopetan? Atau bahkan, bagaimana pernyataan keluarga pencopet tentang seorang yang diketahui sedang mencari nafkah untuk menghidupi anak dan istri?

Kesemuanya pasti berbeda asumsi. Karena posisi yang tak sama. Sudut, cara, jarak, dan resolusi pandang yang digunakan pun berlainan. Lantas, di mana letak kebenaran? Tergantung. Semuanya memiliki keberpihakan kebenaran dan pembenaran berdasarkan limitasi pengetahuan yang dimiliki.

Beragam posisi keberagamaan saya

Saat SD, saya dianggap sebagai orang yang pintar agama. Semua berkat ibu dan bapak yang menitipkanku pada tetangga yang membuka pengajian usai salat maghrib. Saya ingin menjadi ulama. Titik. Hanya itu yang saya katakan saat ada yang bertanya soal cita-cita.

Dengan posisi yang sudah mendapat legitimasi bahwa saya pintar agama, membuat hati berbunga-bunga. Menjajakan berbagai hadits dan potongan ayat suci yang sudah di luar kepala sejak bersekolah di Taman Pendidikan Al-Quran (TPA) Darul Maghfiroh, Komplek Pemadam, Jakarta Utara.

Di setiap kesempatan, saya diutus untuk membacakan Kalam Ilahi sebagai pembuka suatu acara. Hati semakin berbunga. Namun siapa sangka, ternyata ada ketidaksukaan dari teman-teman atas caraku yang dianggap memanfaatkan agama demi ketenaran.

Ketika SMP, saya tetap berpegang teguh pada prinsip keagamaan. Kiranya itu yang diutarakan ibu saban pagi saat saya mencium punggung tangan kanannya. Satu pesan yang tak pernah terlupa atau sengaja dilupa. Prinsip keagamaan itu, kata ibu, adalah jalan menuju keselamatan; kamu harus menjadikan agama sebagai warna yang memberi kecerahan bagi diri.

Di tempatku menuntut ilmu itu ada sebuah organisasi siswa yang bergerak di bidang keislaman. Tapi saya sama sekali tidak tertarik. Saat itu, menurut saya, agama bukan untuk dijadikan kelompok-kelompok yang justru menciptakan jarak dengan orang yang berada di luar kelompok. Alasanku yang paling rasional ketika itu adalah, belajar agama bukan di organisasi.

Tetapi, berbeda dengan orang-orang yang berada di dalam kelompok itu. Mereka menyatakan bahwa organisasi adalah jantung kehidupan, sementara agama serupa jiwa. Agama dan kelompok mereka itu menjadi satu kesatuan, tidak bisa dipisahkan. 

Asumsi bisa berbeda karena posisi yang tak sama. Tergantung pada keberadaan kita di titik koordinat yang mana. Juga berdasarkan sudut, cara, jarak, dan resolusi pandang yang seperti apa dalam melihat atau menilai suatu objek.

Saya Seorang Fundamentalis




Pergaulan SMP membuat mata sakit. Saya dipaksa untuk menyaksikan sesuatu yang seharusnya tidak dilihat. Saya juga harus merasakan duduk dengan teman-teman yang sudah mulai merokok, bahkan mengonsumsi minuman beralkohol.

Karenanya, saya memutuskan untuk melanjutkan studi di pesantren untuk berhindar dari lingkungan yang tak punya batas dalam kebebasan. Saya menganggap bahwa perilaku teman-teman yang seperti itu telah melanggar norma, bahkan cenderung menista agama.

Di pesantren, saya diberi pemahaman bahwa memegang minuman beralkohol terkena dosa, terlebih meminumnya. Di sana juga belajar soal surga, pahala, neraka, dan surga. Sehingga saya berkesimpulan, seorang pemabuk akan kekal di neraka jahannam.

Usai mengentaskan pendidikan di sana, gaya keislamanku menjadi kaku, jumud, penuh amarah, dan menganggap bahwa semua orang di lingkungan sekitar rumah adalah kafir. Atau minimal fasik. Saya berambisi untuk mengislamisasi kampung halaman. Syi'ar.

Saya membeli Al-Kitab dan mempelajarinya sendiri untuk menemukan keganjilan-keganjilan yang ada, kemudian saya akan jatuhkan umat Kristiani. Sebegitu bencinya saya dengan orang yang berada di luar lingkar keberadaanku.

Simbol-simbol keagamaan membuatku bangga saat mengenakannya. Seolah menjadi seorang yang ditokohkan dan dihormati. Hidup di kota dengan mengedepankan simbol agama ternyata laris di pasaran.

Memberi kabar bahwa Islam adalah agama yang paling benar. Persis seperti anak-anak yang tergabung dalam organisasi kesiswaan, kemahasiswaan (internal dan eksternal), juga partai politik yang berafiliasi dengan sebuah gerakan transnasional.

Saya menganggap bahwa pesantren adalah pondasi awal. Kiai menjadi kunci utama dalam membentuk karakter santrinya. Betapa pun kerasnya menjadi orang beragama, seorang santri tetap memiliki cakar yang kuat agar tak ternoda oleh orang di luar sana. Sampai pada akhirnya, seorang santri pasti akan kembali ke khittahnya.

Saya Seorang Liberalis



Pertemuanku dengan Kelompok Islam Liberal berawal dari kekosongan waktu yang menjenuhkan. Hari-hariku saat itu hanya diisi dengan mengajar dan mengabdi di salah satu Musala dekat rumah. Pikirku saat itu, menjadi seorang islamis yang kesehariannya berada di rumah ibadah justru membuat daya nalar berkurang.

Bertandanglah saya ke Utan Kayu untuk mencari sesuatu yang belum diketahui. Ibu dan bapak selalu memberi izin ke mana pun arah kepergianku, asal bertujuan untuk mencari pengalaman pengetahuan yang lebih. Mereka membebaskan, tetapi juga tidak terlalu permisif.

Menjadi Liberalis, berarti juga sebagai orang yang menjunjung hak asasi setiap manusia. Menjadi toleran. Bahkan menjadi kritis terhadap teks kitab suci. Memerdekakan akal adalah sebuah keniscayaan. Beragama dengan akal sehat, selalu nikmat kurasakan.

Keluar-masuk rumah ibadah agama lain, bertukar pelajaran keagamaan dengan orang yang beragama tidak sama, tak jarang saya lakukan. Bahkan, Hari Raya Natal 2014 saya berkesempatan hadir di Gereja Katedral. Bersyukurnya, ibu selalu merestui.

Saya lepas seluruh atribut keagamaan yang menempel di tubuh. Membaca serta mempelajari Al-Kitab dan Al-Quran. Mencari kesamaan untuk menciptakan perdamaian. Saya lebih memilih untuk tidak bertengkar dengan umat agama lain, ketimbang dengan saudara seagama.

Hingga suatu ketika, saya resah. Gulana menerpa kalbu yang kian kaku; membeku. Menjadi Liberalis justru lebih sering mengkritisi teks suci, ketimbang menghamba kepada Tuhan. Karena, menurutku ketika itu, ibadah sosial menjadi prioritas utama ketimbang ibadah ritual.

Agama adalah biang rusuh. Perusak. Bertuhan tanpa beragama pun tak menjadi masalah. Saya hampir agnostik saat itu. Seorang Liberal tidak memberikan toleransi kepada kaum intoleran. Islam garis keras adalah musuh yang harus ditaklukkan. 

Menjadi Ummatan Wasathan


Hingga pada suatu ketika, saya merasa ada yang mengganjal di hati. Saya seorang Muslim, tetapi justru senang menghina dan mencaci saudara seagama yang tak sepaham. Segala buku tentang Liberalisme habis kulahap. Menjadi Liberalis yang bebas malah seperti memenjarakan hati untuk menebar cinta kepada sesama.

Januari 2016, dua orang sahabat sewaktu Aliyyah, Muhammad Syakir dan Muhammad Ammar mengajakku untuk menghadiri Kenduri Cinta, di Taman Ismail Marzuki. Mereka mempersuasikan bahwa Kenduri Cinta adalah tempat yang pas untuk mencari dan mengembangkan keilmuan.

Di sana, cakrawala pemikiran menjadi luas. Melihat beragam fenomena dengan kacamata cinta. Jama'ah Maiyah (sebutan untuk Jamaah Kenduri Cinta) diberi kebebasan untuk bersikap. Tak ada doktrin atau dogma yang mengikat. Kiai Muhammad Ainun Nadjib tidak pernah mendaku dirinya sebagai pemimpin keagamaan.

Sikapku yang terkadang radikal alias fundamentalis, yang terkadang juga Liberal diruntuhkan seketika. Semua dilihat dengan cinta. Diajarkan bagaimana menjadi bijak dalam menempatkan posisi pada berbagai kondisi. Menjadi penengah konflik yang dapat menciptakan solusi kedamaian, yang melahirkan cinta di tengah kehidupan masyarakat yang beragam.

Di sana, saya belajar untuk tidak mencaci sesama. Tidak tendensius dalam bersikap. Serta tidak fanatik terhadap golongan atau kelompok yang saya ikuti. Tidak menjadi liberal, juga tidak berlaku radikal. Bahkan, saya diajarkan untuk bisa menjadi liberal atau radikal di kondisi yang sedang dibutuhkan.

Menggunakan cara pandang yang sportif. Melihat peristiwa dengan sudut pandang yang lebih luas. Menempatkan diri di jarak pandang yang tidak terlalu dekat dan terlalu jauh. Juga meresolusi pandangan agar jernih dalam melihat, tidak keruh dan kotor. Di Kenduri Cinta, semuanya diajarkan.

Saat ini, saya justru menjadi orang yang bebas. Yang terkadang menjadi liberal saat dibutuhkan dan menjadi radikal bila diperlukan. Bahkan menjadi moderat saat benar-benar sikap itulah yang harus kulakukan dalam menengahi koflik sektarian. Dan kesemuanya dilihat atau dinilai dengan cinta; kasih sayang; dan welas asih.

Terakhir, saya katakan bahwa mungkin saja kita berada pada titik koordinat yang berbeda. Penempatan posisi adalah sebuah prinsip. Kalau kita berbeda pendapat dan argumentasi atas kondisi atau peristiwa tertentu, coba perhatikan di mana posisi kita saat itu? Karena sejatinya, kita berada di titik koordinat yang berbeda, sayang.


Wallahu A'lam


Pinggir Kalimalang, samping Unisma Bekasi, 10 Desember 2016


Aru Elgete 

Jumat, 09 Desember 2016

Non-Muslim Dilarang Beribadah di Ruang Publik!


Persoalan yang melibatkan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok nampaknya semakin memperjelas makna sebuah penistaan. Kita berbondong-bondong untuk melindungi agama dan Tuhan agar terhindar dari kehinaan dan penghinaan. Kita juga berlomba untuk mengembalikan kesucian dua hal yang dianggap mulia itu dari noda yang membandel.

Muslim sudah menjadi dewasa pasca-kejadian di Kepulauan Seribu, beberapa bulan yang lalu. Buktinya, mereka menuntut Ahok melalui jalur konstitusional. Aksi mereka itu disebut sebagai Jihad Konstitusional. Mereka tidak merusak. Taman dijaga dengan tidak menginjak-injak rerumput dan bebungaan yang ada di lokasi aksi. 

Terakhir, mereka menggelar aksi super damai 212 di kawasan Monumen Nasional (Monas) dan sekitarnya. Acara diisi dengan salawat, dzikir, istighotsah, dan Salat Jumat berjamaah. Tak lupa juga menyanyikan, “tangkap, tangkap, tangkap si Ahok, tangkap si Ahok sekarang juga”. Lagu itu disuarakan berulang-kali. Hampir mirip dengan dzikir atau wirid. Karena kekerasan secara teks-verbal, itu wajar. Namanya juga baper.

Yang jelas, saya tidak mempermasalahkan jumlah massa aksi yang ada pada saat itu. Mendapat rekor muri atau tidak, makan roti dengan merek ternama dalam negeri, dan siapa yang bertindak sebagai muadzin, sungguh itu #BukanUrusanSaya. Intinya, Bela Islam Jilid 3 berlangsung tertib dan aman. Sekalipun lidah tak bertulang terkadang mengeluarkan kalimat kebencian. Sekali lagi, itu wajar.

Semoga tidak sampai ada Bela Islam sampai jilid 6. Karena saya akan sulit membedakan mana yang sudah fasih membaca dan menafsir Al-Quran dengan orang yang baru saja khatam Iqro. Karena Islam itu adalah soal kuantitas. Yang penting banyak. Bahkan, ada yel-yel yang mengadopsi dari kawan-kawan mahasiswa pergerakan, “Islam bersatu tak bisa dikalahkan”.

Saya salut. Berjuta kali saya memberi apresiasi kepada saudara seagamaku yang kala itu turun aksi. Mereka murni membela Islam, tanpa dibayar dan membayar. Di sana, katanya, seperti Al-Maidah, ada banyak hidangan yang tersaji. Dari mulai air, kurma, nasi bungkus, sampai Roti berlabel Syar’i pun turut mewarnai aksi nan damai itu. Semuanya tersaji secara gratis. Tinggal konsumsi. Seperti di surga, kata mereka.

Tak lama pasca aksi yang menakjubkan itu, Aceh dirundung duka. Tertimpa musibah gempa nan dahsyat. Mungkinkah itu pertanda bahwa sudah waktunya Ukhuwwah Islamiyyah menjadi rekatan yang sejati? Tak boleh lagi terpecah-belah dan bercerai-terurai. Warga di Pidie Jaya, membutuhkan uluran tangan dari saudaranya, baik saudara seiman maupun sebangsa.

Alumni 212 sebagai pelopor persaudaraan antar umat Islam, kiranya, dapat lebih merealisasikan cita-cita luhurnya. Yakni, menolong sesama. Sebagaimana kita menolong saudara seiman di Myanmar; Muslim Rohingya. Jangan sampai ada pepatah, “semut di seberang lautan terlihat, gajah di depan mata tak tampak.” Hizbut Tahrir, Bachtiar Nasir, Majelis Mujahidin, Abu Jibril, Front Pembela Islam, Rizieq Shihab, dan Aa Gym, saya rasa mampu mengumpulkan massa untuk berbondong membantu saudara di Aceh.

Atau barangkali Bachtiar, Jibril, Aa Gym, dan Rizieq sedang menyusun strategi untuk aksi selanjutnya; lempar jumroh. Entahlah, itu #BukanUrusanSaya. Saya hanya bisa mendoakan, agar aksi lempar jumroh terlaksana. Supaya Iblis jahat di Ibukota segera pergi. Baik Iblis ‘eksternal’ atau pun Iblis ‘internal’.

Saya mendorong kepada alumni 212 untuk mengadakan alumni akbar. Tempatnya di Pidie Jaya, Aceh. Sambil mengungkap kerinduan tiket surga berhasil didapat. Silaturrahim yang membawa berkah namanya. Saya juga mengimbau kepada seluruh umat Islam Indonesia agar menghapus Metro Tivu dari peredaran, tidak meminum Equil, dan makan Sari Roti. Karena ketiganya berpotensi akan kembali membuat suasana panas dan gaduh saat berlangsungnya aksi lempar jumroh, mendatang.

Tapi sebelum melakukan aksi lempar jumroh, saya sarankan supaya diadakan istighotsah atau dzikir kubro atau apalah namanya. Hal itu dimaksudkan supaya saat berlangsungnya aksi lempar jumroh, kita senantiasa mendapat ridho dan karunia Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mendapat syafaat Kanjeng Nabi Muhammad. Allahu Akbar! Shollu ‘alannabiy!

Saya berharap, aksi lempar jumroh dilakukan di Gedung DPR/MPR. Kita lempari mereka yang sedang tertidur. Dan yang seakan lupa bahwa hari ini adalah Hari Anti Korupsi. Atau yang sengaja melupakan bahwa rakyatnya, khususnya Muslim, sedang dinista dan dihina. Sementara Presiden Jokowi seperti melindungi si penista. 

Kita harus kembali turun ke jalan, salat berjamaah seperti 212 kemarin, atau membuat parlemen jalanan. Intinya, kita harus turun ke jalan. Turun ke jalan! Menuntut keadilan kepada manusia, yang tentu tak bisa adil. Karena keadilan yang seadil-adilnya hanya milik Allah. Sedang keadilan itu akan kita rasakan di akhirat, kelak. 

Umat Islam harus menang, tidak boleh kalah, apalagi menyerah karena dikalahkan. Islam di Indonesia ini mayoritas, harus kuat. Untuk menjadi kuat, jangan lupa; hindari Metro Tivu, jangan meminum Equil, dan memakan Sari Roti. Kalau mengonsumsi Syar’i Roti, boleh. Setelah itu, kita turun ke jalan!

Oh ya, kalau ada agama lain yang ingin menggunakan Fasilitas Umum (Fasum), kita harus larang. Karena yang berhak beribadah di ruang publik hanyalah Islam. Tidak boleh yang lain. Paham?



Wallahu A'lam


Kaliabang Nangka, Bekasi Utara, 9 Desember 2016


Aru Elgete