Sabtu, 10 Desember 2016

Titik Koordinat Kita Berbeda, Sayang






Tulisan di bawah ini adalah soal perjalanan keberagamaan saya. Setiap manusia pasti pernah memiliki pengalaman yang membawanya sampai di titik yang sekarang dirasakan. Saya pun begitu. 

Bahwa saya pernah mengalami beragam gejolak di dalam diri yang justru menjadikannya lebih dewasa. Itu adalah proses. Tentu, kita pernah merasakan rasa pahit di hari kemarin dan menemukan rasa manis di hari ini, atau justru kita akan menemukan rasa yang lebih pahit.

Hal itu yang disebut hukum alam. Segalanya berjalan dinamis, berdialektika dengan keadaan yang selalu berubah-ubah. Bahkan, kita sering menemukan ruang kosong yang di kemudian hari terwarnai oleh perjalanan kedewasaan.

Tak jarang pula, kita berusaha meniru gaya orang lain sebelum menemukan keakuan yang sejati. Seperti itulah hidup. Kita akan dengan sendirinya menemukan beragam peningkatan intelektual yang tidak dapat ditemukan di suatu senja, setahun atau dua tahun lalu.

Kita tidak perlu jauh membuka lembar masalalu, misalnya. Saat ini, coba perhatikan diri sendiri, adakah perbedaan posisi kita dari beberapa menit yang lalu? Apakah cara pandang kita terhadap sesuatu, berbeda dengan saat 3 detik yang lalu? Karena berbicara soal titik koordinat berarti juga membincangkan mengenai posisi atau lakon yang sedang diperankan.

Mendiskusikan konsep Tuhan di depan anak kecil, tentu berbeda dengan mendebatkan soal bentuk-Nya di hadapan seorang teolog. Jelas berbeda juga ketika kita menggambarkan konsepsi Tuhan kepada orang-orang yang atheis dan agnostik.

Penjelasan lain, apakah berada di posisi atau titik koordinat yang sama antara orang yang setia menonton Metro TV dengan yang setia pada TVOne? Jelas berbeda bukan? Karena memang kedua stasiun televisi itu juga tidak berada di posisi yang sama. Lantas, apakah kita mesti meniadakan yang lain lantaran keberadaan yang tidak sama?

Satu lagi, bagaimana komentar kita soal pencopet? Menurut seorang yang menjadi korban pencopetan, ia akan menyatakan bahwa pencopet itu jahat. Tapi apakah kita akan mendapati pernyataan serupa dari si pelaku pencopetan? Atau bahkan, bagaimana pernyataan keluarga pencopet tentang seorang yang diketahui sedang mencari nafkah untuk menghidupi anak dan istri?

Kesemuanya pasti berbeda asumsi. Karena posisi yang tak sama. Sudut, cara, jarak, dan resolusi pandang yang digunakan pun berlainan. Lantas, di mana letak kebenaran? Tergantung. Semuanya memiliki keberpihakan kebenaran dan pembenaran berdasarkan limitasi pengetahuan yang dimiliki.

Beragam posisi keberagamaan saya

Saat SD, saya dianggap sebagai orang yang pintar agama. Semua berkat ibu dan bapak yang menitipkanku pada tetangga yang membuka pengajian usai salat maghrib. Saya ingin menjadi ulama. Titik. Hanya itu yang saya katakan saat ada yang bertanya soal cita-cita.

Dengan posisi yang sudah mendapat legitimasi bahwa saya pintar agama, membuat hati berbunga-bunga. Menjajakan berbagai hadits dan potongan ayat suci yang sudah di luar kepala sejak bersekolah di Taman Pendidikan Al-Quran (TPA) Darul Maghfiroh, Komplek Pemadam, Jakarta Utara.

Di setiap kesempatan, saya diutus untuk membacakan Kalam Ilahi sebagai pembuka suatu acara. Hati semakin berbunga. Namun siapa sangka, ternyata ada ketidaksukaan dari teman-teman atas caraku yang dianggap memanfaatkan agama demi ketenaran.

Ketika SMP, saya tetap berpegang teguh pada prinsip keagamaan. Kiranya itu yang diutarakan ibu saban pagi saat saya mencium punggung tangan kanannya. Satu pesan yang tak pernah terlupa atau sengaja dilupa. Prinsip keagamaan itu, kata ibu, adalah jalan menuju keselamatan; kamu harus menjadikan agama sebagai warna yang memberi kecerahan bagi diri.

Di tempatku menuntut ilmu itu ada sebuah organisasi siswa yang bergerak di bidang keislaman. Tapi saya sama sekali tidak tertarik. Saat itu, menurut saya, agama bukan untuk dijadikan kelompok-kelompok yang justru menciptakan jarak dengan orang yang berada di luar kelompok. Alasanku yang paling rasional ketika itu adalah, belajar agama bukan di organisasi.

Tetapi, berbeda dengan orang-orang yang berada di dalam kelompok itu. Mereka menyatakan bahwa organisasi adalah jantung kehidupan, sementara agama serupa jiwa. Agama dan kelompok mereka itu menjadi satu kesatuan, tidak bisa dipisahkan. 

Asumsi bisa berbeda karena posisi yang tak sama. Tergantung pada keberadaan kita di titik koordinat yang mana. Juga berdasarkan sudut, cara, jarak, dan resolusi pandang yang seperti apa dalam melihat atau menilai suatu objek.

Saya Seorang Fundamentalis




Pergaulan SMP membuat mata sakit. Saya dipaksa untuk menyaksikan sesuatu yang seharusnya tidak dilihat. Saya juga harus merasakan duduk dengan teman-teman yang sudah mulai merokok, bahkan mengonsumsi minuman beralkohol.

Karenanya, saya memutuskan untuk melanjutkan studi di pesantren untuk berhindar dari lingkungan yang tak punya batas dalam kebebasan. Saya menganggap bahwa perilaku teman-teman yang seperti itu telah melanggar norma, bahkan cenderung menista agama.

Di pesantren, saya diberi pemahaman bahwa memegang minuman beralkohol terkena dosa, terlebih meminumnya. Di sana juga belajar soal surga, pahala, neraka, dan surga. Sehingga saya berkesimpulan, seorang pemabuk akan kekal di neraka jahannam.

Usai mengentaskan pendidikan di sana, gaya keislamanku menjadi kaku, jumud, penuh amarah, dan menganggap bahwa semua orang di lingkungan sekitar rumah adalah kafir. Atau minimal fasik. Saya berambisi untuk mengislamisasi kampung halaman. Syi'ar.

Saya membeli Al-Kitab dan mempelajarinya sendiri untuk menemukan keganjilan-keganjilan yang ada, kemudian saya akan jatuhkan umat Kristiani. Sebegitu bencinya saya dengan orang yang berada di luar lingkar keberadaanku.

Simbol-simbol keagamaan membuatku bangga saat mengenakannya. Seolah menjadi seorang yang ditokohkan dan dihormati. Hidup di kota dengan mengedepankan simbol agama ternyata laris di pasaran.

Memberi kabar bahwa Islam adalah agama yang paling benar. Persis seperti anak-anak yang tergabung dalam organisasi kesiswaan, kemahasiswaan (internal dan eksternal), juga partai politik yang berafiliasi dengan sebuah gerakan transnasional.

Saya menganggap bahwa pesantren adalah pondasi awal. Kiai menjadi kunci utama dalam membentuk karakter santrinya. Betapa pun kerasnya menjadi orang beragama, seorang santri tetap memiliki cakar yang kuat agar tak ternoda oleh orang di luar sana. Sampai pada akhirnya, seorang santri pasti akan kembali ke khittahnya.

Saya Seorang Liberalis



Pertemuanku dengan Kelompok Islam Liberal berawal dari kekosongan waktu yang menjenuhkan. Hari-hariku saat itu hanya diisi dengan mengajar dan mengabdi di salah satu Musala dekat rumah. Pikirku saat itu, menjadi seorang islamis yang kesehariannya berada di rumah ibadah justru membuat daya nalar berkurang.

Bertandanglah saya ke Utan Kayu untuk mencari sesuatu yang belum diketahui. Ibu dan bapak selalu memberi izin ke mana pun arah kepergianku, asal bertujuan untuk mencari pengalaman pengetahuan yang lebih. Mereka membebaskan, tetapi juga tidak terlalu permisif.

Menjadi Liberalis, berarti juga sebagai orang yang menjunjung hak asasi setiap manusia. Menjadi toleran. Bahkan menjadi kritis terhadap teks kitab suci. Memerdekakan akal adalah sebuah keniscayaan. Beragama dengan akal sehat, selalu nikmat kurasakan.

Keluar-masuk rumah ibadah agama lain, bertukar pelajaran keagamaan dengan orang yang beragama tidak sama, tak jarang saya lakukan. Bahkan, Hari Raya Natal 2014 saya berkesempatan hadir di Gereja Katedral. Bersyukurnya, ibu selalu merestui.

Saya lepas seluruh atribut keagamaan yang menempel di tubuh. Membaca serta mempelajari Al-Kitab dan Al-Quran. Mencari kesamaan untuk menciptakan perdamaian. Saya lebih memilih untuk tidak bertengkar dengan umat agama lain, ketimbang dengan saudara seagama.

Hingga suatu ketika, saya resah. Gulana menerpa kalbu yang kian kaku; membeku. Menjadi Liberalis justru lebih sering mengkritisi teks suci, ketimbang menghamba kepada Tuhan. Karena, menurutku ketika itu, ibadah sosial menjadi prioritas utama ketimbang ibadah ritual.

Agama adalah biang rusuh. Perusak. Bertuhan tanpa beragama pun tak menjadi masalah. Saya hampir agnostik saat itu. Seorang Liberal tidak memberikan toleransi kepada kaum intoleran. Islam garis keras adalah musuh yang harus ditaklukkan. 

Menjadi Ummatan Wasathan


Hingga pada suatu ketika, saya merasa ada yang mengganjal di hati. Saya seorang Muslim, tetapi justru senang menghina dan mencaci saudara seagama yang tak sepaham. Segala buku tentang Liberalisme habis kulahap. Menjadi Liberalis yang bebas malah seperti memenjarakan hati untuk menebar cinta kepada sesama.

Januari 2016, dua orang sahabat sewaktu Aliyyah, Muhammad Syakir dan Muhammad Ammar mengajakku untuk menghadiri Kenduri Cinta, di Taman Ismail Marzuki. Mereka mempersuasikan bahwa Kenduri Cinta adalah tempat yang pas untuk mencari dan mengembangkan keilmuan.

Di sana, cakrawala pemikiran menjadi luas. Melihat beragam fenomena dengan kacamata cinta. Jama'ah Maiyah (sebutan untuk Jamaah Kenduri Cinta) diberi kebebasan untuk bersikap. Tak ada doktrin atau dogma yang mengikat. Kiai Muhammad Ainun Nadjib tidak pernah mendaku dirinya sebagai pemimpin keagamaan.

Sikapku yang terkadang radikal alias fundamentalis, yang terkadang juga Liberal diruntuhkan seketika. Semua dilihat dengan cinta. Diajarkan bagaimana menjadi bijak dalam menempatkan posisi pada berbagai kondisi. Menjadi penengah konflik yang dapat menciptakan solusi kedamaian, yang melahirkan cinta di tengah kehidupan masyarakat yang beragam.

Di sana, saya belajar untuk tidak mencaci sesama. Tidak tendensius dalam bersikap. Serta tidak fanatik terhadap golongan atau kelompok yang saya ikuti. Tidak menjadi liberal, juga tidak berlaku radikal. Bahkan, saya diajarkan untuk bisa menjadi liberal atau radikal di kondisi yang sedang dibutuhkan.

Menggunakan cara pandang yang sportif. Melihat peristiwa dengan sudut pandang yang lebih luas. Menempatkan diri di jarak pandang yang tidak terlalu dekat dan terlalu jauh. Juga meresolusi pandangan agar jernih dalam melihat, tidak keruh dan kotor. Di Kenduri Cinta, semuanya diajarkan.

Saat ini, saya justru menjadi orang yang bebas. Yang terkadang menjadi liberal saat dibutuhkan dan menjadi radikal bila diperlukan. Bahkan menjadi moderat saat benar-benar sikap itulah yang harus kulakukan dalam menengahi koflik sektarian. Dan kesemuanya dilihat atau dinilai dengan cinta; kasih sayang; dan welas asih.

Terakhir, saya katakan bahwa mungkin saja kita berada pada titik koordinat yang berbeda. Penempatan posisi adalah sebuah prinsip. Kalau kita berbeda pendapat dan argumentasi atas kondisi atau peristiwa tertentu, coba perhatikan di mana posisi kita saat itu? Karena sejatinya, kita berada di titik koordinat yang berbeda, sayang.


Wallahu A'lam


Pinggir Kalimalang, samping Unisma Bekasi, 10 Desember 2016


Aru Elgete 
Previous Post
Next Post