Jumat, 16 Agustus 2019 lalu, adalah hari bahagia bagi teman diskusi dan lawan debat saya selama ini; selama 25 tahun, yakni Nisfu Syawaluddin Tsani. Dia menikahi perempuan Desa Pagojengan, Paguyangan, Brebes, sehari sebelum peringatan hari kemerdekaan RI ke-74.
Mas Nisfu, demikian panggilan akrab saya untuknya, adalah putra kedua dari pasangan Saryono-Wiani, sebelum saya dan setelah Wahdaniah Puji Hartami; kakak tertua saya. Kami, tiga bersaudara dengan selisih usia masing-masing tiga tahun.
Dia menikahi Dwi Niar Damayanti, perempuan yang dikasihinya sejak 2010 lalu. Teman kampus, teman seaktivis, dan kini menjadi teman hidup selamanya. Terhitung, sudah sembilan tahun mereka menjalin kasih dan kini telah dibangun sebuah bahtera rumah tangga.
Dari perjalanan panjangnya bersama Mbak Niar, –demikian panggilan akrab saya untuk aktivis IPPNU ini– Mas Nisfu sesekali pernah mengatakan sebuah kalimat, "Carilah perempuan yang asyik, enak, dan nyambung diajak ngobrol."
Barangkali, itulah yang membuat hubungan mereka langgeng. Karena kedua-duanya selalu nyambung diajak bicara; soal pembahasan apa saja. Walaupun memang jodoh adalah takdir Allah, tapi setidaknya mesti kita rawat agar takdir itu tetap bisa berpihak kepada kita.
Ikhtiarnya, dengan merawat komunikasi yang utuh, keterbukaan, dan keduanya sama-sama nyambung membahas berbagai hal. Dalam pandangan saya, Mbak Niar dan Mas Nisfu mendukung satu sama lain, dalam situasi apa pun. Tidak saling mengekang dan sama-sama memberi kebebasan. Namun dengan catatan, tidak saling merugikan; baik pribadi, keduanya, bahkan merugikan hubungan yang sedang dijalani.
Gaya mereka berpacaran tidak seperti –yang dikatakan oleh anak-anak remaja sekarang– bucin; entah kependekan dari budak cinta atau butuh cinta. Sebab yang jelas, bucin itu identik dengan gaya pacaran yang bikin saya ilfeel. Salah satunya dengan menampilkan kemesraan di depan publik, padahal masih pacaran. Bagaimana kalau nanti putus? Pasti bakalan lebay ekspresinya.
Nah, kebucinan itu yang saya lihat tidak ada dalam hubungan Mbak Niar dan Mas Nisfu. Kalau bertemu pun biasa-biasa saja, ngobrol seadanya, tanpa ada kemesraan-kemesraan yang ditimbulkan sehingga membuat orang lain yang melihatnya jadi risih.
Dalam akad nikah kemarin, Mas Nisfu terlihat sangat santai sekali, sekalipun saya yakin itu dibuat-buat agar tidak grogi. Dia menjawab pertanyaan-pertanyaan penghulu dengan lugas dan enjoy. Menurut saya, di usianya yang kini 28 tahun, adalah tanda bahwa dia menikah pada usia yang sudah matang.
Keluarga besar kami memang tidak ada sejarah menikah muda. Sebab, pernikahan bukan hanya soal urusan legalisasi seks saja, tetapi lebih jauh dari hal yang remeh-temeh itu. Menikah adalah tentang menyambung tali silaturahmi diantara dua keluarga besar, menjaga kadar cinta (mawaddah) dan kasih sayang (rahmah) yang Allah berikan untuk mencapai tujuan pernikahan itu sendiri: sakinah (ketenteraman).
Tujuan pernikahan bukan sakinah, mawaddah, dan rahmah. Tetapi mawaddah dan rahmah adalah alat yang sudah diberikan Allah untuk menggapai tujuan utama bernama sakinah. Ini pula yang disampaikan Ketua PBNU sekaligus Rektor Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia atau Unusia (dulu, bernama STAINU) KH Maksoem Machfudz dalam mauizoh hasanah usai prosesi akad nikah.
Demikian itulah tujuan pernikahan yang sesungguhnya. Jadi, sekali lagi, menikah bukan semata bertujuan untuk melegalisasi seks saja tetapi lebih mulia dari itu. Maka, menikah di usia yang matang, bagi keluarga besar kami, adalah harga mati. Sebab menikah di usia muda, sebagaimana yang sering diglorifikasikan oleh kelompok-kelompok tertentu, sangat rentan terhadap berbagai resiko yang kelak terjadi.
Terlepas dari itu semua, saya sebenarnya, disaat yang sama, telah kehilangan teman diskusi sekaligus lawan debat saya di rumah. Mas Nisfu seringkali mengajak diskusi tentang berbagai hal. Mulai dari pembahasan mengenai pemikiran Gus Dur dan Mas Ulil Abshar Abdalla, hingga berdebat soal pengaplikasian dari pemikiran ke dalam bentuk harakah (gerakan) ke masyarakat.
Saat menyaksikan hari kebahagiaan mereka kemarin, saya berkali-kali mengeluarkan air mata yang tiba-tiba menetes begitu saja. Betapa tidak, ruang dan waktu diskusi untuk kami berdua, saya berpikir, akan sangat jarang digelar. Bukan hanya lantaran kesibukan kerja Mas Nisfu, tetapi juga karena dia harus membersamai istrinya kapan pun waktu.
Pada kesempatan kemarin itu, merupakan kali kedua saya kehilangan teman diskusi. Setelah sebelumnya, saya merasakan hal sama pada 3 Desember 2017 lalu, saat pernikahan kakak pertama saya berlangsung.
Di rumah, hanya tinggal saya dan kedua orang tua yang kini kian senja usianya. Mereka, ibu dan bapak, adalah dua orang yang selanjutnya menjadi teman diskusi saya. Sebab dari merekalah, atas izin mereka pula, pemikiran dan pergerakan saya bisa berkembang setiap waktu.
Namun, sekalipun saya kehilangan Mas Nisfu sebagai sahabat diskusi, saya masih akan merasa sangat dekat secara pemikiran dengannya. Yakni saat cita-citanya semasa jadi aktivis di masa lalu itu, perlahan saya wujudkan. Salah satunya adalah berkunjung ke rumah-rumah ibadah dan melakukan diskusi dengan saudara-saudara lintas agama.
Selama sekitar lima tahun ke belakang, Mas Nisfu adalah orang yang paling berjasa dalam mengembangkan dan mengajarkan kedewasan berpikir untuk saya. Dalam berbagai diskusi dan pertemuan, dia tidak merasa malu membawaserta saya, sebagai adik, ke mana pun tempatnya.
Mulai dari diskusi bersama Jaringan Islam Liberal dan Freedom Institute (2014-2016), mengikuti ibadah misa natal di Gereja Katedral Jakarta (2014) dan Kanisius Menteng (2015), mengunjungi Komunitas Eden (2016), dan beberapa aktivitas lainnya yang saya sampai-sampai tak mengingatnya lagi.
Karena itu, berkat jasa Mas Nisfu dan rahmat Allah, kini saya punya pemikiran yang terbuka sekaligus memiliki wawasan lebih ketimbang anak muda yang sebaya dengan saya. Tak hanya itu, saya juga menjadi giat untuk membaca; yang kemudian menulis, serta cakap dalam melakukan retorika lantaran bacaan-bacaan atau pengetahuan dari berbagai buku yang telah habis dibaca.
Mas Nisfu juga yang telah memperkenalkan saya dengan banyak tokoh. Bahkan tokoh-tokoh Islam moderat di Indonesia yang telah wafat. Seperti beberapa diantaranya adalah Gus Dur, Cak Nur, Ahmad Wahib, KH Sahal Mahfudh, Dawam Raharjo, Djohan Effendi, dan masih banyak lagi.
Selama sekitar lima tahun itu, dia seperti membuka jalan untuk saya, dan saat ini jalan itu sudah terbuka di hadapan mata. Dia sudah memberikan sepenuhnya untuk saya berjalan dalam rangka menyebarkan nilai-nilai Islam yang ramah, sejuk, dan menyenangkan.
Itulah yang barangkali membuat saya sedih karena kehilangan Mas Nisfu, sebagai "pemandu jalan" sejak 2014 lalu. Semoga masih akan banyak waktu dan ruang untuk kami mendiskusikan banyak hal, dalam waktu dan ruang yang berbeda dari lima tahun lalu.
Terakhir, saya ucapkan selamat menempuh perjalanan baru. Semoga Allah berikan keberkahan hidup, kelancaran rezeki, dan regenerasi biologis yang dapat melanjutkan perjalanan dalam memperjuangkan nilai-nilai Islam yang ramah.
Kepada teman-teman yang membaca tulisan ini, kiranya dapat hadir dalam pesta pernikahan kecil-kecilan di kediaman kami: Kavling Perwirasari, Bekasi Utara, pada 8 September mendatang.
Mari kita ngopi-ngopi~