Minggu, 18 Agustus 2019

Pernikahan Mas Nisfu dan Saya Kehilangan Teman Diskusi




Jumat, 16 Agustus 2019 lalu, adalah hari bahagia bagi teman diskusi dan lawan debat saya selama ini; selama 25 tahun, yakni Nisfu Syawaluddin Tsani. Dia menikahi perempuan Desa Pagojengan, Paguyangan, Brebes, sehari sebelum peringatan hari kemerdekaan RI ke-74.

Mas Nisfu, demikian panggilan akrab saya untuknya, adalah putra kedua dari pasangan Saryono-Wiani, sebelum saya dan setelah Wahdaniah Puji Hartami; kakak tertua saya. Kami, tiga bersaudara dengan selisih usia masing-masing tiga tahun.

Dia menikahi Dwi Niar Damayanti, perempuan yang dikasihinya sejak 2010 lalu. Teman kampus, teman seaktivis, dan kini menjadi teman hidup selamanya. Terhitung, sudah sembilan tahun mereka menjalin kasih dan kini telah dibangun sebuah bahtera rumah tangga.

Dari perjalanan panjangnya bersama Mbak Niar, –demikian panggilan akrab saya untuk aktivis IPPNU ini– Mas Nisfu sesekali pernah mengatakan sebuah kalimat, "Carilah perempuan yang asyik, enak, dan nyambung diajak ngobrol."

Barangkali, itulah yang membuat hubungan mereka langgeng. Karena kedua-duanya selalu nyambung diajak bicara; soal pembahasan apa saja. Walaupun memang jodoh adalah takdir Allah, tapi setidaknya mesti kita rawat agar takdir itu tetap bisa berpihak kepada kita. 

Ikhtiarnya, dengan merawat komunikasi yang utuh, keterbukaan, dan keduanya sama-sama nyambung membahas berbagai hal. Dalam pandangan saya, Mbak Niar dan Mas Nisfu mendukung satu sama lain, dalam situasi apa pun. Tidak saling mengekang dan sama-sama memberi kebebasan. Namun dengan catatan, tidak saling merugikan; baik pribadi, keduanya, bahkan merugikan hubungan yang sedang dijalani.

Gaya mereka berpacaran tidak seperti –yang dikatakan oleh anak-anak remaja sekarang– bucin; entah kependekan dari budak cinta atau butuh cinta. Sebab yang jelas, bucin itu identik dengan gaya pacaran yang bikin saya ilfeel. Salah satunya dengan menampilkan kemesraan di depan publik, padahal masih pacaran. Bagaimana kalau nanti putus? Pasti bakalan lebay ekspresinya. 

Nah, kebucinan itu yang saya lihat tidak ada dalam hubungan Mbak Niar dan Mas Nisfu. Kalau bertemu pun biasa-biasa saja, ngobrol seadanya, tanpa ada kemesraan-kemesraan yang ditimbulkan sehingga membuat orang lain yang melihatnya jadi risih. 

Dalam akad nikah kemarin, Mas Nisfu terlihat sangat santai sekali, sekalipun saya yakin itu dibuat-buat agar tidak grogi. Dia menjawab pertanyaan-pertanyaan penghulu dengan lugas dan enjoy. Menurut saya, di usianya yang kini 28 tahun, adalah tanda bahwa dia menikah pada usia yang sudah matang. 

Keluarga besar kami memang tidak ada sejarah menikah muda. Sebab, pernikahan bukan hanya soal urusan legalisasi seks saja, tetapi lebih jauh dari hal yang remeh-temeh itu. Menikah adalah tentang menyambung tali silaturahmi diantara dua keluarga besar, menjaga kadar cinta (mawaddah) dan kasih sayang (rahmah) yang Allah berikan untuk mencapai tujuan pernikahan itu sendiri: sakinah (ketenteraman).

Tujuan pernikahan bukan sakinah, mawaddah, dan rahmah. Tetapi mawaddah dan rahmah adalah alat yang sudah diberikan Allah untuk menggapai tujuan utama bernama sakinah. Ini pula yang disampaikan Ketua PBNU sekaligus Rektor Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia atau Unusia (dulu, bernama STAINU) KH Maksoem Machfudz dalam mauizoh hasanah usai prosesi akad nikah. 

Demikian itulah tujuan pernikahan yang sesungguhnya. Jadi, sekali lagi, menikah bukan semata bertujuan untuk melegalisasi seks saja tetapi lebih mulia dari itu. Maka, menikah di usia yang matang, bagi keluarga besar kami, adalah harga mati. Sebab menikah di usia muda, sebagaimana yang sering diglorifikasikan oleh kelompok-kelompok tertentu, sangat rentan terhadap berbagai resiko yang kelak terjadi. 

Terlepas dari itu semua, saya sebenarnya, disaat yang sama, telah kehilangan teman diskusi sekaligus lawan debat saya di rumah. Mas Nisfu seringkali mengajak diskusi tentang berbagai hal. Mulai dari pembahasan mengenai pemikiran Gus Dur dan Mas Ulil Abshar Abdalla, hingga berdebat soal pengaplikasian dari pemikiran ke dalam bentuk harakah (gerakan) ke masyarakat. 

Saat menyaksikan hari kebahagiaan mereka kemarin, saya berkali-kali mengeluarkan air mata yang tiba-tiba menetes begitu saja. Betapa tidak, ruang dan waktu diskusi untuk kami berdua, saya berpikir, akan sangat jarang digelar. Bukan hanya lantaran kesibukan kerja Mas Nisfu, tetapi juga karena dia harus membersamai istrinya kapan pun waktu.

Pada kesempatan kemarin itu, merupakan kali kedua saya kehilangan teman diskusi. Setelah sebelumnya, saya merasakan hal sama pada 3 Desember 2017 lalu, saat pernikahan kakak pertama saya berlangsung.

Di rumah, hanya tinggal saya dan kedua orang tua yang kini kian senja usianya. Mereka, ibu dan bapak, adalah dua orang yang selanjutnya menjadi teman diskusi saya. Sebab dari merekalah, atas izin mereka pula, pemikiran dan pergerakan saya bisa berkembang setiap waktu.

Namun, sekalipun saya kehilangan Mas Nisfu sebagai sahabat diskusi, saya masih akan merasa sangat dekat secara pemikiran dengannya. Yakni saat cita-citanya semasa jadi aktivis di masa lalu itu, perlahan saya wujudkan. Salah satunya adalah berkunjung ke rumah-rumah ibadah dan melakukan diskusi dengan saudara-saudara lintas agama. 

Selama sekitar lima tahun ke belakang, Mas Nisfu adalah orang yang paling berjasa dalam mengembangkan dan mengajarkan kedewasan berpikir untuk saya. Dalam berbagai diskusi dan pertemuan, dia tidak merasa malu membawaserta saya, sebagai adik, ke mana pun tempatnya.

Mulai dari diskusi bersama Jaringan Islam Liberal dan Freedom Institute (2014-2016), mengikuti ibadah misa natal di Gereja Katedral Jakarta (2014) dan Kanisius Menteng (2015), mengunjungi Komunitas Eden (2016), dan beberapa aktivitas lainnya yang saya sampai-sampai tak mengingatnya lagi. 

Karena itu, berkat jasa Mas Nisfu dan rahmat Allah, kini saya punya pemikiran yang terbuka sekaligus memiliki wawasan lebih ketimbang anak muda yang sebaya dengan saya. Tak hanya itu, saya juga menjadi giat untuk membaca; yang kemudian menulis, serta cakap dalam melakukan retorika lantaran bacaan-bacaan atau pengetahuan dari berbagai buku yang telah habis dibaca. 

Mas Nisfu juga yang telah memperkenalkan saya dengan banyak tokoh. Bahkan tokoh-tokoh Islam moderat di Indonesia yang telah wafat. Seperti beberapa diantaranya adalah Gus Dur, Cak Nur, Ahmad Wahib, KH Sahal Mahfudh, Dawam Raharjo, Djohan Effendi, dan masih banyak lagi.

Selama sekitar lima tahun itu, dia seperti membuka jalan untuk saya, dan saat ini jalan itu sudah terbuka di hadapan mata. Dia sudah memberikan sepenuhnya untuk saya berjalan dalam rangka menyebarkan nilai-nilai Islam yang ramah, sejuk, dan menyenangkan. 

Itulah yang barangkali membuat saya sedih karena kehilangan Mas Nisfu, sebagai "pemandu jalan" sejak 2014 lalu. Semoga masih akan banyak waktu dan ruang untuk kami mendiskusikan banyak hal, dalam waktu dan ruang yang berbeda dari lima tahun lalu. 

Terakhir, saya ucapkan selamat menempuh perjalanan baru. Semoga Allah berikan keberkahan hidup, kelancaran rezeki, dan regenerasi biologis yang dapat melanjutkan perjalanan dalam memperjuangkan nilai-nilai Islam yang ramah. 

Kepada teman-teman yang membaca tulisan ini, kiranya dapat hadir dalam pesta pernikahan kecil-kecilan di kediaman kami: Kavling Perwirasari, Bekasi Utara, pada 8 September mendatang.

Mari kita ngopi-ngopi~

Sabtu, 17 Agustus 2019

merdeka-merdeka




sudahkah merdeka?
merdekakah sudah?
sudah merdekakah?
entah

aku tak paham makna sesungguhnya
apa kemerdekaan yang hakiki itu?

karena yang kutahu
kemerdekaan adalah kebebasan
kedamaian
ketiadaan penindasan

lalu sudahkah kita merdeka?

ssssttt...
jangan terlalu keras berungkap merdeka
pernahkah kita bertanya,
bagaimana mereka yang sunyi?
mereka yang hidup dalam kehampaan?
mereka yang menatap langit dengan kepedihan?

sudahkah merdeka?
jika di sana
di ujung penglihatan mata
ada mereka yang hidup dalam ketakutan
menjalani hidup dengan berbagai kesengsaraan

sudah lebih dari tujuh dasawarsa merdeka
kita merdeka dari penjajah dan penjarah

berkat Tuhan Yang Mahatinggi
kini mereka telah pergi

tapi sungguh perjuangan tak pernah berakhir
kita mesti selalu waspada atas penjajahan

penjajahan oleh diri sendiri
nafsu
kebodohan
penindasan
permusuhan
keterbatasan
dan penguasa bajingan yang seolah ingin bertanding dengan Tuhan

maka, kapan kita akan rasakan kemerdekaan yang hakiki?

mari berkaca pada diri
untuk negeri
agar kita terbebas
dari kemerdekaan ilusi

merdeka-merdeka itu tak perlu diteriak-teriakkan
berbuat saja dengan tulus tanpa pamrih
untuk bangsa dan negeri
dan dimulai dari diri sendiri

Aru Elgete

(Ditulis di Bekasi pada 16 Agustus 2015, diperbarui pada 17 Agustus 2019)

Aku Merdeka


Sumber gambar: artikula.id

"Merdeka, Merdeka, Merdeka!" Pekik kebahagiaan terpancar dari mereka, 74 tahun yang lalu.

Semua satu,
semua saling membantu,
bertumpu,
untuk negara-bangsa dan negeri yang utuh, tanpa pengganggu,
juga perusuh.

"Kemerdekaan itu akan didapat saat dirimu sudah benar-benar merasakan ketenangan, kedamaian, dan segala kenikmatan atas rasa syukur kepada Gusti Allah," demikian nasihat seorang kakek yang usianya 15 tahun lebih sepuh dari Indonesia.

Menurutnya, jika kita tak pandai bersyukur, kemerdekaan itu akan terlihat semu. Maka, bersyukurlah agar merdeka.

Tujuh empat puluh tahun yang lalu, kemerdekaan diartikan sebagai pelepasan diri dari para penjajah dan penjarah. Ketika itu merdeka diartikan sebagai sebuah pembebasan yang nyata. 

Telah lama kita ditindas secara fisik dan nyata. Secara terang-terangan, mereka –para penjajah– merampas dan memaksa pribumi untuk bekerja demi kepentingan mereka. Tanpa pamrih, apalagi apresiasi.

"Semua menangis, merintih, menahan perih, pedih. Kami menjalani hidup dengan duka dan lara," lanjut sang kakek, bercerita.

Karenanya, berawal dari kesamaan nasib dan rasa, rakyat Indonesia berkumpul. Satu dengan yang lainnya saling menyatukan diri, sehingga tersinergi kekuatan mumpuni. Maka, pemberontakan terhadap penindasan, akhirnya dilakukan.

Itulah kemerdekaan zaman dulu. Namun, tentu saja makna kemerdekaan akan selalu berubah-ubah tergantung situasi dan keadaan zaman. Jika orang lain sudah merasakan merdeka, belum tentu kita juga merdeka. Bisa jadi kita, sebenarnya –tanpa sadar, sudah merdeka, tapi dengan cara dan jalan yang berbeda.

"Intinya setiap manusia harus dan pasti merdeka," tandas kakek itu.

Dia kemudian berbicara seperti layaknya penyair, sembari sesekali menghisap sebatang rokok yang sedari tadi diselipkan di antara jemari tangan kanannya.

Hidup dinamis
tak menentu
kadang ini
esok itu
lusa begini
atau mungkin seperti itu

Dan kemerdekaan akan datang setiap waktu
serupa kenikmatan
seperti keindahan
juga kebebasan dari segala hal penindasan
penindasan fisik dan psikis

Indonesia sudah merdeka
saat ini harus kembali merdeka

Indonesia, sejak dulu, adalah negeri yang sangat permisif. Santun dan ramah. Siapa saja diterima tanpa pandang bulu dan pilih kasih. Di era globalisasi dan kemajuan teknologi yang sangat pesat, para penjajah dan penjarah yang tempo dulu menyerang secara fisik, kini menghantam psikis.

Selain itu juga mencuci pemikiran, mempengaruhi budaya, dan membuyarkan sejarah masalalu. Maka, mungkin saja, dengan segala kenikmatan di zaman yang serba teknologi ini, banyak orang yang mengira bahwa itu adalah kemerdekaan bagi dirinya.

Kakek itu lantas berceloteh, "Sejak kedatangan teknologi yang mengalir sangat deras, kita seperti kembali dijajah dan dijarah bangsa lain. Oleh Arab, Barat, Cina, Korea, Rusia, dan Amerika. Kita seperti kehilangan jati diri. Menjadi lupa. Bahkan tak diperkenankan untuk mengetahui, mempelajari, atau hanya sekadar mengingat kearifan lokal dan potensi diri yang dimiliki negeri ini."

"Kita selalu manut dengan apa pun yang baru, oleh segala yang berkait dengan luar negeri, biar terlihat keren, beken, dan sebagainya," lanjutnya.

Terakhir, kakek itu berpesan, "Peliharalah nilai-nilai terdahulu yang baik, dan serap nilai-nilai baru yang lebih baik. Belajar boleh di mana, ke mana, dan dari mana saja. Silakan ke timur dan barat, agar mendapat ilmu yang luas. Tapi ingat, serap dan dapatkan ilmunya, bukan budayanya, karena kita sudah punya budaya sendiri."

"Jadi, pelajari dan pertahankanlah budaya yang kita miliki dengan segenap rasa cinta kepada negeri, tapi dengan ilmu yang memadai untuk menghadapi konteks kekinian yang serba praktis dan cepat saji. Dengan begitu, kita, manusia Indonesia, akan mendapat dan menemukan makna kemerdekaan yang sesungguhnya."

Kalau kita sebagai bangsa Indonesia selalu saja bersikap kearab-araban, kebarat-baratan, kecina-cinaan, kerusia-rusiaan, keamerika-amerikaan, dan kekorea-koreaan, itu berarti kita belum bersyukur mencintai negeri sendiri. Kita belum merdeka.

Berbeda halnya jika kita mampu menyerap ilmu dari negara-negara itu dan tetap mempertahankan budaya negeri sendiri, itu berarti kita sudah merdeka. 

Maka silakan katakan dengan bangga, "Aku merdeka!"

(Ditulis di Bekasi pada 8 Agustus 2016 dan diperbarui pada 17 Agustus 2019)

Makna Kemerdekaan dalam Lomba Tujuhbelasan


Sumber: cimsa.or.id

Setiap manusia tentu memiliki pemaknaan yang berbeda tentang kemerdekaan. Siapa pun boleh dan bisa saja menafsirkan terma kemerdekaan berdasarkan pengalaman atau pengetahuannya sendiri. 

Merdeka dari penindasan dan penjajahan pada masa kolonial merupakan makna denotatif bagi bangsa Indonesia. Namun secara konotatif, kemerdekaan tidak sembarang termaknai. Setiap jiwa pasti dan harus merdeka. Maka, kemerdekaan bersifat multitafsir. Singkatnya, kemerdekaan itu dapat dirasakan setelah melewati rentetan perjuangan.

Seorang ibu, misalnya, bisa jadi ia menafsirkan dan dapat menikmati udara kemerdekaan ketika melihat dan merasakan kesuksesan buah hatinya di hari tua. Akan tetapi, kesuksesan pun tidak bermakna tunggal. Setiap orang boleh menafsirkan sesuai kebutuhan dan jangkauan kehidupannya. 

Seorang penyair juga akan merasakan kemerdekaan, barangkali, ketika ia sudah dapat mengejawantahkan kenyataan yang ada di hadapan mata ke dalam karya-karyanya. Siapa pun berhak merdeka dengan pemaknaannya masing-masing.

Secara umum, para bijak bestari mengatakan bahwa puncak dari perjuangan adalah torehan kemerdekaan. Walau demikian, bukan tidak mungkin bakal lahir perjuangan-perjuangan lain yang harus dilewati agar dapat merasakan kemerdekaan yang lebih bermakna.

Dalam tradisi tasawuf, seorang sufi akan benar-benar merasakan kenikmatan dari sebuah kemerdekaan ketika sudah bertajalli dengan Tuhannya. Tajalli, dapat dirasakan setelah melewati proses perjalanan perjuangan –atau katakanlah pembersihan diri, guna menemukan kesucian yang sejati.

Allah berfirman, "Bersyukurlah kepada-Ku maka nikmat akan ditambah." Kalimat tersebut bisa saja kita maknai sebagai kemerdekaan yang sudah semestinya didapat. Artinya, rasa syukur atas nikmat yang telah diberi Allah merupakan tanda kemerdekaan. 

Maka jika nikmat kemerdekaan terus-menerus kita syukuri, bukan tidak mungkin Allah akan menjadikan Indonesia menjadi bangsa yang unggul, maju, optimis, adil, dan makmur. Dalam bahasa agama, "Baldatun tayyibatun wa rabbun ghafur." Sebuah negeri yang baik dan berlimpah ruah ampunan dari Allah.

Kemudian, rasa bersyukur itu tentu saja dicapai melalui proses perjuangan yang tidak sepele. Yakni seorang manusia harus terlebih dulu berikhtiar. Lalu, berpencar di muka bumi untuk mencapai derajat kemerdekaan (baca: takwa) di hadapan Allah.

Barangsiapa yang tidak mampu melewati proses, maka ia takkan merasakan kemerdekaan dalam dirinya. Sedangkan Allah tidak memberikan perjuangan untuk dilalui oleh manusia melebihi batas kemampuan yang dimiliki.

Maka, siapa pun orang yang menyerah dalam proses perjuangan, bisa dikategorikan sebagai manusia yang gagal memperoleh kadar kualitas (kemerdekaan) terbaik di hadapan Allah. Terkecuali mereka yang memasrahkan segala sesuatunya setelah melalui proses panjang dari perjuangan yang harus dihadapi. Tawakkal.

Indonesia Merdeka 

Kemerdekaan Indonesia yang sudah lebih dari tujuh dasawarsa ini, merupakan hasil dari proses perjuangan panjang yang dilalui oleh para pendiri dan pendahulu. Mereka berjuang demi anak-cucu, demi nusa-bangsa, demi kehormatan, harkat dan martabat yang harus dinikmati oleh penerusnya. Mereka berontak, bertindak, serta beranjak dari penindasan juga kekuasaan bangsa lain yang menjajah dan menjarah kekayaan negeri.

Nikmat kemerdekaan, pikir mereka ketika itu, harus dapat dirasakan oleh manusia Indonesia saat ini. Sementara nikmat tersebut hanya bisa dirasakan jika seluruh negeri bersyukur atas udara kebebasan yang terhirup.

Tugas kita sekarang adalah menjaga kemerdekaan yang sudah susah-payah diraih oleh para pejuang tempo dulu agar kenikmatan selalu terasa, sekalipun model dan gaya penjajahan yang dilakukan oleh bangsa lain –atau bahkan dari kita sendiri, selalu berubah-ubah.

Perlombaan Tujuhbelasan

Berangkat dari hal itu, sebagai bentuk rasa syukur atas nikmat kemerdekaan yang sudah diperoleh, maka setiap tahun pasti diadakan perlombaan. Tujuannya untuk merangsang anak-anak agar tak lupa pada sejarah. Selain itu agar senantia mengingat dan menghargai perjuangan pahlawan dalam merebut kemerdekaan dari para penindas.

Jenis perlombaan sangat beragam. Diselenggarakan dengan semangat perjuangan dan rasa suka-cita. Karena sesungguhnya, rasa syukur atas nikmat kemerdekaan yang diejawantahkan ke dalam bentuk perlombaan itu adalah sebagai pemersatu.

Rasa persatuan sangat kentara, tidak hanya pada saat proses berlangsungnya perlombaan, tetapi juga ketika perumusannya. Harapannya adalah agar tercipta harmoni dan estetika yang lebih dialektis. Sehingga, perjalanan perjuangan yang akan dihadapi berikutnya menjadi mudah terlewati secara kekeluargaan. Itulah yang menjadi pengimplementasian dari kearifan lokal bangsa kita sejak ribuan tahun lalu: gotong royong.

Perlombaan tujuhbelasan menjadi perkara wajib diadakan dan akan merasa berdosa ketika meniadakannya. Sebab, di dalamnya terkandung makna sangat dalam. Yaitu sesuatu yang harus terserap pada setiap jiwa manusia Indonesia.

Peserta lomba akan merasa sangat bahagia dan merasakan kemerdekaannya ketika telah berhasil melewati tahap perjuangan. Sekalipun tidak mendapat juara pertama, kedua, maupun ketiga, mereka akan tetap merasa bahagia. Kenapa? Karena sejatinya, perlombaan itu diadakan dengan tujuan agar muncul rasa persatuan dan persaudaraan.

Sebab kemerdekaan yang hakiki, hanya dapat dirasakan setiap manusia, saat rasa persatuan dan persaudaraan menyertai dalam setiap proses perjuangan. Maka, makna kemerdekaan yang sejati pada perlombaan tujuhbelasan adalah terciptanya rasa kekeluargaan, kebersamaan, persaudaraan, dan persatuan untuk berjuang bersama melawan kejahatan, penindasan, keserakahan, kehancuran, dan perpecahan.

Bukankah pepatah mengatakan dalam peribahasa: "Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh?" Itu makna kemerdekaan kita. Bersyukurlah karena bersatu dan jangan memecah-belah persatuan. Karena ketika kita terpecah-belah, kemerdekaan akan sirna. Menjadi semu, absurd, dan bahkan menghilang dalam pribadi kehidupan sebagai bangsa.

Wallahua'lam...

(Ditulis di Bekasi, pada 11 Agustus 2016 diperbarui pada 17 Agustus 2019)

Jumat, 16 Agustus 2019

Pemuda NU Jangan Selalu Berurusan dengan Persoalan Keagamaan


Gus Ali (ketiga dari kiri)

Beberapa waktu yang lalu, anak-anak muda Nahdlatul Ulama Kota Bekasi kedatangan seorang tamu. Saya dan Pengasuh Komunitas Santri NU Gus Thufael, ketika itu, menyambut kedatangan tamu yang merupakan pengurus Lembaga Dakwah PWNU Jawa Barat. 

Tamu itu adalah Gus Ali Fadhil. Entah sedang punya urusan apa, tetiba menghubungi Gus Thufael yang sedang bersama saya di Sekretariat banom NU Kota Bekasi, Jalan Veteran 22, Margajaya, Bekasi Selatan.

Dalam penjelasannya, Gus Ali hanya ingin bertamu dan berbagi pengalaman kepada anak-anak muda NU yang kebetulan tinggal di wilayah penyangga Jakarta. Kita tentu saja sepakat, bahwa Bekasi adalah salah satu kota metropolitan. Berbagai akses dapat dengan mudah tanpa kendala. 

Dikatakan Gus Ali, NU saat ini sedang menjadi raja. Berada di posisi atas, bukan hanya lantaran tokohnya yang kini terpilih menjadi wakil presiden, tetapi juga karena NU mampu adaptif terhadap perkembangan zaman.

Namun, yang dapat dengan mudah kita identifikasi bahwa NU sedang berada di posisi raja adalah karena Kiai Ma'ruf Amin yang berhasil memenangkan kontes Pemilu 2019 lalu.

Karenanya, Gus Ali ingin para generasi penerus NU di Kota Bekasi ini mampu mengambil peran penting di segala lini. Bukan hanya itu, kader muda NU mesti bersaing dengan ormas yang lainnya.

"Pemuda NU jangan melulu mengurusi soal mengaji kitab atau selalu fokus terhadap urusan keagamaan saja. Kita semua, sesama orang NU sudah pasti bisa ngaji," kata Gus Ali, tegas.

Selain itu, anak-anak muda NU jangan terus-menerus mengurusi tentang pengkaderan. Lebih-lebih urusan soal bagaimana mengangkat popularitas.

"Sekalipun itu harus dilakukan, tetapi jangan nyaman di zona itu," kata Gus Ali.

Disadari atau tidak, sebagian besar Nahdliyin di Indonesia memiliki pekerjaan rumah yang hampir sama. Yakni mengenai bagaimana mereka mampu mengelola soal perekonomian.

"Itulah kelemahan (sebagian besar) dari kita. Ekonomi. Maka, pemuda NU harus berani terjun di bidang ini," kata Gus Ali.

Pemuda NU sekelas Ansor dan Banser, misalnya, menurut Gus Ali setara dengan organisasi kepemudaan (OKP) sekaliber Pemuda Pancasila, Gerakan Masyarakat Bawah Indonesia, dan lain sebagainya.

OKP itu kerapkali memegang kendali proyek. Setidaknya, mereka sering mendapat berbagai proyek dari pemerintahan dan meraup keuntungan. Kemudian, keuntungan-keuntungan itu tentu untuk keberlangsungan organisasi. 

Sebab, persoalan kemandirian secara ekonomi merupakan hal yang sangat mendesak agar organisasi bisa tetap hidup. Jangan sampai, kata Gus Ali, para pemuda NU jika ingin berkegiatan masih saja berkelit di persoalan dana. Sehingga harus berkali-kali menyebar proposal setiap kegiatan yang akan dilakukan.

"Makanya ayo dong pemuda NU, harus bisa memegang proyek-proyek juga. Kapan mau kita mainkan? Mumpung di semua lembaga ada orang NU," tutup Gus Ali.

Akhirnya, saya dan Gus Thufael pun paham bagaimana kita harus punya peranan penting dalam upaya mengembangkan perekonomian untuk kehidupan organisasi. Tentu saja, soal dunia itu, saya masih harus banyak belajar dari pengalaman bisnis Gus Thufael yang sudah lama dia geluti.

Wallahua'lam...

Kamis, 15 Agustus 2019

Hanya Mimpi




“Kita putus!” Bentak Irma kepada Mul di hadapan kedua orangtuanya.

Setelah kejadian itu, mereka tak lagi bersama. Masa depan yang sudah dirajut sedemikian cantik, menjadi buruk rupa kala itu. Tak ada lagi obrolan tentang impian bersama. Mul lebih asik menulis dan mengejar berita daripada mengurus atau memberi perhatian yang spesial untuk kekasihnya.

Tapi Irma selalu menerima Mul apa adanya. Begitu pun, Mul. Ia tak mempermasalahkan tubuh Irma yang agak gemuk. Sementara Irma tetap menerima Mul, sekalipun lelaki terkasihnya itu berkepala plontos dan badannya yang sangat kurus. Bagi Mul, cinta adalah kemurnian sejati, tanpa berharap imbalan serta takut mendapat hukuman.

Minggu pagi, saat embun masih bermesra dengan dedaunan dan kicau burung seperti merayakan kemesraan itu, Mul mengendarai vespa kesayangannya untuk menemui Irma; kekasih yang sudah hampir lima tahun menemani perjalanan hidupnya.

Dua hari di ujung pekan memang menjadi hari yang sangat menyenangkan bagi setiap orang, tak terkecuali Mul. Sabtu ia berbagi waktu untuk dirinya beristirahat, sementara Minggu adalah waktu yang pas untuk melepas rindu dengan Irma. Mul tak pernah menyia-nyiakan waktunya untuk hal yang percuma.

Rumah Mul dan Irma tidak begitu jauh; seperti dari Alun-alun ke Stasiun Bekasi. Setiap Minggu, kedua orangtua Irma selalu ada di rumah. Mereka sengaja menyisihkan waktu, untuk sekadar mengobrol dengan calon menantu idamannya. Pasalnya, Mul menjadi dambaan kedua orangtua Irma karena tertarik pada profesinya sebagai wartawan di salah satu media cetak nasional.

“Assalamu’alaikum,” Sembari memarkirkan motornya di halaman rumah Irma, Mul memberi salam dan bergegas mencium punggung tangan kanan calon mertuanya.

“Wa’alaikum salam, sini masuk nak Mul. Irma masih melaksanakan tugasnya sebagai perempuan sejati. Yaaa hitung-hitung belajar, kan buat kamu juga,” canda ibunda Irma pada Mul.

“Sudah sampai mana hubunganmu, nak? Jangan terlalu lama pacaran, gak baik. Ayo segera direncanakan waktu yang pas untuk kalian menikah,” lanjut ayah Irma, menasihati Mul.

Mul hanya tersenyum kaku karena memang tak ada kata yang seharusnya ia katakan, selain melempar senyum sebagai tanda penerimaannya atas nasihat yang didapat. Ia sadar, menjadi seorang wartawan, meskipun sebagai profesi yang dipandang tidak sebelah mata, namun gajinya tak seberapa. Uang yang terkumpul belum mencapai batas nominal yang sesuai untuk menggelar akad dan resepsi pernikahan.

Sebagai anak rantau dari Sumatera Utara, ia harus memenuhi kebutuhannya setiap bulan; membayar sewa kontrakan, makan dan minum, serta rokok juga kopi yang senantiasa menjadi teman setia untuk meliput dan menulis beragam peristiwa menjadi sebuah berita yang menarik minat pembaca.

Sembari membawa kopi hitam kesukaan Mul, Irma tersenyum. Keduanya saling tatap. Rindu yang sudah seminggu tertahan, rasanya ingin membuncah ke permukaan. Irma salim. Sebagai tanda takzim dan hormat kepada calon suaminya, kemudian duduk di sebelah Mul dan di depan kedua orangtuanya.

Sambil berkali-kali menyeruput kopi buatan kekasihnya, Mul kembali berbincang-bincang dengan Irma dan kedua orangtuanya. Ia sudah menganggap mereka sebagai keluarga sendiri. Kadar cinta yang Mul beri hanya berbeda sedikit dari cinta yang dipersembahkan untuk keluarganya sendiri di kampung halaman.

“Yuk berangkat,” ucap Mul kepada Irma sembari menghabiskan kopinya. Dan keduanya cium tangan kedua orangtua, sebagai simbol kekeluargaan dan permohonan izin agar segala aktivitas jalinan kasihnya direstui.

Mul dan Irma bersiap pergi tamasya. Sekadar mengelilingi ruas jalan Kota Bekasi atau minum kopi dan belajar sejarah di Gedung Joeang 45, Tambun. Atau kalau ada uang lebih, mereka pergi ke bioskop untuk menyaksikan film terbaru. Irma selalu bahagia, asal pergi bersama lelaki tercinta.

Minggu ini, Mul mengajak kekasihnya bertualang ke ujung Bekasi; melihat dan menyaksikan tanaman Mangrove. Sekira jam 3 sore, mereka pergi ke XXI Mega Bekasi, menonton film terbaru; Warkop DKI reborn.

Jam 4 sore, mereka berdua antri membeli karcis. Mereka harus menunggu sekitar setengah jam untuk menikmati hiburan dan kelucuan Dono, Kasino, Indro yang diperankan artis papan atas. Sambil menunggu film diputar, mereka bercanda-ria, membicarakan sesuatu yang lucu-lucu selama seminggu tak bertemu.

“Kemarin aku liputan anggota DPRD yang ketahuan selingkuh. Begitu berita naik cetak, eeeh tuh koran diborong di semua lapak. Kayak ketakutan gitu,” canda Mul, Irma terbahak mendengarnya.

“Tapi kamu gak selingkuh kan, Uda?” kata Irma dengan manja.

“Jangankan selingkuh, buat ketemu kamu aja, cuma seminggu sekali, apalagi selingkuh coba? Lagian mana ada yang mau sama wartawan supersibuk macam aku ini, kecuali kamu,” ucap Mul meledek.

Obrolan kian hangat. seakan dunia milik mereka. Tawa-canda menjadi penghias pelepas rasa rindu. Di akhir ceritanya, mereka berimajinasi soal keluarga kecil yang dibangun bersama-sama. Pikirnya sudah jauh. Melampaui keindahan nirwana di singgasana Tuhan. Segala keindahan sudah tergambar jelas di otaknya.
Pintu teater 3 telah dibuka, kepada penonton yang sudah membeli karcis dipersilakan masuk, karena pertunjukkan film segera dimulai.
Mul dan Irma, bergandeng tangan. Berjalan. Memasuki ruangan teater yang redup. Selain mereka berdua, ada juga pasangan lain yang juga memadu kasih dan melepas rasa rindu. Semua berbahagia. Merayakan pertemuan dengan sukacita.

Film dimulai, keduanya menunggu kelucuan dan lawakan 3 sekawan yang ditontonnya. Terbahak melihat kekonyolannya. Sampai menahan sakit di perut, dan berkali-kali menghapus airmata yang bercucur karena tertawa yang berlebihan. Kebahagiaan mereka tak berbatas. Tak terdefinisi. Dan tak bisa terucap kata-kata untuk memberi arti kebahagiaannya. Karena bahagia adalah soal substansi, bukan definisi.

Empat puluh menit film berlangsung. Handphone Mul bergetar, tanda panggilan masuk. Dalam gelap, ia mengintip layar Handphonenya. Mul bingung. Panggilan itu tak diangkat, namun berulang kali Hanphonenya bergetar. Karena risih, Mul minta izin kepada Irma untuk mengangkat telepon. Ia ke toilet.

“Mul lagi di mana kau?” suara di ujung telepon sana, rupanya suara redakturnya sendiri, Iwan.

“Lagi di rumah bos,” Mul tidak mungkin mengatakan bahwa ia di bioskop.

“Buruan ke kantor, ada hal penting yang harus kita obrolin. Si MH mau somasi media kita gara-gara berita yang kau tulis kemarin hari. Ini demi keberlangsungan media kita. Kita harus atur strategi. Apa pun kondisinya, kita harus selalu benar. Harus selalu menyuarakan kebenaran. Ayo Mul, cepat ke kantor!”

“Siap bos, sepuluh menit,” Mul menutup telepon dan langsung bergegas menuju parkiran, mengendarai vespa, meluncur ke kantornya, di Jl Ir H Juanda.

Rapat kali ini tidak seperti biasanya. Berlangsung alot. Berbagai opsi untuk menumpahkan strategi dikemukakan. Pimpinan redaksi, pemilik media, dan seluruh wartawan saling lempar siasat. Begitu pun, Mul.

“Jadi gini, bos. Kalo menurut saya, kita harus kumpulkan bukti terlebih dahulu dan mempersilakan MH untuk memberi klarifikasi. Dia harus punya hak jawab sebelum mensomasi media kita,” begitu opsi dari Mul.

Setelah memberi opsi, ia melihat jam dinding kantor. Sudah jam 11 malam. Tak terasa, sudah hampir 5 jam ia meninggalkan kekasihnya di ruang bioskop. Mul mulai gelisah, merasa bersalah. Namun tuntutan profesionalitas adalah prioritas yang tidak bisa ditinggal. Hatinya berkecamuk, sebagaimana air di dalam kolam yang dipukul-pukul bocah kecil.

Jam setengah dua belas malam, rapat selesai. Solusi sudah ada. Mul terlihat buru-buru keluar kantor. Mengeluarkan handphone dari saku celana jeans yang dikenakannya, ia menghubungi Irma. Namun tak diangkat. Berulang kali ia re-call Irma. Sampai ada operator yang mengatakan, “nomor yang anda tuju sedang tidak aktif.”

Tidak mau membuang waktu, Mul langsung mengendarai vespa andalannya. Ia kebut kendaraan setianya itu. Menuju rumah Irma. Hati dan pikirannya menjadi carut-marut, antah-berantah, hancur, dan lebur tak berbentuk.

Sesampainya di rumah Irma, Mul melihat kedua calon mertuanya duduk di beranda dekat tempat untuk parkir motor. Saat itu, tatap mata keduanya begitu menyeramkan bagi Mul. Tak sanggup berkata-kata, ia menghampiri orangtua Irma dan mencium tangan keduanya.

“Irmaaaaaaa, keluar. Ini Uda Mul sudah datang. Ayo cepat keluar!” Ibunda Irma memanggil sembari memainkan rambutnya yang tergerai panjang.

Dengan bercucuran airmata kesedihan, Irma keluar. Melihat Mul dengan kekesalan dan kekecewaan yang berlebihan. 

“Kita putus!” hanya kalimat itu yang keluar dari bibir mungil Irma. Dan “PLAK!!!” ia menampar pipi sebelah kiri Mul. Irma kemudian masuk, disusul kedua orangtuanya, dan meninggalkan Mul sendirian di tengah kedinginan dan perasaan bersalahnya.

Mul tersadar. Pandangannya pudar dan buyar. Tubuhnya tergeletak lemas. Ia lihat jam dinding, tak percaya. Ayam berkokok tanda pagi datang. Ia membuka jendela, melihat matahari yang baru muncul. Mul mengucek mata berulang kali. Saat mengambil handphone di saku celana jeansnya, ia kaget, rupanya hari masih begitu sejuk. Awal hari di ujung pekan; Minggu.

Jantungnya berdegup kencang. Aliran darah menderas di tubuhnya. Ia tak menyangka, tidur kali ini, Tuhan beri mimpi seburuk itu. Akhirnya, Mul segera mandi dan bersiap pergi ke rumah Irma. Sebab Minggu adalah waktu khusus untuk wanita terkasihnya.



Aru Elgete



Ditulis pada 11 Januari 2017

Note: Cerita ini terinspirasi dari kisah cinta Bapak Zulkarnain Alregar, salah seorang Dosen Jurnalistik di Ilmu Komunikasi Universitas Islam “45” Bekasi.

sepi-sepi




orang-orang lalu-lalang
malam dan siang
pagi hingga petang
tanpa makna

sepi

bercengkerama tanpa isi
berpikir tanpa intuisi
berucap tak esensi
substansi hilang arti

sepi

jantung berdegup
sepi
sepi
sepi
sepi

jantung berdegup
sepi
sepi
sepi
sepi

saat bicara hilang diri
kala melangkah hilang arah
ketika menatap hilang tatap
waktu hilang hilang hilang

aku bukan aku
sepi
aku
bukan
aku

hilang diri
sepi
tak tentu arah
tak tetap tatap
tak paham arti

sepi

aku sepi
sejak hilang diri
hilang arah
hilang tatap
hilang hilang

dalam sepi-sepi itu
sayup-sayup deru angin menyapa
aku kepada siapa-apa
tak lagi mampu berpaling
kecuali berpulang

Rabu, 14 Agustus 2019

Testimoni Inayah Wahid (4-Habis): Mbah Moen Tertawakan Diri Sendiri


Sumber gambar: detik.com

Almaghfurlah KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Almaghfurlah KH Maimoen Zubair (Mbah Moen), dan KH Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus) merupakan sosok yang selalu mudah untuk menertawakan dirinya sendiri.

Mereka bisa menjadi seperti anak-anak yang seperti tidak memiliki beban; orang-orang yang benar-benar paham untuk melepas segala hal keduniaan; menjalani hidup dengan riang-gembira, senang hati, dan bersuka-cita. 

Seperti itulah sebuah gambaran yang diungkapkan oleh putri bungsu Gus Dur, Mbak Inayah Wahid, saat menyampaikan testimoni tentang Mbah Moen, di Griya Gus Dur, pada Jumat (9/8) pekan lalu.

Dia masih ingat betul, ketika Mbah Moen dalam ceramahnya menceritakan dengan sangat tenang mengenai kejadian yang –seperti mustahil– pernah dialami. Peristiwa itu adalah saat Mbah Moen lupa jumlah takbir dalam salat jenazah. 

"(Beliau) ini kiai besar, lho. Ini menandakan bahwa kiai besar pun, sekaliber Mbah Moen bisa alfa," kata Mbak Inayah saat membuka memori tentang Mustasyar PBNU yang wafat pada Selasa, 6 Agustus 2019 itu. 

Kala itu, di Arab Saudi, Mbah Moen diminta untuk mengimami salat jenazah. Tetapi, beliau rupanya lupa jumlah takbirnya. Dengan sangat santai, untuk mengembalikan ingatannya itu, dilakukanlah hal-hal yang selama ini tak pernah terduga.

Dengan sangat cerdasnya, Mbah Moen bertanya kepada tukang gali kubur dengan seolah menantang atau mengetes kemampuan tentang pengetahuan Islam: soal salat jenazah itu.

"Eh kamu Islam, bukan?!" kata Mbak Inayah, menceritakan kembali yang diungkapkan oleh Mbah Moen kepada tukang gali kubur dengan nada setengah meledek. 

Lantas, tukang gali kubur itu terperanjat dan kesal. "Saya Islam. Memangnya kenapa?"

"Kalau kamu Islam, coba sini saya tes. Ada berapa jumlah takbir dalam salat jenazah?"

"Ada empat," jawab tukang gali kubur itu dengan mantap.

Menurut Mbak Inayah, kemampuan Mbah Moen yang seperti itu merupakan ciri dari seseorang yang sudah selesai dengan dirinya sendiri. Bahkan, beliau mampu menceritakan kembali kejadian itu di hadapan publik, dengan santai dan tanpa beban.

Baca juga: Testimoni Inayah Wahid (Part 3): Kesederhanaan Mbah Moen

"Jujur, Selasa kemarin itu adalah (awal) hari yang paling saya takutkan. Terlebih di situasi Indonesia yang sedang dalam sistem demokrasi 'ala-ala' (tidak jelas, red). Teman-teman milenial ke bawah, generasi Z, sebenarnya kebingungan karena tidak punya atau bahkan kehilangan pegangan," kata Mbak Inayah.

Saat ini, sudah sampailah pada situasi yang orang-orangnya sulit melihat sebuah kebenaran. Sedangkan segala macam kebaikan yang telah dilakukan Mbah Moen itu, sesungguhnya menjadi pegangan bagi generasi penerus bangsa.

"Ditinggal Mbah Moen itu, bagi saya adalah sebuah kehilangan yang besar. Bahkan, sebuah kerugian besar. Saya tidak tahu, adik-adik saya yang kehilangan Mbah Moen, apakah kemudian bisa mengecap (ajaran kebaikan) Mbah Moen, paling tidak sedikit saja? Semoga saja," kata Mbak Inayah dengan raut wajah yang sedih.

Satu-satunya yang bisa dilakukan oleh generasi milenial saat ini adalah menginterpretasikan berbagai kebaikan yang sudah diteladankan oleh Mbah Moen.

"Yang kedua menurut saya, ini yang harus kita lakukan tetapi sangat sulit. Yakni melakukan apa yang telah dilakukan Mbah Moen," tutup Mbak Inayah.

Sekian...

(Transkrip: Khaifah Indah Parwansyah)

Seharian Bareng Kang Opi


Saya dan Kang Opi di Pojok Gus Dur, suatu ketika.

Saya baru sempat menuliskan ini.

Jumat, 9 Agustus 2019 lalu, saya bersama Koordinator Gusdurian Bekasi Raya M Shofiyullah atau Kang Opi, menghabiskan waktu seharian penuh. Ini momentum langka bagi kami berdua, yang masing-masing punya kesibukan yang berbeda.

Sehari-hari, Kang Opi menjadi pengajar di Pesantren Motivasi Indonesia (PMI), Burangkeng, Setu, Bekasi. Sebuah lembaga pendidikan yang tidak menggunakan nama islami, tetapi justru menawarkan pendidikan keislaman yang sangat esensial.

Sementara saya, hanya aktivis yang jarang mandi dan hampir tidak pernah pulang ke rumah, lantaran harus mengurusi banyak hal yang menurut kebanyakan orang adalah sesuatu yang sangat tidak penting untuk diurusi.

Nah, Jumat pekan lalu kami bersama; selama seharian penuh. Dari pagi hingga pagi lagi. Dari satu tempat ke tempat lain, bertemu dengan banyak orang yang berbeda-beda; baik aktivitas maupun kecakapan diri. 

Bertemu Tokoh Katolik

Saya bersama Kang Opi dan Om Ubet di sebuah rumah makan.

Momentum kebersamaan kami itu dimulai sejak Jumat pagi, hampir siang maksud saya –karena saya telat bangun dan juga terlambat datang ke lokasi yang telah ditentukan.

Kamis malam, kami janjian untuk bertemu di dekat Lapangan Multiguna, tidak jauh dari Gereja Santo Arnoldus Janssen Paroki Bekasi, untuk membincang banyak hal dengan –kami memanggilnya– Om Ubet, pada Jumat pagi pukul 09.00 WIB. 

Namun sayang, karena aktivis yang tukang begadang dan tidur saat azan subuh selesai dikumandangkan, saya akhirnya kesiangan. Janjian jam sembilan pagi, saya bangun jam sembilan pula. Kaget bukan kepalang saat tersadar dari tidur dan melihat waktu telah menunjukkan pukul sembilan. 

Melihat handphone, rupanya sudah berkali-kali Kang Opi memanggil tapi tidak sempat terjawab karena saya belum bangun. Akhirnya, saya kirim pesan kepada dia, "Sori bos, gue baru bangun nih. Jam 10 jalan. Tunggu aja."

Singkat cerita, pukul 10.30 WIB saya tiba di lokasi. Di sebuah rumah makan dekat gereja. Setibanya di sana, saya disambut dengan tawa cekikian dari Om Ubet yang khas. Beliau adalah Koordinator Hubungan Antar Agama dan Kemasyarakatan (HAAK) Katolik di Bekasi: kota dan kabupaten. 

Rupanya, beliau ingin mengajak kami, Gusdurian Bekasi Raya, untuk turut serta dalam Dialog Kebangsaan yang diadakan di Aula Gereja Santo Arnoldus Janssen Paroki Bekasi. Tema pembahasannya nanti adalah Merawat Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika. Kegiatan tersebut dilaksanakan dalam rangka memperingati Hari Ulang Tahun (HUT) RI ke-74. 

Dari surat undangan yang kami terima, yang akan menjadi pembicara nantinya adalah perwakilan dari Gusdurian Bekasi Raya dan Kepala Kesbangpol, Bapak Haji Abdillah Hamta. Salah satu dari pembina Gusdurian Bekasi Raya yang akan menjadi pembicara di sana. 

Ansor Bertanya Tokoh Menjawab

Saya memandu galawicara

Usai pertemuan dengan Om Ubet, kami salat Jumat di Masjid Asrama Haji Bekasi. Setelah itu, Kang Opi menemani saya yang menjadi moderator dari kegiatan galawicara yang diadakan oleh PC GP Ansor Kota Bekasi. Yakni, sebuah kegiatan yang bertajuk Ansor Bertanya Tokoh Menjawab. 

Pada Jumat, 9 Agustus 2019 lalu itu, kegiatan galawicara tersebut merupakan pertemuan yang ketujuh. Tema pembahasannya adalah Upaya NU Mengaswajakan Kota Bekasi. Sekretaris PCNU Kota Bekasi Ustadz Ayi Nurdin adalah narasumber yang didatangkan. 

Sebagian besar umat Islam di Kota Bekasi, menurut Ustadz Ayi, sudah menganut paham Ahlussunnah wal Jamaah (disingkat, Aswaja). Bahkan, mereka itu adalah warga Nahdlatul Ulama (NU), jika dilihat dari segi amaliyah atau tradisi yang dijalankan. Seperti diantaranya tradisi tahlilan, ziarah kubur, maulidan, dan manaqiban. 

Namun, sekalipun mayoritas umat Islam itu sudah teridentifikasi sebagai penganut paham Aswaja dan NU secara kultur, mereka belum bisa dikatakan sebagai pengikut NU yang kaffah (menyeluruh). Hal itu dikarenakan fikrah (pemikiran), ghirah (semangat), dan harakah (pergerakan) yang ada pada diri mereka sangat berbeda dari koridor-koridor ke-NU-an secara utuh. 

Maka untuk membedakannya, para kiai NU kekinian, memberi tambahan istilah di belakang term Aswaja, yakni An-Nahdliyah. Ahlussunnah wal Jamaah An-Nahdliyah.

Jadi, barangsiapa yang tetap berada dalam koridor ke-NU-an secara amaliyah, fikrah, harakah, dan ghirah, maka itulah penganut paham Aswaja An-Nahdliyah yang sanad keilmuannya sudah dijamin pasti tersambung ke Hadlratussyaikh KH Hasyim Asyari hingga Rasulullah SAW. 

Menemani Pemuda Hijrah

Usai memandu kegiatan diskusi itu, kami –saya dan Kang Opi– berbincang-bincang santai dengan teman kuliah saya, yang tidak perlu disebutkan namanya. Dia adalah pemuda hijrah yang merasa kering dalam keimanan, lalu mencari ilmu pengetahuan tentang keagamaan di media sosial. Tersebutlah Khalid Basalamah, salah satu dari sekian pengajar agama di medsos, yang sering dia dengarkan ceramahnya. 

Di sekolah tempat dia mengajar –yang kemudian dia akhirnya memilih keluar– lingkungannya mendukung soal gagasan hijrah dan punya jargon Kembali ke Al-Quran dan Hadits. Karena itu, lambat laun, teman saya itu merasa kaku dalam beragama, termasuk soal keimanan. Semuanya menjadi hitam-putih. Segala sesuatu hanya ada dua pilihan; benar dan salah. 

Dalam diskusi bersama Ustadz Ayi tadi, dan saya sampaikan kembali kepada teman saya itu, bahwa kenapa harus ada jargon Kembali ke Al-Quran dan Hadits, padahal sesungguhnya kita sama sekali tidak pernah keluar atau pergi meninggalkan kedua sumber dasar Islam tersebut; Al-Quran dan Hadits? 

Selain itu, ada banyak sekali pertanyaan yang dia utarakan sebagai bentuk kegelisahan selama ini. Termasuk soal mengaji agama yang melalui saluran video di Youtube. Dia merasa tidak ada dialog dan harus menelan mentah-mentah berbagai hal yang disampaikan oleh ustadz-ustadz itu. Dia tidak bisa menyampaikan pertanyaan, pernyataan, atau sanggahan sebagai bagian dari upaya untuk memperkaya khazanah keilmuan. 

Saya katakan kepadanya, itulah mengapa kita harus betul-betul mencari guru agama, ustadz atau kiai, dan mengaji secara langsung agar semuanya bisa tuntas dengan diskusi tatap muka. Komunikasi langsung akan sangat berpengaruh terhadap keberhasilan sebuah perbincangan. 

Singkatnya dan pada akhirnya, dalam diskusi kopdar bersama teman saya itu, Kang Opi mengeluarkan pernyataan yang sangat baik dan bijak sekali. Dia menyampaikan bahwa di dalam Islam itu ada yang disebut sebagai tasawuf.

Tasawuf itu, Kang Opi menjelaskan, saat bertemu dengan orang yang lebih tua, kita merasa bahwa kebaikan-kebaikan yang telah dilakukan oleh orang tua itu lebih banyak ketimbang kita. Sedangkan ketika kita bertemu orang yang lebih muda, kita merasa bahwa anak muda itu lebih sedikit dosanya daripada kita.

Artinya, tidak ada celah untuk kita merasa lebih baik dari orang lain. Sehingga, jika ilmu tasawuf itu diimplementasikan, akan memunculkan rasa bahwa diri kita masih banyak berlumur dosa. Sehingga harus terus melakukan pertaubatan dan mengingat kebesaran Allah. 

Tentu saja, hal itu berbanding terbalik dengan konsep hijrah yang kini sedang tren di kalangan anak muda. Sebelum hijrah, mereka pasti merasa diri jauh dari agama, sangat jauh dari Allah, sehingga berlumuran dengan dosa dan maksiat.

Namun, apa yang terjadi setelah hijrah? Justru mereka seringkali merasa diri lebih baik dari orang lain dan menganggap orang-orang yang tidak ikut hijrah sebagai objek yang penuh dosa, jauh dari agama dan Allah. Ini kan bahaya.

Kapan-kapan, kalau ada waktu senggang bersama Kang Opi, saya akan membahas perbedaan makna hijrah dan taubat. Apa bedanya? Kenapa istilah hijrah lebih bisa digandrungi banyak orang ketimbang term taubat? Nantikan, ya.

Teman saya itu rupanya sedang puasa tarwiyah. Maka sebelum magrib, dia harus pulang dan buka puasa di rumah, di Jatiasih. Saya mohon doa, agar dia mampu merelakan hati dan dirinya untuk hijrah melalui Nahdlatul Ulama, sehingga dapat beragama dengan rileks, santai, enjoy, dan adaptif terhadap berbagai permasalahan yang sedang terjadi. 

Diskusi di Griya Gus Dur

Saya dan teman-teman Gusdurian Bekasi Raya berswafoto dengan Mbak Inayah Wahid.

Usai magrib, dari Sekretariat banom NU di Jalan Veteran 22, Margajaya, Bekasi Selatan, saya dan Kang Opi bergegas untuk menghadiri kegiatan rutin yang diadakan oleh Gusdurian Jakarta, di Griya Gus Dur, Taman Amir Hamzah, Matraman. Kali ini, tema yang diangkat adalah mengenai ulama kharismatik yang baru saja wafat, KH Maimoen Zubair; Mbah Moen, Ulama Lintas Zaman.

Narasumber yang didatangkan untuk memberikan testimoni atau kesaksiannya terhadap sosok Mbah Moen, diantaranya pemilik website alif.id Mas Hamzah Sahal, Ketua PP Lakpesdam PBNU Mas Rumadi Ahmad, dan Putri Gus Dur Mbak Inayah Wahid. Sebelum diskusi dimulai, diadakan doa dan tahlil bersama yang dipimpin oleh aktivis muda NU Gus Aang Amrullah. 

Dari ketiga narasumber yang menyampaikan testimoni itu, saya tertarik dengan testimoni yang disampaikan Mbak Inayah Wahid. Untuk itu, saya merekam segala hal yang dibicarakan, dari awal hingga akhir, dan kemudian saya tulis di website saya ini. Sila dicari tulisan berseri dengan judul, 'Testimoni Inayah Wahid...'

Silaturahmi dan Reuni

Saya dan Kang Opi di TIM


Usai diskusi di Griya Gus Dur, saya beralih ke Taman Ismail Marzuki (TIM), di Jalan Cikini Raya, Jakarta Pusat. Saban Jumat kedua setiap bulannya, ada Kenduri Cinta yang diampu oleh Kiai Muhammad (Emha) Ainun Najib atau Cak Nun.

Namun, saya sungguh menyesal karena tidak mendengarkan diskusi bertema Manusia yang Mana Kamu?, yang dilangsungkan di pelataran TIM, depan Planetarium itu. Saya justru berasyik-masyuk bercengkerama, melingkar, dan membuka forum diskusi bersama rekan-rekan Gusdurian dari berbagai wilayah. Diantaranya, Gusdurian Tangerang dan Karawang. 

Kami berkumpul membincang banyak hal. Mulai dari yang serius, hingga berbagai banyolan yang bikin perut sakit karena keseringan tertawa. Kami saling lempar candaan, terbuka tapi tanpa baper sedikit pun.

Momentum Kenduri Cinta, rupanya menjadi ajang silaturahmi dan reuni. Setidaknya itu yang menjadi pembelaan saya karena tidak masuk ke dalam diskusi yang dihadiri oleh Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. 

Tak terasa, satu persatu dari anggota diskusi anak-anak Gusdurian itu perlahan mengangkat pantat dan meninggalkan tempat. Entah untuk masuk ke dalam forum diskusi Kenduri Cinta atau pulang karena sudah ngantuk. Waktu, ketika saya melihat jam, sudah melewati batas hari; dari Jumat ke Sabtu. 

Menjelang subuh, Kenduri Cinta usai. Diakhiri dengan doa yang dipimpin Cak Nun dan diamini oleh Masyarakat Maiyah yang memadati pelataran TIM itu. Terdengarlah satu kalimat yang disuarakan secara bersama-sama dengan sangat keras –setengah teriak– sebagai ciri khas dari doa yang dipimpin Cak Nun, "Kun Fayakun!"

Berakhirlah sudah.

Penutup

Kami, saya dan Kang Opi, juga dua orang lainnya yang ikut bersama kami, kembali ke Bekasi. Beristirahat, salat subuh, dan tidur di dalam Sekretariat IPNU Kota Bekasi hingga matahari muncul, yang tampak dari jendela. 

Sekira pukul 10.00 WIB, saya dibangunkan Kang Opi. Dia pamit untuk pulang. Kemudian tak lama, setelah bangun, saya cuci muka dan juga langsung bergegas untuk pulang ke rumah.

Jadi, apa yang berkesan dari kebersamaan saya dengan Kang Opi selama satu hari penuh? Menurut saya pribadi, tidak ada sama sekali. Terkecuali, umpatan kurang ajar dari para haters: "Kalian pasangan Gay, ya?!" 

Selasa, 13 Agustus 2019

Testimoni Inayah Wahid (Part 3): Kesederhanaan Mbah Moen


Inayah Wahid di Griya Gus Dur

Ketika di Arafah, terdapat sesuatu yang membuat Mbak Inayah Wahid, hingga kini, menjadi sebuah kenangan besar terhadap sosok Mbah Maimoen Zubair. Kejadian ini ketika rombongan yang lain sibuk berdoa dengan cara sembari (dipaksa) menangis.

Mbak Inayah merasa tidak nyaman melihat peristiwa tersebut, yang berdoa tapi harus dipaksa untuk menangis. Akhirnya, dia menghampiri ke tempat Mbah Moen dan mengatakan, "Mbah, kita doanya sama Mbah Moen saja ya."

Mbah Moen pun memimpin doa.

Mbak Inayah berkisah, bahwa doa yang dilontarkan Mbah Moen merupakan doa-doa yang sangat sederhana. Doa yang biasa dibaca saat menghadiri berbagai pengajian di Indonesia, di pesantren.

"Jadi tidak harus doa yang spesial hanya lantaran sedang edisi khusus. Doa Mbah Moen sangat sederhana," kata Mbak Inayah saat menyampaikan testimoni di Griya Gus Dur, 9 Agustus 2019 lalu.

Usai berdoa, Mbah Moen ditanya soal ritual atau doa-doa khusus selama haji yang harus dilakukan. Amalan-amalan khusus, misalnya. Mbak Inayah lantas bergegas menyiapkan catatan untuk mencatat segala yang akan diucapkan Mbah Moen. Rupanya, Mbah Moen hanya senyum-senyum saja. 

"Amalan apa saja tidak masalah. Karena yang terpenting hatinya senang. Sebab, sebaik baiknya amalan kalau dilakukan dengan hati tidak senang, maka akan menjadi sia-sia," kata Mbah Moen, disampaikan Mbak Inayah.

Menurut putri bungsu Gus Dur ini, di saat orang-orang yang lain sibuk mengumbar berbagai kegiatannya di Tanah Suci, Mbah Moen justru berbicara hal-hal yang terkesan sepele tapi sesungguhnya sangat substansial.

Mbak Inayah melanjutkan, "Disaat banyak sekali orang yang kemudian mengajak untuk ramai-ramai melaksanakan ibadah dengan sangat menggelora, Mbah Moen mengembalikan substansinya bahwa pada akhirnya tujuan utama dari ibadah adalah hati yang tenang dan tentram."
Bagi Mbak Inayah, Mbah Moen ketika itu sedang menggambarkan berbagai hal yang sangat simpel dan sederhana tetapi sangat berarti. Di saat orang-orang justru sibuk untuk rajin ibadah selama di Tanah Suci, Mbah Moen justru tidak merasa bahwa hal itu harus ditonjolkan.

"Itulah sesuatu yang menurut saya paling substansial, yang selalu dikemukakan oleh Mbah Moen. Bahwa yang terpenting adalah menonjolkan kesenangan hati dan rasa cinta," kata Mbak Inayah.

Selain momentum di Arafah tadi, Mbak Inayah juga menyampaikan testimoni saat Muktamar NU di Jombang pada 2015 lalu.

Saat semua orang sedang menunjukkan keakuannya, Mbah Moen justru tidak merasa seperti itu. Beliau duduk di kursi belakang, meskipun bukan di kursi yang paling belakang. Bahkan, saat orang-orang sedang salaman ke Mbah Moen, beliau tidak merasa diri sebagai sosok yang harus paling dihormati. 

"Begitu lagu Indonesia Raya dikumandangkan, Mbah Moen yang ketika itu menggunakan kursi roda, langsung berdiri untuk menyanyikan lagu kebangsaan itu. Seperti itulah rasa nasionalisme atau kecintaan Mbah Moen terhadap bangsa dan negara," jelas Mbak Inayah.

Selain itu, pernah suatu ketika, Mbah Moen diundang oleh anak-anak muda NU untuk bicara memberikan wejangan. Mbak Inayah saat itu datang telat. Dia datang saat Mbah Moen tengah menyampaikan mauizoh hasanah atau ceramah.

"Saya kira yang ceramah itu kiai muda atau aktivis karena suaranya begitu sangat lantang, jelas, lugas, dan kencang. Tapi ternyata Mbah Moen yang etika itu berusia 86 tahun," kata Mbak Inayah berkisah.

Tak hanya itu, Mbah Moen menyampaikan ceramah yang berdurasi selama satu jam sembari berdiri. Padahal, panitia sudah menyiapkan sofa tapi beliau lebih memilih untuk tidak duduk.

"Jadi, Mbah Moen itu ceramah selama satu jam dalam kondisi berdiri di usia 86 tahun. Sementara saya banyak kenal dengan orang yang masih muda tapi bicaranya sudah tidak jelas dan justru duduk tidak berdiri," kata Mbak Inayah.

Mbah Moen, bagi seorang Inayah Wahid adalah sosok yang rasa kecintaannya begitu sangat terasa kepada semua kalangan, tanpa terkecuali. 

Tak heran saat berita Mbah Moen wafat, seorang keponakan Mbak Inayah mengatakan bahwa Mbah Moen mirip seperti Yoda; tokoh fiksi dalam film Star Wars yang dikenal sebagai tokoh paling bijaksana. 

"Dan saya paham kenapa keponakan saya bicara seperti itu. Bukan karena secara fisik, Yoda dan Mbah Moen, sama-sama memiliki alis yang panjang, tapi karena memang ada kebijaksaan besar yang bahkan anak usia sembilan tahun pun bisa menangkap hal itu," kata Mbak Inayah dengan raut wajah yang sedih.

(Transkrip: Khaifah Indah Parwansyah)

Senin, 12 Agustus 2019

[Klarifikasi] Soal Peresmian Gereja Santa Clara, Saya Terkena Hoaks


Sumber: beritasatu.com

Tulisan saya berjudul Gereja Santa Clara, Hari Raya Iduladha, dan Toleransi Kita adalah opini atas berbagai pertanyaan yang muncul dari banyak pihak, terkait peresmian Gereja Santa Clara di Bekasi Utara, pada 11 Agustus 2019 yang bertepatan dengan peringatan Hari Raya Iduladha. 

Namun, saat tulisan itu dimuat di website pribadi dan kemudian saya bagikan ke setiap akun media sosial milik saya, berbagai tanggapan muncul. Terutama pihak yang memberi tahu bahwa berita Walikota Bekasi, Rahmat Effendi, yang lebih memilih datang ke acara peresmian gereja ketimbang Salat Ied adalah kabar bohong alias hoaks. Tentu saja, hal tersebut mengagetkan saya.

Kemudian saya kembali mencari informasi lebih dalam mengenai validitas dan keabsahan berita; mana yang benar. Setelah saya telusuri, ternyata media yang memberitakan kabar bohong itu adalah media abal-abal. Beberapa orang yang menanyakan –sekaligus yang memancing saya untuk menulis opini (tulisan sebelum ini)– rupanya telah 'termakan' hoaks.

Media abal-abal itu bisa diakses diantaranya panjimas, repelita, ngelmu, dan lain sebagainya. Kesemuanya itu memberitakan atau membuat narasi tanpa wawancara sedikit pun. Pewarta media itu hanya sedikit mengutip pernyataan dari Kepala Dinas Sosial (Kadinsos), Bapak Ahmad Yani, yang menjadi utusan untuk mewakili Walikota Bekasi yang berhalangan hadir di Masjid Agung Al-Barkah.

Setelah itu, mereka menarasikan seolah-olah Walikota Bekasi tidak hadir di Masjid Agung Al-Barkah untuk Salat Ied lantaran menghadiri peresmian Gereja Santa Clara di Bekasi Utara di waktu yang bersamaan. Padahal, acara peresmian dilakukan pada pukul 11.00 WIB. Berbagai tokoh hadir di sana. Beberapa diantaranya adalah Menteri ESDM Ignasius Jonan, Uskup Agung Jakarta Ignatius Suharyo, dan Ketua FKUB Kota Bekasi Abdul Manan.

Pukul 08.00 WIB itu adalah waktu untuk pelaksaan ibadah misa. Sedangkan undangan untuk para tokoh agar menghadiri acara peresmian itu pada pukul 11.00 WIB. Nah kemudian, apa yang sedang dipermasalahkan? Semua sudah clear. Bang Pepen pun rupanya melaksanakan Salat Ied di masjid dekat rumahnya di Pekayon, Bekasi Selatan. 

Nah untuk itu, kepada seluruh pihak yang keberatan dengan tulisan sebelumnya yang berjudul, 'Gereja Santa Clara, Hari Raya Iduladha, dan Toleransi Kita', saya mohon dibukakan pintu maaf yang sebesar-besarnya karena mungkin saja saya kurang ngopi. Sedangkan tulisan ini adalah bentuk klarifikasi saya atas kecerobohan saya yang tidak terlebih dulu memeriksa keabsahan atau kebenaran suatu berita.

Anggaplah tulisan saya sebelumnya itu, sebagai bukti bahwa kita semua masih menginginkan toleransi antarumat beragama di Kota Bekasi dijunjung setinggi-tingginya. Kita semua, tentu saja, tidak ingin Bekasi menjadi terpecah karena masyarakatnya yang mudah terperdaya oleh berita bohong yang bertebaran di jagat media sosial, sehingga siapa saja dapat terkena dan mempercayai berita bohong itu. 

Kedatangan Walikota Bekasi bisa kita lihat pada tayangan siaran langsung di facebook Keuskupan Agung Jakarta atau klik di sini bahwa Bang Pepen itu hadir saat menit video menunjukkan angka 2.04.07 (dua jam lebih empat menit tujuh detik). Di menit itu, para tokoh undangan baru memasuki ruangan gereja, termasuk Menteri ESDM Iganasius Jonan. 

Tayangan siaran langsung itu dimulai pada pukul 08.29 WIB yang didahului ibadah misa, dipimpin oleh Uskup Agung Jakarta Ignatius Suharyo. Artinya, dua jam setelah itu berarti waktu menunjukkan pukul 10.30 WIB. Itu berarti, acara peresmian gereja dilakukan setelah Salat Ied. Soal ibadah misa yang dilakukan pada pagi pukul 08.29 WIB itu, sungguh tidak mencederai toleransi kita.

Sehingga dengan segala kerendahan hati, saya mengakui kesalahan atas tulisan sebelum ini yang telah saya buat. Bahwa kemudian, ini mesti menjadi pelajaran untuk kita semua, saya secara pribadi, agar tuntas dalam setiap membaca dan mendengar, serta menyerap informasi yang berpotensi menimbulkan konflik. 

Untuk menutup tulisan klarifikasi saya ini, saya ingin mengutip pernyataan Gus Dur yang sangat populer, "Indonesia ada karena perbedaan." Karenanya, mari kita rawat perbedaan dan keragaman di lingkungan masing-masing agar memperkuat jalinan silaturahmi, sehingga kerukunan antarumat beragama tercipta. 

Sekali lagi, saya mohon dibukakan pintu maaf seluas-luasnya. Terima kasih. Wallahua'lam...