Rabu, 14 Agustus 2019

Seharian Bareng Kang Opi


Saya dan Kang Opi di Pojok Gus Dur, suatu ketika.

Saya baru sempat menuliskan ini.

Jumat, 9 Agustus 2019 lalu, saya bersama Koordinator Gusdurian Bekasi Raya M Shofiyullah atau Kang Opi, menghabiskan waktu seharian penuh. Ini momentum langka bagi kami berdua, yang masing-masing punya kesibukan yang berbeda.

Sehari-hari, Kang Opi menjadi pengajar di Pesantren Motivasi Indonesia (PMI), Burangkeng, Setu, Bekasi. Sebuah lembaga pendidikan yang tidak menggunakan nama islami, tetapi justru menawarkan pendidikan keislaman yang sangat esensial.

Sementara saya, hanya aktivis yang jarang mandi dan hampir tidak pernah pulang ke rumah, lantaran harus mengurusi banyak hal yang menurut kebanyakan orang adalah sesuatu yang sangat tidak penting untuk diurusi.

Nah, Jumat pekan lalu kami bersama; selama seharian penuh. Dari pagi hingga pagi lagi. Dari satu tempat ke tempat lain, bertemu dengan banyak orang yang berbeda-beda; baik aktivitas maupun kecakapan diri. 

Bertemu Tokoh Katolik

Saya bersama Kang Opi dan Om Ubet di sebuah rumah makan.

Momentum kebersamaan kami itu dimulai sejak Jumat pagi, hampir siang maksud saya –karena saya telat bangun dan juga terlambat datang ke lokasi yang telah ditentukan.

Kamis malam, kami janjian untuk bertemu di dekat Lapangan Multiguna, tidak jauh dari Gereja Santo Arnoldus Janssen Paroki Bekasi, untuk membincang banyak hal dengan –kami memanggilnya– Om Ubet, pada Jumat pagi pukul 09.00 WIB. 

Namun sayang, karena aktivis yang tukang begadang dan tidur saat azan subuh selesai dikumandangkan, saya akhirnya kesiangan. Janjian jam sembilan pagi, saya bangun jam sembilan pula. Kaget bukan kepalang saat tersadar dari tidur dan melihat waktu telah menunjukkan pukul sembilan. 

Melihat handphone, rupanya sudah berkali-kali Kang Opi memanggil tapi tidak sempat terjawab karena saya belum bangun. Akhirnya, saya kirim pesan kepada dia, "Sori bos, gue baru bangun nih. Jam 10 jalan. Tunggu aja."

Singkat cerita, pukul 10.30 WIB saya tiba di lokasi. Di sebuah rumah makan dekat gereja. Setibanya di sana, saya disambut dengan tawa cekikian dari Om Ubet yang khas. Beliau adalah Koordinator Hubungan Antar Agama dan Kemasyarakatan (HAAK) Katolik di Bekasi: kota dan kabupaten. 

Rupanya, beliau ingin mengajak kami, Gusdurian Bekasi Raya, untuk turut serta dalam Dialog Kebangsaan yang diadakan di Aula Gereja Santo Arnoldus Janssen Paroki Bekasi. Tema pembahasannya nanti adalah Merawat Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika. Kegiatan tersebut dilaksanakan dalam rangka memperingati Hari Ulang Tahun (HUT) RI ke-74. 

Dari surat undangan yang kami terima, yang akan menjadi pembicara nantinya adalah perwakilan dari Gusdurian Bekasi Raya dan Kepala Kesbangpol, Bapak Haji Abdillah Hamta. Salah satu dari pembina Gusdurian Bekasi Raya yang akan menjadi pembicara di sana. 

Ansor Bertanya Tokoh Menjawab

Saya memandu galawicara

Usai pertemuan dengan Om Ubet, kami salat Jumat di Masjid Asrama Haji Bekasi. Setelah itu, Kang Opi menemani saya yang menjadi moderator dari kegiatan galawicara yang diadakan oleh PC GP Ansor Kota Bekasi. Yakni, sebuah kegiatan yang bertajuk Ansor Bertanya Tokoh Menjawab. 

Pada Jumat, 9 Agustus 2019 lalu itu, kegiatan galawicara tersebut merupakan pertemuan yang ketujuh. Tema pembahasannya adalah Upaya NU Mengaswajakan Kota Bekasi. Sekretaris PCNU Kota Bekasi Ustadz Ayi Nurdin adalah narasumber yang didatangkan. 

Sebagian besar umat Islam di Kota Bekasi, menurut Ustadz Ayi, sudah menganut paham Ahlussunnah wal Jamaah (disingkat, Aswaja). Bahkan, mereka itu adalah warga Nahdlatul Ulama (NU), jika dilihat dari segi amaliyah atau tradisi yang dijalankan. Seperti diantaranya tradisi tahlilan, ziarah kubur, maulidan, dan manaqiban. 

Namun, sekalipun mayoritas umat Islam itu sudah teridentifikasi sebagai penganut paham Aswaja dan NU secara kultur, mereka belum bisa dikatakan sebagai pengikut NU yang kaffah (menyeluruh). Hal itu dikarenakan fikrah (pemikiran), ghirah (semangat), dan harakah (pergerakan) yang ada pada diri mereka sangat berbeda dari koridor-koridor ke-NU-an secara utuh. 

Maka untuk membedakannya, para kiai NU kekinian, memberi tambahan istilah di belakang term Aswaja, yakni An-Nahdliyah. Ahlussunnah wal Jamaah An-Nahdliyah.

Jadi, barangsiapa yang tetap berada dalam koridor ke-NU-an secara amaliyah, fikrah, harakah, dan ghirah, maka itulah penganut paham Aswaja An-Nahdliyah yang sanad keilmuannya sudah dijamin pasti tersambung ke Hadlratussyaikh KH Hasyim Asyari hingga Rasulullah SAW. 

Menemani Pemuda Hijrah

Usai memandu kegiatan diskusi itu, kami –saya dan Kang Opi– berbincang-bincang santai dengan teman kuliah saya, yang tidak perlu disebutkan namanya. Dia adalah pemuda hijrah yang merasa kering dalam keimanan, lalu mencari ilmu pengetahuan tentang keagamaan di media sosial. Tersebutlah Khalid Basalamah, salah satu dari sekian pengajar agama di medsos, yang sering dia dengarkan ceramahnya. 

Di sekolah tempat dia mengajar –yang kemudian dia akhirnya memilih keluar– lingkungannya mendukung soal gagasan hijrah dan punya jargon Kembali ke Al-Quran dan Hadits. Karena itu, lambat laun, teman saya itu merasa kaku dalam beragama, termasuk soal keimanan. Semuanya menjadi hitam-putih. Segala sesuatu hanya ada dua pilihan; benar dan salah. 

Dalam diskusi bersama Ustadz Ayi tadi, dan saya sampaikan kembali kepada teman saya itu, bahwa kenapa harus ada jargon Kembali ke Al-Quran dan Hadits, padahal sesungguhnya kita sama sekali tidak pernah keluar atau pergi meninggalkan kedua sumber dasar Islam tersebut; Al-Quran dan Hadits? 

Selain itu, ada banyak sekali pertanyaan yang dia utarakan sebagai bentuk kegelisahan selama ini. Termasuk soal mengaji agama yang melalui saluran video di Youtube. Dia merasa tidak ada dialog dan harus menelan mentah-mentah berbagai hal yang disampaikan oleh ustadz-ustadz itu. Dia tidak bisa menyampaikan pertanyaan, pernyataan, atau sanggahan sebagai bagian dari upaya untuk memperkaya khazanah keilmuan. 

Saya katakan kepadanya, itulah mengapa kita harus betul-betul mencari guru agama, ustadz atau kiai, dan mengaji secara langsung agar semuanya bisa tuntas dengan diskusi tatap muka. Komunikasi langsung akan sangat berpengaruh terhadap keberhasilan sebuah perbincangan. 

Singkatnya dan pada akhirnya, dalam diskusi kopdar bersama teman saya itu, Kang Opi mengeluarkan pernyataan yang sangat baik dan bijak sekali. Dia menyampaikan bahwa di dalam Islam itu ada yang disebut sebagai tasawuf.

Tasawuf itu, Kang Opi menjelaskan, saat bertemu dengan orang yang lebih tua, kita merasa bahwa kebaikan-kebaikan yang telah dilakukan oleh orang tua itu lebih banyak ketimbang kita. Sedangkan ketika kita bertemu orang yang lebih muda, kita merasa bahwa anak muda itu lebih sedikit dosanya daripada kita.

Artinya, tidak ada celah untuk kita merasa lebih baik dari orang lain. Sehingga, jika ilmu tasawuf itu diimplementasikan, akan memunculkan rasa bahwa diri kita masih banyak berlumur dosa. Sehingga harus terus melakukan pertaubatan dan mengingat kebesaran Allah. 

Tentu saja, hal itu berbanding terbalik dengan konsep hijrah yang kini sedang tren di kalangan anak muda. Sebelum hijrah, mereka pasti merasa diri jauh dari agama, sangat jauh dari Allah, sehingga berlumuran dengan dosa dan maksiat.

Namun, apa yang terjadi setelah hijrah? Justru mereka seringkali merasa diri lebih baik dari orang lain dan menganggap orang-orang yang tidak ikut hijrah sebagai objek yang penuh dosa, jauh dari agama dan Allah. Ini kan bahaya.

Kapan-kapan, kalau ada waktu senggang bersama Kang Opi, saya akan membahas perbedaan makna hijrah dan taubat. Apa bedanya? Kenapa istilah hijrah lebih bisa digandrungi banyak orang ketimbang term taubat? Nantikan, ya.

Teman saya itu rupanya sedang puasa tarwiyah. Maka sebelum magrib, dia harus pulang dan buka puasa di rumah, di Jatiasih. Saya mohon doa, agar dia mampu merelakan hati dan dirinya untuk hijrah melalui Nahdlatul Ulama, sehingga dapat beragama dengan rileks, santai, enjoy, dan adaptif terhadap berbagai permasalahan yang sedang terjadi. 

Diskusi di Griya Gus Dur

Saya dan teman-teman Gusdurian Bekasi Raya berswafoto dengan Mbak Inayah Wahid.

Usai magrib, dari Sekretariat banom NU di Jalan Veteran 22, Margajaya, Bekasi Selatan, saya dan Kang Opi bergegas untuk menghadiri kegiatan rutin yang diadakan oleh Gusdurian Jakarta, di Griya Gus Dur, Taman Amir Hamzah, Matraman. Kali ini, tema yang diangkat adalah mengenai ulama kharismatik yang baru saja wafat, KH Maimoen Zubair; Mbah Moen, Ulama Lintas Zaman.

Narasumber yang didatangkan untuk memberikan testimoni atau kesaksiannya terhadap sosok Mbah Moen, diantaranya pemilik website alif.id Mas Hamzah Sahal, Ketua PP Lakpesdam PBNU Mas Rumadi Ahmad, dan Putri Gus Dur Mbak Inayah Wahid. Sebelum diskusi dimulai, diadakan doa dan tahlil bersama yang dipimpin oleh aktivis muda NU Gus Aang Amrullah. 

Dari ketiga narasumber yang menyampaikan testimoni itu, saya tertarik dengan testimoni yang disampaikan Mbak Inayah Wahid. Untuk itu, saya merekam segala hal yang dibicarakan, dari awal hingga akhir, dan kemudian saya tulis di website saya ini. Sila dicari tulisan berseri dengan judul, 'Testimoni Inayah Wahid...'

Silaturahmi dan Reuni

Saya dan Kang Opi di TIM


Usai diskusi di Griya Gus Dur, saya beralih ke Taman Ismail Marzuki (TIM), di Jalan Cikini Raya, Jakarta Pusat. Saban Jumat kedua setiap bulannya, ada Kenduri Cinta yang diampu oleh Kiai Muhammad (Emha) Ainun Najib atau Cak Nun.

Namun, saya sungguh menyesal karena tidak mendengarkan diskusi bertema Manusia yang Mana Kamu?, yang dilangsungkan di pelataran TIM, depan Planetarium itu. Saya justru berasyik-masyuk bercengkerama, melingkar, dan membuka forum diskusi bersama rekan-rekan Gusdurian dari berbagai wilayah. Diantaranya, Gusdurian Tangerang dan Karawang. 

Kami berkumpul membincang banyak hal. Mulai dari yang serius, hingga berbagai banyolan yang bikin perut sakit karena keseringan tertawa. Kami saling lempar candaan, terbuka tapi tanpa baper sedikit pun.

Momentum Kenduri Cinta, rupanya menjadi ajang silaturahmi dan reuni. Setidaknya itu yang menjadi pembelaan saya karena tidak masuk ke dalam diskusi yang dihadiri oleh Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. 

Tak terasa, satu persatu dari anggota diskusi anak-anak Gusdurian itu perlahan mengangkat pantat dan meninggalkan tempat. Entah untuk masuk ke dalam forum diskusi Kenduri Cinta atau pulang karena sudah ngantuk. Waktu, ketika saya melihat jam, sudah melewati batas hari; dari Jumat ke Sabtu. 

Menjelang subuh, Kenduri Cinta usai. Diakhiri dengan doa yang dipimpin Cak Nun dan diamini oleh Masyarakat Maiyah yang memadati pelataran TIM itu. Terdengarlah satu kalimat yang disuarakan secara bersama-sama dengan sangat keras –setengah teriak– sebagai ciri khas dari doa yang dipimpin Cak Nun, "Kun Fayakun!"

Berakhirlah sudah.

Penutup

Kami, saya dan Kang Opi, juga dua orang lainnya yang ikut bersama kami, kembali ke Bekasi. Beristirahat, salat subuh, dan tidur di dalam Sekretariat IPNU Kota Bekasi hingga matahari muncul, yang tampak dari jendela. 

Sekira pukul 10.00 WIB, saya dibangunkan Kang Opi. Dia pamit untuk pulang. Kemudian tak lama, setelah bangun, saya cuci muka dan juga langsung bergegas untuk pulang ke rumah.

Jadi, apa yang berkesan dari kebersamaan saya dengan Kang Opi selama satu hari penuh? Menurut saya pribadi, tidak ada sama sekali. Terkecuali, umpatan kurang ajar dari para haters: "Kalian pasangan Gay, ya?!" 
Previous Post
Next Post

0 komentar: