Rabu, 27 Desember 2017

Menulis Dianggap Tidak Beretika?






Menulis adalah proses transformasi gagasan ke dalam bentuk kalimat yang tersusun rapi. Sementara gagasan akan terkonstruksi dari segala hal yang telah dilihat, dirasa, dan didengar. Singkatnya, menulis merupakan kegiatan pemindahan teks yang dilakukan setelah berhadapan dengan kenyataan. Lebih jauh, sebenarnya menulis adalah proses yang diciptakan dengan jujur dan benar.

Siapa pun bisa menulis. Status di media sosial, misalnya. Si pemilik akun dapat menulis karena telah atau sedang merasa, melihat, dan mendengar sesuatu. Pemrosesan itulah yang nantinya akan berubah menjadi tulisan. Jadi, menulis adalah sebuah pengabaran yang tercipta bukan karena kebohongan. Ia jujur. Begitu pun halnya seorang penulis fiksi. Ia jujur terhadap segala sesuatu yang telah dialami oleh pikirannya. Dan, tidak mungkin pikiran atau otak berproses tanpa sebuah pencapaian yang telah diinderakan.

Gagasan serupa peluru. Sementara tulisan seperti senjata. Dengan memfungsikan keduanya secara baik dan benar, maka akan menciptakan kegaduhan rasa bagi sasaran tembak atau musuh. Terlebih kalau dalam tulisan dimaktubkan fakta-fakta yang membongkar ketersembunyian sesuatu. Musuh akan bergetar hebat. Bahkan, menebar kebencian sana-sini. Mengintimidasi dan segala hal yang bisa dihalalkan, ia halalkan.

Setiap orang bisa menulis. Namun hanya beberapa yang dapat menulis dengan tepat. Menulis dengan disesuaikan pada kenyataan. Menyusun kalimat dengan rapi. Memadukan etika dan estetika. Sebab, tidak sembarang manusia bisa menulis. Terlebih yang sifatnya menghantam, menyerang, dan memerangi musuh yang berbuat kejahatan. Satu hal yang perlu diketahui seorang penulis adalah bahwa teks itu sifatnya multitafsir. Ia harus membatasi makna. Jangan biarkan kata-kata menjadi liar sehingga bias makna.

Seperti saya, misalnya. Beberapa hari lalu menulis dengan maksud ditujukan kepada Rektorat Universitas Islam “45” (Unisma) Bekasi. Saya menulis kata “Iblis” yang sebenarnya tidak dituju untuk manusia. Iblis disitu bermakna denotasi. Sayangnya, ditanggapi dengan serius yang tak berarah. Semua pihak yang merasa tersinggung bukan membalas tulisan dengan tulisan, tapi justru melakukan doktrinasi kepada mahasiswa baru bahwa saya tidak beretika. Saya mendapat laporan bahwa beberapa dosen menyisipkan obrolan soal itu.

Pertanyaannya, dengan tanpa bermaksud menyinggung siapa pun, siapa yang tak beretika? Seorang yang menulis atau orang-orang yang membibir di belakang sana? Saya rasa, melawan tulisan dengan tulisan akan terlihat keren dan jauh lebih elegan ketimbang tulisan dilawan dengan cibiran, tebaran kebencian, dan kobaran api permusuhan. Sementara kita berada di ranah akademik yang sarat dengan tulis-menulis. Bagaimana?

Saya juga sudah lakukan pemaknaan yang detail terkait Iblis yang dimaksud. Silakan dibaca dalam tulisan berjudul “Iblis dan Kesalahpahaman Kata-kata”. Pemaknaan itu saya lakukan karena ketersinggungan beberapa pihak. Juga disebabkan karena tidak adanya tulisan balasan. Maka, saya merasa bertanggung jawab untuk memaknai “Iblis” yang dianggap diluncurkan kepada para pejabat kampus. Seperti ada yang aneh. Atau saya yang tidak bisa membedakan, barangkali. Apa bedanya tersinggung dengan kegeeran? Sementara saya sebagai penulis sama sekali tidak pernah melucurkan kata “Iblis” kepada rektorat yang terhormat.

Jadi, begini. Aksi yang dilancarkan Aliansi Mahasiswa Unisma Bekasi (Amunisi) akan terus dilancarkan sampai kebenaran terang-benderang. Jumat (22/9) pekan lalu, Amunisi melakukan audiensi dengan pihak rektorat. Namun sayang, belum sampai pada titik temu. Pihak rektorat masih berkelit soal transparansi anggaran yang benar-benar rinci dan detail. Mereka meminta waktu lagi hingga Senin (25/9).

Satu hal yang menjadi pertanyaan bagi aktivis mahasiswa Unisma Bekasi adalah, kenapa pihak rektorat mengulur-ulur waktu? Mungkinkah ini cara mereka untuk membuat barisan massa aksi kian menipis? Atau memang begitu strategi mereka agar borok tak terlihat? Entahlah. Sebab, soal transparansi anggaran adalah tuntutan pertama. Masih ada dua tuntutan lain yang masih saling berkait. Yakni, terkait fasilitas kampus dan soal mutu pendidikan atau kualitas tenaga pengajar.

Kepada kawan-kawan Amunisi, tetap semangat. Kuatkan barisan sekalipun di tiap-tiap kelas, dosen bergerilya. Menginstruksikan mahasiswa untuk langsung pulang usai kuliah sekaligus melarang mahasiswanya untuk masuk ke dalam barisan. Tetap tenang. Asalkan kaji sebelum aksi. Cahaya kebenaran akan segera memberangus kezaliman. Sementara Amunisi adalah pembawa cahaya itu. Jangan takut diredam. Karena ketika gerak diredam sama dengan memperpanjang usia perlawanan dan usia tulisan saya.

Sementara itu, kepada seluruh pihak yang tersinggung dengan tulisan saya dan masih menyebar kebencian serta menganggap saya tak beretika, silakan jadwalkan pertemuan. Atau mari kita mengkaji terlebih dulu, siapa yang tak beretika? Sebab menulis adalah proses penyampaian gagasan. Juga tidak mungkin tercipta gagasan tanpa ada yang dilihat, dirasa, dan didengar. Soal “Iblis”, itu hanya bentuk kegeeran saja. Masih bisa didiskusikan. Tak perlu membebek di depan mahasiswa baru.



Salam takzim untuk Rektorat Unisma Bekasi yang terhormat dan termulia.

Aru Elgete
Bekasi Utara, 25 September 2017



(Sumber tulisan:  jagatngopi.com)

Iblis dan Kesalahpahaman Kata-kata




Situasi dan dinamika di Universitas Islam “45” (Unisma) Bekasi masih sangat genting. Sebab, sudah 3 hari berturut-turut sejak hari pertama perkuliahan dimulai hingga Rabu (20/9) petang, aktivis mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Unisma Bekasi terus-menerus melancarkan tuntutan kepada pihak kampus, dalam hal ini pejabat rektorat.

Tuntutan tersebut merupakan satu diantara tiga hal. Yakni terkait transparansi dana kemahasiswaan, selain tuntutan fasilitas dan mutu pendidikan. Kabarnya, Jumat (21/9) akan diadakan audiensi antara mahasiswa dengan rektorat di Gedung Pascasarjana lantai 3. Di sana, akan dipaparkan rincian sedetail-detailnya oleh pihak rektorat.

Terlepas dari itu, rupanya cukup banyak pihak yang tidak suka atau tersinggung dengan beberapa tulisan saya yang sebelumnya. Walau tidak sedikit yang memberi apresiasi dan semangat untuk terus melanjutkan perjuangan. Jujur, tulisan tersebut saya jadikan sebagai pemantik aksi. Harapannya agar seluruh mahasiswa, baik yang ada di dalam barisan perjuangan maupun tidak, mampu mencerna dengan cara yang apik. Yakni mengenai beberapa poin penting yang telah menjadi keresahan bersama.

Beberapa hari lalu, saya menulis dengan judul, “Unisma Bekasi, Ladang untuk Bisnis Pendidikan”. Sementara kata-kata yang dipermasalahkan adalah sebuah kalimat yang berbunyi, “Gedung Biru. Tempat bersemayam para iblis, pembunuh berdarah dingin, dan preman berdasi.” Permasalahan itu menjadi percikan yang dapat membakar amarah. Tentu, saya sudah memperhitungkan hal itu.

Namun, saya pastikan percikan itu disebabkan karena adanya kesalahpahaman kata-kata. Lebih tepatnya, salah paham dalam menafsirkan kata per kata. Walau demikian, saya tetap mengamini bahwa teks memiliki kekuatan sangat dahsyat. Dia bersifat multitafsir. Siapa pun berhak berasumsi, berkomentar, dan menanggapi. Sayangnya, tidak ada tanggapan berupa tulisan.

Padahal saya berharap ada tulisan balasan dari seluruh pihak yang merasa tersinggung atas kata-kata itu. Sebagaimana –bisa kita ambil contoh walau tentu sangat jauh berbeda– yang dilakukan Ibnu Rusyd dengan Imam Ghazali. Keduanya sangat serius untuk saling menanggapi satu sama lain. Hingga pada akhirnya, tulisan-tulisan kedua tokoh itu menjadi rujukan banyak orang.

Kembali ke soal kata-kata dalam tulisan saya yang dijadikan permasalahan serius. Saya sebagai penulis juga akan menanggapi dengan tidak sebercanda tahu bulat yang dijadikan lelucon oleh anak-anak kecil perumahan. Karena tidak ada tulisan balasan, maka dengan sangat senang hati akan saya bahas dalam tulisan ini. Semoga tidak terjadi kesalahpahaman yang serupa di kemudian hari.

Begini. Tulisan saya terinspirasi dari orasi ketika di Gedung Rektorat pada Senin (18/9). Ketika itu, semua orang yang bekerja di gedung berwarna biru itu keluar. Dengan ditemani pagar betis oleh Satuan Pengamanan (Satpam) kampus, seluruh birokrat menyaksikan dan menyimak orasi saya.

Kemudian, saya katakan dalam orasi bahwa barangkali di dalam gedung itu terdapat iblis yang bersemayam, sehingga rektorat tergoda dan berusaha menutupi kebenaran. Kemudian, agar iblis yang bersemayam di dalam daoat keluar, saya mengajak peserta aksi untuk bersama-sama melantunkan nyanyian istighfar. 

    Astaghfirullah Robbal Barooya. Astaghfirullah Minal Khothooyaa.

Kata “iblis” itu kemudian saya masukkan ke dalam tulisan. Disandingkan dengan pembunuh berdarah dingin dan preman berdasi. Lalu, cibiran datang. Saya dianggap tak beretika karena pemilihan kata yang kasar. Sesungguhnya, tersinggung sangat berbeda tipis dengan rasa kegeeran yang dilakukan secara berlebihan.

Padahal sebenarnya, kata “iblis” tidak ditujukan kepada para birokrat yang terhormat itu. Kalau kurang yakin, silakan dibaca kembali. Hal itu diharap agar tidak ada ketersinggungan atau kegeeran baru di lain waktu. Sebab iblis, pembunuh berdarah dingin, dan preman berdasi merupakan tiga objek yang berbeda makna.

Pertama, iblis yang dimaksud merupakan makna denotasi. Bahwa di setiap ruang, gedung, dan bangunan pasti ada iblis yang bersemayam. Kerjanya, tentu menggoda manusia untuk berlaku tidak sesuai dengan koridor seharusnya. Saya tidak akan menjelaskan soal dialektika kehidupan iblis, Sebagian ada yang mengatakan bahwa iblis adalah makhluk Tuhan yang paling taat. Sebagian lagi menyatakan kalau iblis merupakan makhluk terkutuk sepanjang masa.

Kedua, pembunuh berdarah dingin. Kalimat tersebut sering digaungkan oleh aktivis mahasiswa di Unisma Bekasi. Bahwa pejabat kampus seringkali meninabobokan mahasiswa. Serupa zat adiktif. Mengatasnamakan ketertiban dan pembenahan, tapi sebenarnya secara perlahan mengebiri segala macam aktivitas mahasiswa. Singkatnya, sistem kapitalis dengan mengawinkan sikap humanistik kini sedang dimainkan. Ya, kapitalis-humanis.

Ketiga, preman berdasi. Istilah ini lahir dari pengalaman mahasiswa yang acapkali mendapat ancaman berupa Drop Out atau nilai buruk. Biasanya ancaman itu ditujukan kepada mahasiswa baru. Tujuannya agar tidak masuk ke dalam barisan yang sedang mengkritisi berbagai kebijakan kampus. Ancaman atau intimidasi itu kini sedang berlangsung. Di beberapa fakultas, mahasiswa baru diinstruksikan oleh para dosen agar langsung pulang usai kuliah di kelas. Karena didoktrin bahwa aksi atau demonstrasi itu tidak penting, urakan, melanggar etika dan tata krama.

Padahal sangat jelas bahwa aksi tersebut didasarkan pada kepedulian terhadap hak seluruh mahasiswa. Ironinya, sebagian besar dosen justru melakukan doktrinasi yang demikian, Namun, walau bagaimana pun, Aliansi Mahasiswa Unisma Bekasi tetap berjuang demi menegakkan keadilan dan kemaslahatan masyarakat kampus.

Jadi, bagaimana? Saya sudah jelaskan semua. Setidaknya dengan terbitnya tulisan ini dapat mengurangi rasa kegeeran yang timbul akibat sikap yang reaksioner. Sehingga bermunculan intimidasi dan ancaman pembinasaan kepada saya. Sekali lagi saya tegaskan, saya siap menanggung segala macam konsekuensi dan resiko. 

Sebagai saran, kalau tidak suka terhadap tulisan saya yang menohok, silakan lawan dengan tulisan. Bukan dengan cibiran, intimidasi, dan ancaman yang membuat emosi tak terkendali. Santai saja. Tulisan melawan tulisan akan terlihat lebih keren. Menandakan bahwa diantara kita sudah tercipta kemapanan berpikir dan bertindak. Karena menulis adalah melawan.

Ayo, Bung. Mapanlah dalam berpikir.



Wallahul muwafiq ilaa aqwamiththoriq

Aru Elgete

(Menulis dengan dua tangan; Tangan kanan untuk berteman, sedang yang kiri untuk melawan)

Ditulis di Desa Sirnabaya, Karawang, pada 22 September 2017




(Sumber tulisan: jagatngopi.com)


Menulis Adalah Melawan!


Suasana massa aksi menggeruduk Gedung Rektorat, 19 September 2017


“Kata-kata merupakan peluru peradaban,” demikian asumsiku saat memahami kalau di era digital ini tidak lagi perang dengan mengangkat senjata. Melainkan dengan kata-kata. Baik berbicara atau menulis. Keduanya, menurutku, serupa tapi tak sama.

Karenanya, saya tak ingin tidak menguasai keduanya. Semangat dan faktor pendukung dari berbagai pihak, menjadi pemicu untuk terus mengembangkan kata-kata. Kini, saya punya asumsi bahwa menulis adalah melawan.

Terkait aksi berturut-turut yang dilakukan Aliansi Mahasiswa Unisma Bekasi (Amunisi), saya lebih memilih untuk berperan menjadi pencatat adegan. Perlawanan, bagiku, harus dimulai dengan kata-kata. Kalau tidak, resiko terbesar yang harus diterima adalah penindasan yang tak berkesudahan.

Kalau pun melawan, tapi dengan tanpa kata-kata atau tulisan, akan jauh dari kemenangan yang akan diraih. Sebab dengan menulis, ribuan kepala akan terbius sehingga gelombang massa kian bertambah. Atau setidaknya, semakin menciptakan kepercayaan diri terhadap perlawanan yang sedang dilakukan.

Tulisanku terkait Rektorat Unisma Bekasi yang diduga korupsi dan institusi pendidikan yang berubah fungsi menjadi badan usaha untuk melakukan bisnis, dikomentari banyak orang. Tentu, pro-kontra. Sebagian besar mendukung, tapi tak jarang yang mencibir. Itu sudah biasa. Wajar.

Namun satu hal yang mesti diketahui adalah, tulisanku sesuai data dan fakta. Saya siap mempertanggungjawabkan. Bahkan saya akan menerima dengan senang hati, kalau suatu saat dituntut ke ranah hukum. Apa yang harus ditakuti? Kalau cahaya kebenaran sudah direngkuh, kezaliman pasti sirna. Begitu prinsipku.

Saya tidak lagi takut diancam Drop Out (DO) atau mendapat nilai akademik yang buruk. Karena, selama ini, nilai akademik saya baik. Dan, untuk DO perlu proses yang panjang. Ancaman demi ancaman selalu saja menghampiri siapa saja yang sedang dalam proses perjuangan. Sebagaimana Satuan Pengamanan (Satpam) Unisma Bekasi yang diancam pemutusan kontrak kerja kalau ketahuan bergaul dengan mahasiswa.

Jancuk memang. Tapi begitulah orang-orang picik bekerja. Hanya bisa mengancam. Selain itu, tidak ada yang bisa mereka lakukan. Jajaran rektorat dan bahkan kampus tidak memiliki apa-apa kalau tanpa peran Satpam. Sayangnya, kaum sumbu pendek memang tak mampu berpikir jernih.

Begitu pun terkait kebijakan yang tanpa melibatkan mahasiswa. Mereka tentu khawatir proyeknya gagal kalau berunding sebelum mengeluarkan kebijakan. Padahal, mereka bukan apa-apa tanpa mahasiswa. Lucunya, mahasiswa tak pernah terlibat dalam proses. Barangkali jajaran rektorat tidak belajar nilai-nilai Pancasila. Yakni, musyawarah mufakat dan gotong-royong.

Kurang lebih, seperti itulah kerja orang-orang yang di otaknya hanya terdapat uang dan harta berlimpah. Sehingga, kampus tidak lagi menjadi institusi pendidikan melainkan ladang bisnis yang dapat memperkaya diri dan golongan. Lucu, kan?

Sementara itu, lahan parkir baru sungguh memberatkan mahasiswa yang berperan aktif dalam organisasi. Padahal, pusat organisasi terletak di belakang kampus. Mulai Senin (18/9), tidak boleh lagi ada motor yang bisa menerabas hingga ke sekretariat organisasi. Lucu. Singkatnya, Unisma Bekasi sedang melakukan proses pembunuhan dan pembusukan organisasi.

Rektorat tak pernah berpikir panjang, yang penting proyeknya berjalan. Soal ditolak, pembenaran dan pembelaan akan dilancarkan di kemudian hari. Lagi, begitu kaum sumbu pendek bekerja. Tidak dengan hati yang bersih dan akal yang sehat. Padahal, ada embel-embel agama pada nama Unisma Bekasi.

Kini, rektorat Unisma Bekasi seperti menjual dan mengatasnamakan agama agar menarik minat calon mahasiswa. Namun sesungguhnya, perilaku mereka sangat jauh dari karakter keislaman. Lebih jauh, mereka adalah sebenar-benarnya penista agama.

Kepada siapa saja yang tidak terima dengan tulisan saya silakan atur jadwal untuk berdiskusi. Kapan pun saya siap. Juga kepada seluruh pejabat kampus. Pun demikian. Pertanyaannya, kalau tidak senang disebut sumbu pendek dan penista agama, kenapa tidak pernah melibatkan mahasiswa dalam proses menentukan atau mengeluarkan kebijakan baru?

Saya tegaskan, saya berdiri di atas dua kaki. Kaki kanan untuk berteman, sedangkan yang kiri untuk melawan. Musuh terbesar saya adalah orang-orang jahat. Akan tetapi, KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur pernah mengatakan, di dunia ini tidak ada orang jahat. Melainkan orang-orang yang sedang dalam proses menuju kebaikan.

Karenanya, saya tidak pernah punya musuh. Kalau pun ada yang merasa bermusuhan dengan saya, itu hal lain. Masih bisa didiskusikan. Saya siap menerima segala resiko atas tulisan ini. Karena menulis adalah melawan!


Aru Elgete
(Mahasiswa aktif Unisma Bekasi)

Ditulis di Desa Sirnabaya, Kabupaten Karawang, pada 20 September 2017.


(Sumber tulisan: jagatngopi.com)

Rektorat Unisma Bekasi Terindikasi Korupsi?



Aksi di depan Gedung Rektorat Unisma Bekasi, 18 September 2017


Universitas Islam “45” (Unisma) Bekasi bergolak. Setelah sekian lama mahasiswa tertidur, kini mulai terbangun. Tersadar, bahwa selama ini mahasiswa hanya menjadi objek yang tidak pernah diperhitungkan. Bukan subjek yang dianggap sebagai bagian dari masyarakat kampus.

Sebagian besar aktivis, perwakilan dari setiap organisasi; baik tingkatan fakultas, jurusan, dan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM), bersatu menyuarakan kesepahaman. Bahwa, ada yang tidak beres dari rektorat; pengendali instansi pendidikan yang kini berubah fungsi menjadi badan usaha untuk meraup keuntungan.

Senin (18/9) siang, keresahan itu tertumpah. Seluruh aktivis mahasiswa menggeruduk gedung biru. Sebuah bangunan yang di dalamnya terdapat berbagai macam hal. Tempat bersemayamnya iblis, pembunuh berdarah dingin, dan preman berdasi. Sementara mahasiswa memiliki fungsi untuk berkata benar adalah benar, salah adalah salah.

Dalam aksi siang itu, ada 3 tuntutan yang menyertai semangat juang. Yakni, terkait transparansi anggaran yang tidak terpublikasi dengan baik, mutu pendidikan yang menggelikan, dan fasilitas kampus yang sangat tidak manusiawi. Ketiganya menjadi fokus utama dalam setiap orasi yang dilakukan secara bergilir.

Lepas salat asar, pihak rektorat berdiskusi dengan massa aksi. Membahas ketiga hal yang perlu konfirmasi dan klarifikasi. Namun sayang, belum sampai pada poin kedua dan ketiga, Pelaksana Tugas (Plt) Rektor Unisma Bekasi Yayat Suharyat, beserta jajarannya tidak bisa memberi jawaban yang konkret nan ilmiah.

Beberapa kali terlihat dari gaya komunikasi, baik secara verbal maupun nonverbal, yang sangat lucu. Wajah memerah, bicaranya tak beraturan, bahkan antara yang satu dengan lainnya seringkali memiliki jawaban berbeda. Parahnya, salah satu Wakil Rektor tidak mengetahui bagaimana kondisi kampus yang sebenarnya. Miris.

Sebagai bagian dari masyarakat kampus, massa aksi ingin mengetahui laporan anggaran dari 2012 hingga 2017. Sementara pihak rektorat berkelit luar biasa. Kemudian, mahasiswa memberi dia pilihan kepada para pejabat kampus itu. Pertama, memberikan laporan keuangan untuk dikaji bersama, atau yang kedua turun dari jabatan. Plt Rektor itu mengatakan bahwa mahasiswa bukan bagian dari masyarakat.

Saat buku laporan keuangan sudah berada di tangan wakil rektor bidang keuangan, massa aksi menghampiri. Bermaksud meminta, tapi sayang, tidak diberikan. Seperti dirahasiakan. Kalau merasa tidak melakukan tindak pidana korupsi, kenapa harus takut? Ada apa sebenarnya?

Sementara itu, Argumentum ad hominem acapkali terjadi. Plt Rektor menyampaikan bahwa dia tidak berani mengambil keputusan sampai Rektor Unisma Nandang Najmulmunir kembali bertugas, setelah cuti karena menunaikan ibadah haji. Bicaranya sirkular, tidak linier. Berputar-putar. Jujur, saya jijik mendengarnya.

Lebih menjijikkan ketika salah seorang wakil rektor mengatakan, “Kami tidak bisa memberikan rincian secara detail. Itu sama seperti kalian membeli martabak. Memangnya kalian pernah bertanya bagaimana proses pembuatannya secara mendetail? kan, tidak.”

Bagi saya, analogi itu sangat menggelikan. Atau, barangkali yang ada di pikirannya hanya seputar bisnis saja. Mungkin. Lembaga pendidikan kok disamakan dengan martabak? Aneh.

Dan, pada akhirnya diskusi tidak menemui hasil. Mahasiswa memutuskan untuk bermalam di depan gedung biru itu. Siang nanti akan ada aksi lanjutan. Hingga transparansi dilakukan. Atau, sampai para preman berdasi itu turun dari jabatannya. Karena dinilai tidak becus dalam mengelola lembaga pendidikan sekelas perguruan tinggi. Mereka sepertinya lebih pantas berbisnis saja. Begitu kata peserta massa aksi.

“Indikasi korupsi sudah mulai tercium aroma busuknya,” kata salah seorang mahasiswa yang tidak perlu disebutkan identitasnya.

Sesungguhnya aksi tersebut merupakan teguran agar rektorat selalu melibatkan mahasiswa sebelum mengambil dan memutuskan kebijakan baru. Sejauh ini, yang bisa preman berdasi itu lakukan adalah, membuat kebijakan kemudian baru berdiskusi dengan mahasiswa. Selalu begitu. Dan, kini sudah memuncak. Inilah puncaknya.

Aksi itu dilakukan atas dasar cinta dan kasih sayang. Cinta terhadap agama dan kesuciannya. Sebab agama itu suci nan sakral. Sementara Unisma Bekasi seperti menjual agama demi keuntungan semata. Embel-embel Islam dalam Universitas Islam “45” lebih baik tidak dipakai kalau digunakan hanya untuk kepentingan bisnis. Sesungguhnya mereka itulah sebenar-benarnya penista agama. Na’udzubillahi min dzalik.

Kepada seluruh Mahasiswa Unisma Bekasi, mari rapatkan barisan dan terangi kebenaran. Sebab korupsi adalah kezaliman yang nyata dan hanya bisa dikalahkan oleh cahaya perjuangan.

Selasa, 19 September 2017 aksi lanjutan dilakukan di depan gedung biru. Bangunan tempat iblis bersemayam.

Dengan tulisan ini, saya siap menerima segala resiko. Saya menulis tidak mewakili fakultas, jurusan, dan organisasi apa pun. Ini murni dari kecintaan yang mendalam.

Aru Elgete
(Mahasiswa aktif Unisma Bekasi)
Ditulis di Desa Sirnabaya, Karawang, pada 19 September 2017



(Sumber tulisan: jagatngopi.com)

Unisma Bekasi, Ladang Untuk Bisnis Pendidikan



Gedung Rektorat Unisma Bekasi 


Senin, 18 September 2017 perkuliahan dimulai. Mahasiswa baru Universitas Islam “45” (Unisma) Bekasi datang dengan rasa gembira karena status yang berubah. Menjadi Siswa yang Maha. Bersamaan dengan itu, ada suasana yang berbeda. Besok, akan ada aksi besar-besaran menuntut kebijakan yang dianggap kontra-mahasiswa.

Sudah sejak lama, mahasiswa Unisma Bekasi tertidur. Ketiadaan organisasi tertinggi di kampus (BEM-KM) merupakan salah satu yang menyebabkan kekosongan dinamika. Mahasiswa berubah menjadi pragmatis. Bahkan, individualis. Malah, cenderung ke arah hedonis. Mahasiswa takut terancam Drop-Out (DO) dan mendapat nilai buruk, daripada menyuarakan hak dan kebenaran.

Karena itu, pihak yang bertanggung jawab –dalam hal ini rektorat– memanfaatkan situasi dan kondisi itu. Parahnya, mahasiswa sering diadu, sehingga muncul konflik horizontal. Dinamika tak lagi terbangun. Dialektika mati. Singkatnya, rektorat aji mumpung. Seringkali berulah dengan meninabobokan mahasiswa.

Sebagian besar mahasiswa acapkali sulit membedakan kebijakan rektorat terkait pembenahan atau justru mematikan. Hal itu karena mahasiswa kekinian, khususnya di Unisma Bekasi, seperti hilang kendali. Karenanya, rektorat seperti bersikap paternalistik. Kalau melawan akan ada hukuman, serupa kualat atau durhaka. Padahal, tidak sama sekali. Kehidupan di kampus sangat berbeda dengan keadaan antara orang tua dengan anak kandungnya sendiri.

Begini, sejak 2014 saya mengenyam pendidikan di kampus yang melabeli diri dengan nama agama itu, terdapat banyak sekali yang mesti diusut. Karena pelabelan atas nama agama itu, saya terpanggil untuk membenahi kesucian agama. Pasalnya, agama itu sakral. Tak bisa diperjualbelikan, diatasnamakan, dan dimanfaatkan demi kepentingan bisnis.

Saban tahun, Program Internalisasi Kampus Mahasiswa Baru (PIKMB, nama lain dari Ospek), rektorat tak pernah transparan dalam hal anggaran. Padahal, jumlah mahasiswa yang masuk kian banyak. Bayaran pun semakin mahal. Namun, pihak rektorat seperti menutup diri dari kejujuran. Padahal jelas, agama mengajarkan sikap jujur, arif, dan bijaksana.

Ada beberapa poin penting yang mesti digarisbawahi. Pertama, Unisma Bekasi terkenal dengan keaktifan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM). Sayangnya, ada beberapa UKM yang bertahun-tahun tidak mendapatkan ruang untuk menyimpan arsip; sekretariat. Sementara rektorat sangat instan dalam berpikir. Kalau mahasiswa kian banyak dan bayaran semakin naik, seharusnya mampu membangun gedung baru untuk kebutuhan UKM. Nyatanya, rektorat malah ingin menyekat ruang yang sudah ada. Yakni, ruang yang kalau hujan pasti banjir.

Kedua, program Kuliah Kerja Nyata (KKN) tahun ini terkesan sangat menjijikkan. Persiapan kurang, bahkan dadakan seperti tahu bulat. Sedangkan mahasiswa hanya dijadikan objek, bukan subjek. Tahun ini, mahasiswa dikenakan tarif untuk mengikuti KKN senilai Rp750.000 (tahun sebelumnya Rp500.000) tanpa alasan yang jelas. Kemudian ditempatkan di lokasi yang seperti api jauh dari panggang.

Kecamatan Telukjambe Timur, Kabupaten Karawang, bukan tempat yang representatif untuk melaksanakan kegiatan pengabdian masyarakat. Dugaan kuat adalah karena pihak kampus sudah ada MoU dengan Bupati Karawang. Beberapa bulan sebelum KKN, pasca pembukaan Festival Film Jawa Barat (FFJB) yang diresmikan oleh Wakil Gubernur Jawa Barat Dedi Mizwar di Gedung Pertemuan YPI “45”, Cellica Nurrachadiana menyambangi kampus Unisma Bekasi. Sifatnya privat. Mahasiswa tidak terlibat.

Ketiga, soal PIKMB. Panitia Pelaksana PIKMB Universitas sempat menanyakan jumlah mahasiswa ke pihak rektorat. Maksudnya agar bisa mengetahui anggaran yang masuk sehingga panitia bisa menghitung dan mampu menyesuaikan keperluan yang dibutuhkan. Berdasarkan laporan yang saya peroleh, rektorat menutup diri dari keterbukaan. Lucu.

Keempat, mengenai Gebyar UKM. Tahun lalu, setiap UKM diberi anggaran sejumlah Rp500.000, tapi kini hanya Rp250.000. Aneh, tahun sudah berganti, harga kebutuhan meningkat, mahasiswa semakin banyak, dan bayaran naik, tapi jatah per-UKM justru dipangkas. Ada apa sebenarnya? Lagi, mahasiswa hanya menjadi objek yang dianggap pasif dan mati, bukan subjek yang dihargai.

Kelima, terkait kesejahteraan Satuan Pengamanan (Satpam) Unisma Bekasi. Menurut penuturan salah seorang satpam yang menolak disebutkan identitasnya, sudah 3 bulan tak mendapat gaji. Selain itu, satpam dilarang keras bergaul dengan aktivis mahasiswa. Memangnya ada apa sampai-sampai satpam telat mendapat gaji? Juga, ada apa dibalik pelarangan pergaulan antara satpam dan mahasiswa?

Keenam, parkiran baru. Di kantin, sudah terdapat tempat parkir baru yang sama sekali tidak bisa diterabas. Sementara pusat organisasi ditempatkan di bagian belakang kampus. Gedung Student Centre, namanya. Bagi mahasiswa yang aktif berorganisasi, hal tersebut seperti mematikan gerak organisasi. Dampak jangka panjangnya, adik-adik mahasiswa akan malas mengikuti organisasi karena untuk mencapai sekretariat, harus ditempuh dengan berjalan kaki. Alasan lucu dari pihak kampus adalah, “kita sudah sediakan mobil bak terbuka, kalau kawan-kawan mahasiswa mau menaruh barang-barang ke sekret.”

Sesungguhnya dari tulisan ini saya ingin sampaikan bahwa Unisma Bekasi sudah tidak bisa disebut sebagai lembaga pendidikan, tetapi hanya serupa ladang bisnis semata. Kerjanya hanya mengeruk biaya tanpa memikirkan mutu pendidikan. Hal ini dapat terlihat dari kinerja dosen di ruang kelas. Banyak yang lucu dan cenderung aneh dalam mengajar. Mutunya rendah. Bahkan, sangat tidak layak untuk dipekerjakan sebagai tenaga pengajar.

Dengan tulisan ini, saya sudah siap menanggung segala resiko. Karena faktanya memang demikian. Liberalisasi dan komersialisasi pendidikan sudah sangat kentara di dalamnya. Maka, dengan segala kegelisahan dan keresahan bersama, Front Mahasiswa Unisma Bekasi akan mengadakan aksi menuntut segala macam hal dan kebenaran yang selama ini tertutupi.

Aksi akan dilakukan di depan gedung rektorat pada Senin, 18 September 2017 pukul 12.30 s.d. selesai.

Hidup Mahasiswa!!!



Aru Elgete
(Menulis tidak mewakili fakultas, jurusan, atau organisasi. Tetapi atas dasar keresahan diri sendiri)


Ditulis di Desa Sirnabaya, Karawang, 18 September 2017.


(Sumber tulisan: jagatngopi.com)

Surat Terbuka Untuk Mahasiswa Baru Unisma Bekasi



Mahasiswa Baru Unisma Bekasi 2017/2018


Dear Mahasiswa Baru Unisma Bekasi

Dik, selamat datang di kampus yang penuh dengan rindang pepohonan. Selamat menghirup udara kesejukan saban pagi tiba. Selamat menjalani hari-hari sebagai Siswa yang Maha. Cepatlah mendewasa, karena perguruan tinggi tentu jauh berbeda dengan kehidupan di sekolah. Segera ubah pola pikir dan cara pandangmu.

Dik, di Unisma Bekasi, kau bisa salurkan minat dan bakat di Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) yang telah disediakan. Sekitar 15 UKM menanti kedatanganmu. Mereka ingin melakukan kaderisasi. Silakan pilih. Besok, 14 September 2017 Gebyar UKM dilakukan, sebagai bentuk pengenalan UKM kepada mahasiswa baru yang masih unyu-unyu.

Direktorat Kemahasiswaan dan Alumni (DIKA) menjadi payung dan pengayom dari ke-15 UKM itu. Dialah fasilitator. Menginisiasi fasilitas kepada UKM yang dinilai masih perlu pengembangan. Melakukan pengawasan dan mengucurkan anggaran setiap tahun demi terciptanya kemaslahatan UKM. Ya, maslahat.

Dik, kau harus tahu. Bahwa ada beberapa UKM yang ternyata belum memiliki ruangan sekretariat. Sementara DIKA sangat instan mengambil keputusan. Ruang Laboratorium Teater Korek yang notabene sudah menjadi episentrum kebudayaan Bekasi, akan disekat-sekat untuk dijadikan beberapa ruang. Orang-orang DIKA tentu tidak tahu kaidah Ushul fiqih “Al-Muhafadzhotu ala qodimissholih wal akhdzu bil jadidil ashlah.” Jelas tidak tahu, karena mungkin tidak pernah ngaji. Mungkin.

Teater Korek itu, Dik, tidak sedang mempermasalahkan ruangan yang akan ditiadakan. Sama sekali tidak. Karena teater tidak membutuhkan ruang. Teater bisa hidup kapan dan di mana pun. Namun, ada hal yang mesti kau tahu, Dik.

Pertama, beberapa tahun lalu ruang Laboratorium Teater Korek itu dikosongkan oleh pihak kampus selama kurang lebih 2 tahun. Awalnya ruang itu adalah musala. Kemudian, saat masjid Al-Fatah sudah diresmikan, ruangan itu dibiarkan tak berpenghuni dan hampir tak berfungsi. Dengan sangat inisiatif, para pendahulu Teater Korek melakukan pembersihan dan pengembalian fungsi atas ruang itu. Yakni dijadikan sebagai ruang untuk berproses dan bergerilya dalam gerak kebudayaan.

Hingga Kampus Unisma Bekasi dikenal sebagai malaikat rahmat karena sudah menyelamatkan wajah Bekasi. Sebab, ada anekdot, kota atau daerah yang tidak memiliki ruang kebudayaan dianggap sebagai daerah yang tidak berkeadaban.

Kedua, sejak dulu pihak kampus dalam hal ini DIKA seolah tak punya cara pandang yang jernih. Apakah tidak punya proyeksi ke depan bahwa UKM akan bertambah sehingga harus memikirkan fasilitas ruang untuk sekretariat? Kenapa kok malah mematikan yang sudah ada, bukan menciptakan yang belum ada? Barangkali orang DIKA mesti ngaji tentang “maqashid syariah” atau tentang makna “maslahah”.

Ketiga, kalau ruang Laboratorium Teater Korek dijadikan beberapa ruang di dalamnya. Maka, tentu DIKA sudah gagal menjadi pengayom. Bicara keadilan, jelas seperti api yang jauh dari panggang. Di tempat itu, banjir sering berkunjung. Bukan tumpah dari sungai, tetapi muncul dari bawah tanah. Bagaimana adil? Sementara UKM yang sudah lebih dulu lahir sudah nangkring bebas di gedung Student Centre.

Keempat, mahasiswa setiap tahun bertambah. Kemudian, bayaran pun semakin naik. Untuk bayaran per-SKS misalnya. Saya, angkatan 2014, dihargai Rp135.000. Saban tahun, pasti naik. Silakan, Dik, kau tanya kakak tingkatmu yang kini semester 3. Maksudku, sangat mustahil kalau pihak kampus tidak mampu membangun gedung baru untuk memfasilitasi UKM yang berada di bawah naungannya. Atau, jangan-jangan virus korupsi sudah menjangkiti tubuh mereka? Naudzubillah, jangan sampai.

Kelima, aku berpesan, kau harus hati-hati. Jangan mudah percaya dengan omongan yang seakan menenangkan macam zat adiktif. Memang begitu mereka diciptakan. Untuk berkata manis, tapi sebenarnya mereka adalah pembunuh berdarah dingin.

Dan, sekali lagi kuucapkan. Selamat datang. Semoga tidak ada penyesalan di lain waktu. Kalau ada, jangan anggap itu sebagai sesal, tapi sebagai pemicu untuk melakukan pendobrak kebatilan. Di sini kalian diuji. Benar katakan benar, salah katakan salah. Jangan menjadi munafik. Cukup Tuhan ciptakan mereka dan dijadikannya kaum munafik. Sementara kau, jangan sampai.



Ditulis di Karawang pada 12 September 2017



(Sumber tulisan: jagatngopi.com)

Rabu, 13 Desember 2017

Kota Suci Tiga Agama dan Laboratorium Teater Korek


Sumber gambar: malangtoday.net


Jerusalem atau Yerusalem merupakan sebuah kota yang menjadi peradaban penting di muka bumi. Terlebih, menjadi perjalanan sejarah panjang bagi para penganut agama Abrahamik. Sebuah kepercayaan yang mengerucut pada nenek moyang keberagamaan dunia. Dalam literatur Islam, dikenal dengan sebutan Ibrahim ‘alahissalam.

Kota Suci itu, yang dalam bahasa Ibrani disebut Yerushalayim dan dalam bahasa Arab disebut al-Quds terdapat beragam peristiwa yang terjadi. Sepanjang masa. Mulai dari adegan harmoni kerukunan umat beragama, hingga narasi kebencian mengemuka dan pertumpahan darah yang membabi-buta. Semua orang mengerutkan dahi, mendecak kagum, dan bahkan menggeleng kepala saat mata tertuju kepadanya.

Yahudi, Kristen, dan Islam disebut sebagai agama yang turun dari langit menjadi saksi sejarah abadi. Ketiganya pernah hidup berdampingan, menebar dan menabur cinta kasih, serta meniadakan permusuhan. Moses (Musa, dalam bahasa Arab), Yesus (Isa dalam bahasa Arab), dan Muhammad adalah messias yang pernah singgah di tanah nan suci itu; Yerusalem, Darussalam. Ketiga tokoh berpengaruh itu, pernah menorehkan tinta emas membangun peradaban di sana.

Namun, entah karena kepentingan politik dan kekuasaan; atau memang murni karena persoalan agama, Yerusalem berubah warna dan bentuk. Kehidupan di sana tak lagi mencerminkan peradaban dan keadaban yang telah diperkenankan oleh para nabi kepada seluruh umat manusia. Kini, semua saling berebut. Orang-orang merasa memiliki keterkaitan sejarah sehingga menghalalkan segala cara untuk mendaku, bahwa Yerusalem kepunyaan pribadi atau kelompok.

Di sana terdapat pusat yang disebut sebagai Kota Tua. Yakni, sebuah labirin gang-gang sempit dan arsitektur bersejarah yang menandai empat penjuru kota. Empat penjuru itu adalah kawasan Kristen, Muslim, Yahudi, dan Armenia. Kemudian dikelilingi dinding batu berupa benteng tempat berdirinya sejumlah situs tersuci di dunia. 

Setiap kawasan mewakili populasi tersendiri. Orang-orang Kristen memiliki dua kawasan, karena orang-orang Armenia juga beragama Kristen. Kawasan Armenia ini, yang terkecil dari keempatnya, adalah salah satu pusat Armenia tertua di dunia. Di sana terdapat Gereja Makam Kudus. Sebuah tempat ziarah penting dalam kisah Yesus; kematian, penyaliban, dan kebangkitannya.

Dalam tradisi Kekristenan, Yesus disalibkan di sana, di bukit Golgota atau Kalvari. Makamnya terletak di dalam bangunan pekuburan yang diyakini sebagai tempat kebangkitannya. Tempat itu menjadi salah satu tujuan ziarah utama bagi ratusan juta orang Kristen di dunia yang mengunjungi makam Yesus dan mencari penebusan dalam doa di lokasi tersebut.

Sementara di Kawasan Muslim berisi tempat suci Kubah Batu (Kubah As-Shakrah atau Dome of the Rock) dan Masjid Al-Aqsa di dataran tinggi yang dikenal sebagai Haram Al-Sharif. Umat Islam meyakini bahwa Nabi Mmuhammad datang ke Masjid Al-Aqsa dalam perjalanan malam Isra-Miraj. Kemudian, Nabi Pamungkas itu salat dan berdoa bersama ruh para nabi.

Selain itu, di Kawasan Yahudi terdapat Dinding Ratapan atau Tembok Barat. Sisa dari dinding tempat berdirinya Bait Suci zaman dulu. Di dalam tempat suci itu, ada Ruang Maha Kudus, situs paling suci dalam agama Yahudi. Umat Yahudi percaya bahwa di sana adalah tempat batu fondasi penciptaan dunia dan tempat Abraham siap mengorbankan anaknya, Ishak.

Ketiga agama itu memiliki kaitan sejarah yang erat dan rekat. Maka, tak heran seluruh umat beragama di dunia mengecam keras Presiden Amerika Serikat Donald Trump saat mengeluarkan kebijakan dan pernyataan bahwa Yerusalem adalah Ibu Kota Israel. Kebijakan itu kemudian ditentang oleh seluruh kepala negara di dunia. Karena dengan kebijakan itu, Trump sama dengan mencederai sejarah peradaban yang telah dibangun oleh tiga agama terbesar di dunia.


Laboratorium Teater Korek



Nun jauh beranjak dari Yerusalem. Di kampus Universitas Islam “45” (Unisma) Bekasi berdiri kokoh sebuah bangunan tua bersejarah yang memiliki sejarah panjang peradaban dan keadaban. Pada mulanya, ruang pada bangunan itu antah-berantah, tak berperadaban sama sekali. Kosong. Menurut penuturan beberapa sumber, ruang yang kini diberi nama Laboratorium Teater Korek adalah eks-musala. Sebelum Masjid Al-Fatah Unisma Bekasi didirikan, yang lokasinya berada di tengah kampus, semua orang beribadah di Musala itu.

Bertahun, ruang itu tak berpenghuni. Tidak dilirik sama sekali. Bahkan, menjijikkan. Puing-puing, bambu bekas, segala jenis hewan melata dan mamalia bersamayam di sana. Gelap. Semua orang berbondong meninggalkan. Tak mengindahkan sama sekali. Memang, secara legalitas-formal, Laboratorium Teater Korek merupakan sebuah bangunan yang masih kepunyaan pihak kampus. Walau secara sosial-kebudayaan, dikelola langsung oleh mahasiswa.

Seiring waktu berjalan, anak-anak remaja yang menamai dirinya mahasiswa, berbenah. Ruang itu dijadikan tempat untuk membangun peradaban baru. Kala itu, pihak kampus sama sekali tak berkeberatan. Di dalamnya, menetas karya-karya baru. Seluruh orang dirangkul untuk bersama-sama membangun kehidupan yang dimulai dari bangunan tua bersejarah itu. Ruang yang semula sunyi, melahirkan bunyi. Sebuah puisi tanpa sajak, syair tanpa rima, dan prosa tak berbentuk. Yakni, yang dinamakan keniscayaan.

Laboratorium Teater Korek itu, kini dipersoalkan oleh berbagai pihak. Semua merasa terlibat dalam perjalanan sejarahnya. Persis seperti Yerusalem. Ada pihak yang merasa memiliki karena saban hari mengisi kekosongan di sana. Mencari bentuk dan menggali minat, bakat, serta potensi yang ada dalam diri. Ada pula pihak yang merasa memiliki karena merasa terikat kuat batin dan rasa. Merekalah para guru dan para aktivis mahasiswa yang telah memberi pelajaran dan pengajaran penting di dalamnya.

Terakhir, tentu saja pihak kampus. Yang semula membiarkan ruang ini hidup. Mengapresiasi segala bentuk dan warna yang telah dibuat oleh anak-anak remaja di dalamnya. Pihak yang disebut terakhir ini merasa memiliki kepentingan untuk mewadahi organisasi yang belum terfasilitasi. Kemudian, muncul pertanyaan baru; “Benarkah untuk berbuat kebaikan, mesti meniadakan yang lain, mematikan yang hidup, dan membunuh peradaban yang sudah susah-payah dibangun?”

Kalau begitu, sama halnya dengan cerita legendaris Si Pitung di Tanah Betawi dan Robin Hood di Tanah Britanian? Mengerjakan kebajikan dengan mencuri. Pitung dan Robin, masih bisa dibenarkan karena yang menjadi objek pemberangusan adalah orang-orang kaya yang kerjanya merampas rakyat kecil. Lantas bagaimana dengan pihak kampus Unisma Bekasi? Entahlah.

Saran saya, sebagaimana juga Yerusalem, Laboratorium Teater Korek mestinya tidak dijadikan sebuah lokasi atau tempat yang hanya diperuntukkan bagi salah satu pihak saja. Tetapi untuk semua, demi kemaslahatan bersama. Yerusalem pun demikian. Biarlah menjadi situs suci perjalanan tiga agama. Secara kebudayaan, hal itu yang mesti menjadi perhatian lebih bagi seluruh orang yang menyuarakan kebenaran bagi Yerusalem, dan tentu saja Teater Korek.

Berkaitan dengan itu, Teater Korek Unisma Bekasi akan mengadakan sebuah pementasan malam persembahan yang bertajuk “Ruang-Raung”. Sebuah pertunjukkan yang berangkat dari kegelisahan sehari-hari. Pertunjukkan “Ruang-Raung” akan dilaksanakan pada Jum’at 22 Desember 2017 di Laboratorium Teater Korek, yang lokasinya berada di bagian belakang kampus. Sila sisihkan waktu untuk menyaksikan sebuah pertunjukkan yang mengangkat sisi sejarah dan kekinian ruang atau bangunan bersejarah itu.



Tabik,


Aru Elgete
Bekasi, 13 Desember 2017

Rabu, 06 Desember 2017

Sujiwo Tejo: Kalau Aku Dilarang Menyembah, Darah!


Sumber gambar: merdeka.com



Pada tayangan Indonesia Lawyers Club (ILC) edisi Selasa 5 Desember 2017 berjudul "212: Perlukah Reuni?," Presiden Republik Jancukers Kanjeng Sultan Sujiwo Tejo menjadi titik fokus utama saya. Dia seolah berperan seperti Presiden Republik Indonesia Kanjeng Sultan Joko Widodo (selanjutnya, Jokowi) yang tidak menyempatkan diri saat acara temu kangen alumni Aksi Bela Islam di Lapangan Monumen Nasional, beberapa waktu lalu.

Memang, ketika itu Jokowi sedang menghadiri acara puncak peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) di Stadion Patriot Candrabhaga, Kota Bekasi. Namun, yang menarik perhatian adalah penafsiran atau pemaknaan batin Sujiwo Tejo terhadap orang nomor satu di Indonesia itu. Presiden arek-arek Jancukers yang mendaku sebagai guru dari Emha Ainun Najib (Cak Nun) dan Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus) ini, memberi pemahaman kepada pemirsa bahwa atmosfer kenegaraan belum mencapai kegentingan yang mengharuskan seorang presiden turun tangan.

Sebagian Umat Islam yang mengikuti reuni 212 itu pasti menganggap bahwa Jokowi tidak peduli dengan mayoritas umat beragama di Indonesia. Dia selalu cuek terhadap aspirasi yang datang dari umat. Kemudian, mantan Walikota Solo itu lebih memilih untuk menghadiri kegiatan lain di luar dari kegiatan Umat Islam. Sehingga, Jokowi seperti enggan turut hadir atau mendengar keluh-kesah dan kegelisahan rakyatnya. Demikian pengelaborasian saya terhadap kalimat-kalimat yang disampaikan Sujiwo Tejo.

Lagi pula, Aksi Bela Islam atau reuni 212 itu sudah dilindungi oleh negara. Demokratisasi telah mencapai tahap pendewasaan bagi warganya. Hal tersebut menjadi wajar dilakukan. Yang tidak wajar dan yang mengharuskan Jokowi untuk turun tangan adalah kalau ada pelarangan-pelarangan untuk menyembah Tuhan. Pembelaan terhadap Tuhan merupakan kegiatan yang remeh-temeh. Sebab, Tuhan sudah Maha Besar, tak perlu dibela.

Lalu, Sujiwo Tejo melakukan pemaknaan terhadap Al-Quran. Menurutnya, Al-Quran itu terkandung berbagai macam sifat teks. Ada yang berbentuk prosa, ada pula yang puitis. Sementara Umat Islam seringkali memperdebatkan hal-hal yang bersifat puitis. Sehingga seperti memiliki kewajiban untuk membela Tuhan. Apanya yang dibela? Tuhan itu Esa. Menurutnya, Esa itu tidak bermakna satu. Kalau Esa dimaknai sebagai satu atau dinomorkan, maka hilanglah esensi Dia sebagai Tuhan. Sebab, Esa itu artinya tunggal. Tidak berbilang. Tuhan bukan bilangan. Tidak bisa dinomorkan. Kalau ada satu, berarti ada dua, tiga, empat, dan seterusnya. Tetapi kalau tunggal; semuanya hilang, tak berdaya apa-apa kecuali Dia.

Presiden Jancukers itu kemudian mengutip puisi Jalaluddin Rumi, "Untuk mencapai Tuhan memang perlu pikiran, tapi untuk sampai sana injak-injaklah kepalamu. Tangga menuju langit adalah kepalamu, maka letakkan kepalamu di bawah telapak kakimu."

Pemaknaan Esa yang diartikan satu itu sebagai perumpamaan agar memudahkan manusia dalam beragama. Itu adalah cara manusia untuk mencapai atau mengenal Tuhan. Tetapi untuk sampai pada kehakikian Tuhan, sudah tidak menggunakan pikiran. Hina-dinalah manusia di hadapan Tuhan. Sehingga dari situ, muncul pemahaman bahwa Tuhan tidak perlu dibela. Sebab manusia tidak ada apa-apanya dibanding Tuhan yang Kebesaran-Nya tak berbatas itu.

Terakhir Sujiwo Tejo mengungkapkan, bahwa kemungkinan besar dirinya akan bergabung dalam barisan alumni 212 ketika permasalahan sudah menjalar ke arah pemberangusan peribadatan. Kalau masing-masing umat beragama sudah saling melarang atau dilarang untuk beribadah ke masjid, gereja, vihara, dan rumah ibadah lainnya. 

"Kalau Tuhanku dimain-mainkan oleh orang lain, aku akan berdoa semoga dimaafkan. Tetapi kalau aku sudah dilarang menyembah (Tuhan), darah!" kata Sujiwo Tejo disusul suara gemuruh tepuk tangan dari para panelis dan penonton di studio. 

Jadi, masih pantaskah kita, sebagai manusia, membela Tuhan yang Maha Besar itu? Atau, bagaimana?


Wallahu A'lam


Bekasi, 6 Desember 2017


Aru Elgete 

Minggu, 03 Desember 2017

Teruntuk Kakak Perempuanku, Selamat Meningkatkan Kadar Kualitas Hidup





Menikah itu nasib, mencintai itu takdir. Begitu kata Presiden Republik Jancukers Sujiwo Tejo. Bahwa manusia, menurutnya, bisa berencana menikahi siapa saja, tetapi tak bisa merencanakan cinta untuk siapa. 

Cinta adalah sebuah keniscayaan naluriah. Tak bisa dibuat-buat dan direncanakan. Ia menjadi takdir yang tidak bisa diganggu-gugat. Sementara menikah, itu hal lain. Sujiwo Tejo pernah mengungkapkan, ada manusia yang menikah tanpa cinta. Menikah dengan seseorang, tetapi cintanya untuk orang lain. 

Di era kekinian, menikah bisa saja menjadi sebuah peningkatan status sosial. Menikah dengan konglomerat (meski tanpa cinta), akan menjadikan harkat dan martabat menjadi terangkat. Hal tersebut akan terjadi kalau hidup hanya diukur dari materi belaka. Namun, siapa yang dapat mengukur kedalaman cinta seseorang? 

Kalau menikah diibaratkan seperti ranjang, maka cinta menjadi selimutnya. Semegah apa pun ranjang yang ditiduri pengantin baru, akan sangat tak bermakna kalau tanpa selimut yang dapat dijadikan sebagai penghangat dan pelindung. Kalau menikah itu label, maka cinta adalah isi. Kalau menikah itu kulit, cinta menjadi dagingnya. Cinta merupakan substansi, menikah itu (bisa jadi) hanya persoalan gengsi.

Cinta dan kasih sayang menjadi modal utama pasca-menikah. Maksudnya, setelah prosesi serah-terima (ijab-qobul) dilakukan. Sebab, menikah bukan diartikan hanya pada aqdunnikah (akadnikah). Menikah adalah proses peristiwa. Sebuah perjalanan yang mesti dilalui sampai jauh waktu dan ruang. Tanpa cinta dan kasih sayang, perjalanan pernikahan yang memakan waktu panjang akan sia-sia.

Itulah sebabnya dalam Al-Quran, Tuhan sematkan cinta (mawaddah) dan kasih sayang (rahmah) untuk bekal menjadikan pernikahan yang menenteramkan (sakinah). Cinta dan kasih sayang adalah naluriah. Keduanya telah Tuhan sematkan ke dalam diri manusia. Yang perlu diperjuangkan dan disemogakan dalam peristiwa pernikahan adalah ketenteraman. Maka, cinta dan kasih sayang merupakan bekal untuk, selain sakinah, juga bekal untuk menciptakan kebaikan (maslahah).

Pasca prosesi akadnikah, sesungguhnya bukan memulai hidup yang baru. Tetapi meneruskan kehidupan ke jenjang yang lebih meningkat. Sebab, kehidupan baru hanya akan dirasakan saat kematian datang. Dengan begitu, menikah juga berarti sebagai tahap peningkatan kualitas diri. Siapa bisa melalui berbagai keadaan di depannya, sakinah kian tercipta. Cinta dan kasih sayang semakin bertambah.

Menikah, selain merupakan perjanjian suci, juga sebagai pemantapan hati untuk bersedia saling melengkapi, mengisi, menjaga, dan saling mengayomi. Sebagaimana pesan Tuhan dalam Al-Quran, "Mereka (perempuan) adalah pakaian bagi kalian (laki-laki), dan kalian adalah pakaian bagi mereka."

Pesan itu menjadi tanda, bahwa menikah berarti memfungsikan diri sebagai pakaian. Yang masing-masing saling menjaga dan menutupi aib pasangannya. Menjadi pelindung dan penghangat dari segala macam hal yang akan terjadi selama perjalanan kehidupan pernikahan berlangsung.

Selamat menjalankan pernikahan, Wahdaniah Puji Hartami dan Aditya Wahyu Perdana. Harapannya agar kalian senantiasa menjaga sakralitas perjanjian suci yang telah disepakati bersama. Semoga cinta dan kasih sayang yang terdapat dalam diri bisa menjadikan perjalanan kehidupan kalian tenteram dan menyenangkan.

Satu hal yang mesti digarisbawahi adalah bahwa menikah bukan hanya persoalan menyatukan kedua hati, tetapi juga harus mampu mempersatukan jiwa banyak orang. Sebab menikah tidak bicara soal kehidupan berdua, melainkan juga menjadi persoalan banyak orang. Menikah adalah ajang silaturrahmi, menjalin kekerabatan, dan persaudaraan bagi banyak orang.


Sekali lagi, selamat. Nasib (menikah) dan takdir (cinta) kalian mesti seiring sejalan. Perjuangkan selama hayat masih di kandung badan, selama desah nafas terhela, dan selama detak nadi belum terhenti. Bukan hidup baru yang akan kalian jalani, tetapi peningkatan kadar kualitas hidup yang mesti selalu dipertahankan dan harus ditingkatkan.


Wallahu A'lam.


Bekasi, 3 Desember 2017


Aru Elgete
(Anak bontot dari pasangan Saryono-Wiani)