Sumber gambar: merdeka.com |
Pada tayangan Indonesia Lawyers Club (ILC) edisi Selasa 5 Desember 2017 berjudul "212: Perlukah Reuni?," Presiden Republik Jancukers Kanjeng Sultan Sujiwo Tejo menjadi titik fokus utama saya. Dia seolah berperan seperti Presiden Republik Indonesia Kanjeng Sultan Joko Widodo (selanjutnya, Jokowi) yang tidak menyempatkan diri saat acara temu kangen alumni Aksi Bela Islam di Lapangan Monumen Nasional, beberapa waktu lalu.
Memang, ketika itu Jokowi sedang menghadiri acara puncak peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) di Stadion Patriot Candrabhaga, Kota Bekasi. Namun, yang menarik perhatian adalah penafsiran atau pemaknaan batin Sujiwo Tejo terhadap orang nomor satu di Indonesia itu. Presiden arek-arek Jancukers yang mendaku sebagai guru dari Emha Ainun Najib (Cak Nun) dan Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus) ini, memberi pemahaman kepada pemirsa bahwa atmosfer kenegaraan belum mencapai kegentingan yang mengharuskan seorang presiden turun tangan.
Sebagian Umat Islam yang mengikuti reuni 212 itu pasti menganggap bahwa Jokowi tidak peduli dengan mayoritas umat beragama di Indonesia. Dia selalu cuek terhadap aspirasi yang datang dari umat. Kemudian, mantan Walikota Solo itu lebih memilih untuk menghadiri kegiatan lain di luar dari kegiatan Umat Islam. Sehingga, Jokowi seperti enggan turut hadir atau mendengar keluh-kesah dan kegelisahan rakyatnya. Demikian pengelaborasian saya terhadap kalimat-kalimat yang disampaikan Sujiwo Tejo.
Lagi pula, Aksi Bela Islam atau reuni 212 itu sudah dilindungi oleh negara. Demokratisasi telah mencapai tahap pendewasaan bagi warganya. Hal tersebut menjadi wajar dilakukan. Yang tidak wajar dan yang mengharuskan Jokowi untuk turun tangan adalah kalau ada pelarangan-pelarangan untuk menyembah Tuhan. Pembelaan terhadap Tuhan merupakan kegiatan yang remeh-temeh. Sebab, Tuhan sudah Maha Besar, tak perlu dibela.
Lalu, Sujiwo Tejo melakukan pemaknaan terhadap Al-Quran. Menurutnya, Al-Quran itu terkandung berbagai macam sifat teks. Ada yang berbentuk prosa, ada pula yang puitis. Sementara Umat Islam seringkali memperdebatkan hal-hal yang bersifat puitis. Sehingga seperti memiliki kewajiban untuk membela Tuhan. Apanya yang dibela? Tuhan itu Esa. Menurutnya, Esa itu tidak bermakna satu. Kalau Esa dimaknai sebagai satu atau dinomorkan, maka hilanglah esensi Dia sebagai Tuhan. Sebab, Esa itu artinya tunggal. Tidak berbilang. Tuhan bukan bilangan. Tidak bisa dinomorkan. Kalau ada satu, berarti ada dua, tiga, empat, dan seterusnya. Tetapi kalau tunggal; semuanya hilang, tak berdaya apa-apa kecuali Dia.
Presiden Jancukers itu kemudian mengutip puisi Jalaluddin Rumi, "Untuk mencapai Tuhan memang perlu pikiran, tapi untuk sampai sana injak-injaklah kepalamu. Tangga menuju langit adalah kepalamu, maka letakkan kepalamu di bawah telapak kakimu."
Pemaknaan Esa yang diartikan satu itu sebagai perumpamaan agar memudahkan manusia dalam beragama. Itu adalah cara manusia untuk mencapai atau mengenal Tuhan. Tetapi untuk sampai pada kehakikian Tuhan, sudah tidak menggunakan pikiran. Hina-dinalah manusia di hadapan Tuhan. Sehingga dari situ, muncul pemahaman bahwa Tuhan tidak perlu dibela. Sebab manusia tidak ada apa-apanya dibanding Tuhan yang Kebesaran-Nya tak berbatas itu.
Terakhir Sujiwo Tejo mengungkapkan, bahwa kemungkinan besar dirinya akan bergabung dalam barisan alumni 212 ketika permasalahan sudah menjalar ke arah pemberangusan peribadatan. Kalau masing-masing umat beragama sudah saling melarang atau dilarang untuk beribadah ke masjid, gereja, vihara, dan rumah ibadah lainnya.
"Kalau Tuhanku dimain-mainkan oleh orang lain, aku akan berdoa semoga dimaafkan. Tetapi kalau aku sudah dilarang menyembah (Tuhan), darah!" kata Sujiwo Tejo disusul suara gemuruh tepuk tangan dari para panelis dan penonton di studio.
Jadi, masih pantaskah kita, sebagai manusia, membela Tuhan yang Maha Besar itu? Atau, bagaimana?
Wallahu A'lam
Bekasi, 6 Desember 2017
Aru Elgete
0 komentar: