Rabu, 27 Desember 2017

Rektorat Unisma Bekasi Terindikasi Korupsi?



Aksi di depan Gedung Rektorat Unisma Bekasi, 18 September 2017


Universitas Islam “45” (Unisma) Bekasi bergolak. Setelah sekian lama mahasiswa tertidur, kini mulai terbangun. Tersadar, bahwa selama ini mahasiswa hanya menjadi objek yang tidak pernah diperhitungkan. Bukan subjek yang dianggap sebagai bagian dari masyarakat kampus.

Sebagian besar aktivis, perwakilan dari setiap organisasi; baik tingkatan fakultas, jurusan, dan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM), bersatu menyuarakan kesepahaman. Bahwa, ada yang tidak beres dari rektorat; pengendali instansi pendidikan yang kini berubah fungsi menjadi badan usaha untuk meraup keuntungan.

Senin (18/9) siang, keresahan itu tertumpah. Seluruh aktivis mahasiswa menggeruduk gedung biru. Sebuah bangunan yang di dalamnya terdapat berbagai macam hal. Tempat bersemayamnya iblis, pembunuh berdarah dingin, dan preman berdasi. Sementara mahasiswa memiliki fungsi untuk berkata benar adalah benar, salah adalah salah.

Dalam aksi siang itu, ada 3 tuntutan yang menyertai semangat juang. Yakni, terkait transparansi anggaran yang tidak terpublikasi dengan baik, mutu pendidikan yang menggelikan, dan fasilitas kampus yang sangat tidak manusiawi. Ketiganya menjadi fokus utama dalam setiap orasi yang dilakukan secara bergilir.

Lepas salat asar, pihak rektorat berdiskusi dengan massa aksi. Membahas ketiga hal yang perlu konfirmasi dan klarifikasi. Namun sayang, belum sampai pada poin kedua dan ketiga, Pelaksana Tugas (Plt) Rektor Unisma Bekasi Yayat Suharyat, beserta jajarannya tidak bisa memberi jawaban yang konkret nan ilmiah.

Beberapa kali terlihat dari gaya komunikasi, baik secara verbal maupun nonverbal, yang sangat lucu. Wajah memerah, bicaranya tak beraturan, bahkan antara yang satu dengan lainnya seringkali memiliki jawaban berbeda. Parahnya, salah satu Wakil Rektor tidak mengetahui bagaimana kondisi kampus yang sebenarnya. Miris.

Sebagai bagian dari masyarakat kampus, massa aksi ingin mengetahui laporan anggaran dari 2012 hingga 2017. Sementara pihak rektorat berkelit luar biasa. Kemudian, mahasiswa memberi dia pilihan kepada para pejabat kampus itu. Pertama, memberikan laporan keuangan untuk dikaji bersama, atau yang kedua turun dari jabatan. Plt Rektor itu mengatakan bahwa mahasiswa bukan bagian dari masyarakat.

Saat buku laporan keuangan sudah berada di tangan wakil rektor bidang keuangan, massa aksi menghampiri. Bermaksud meminta, tapi sayang, tidak diberikan. Seperti dirahasiakan. Kalau merasa tidak melakukan tindak pidana korupsi, kenapa harus takut? Ada apa sebenarnya?

Sementara itu, Argumentum ad hominem acapkali terjadi. Plt Rektor menyampaikan bahwa dia tidak berani mengambil keputusan sampai Rektor Unisma Nandang Najmulmunir kembali bertugas, setelah cuti karena menunaikan ibadah haji. Bicaranya sirkular, tidak linier. Berputar-putar. Jujur, saya jijik mendengarnya.

Lebih menjijikkan ketika salah seorang wakil rektor mengatakan, “Kami tidak bisa memberikan rincian secara detail. Itu sama seperti kalian membeli martabak. Memangnya kalian pernah bertanya bagaimana proses pembuatannya secara mendetail? kan, tidak.”

Bagi saya, analogi itu sangat menggelikan. Atau, barangkali yang ada di pikirannya hanya seputar bisnis saja. Mungkin. Lembaga pendidikan kok disamakan dengan martabak? Aneh.

Dan, pada akhirnya diskusi tidak menemui hasil. Mahasiswa memutuskan untuk bermalam di depan gedung biru itu. Siang nanti akan ada aksi lanjutan. Hingga transparansi dilakukan. Atau, sampai para preman berdasi itu turun dari jabatannya. Karena dinilai tidak becus dalam mengelola lembaga pendidikan sekelas perguruan tinggi. Mereka sepertinya lebih pantas berbisnis saja. Begitu kata peserta massa aksi.

“Indikasi korupsi sudah mulai tercium aroma busuknya,” kata salah seorang mahasiswa yang tidak perlu disebutkan identitasnya.

Sesungguhnya aksi tersebut merupakan teguran agar rektorat selalu melibatkan mahasiswa sebelum mengambil dan memutuskan kebijakan baru. Sejauh ini, yang bisa preman berdasi itu lakukan adalah, membuat kebijakan kemudian baru berdiskusi dengan mahasiswa. Selalu begitu. Dan, kini sudah memuncak. Inilah puncaknya.

Aksi itu dilakukan atas dasar cinta dan kasih sayang. Cinta terhadap agama dan kesuciannya. Sebab agama itu suci nan sakral. Sementara Unisma Bekasi seperti menjual agama demi keuntungan semata. Embel-embel Islam dalam Universitas Islam “45” lebih baik tidak dipakai kalau digunakan hanya untuk kepentingan bisnis. Sesungguhnya mereka itulah sebenar-benarnya penista agama. Na’udzubillahi min dzalik.

Kepada seluruh Mahasiswa Unisma Bekasi, mari rapatkan barisan dan terangi kebenaran. Sebab korupsi adalah kezaliman yang nyata dan hanya bisa dikalahkan oleh cahaya perjuangan.

Selasa, 19 September 2017 aksi lanjutan dilakukan di depan gedung biru. Bangunan tempat iblis bersemayam.

Dengan tulisan ini, saya siap menerima segala resiko. Saya menulis tidak mewakili fakultas, jurusan, dan organisasi apa pun. Ini murni dari kecintaan yang mendalam.

Aru Elgete
(Mahasiswa aktif Unisma Bekasi)
Ditulis di Desa Sirnabaya, Karawang, pada 19 September 2017



(Sumber tulisan: jagatngopi.com)
Previous Post
Next Post

0 komentar: