Minggu, 29 Maret 2020

Fenomena Saleh Virtual di Musim Korona


Ilustrasi. Sumber gambar: apahabar.com
Saleh, shaleh, sholeh, shalih, dan soleh memiliki makna yang sama. Yakni segala hal yang bersifat baik, bersih, mulia, dan lain sebagainya. Tetapi saya lebih suka menulis dan menyebut: saleh, sebagaimana yang terdapat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, sesuai dengan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI, dulu EYD).

Baik. Dalam KBBI, saleh bermakna taat dan sungguh-sungguh dalam menjalankan ibadah, suci dan beriman.  Betul memang, bahwa ketika kita berbicara soal saleh atau kesalehan, maka kaitannya adalah langsung berhubungan dengan agama, Tuhan, dan spiritualitas. Namun secara universal, saleh bisa kita maknai lebih luas lagi. Ia berupa nilai yang tak bersekat dan terbatas. Saleh adalah kebaikan yang tanpa sekat. 

Dosen Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan IAIN palangka Raya Cecep Zakarias El Bilad, memaknai kata saleh secara etimologis berasal dari bahasa arab, yakni shálih, yang berarti terhindar dari kerusakan atau keburukan. Maka orang saleh, menurutnya, adalah orang yang terhindar dari kerusakan atau hal-hal yang bersifat buruk. Maksudnya, tentu saja perilaku dan kepribadiannya, yang mencakup kata, sikap, perbuatan, bahkan pikiran dan perasaannya.

Dalam kamus Al-Mu'jam Al-Wasith, saleh berakar kata dari shaluha yang berarti manfaat. Jadi, orang saleh berarti yang perilaku dan kepribadiannya terhindar dari hal-hal yang merusak sekaligus membawa manfaat bagi lingkungan sekitar. Maka tak heran, orang saleh kerap menjadi kebanggaan dan dambaan banyak orang. Lalu siapa yang berhak menilai kesalehan seseorang? Tentu saja Allah. Sementara kita hanya menerka-nerka saja. 

Tahun 2016, KH Mustofa Bisri atau Gus Mus menerbitkan sebuah buku berjudul: "Saleh Ritual, Saleh Sosial".  Ia melakukan klasifikasi terhadap kesalehan seseorang. Ada orang yang (sebagian besar) hidupnya hanya diisi dengan aktivitas ritual saja, seperti membangun relasi yang kuat dengan Allah dan beribadah dengan sangat tekun. 

Tetapi ada juga orang yang (sebagian besar) hidupnya diisi dengan aktivitas sosial-kemasyarakatan yang penuh manfaat, sehingga ia mendapat julukan sebagai orang yang saleh sosial. Saleh sosial itulah merupakan sebutan bagi orang-orang yang mampu berbuat baik kepada sesama tanpa melihat latar belakang apa pun, termasuk agama, cara beribadah, konsep ketuhanan, dan lain sebagainya. 

Gus Mus beranggapan, bahwa keberagamaan seseorang harus berdampak pada kehidupan sosial. Artinya bahwa kehidupan beragama kita harus terus diisi atau diperkuat dengan dimensi kerohanian atau spiritualitas sebagai jalan menuju ajaran agama, sebagai jalan menuju Tuhan, Allah SWT. dimensi rohani, sesungguhnya tidak terlepas dari kepentingan untuk mencipta keteraturan sosial, sehingga saleh ritual itu tadi harus disertai dengan saleh sosial.

Sebagai orang yang beragama, kita wajib mengimani bahwa ada kehidupan yang kekal di kemudian hari, yakni yang disebut sebagai alam akhirat. Untuk itu, agar bisa baik dalam mencapai kehidupan di akhirat, kita mesti membawa bekal kebaikan atau kesalehan dari semasa hidup di dunia ini.

Itulah mengapa di dalam hadits-hadits masyhur dan terkenal, Rasulullah selalu bersabda mengenai pentingnya untuk berbuat atau berperilaku baik di dalam kehidupan sosial. Hadits-hadits itu selalu diawali dengan kalimat: man kaana yu'minu billahi wal yaumil akhir atau barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir. 

Sebagai contoh, Nabi Muhammad menganjurkan kita untuk bertutur kata baik dalam berkehidupan di dunia. Kalaupun ternyata tidak bisa berkata baik atau perkataan yang akan kita sampaikan berpotensi menyakiti hati orang lain, maka anjuran Nabi lebih baik diam. 

Man kaana yu'minu billahi wal yaumil-akhir fal-yaqul khoiron aw liyashmut. Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka berbicaralah yang baik atau (lebih baik) diam. 

Namun kini, selain saleh ritual dan saleh sosial sebagaimana yang dikonsepkan oleh Gus Mus itu tadi, ada pula yang saya sebut sebagai saleh virtual atau saleh digital. Yakni kebaikan-kebaikan atau keunggulan-keunggulan diri yang kemudian diunggah dan dipertontonkan melalui saluran media sosial. Apakah ini baik? Mari kita diskusikan. 

Pembaca yang baik,
Kita tahu bahwa virus korona ini menjadi sebuah momok menakutkan bagi kita. Ia adalah bencana non-alam yang harus kita hadapi bersama. Tentu saja dengan perbuatan-perbuatan kebaikan, minimal menenangkan hati orang-orang terdekat kita agar tidak panik dan was-was terkena korona. 

Kemudian, agar penyebaran korona tidak meluas, kita bisa membantu dengan mengarantina diri di rumah. Bekerja dari rumah, belajar di rumah, dan beribadah di rumah. Tidak keluar kecuali ada urusan yang mendesak dan tidak bisa ditinggalkan. 

Selain itu, kita juga bisa turun langsung--dengan hati-hati dan tetap menjaga kebersihan--ke masyarakat untuk membantu korban yang terdampak bencana non-alam ini. Tapi ingat, kalau keluar rumah, kita wajib untuk memperhatikan berbagai protokol kesehatan yang telah banyak dipaparkan oleh ahli kesehatan. 

Turun langsung ke masyarakat yang terdampak itu misalnya membantu para pekerja yang berpenghasilan harian, yang sudah tidak mungkin (di saat-saat seperti ini) tetap keluar untuk bekerja, sehingga mereka jadi tidak memiliki penghasilan. Maka, membantu mereka itu adalah salah satu cara untuk mengurangi kesulitan-kesulitan sosial yang terjadi. Tidak ada kata lain, kecuali harus bersatu menggalang kekuatan dan semangat untuk terus "berjibaku" menghadapi virus mematikan ini. 

Tak hanya itu, para tokoh agama juga bertugas untuk memberikan pencerahan dan ketenangan jiwa kepada umatnya. Mereka juga bisa saja membantu meringankan kesulitan atas musibah ini dengan "mengetuk" pintu langit dengan doa-doa yang mustajabah (yang berpeluang besar dikabulkan oleh Tuhan). Semua punya tugas, fungsi, dan peran masing-masing. Begitu pula dengan tenaga kesehatan yang tanpa lelah, bahkan bertaruh nyawa, untuk menjadi garda terdepan dalam melawan korona. 

Dengan demikian, pertanyaannya adalah: di mana letak saleh virtual atau kesalehan digital itu? Apakah baik jika kita membingkai diri atau mencitrakan personalitas kita di media sosial sebagai sesosok yang saleh, yang gemar menebar kebaikan? Mari kita bahas di sini sekarang juga. 

Sebelumnya, saya jelaskan dulu soal saleh virtual ini menurut pengertian saya sendiri. Anda boleh sepakat, tapi boleh juga tidak. Semua tergantung pada pola pikir anda sendiri. 

Saleh virtual ini lahir sejak era media sosial. Terutama saat kaum agama mengambilalih fungsi media sosial sebagai corong untuk berdoa. Perlu diketahui, beberapa sumber menyatakan (mungkin ini tidak valid, maka sila cari sendiri kebenarannya), bahwa seluruh media sosial yang mainstream kita gunakan saat ini adalah buatan Yahudi. 

Media sosial itu dibuat, pada mulanya, sebagai wadah untuk berdoa agar bisa didengar atau diaminkan oleh banyak orang. Maka, ada yang disebut dinding (timeline, kronologi, beranda) yang tak lain dan tak bukan adalah ciri dari Yahudi, yang saat berdoa menghadap ke tembok atau dinding ratapan di Kota Suci Yerusalem itu. 

Oleh karena demikian, maka tak heran jika saleh ritual menjadi sangat menjamur di media sosial. Bahkan menjadi seperti virus yang mewabah dan menulari orang-orang agar terpapar hal yang sama: yakni memosting atau mengunggah berbagai sesuatu hal kebaikan (termasuk berdoa) agar dianggap baik atau saleh.

Lalu, apakah menjadi saleh virtual itu baik? Ya, tentu saja. Selama diniatkan, dalam memosting dan mengunggah, benar-benar karena hati yang penuh sungguh karena Allah. Ini sulit. Sebab media sosial memang di-setting sebagai wadah pencitraan sehingga sangat berbeda sama sekali dari aslinya. Walhasil, sangat kecil kemungkinan, ada niat yang tulus dalam memosting dan mengunggah berbagai kebaikan di media sosial.

Sebagian besar orang, saya yakin, mengunggah sesuatu ke media sosial (yang baik-baik) pasti karena ingin mencitrakan diri sebagai pribadi yang baik. Selain itu juga agar mendapat apresiasi dan pengakuan oleh orang lain atas keberadaannya. Manusia selalu butuh ruang untuk mengaktualisasikan diri dan media sosial adalah ruang yang tepat untuk itu. 

Sebenarnya, saleh virtual ini merupakan kompilasi dari saleh ritual dan saleh sosial. Logikanya begini: orang-orang yang baik secara spiritual ditambah baik secara sosial, maka keberadaan media sosial akan sangat membantu untuk memperluas jangkauan kebaikan itu. Jadi, apakah saleh virtual itu baik? Ya tentu saja baik, namanya saja saleh. Saleh itu baik. 

Lalu apakah baik jika kita membingkai diri atau mencitrakan personalitas kita di media sosial sebagai sosok yang saleh, yang gemar menebar kebaikan? Tentu saja baik. Asalkan sesuai dengan kesalehan kita secara ritual dan sosial. Kalau tidak sesuai, namanya bukan saleh. Itu munafik. Sebab tidak sesuai dengan aslinya. 

Nah, di tengah isu korona yang supergawat ini, ada banyak "manusia parabot" yang sedang mencari panggung agar tampil mengemuka. Mereka ingin menampakkan diri sebagai superhero yang menolong sesama atau menjadi pahlawan bagi orang-orang lemah yang tak berdaya lantaran korona.

Pada kenyataannya?

Mereka hanya sedang berburu konten untuk keperluan pencitraan dirinya saja dan kemudian diunggah di akun media sosial milik pribadi, sehingga mendapat julukan baru: pahlawan kemanusiaan. Barangkali demikian. Semoga yang membaca tulisan ini bukan dari golongan orang-orang yang menjadikan korona ini sebagai ajang untuk panjat sosial. 

Sebab (sebagai salah satu contoh, anda boleh cari contoh yang lain), ada banyak anggota DPR-RI, DPRD provinsi dan kota/kabupaten yang mengunjungi konstituennya untuk mengadakan kegiatan bakti sosial; sekadar melakukan penyemprotan disinfektan (yang sesungguhnya tidak sesuai dengan gaji dan fasilitas mereka yang sangat mahal). Kemudian, setelah melakukan kegiatan bakti sosial berupa penyemprotan disinfektan yang tidak seberapa, dibuatlah framing di media sosial bahwa mereka seolah sudah berbuat.

Anggota dewan yang terhormat itu kan nggakmau kalau kedatangannya sepi tanpa warga. Maka, tim yang bertugas, asisten beserta ajudannya, harus mempersiapkan massa untuk hadir dalam kegiatan bakti sosial penyemprotan disinfektan itu.

Coba itu, apa nggak bahaya kumpul-kumpul di musim korona begini? Lalu, apakah yang demikian itu bisa disebut sebagai saleh sosial dan kemudian menjadi saleh virtual setelah kegiatan sosialnya diunggah di media sosial? 

Pertanyaan sederhananya: apakah panjat sosial dengan dalih bakti sosial menyalurkan bantuan sosial untuk orang-orang yang terdampak korona (dan diunggah ke media sosial) itu baik? Apakah yang demikian itu bisa disebut sebagai saleh virtual?

Bakti sosial, menyalurkan bantuan sosial, dan mendatangkan massa yang tidak sedikit, di tengah suasana yang sangat mengkhawatirkan seperti ini, kemudian diunggah ke media sosial dan dicitrakan sebagai bagian dari kebaikan, saya rasa keliru. Ini tidak bisa disebut sebagai saleh virtual, karena dalam praktik sosialnya saja sudah tidak baik.

Bagaimana dengan anda?

Wallahua'lam... 

Sabtu, 28 Maret 2020

Pernyataan Jubir Covid-19 Menyakiti Hati Orang Miskin


Sumber foto: antaranews.com

Kemarin, pasca diumumkannya kabar terbaru mengenai kasus positif, sembuh, dan meninggal akibat korona, di twitter ramai sekali. Keramaian itu pertama kali muncul dari akun @borderrakyat, yang mengunggah sebuah potongan video dari Kompas TV. 

Pasalnya, ada yang keliru dari penyampaian Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Virus Korona Achmad Yurianto pada Jumat, 27 Maret 2020, kemarin. Pernyataan Pak Yuri itu kemudian dianggap 'melukai' hati orang miskin. Dalam video berdurasi 33 menit 10 detik itu, pernyataan Pak Yuri yang menyakiti hati orang miskin berada pada menit ke 22 lewat 40 detik. 

Berikut ini kutipan pernyataannya:

..."Oleh karena itu, ini cara yang paling tepat untuk memutus rantai penularan dari penyakit ini. Kalau ini bisa kita lakukan bersama-sama di mana semua orang berusaha saling melindungi; yang sakit melindungi yang sehat agar tidak tertular oleh penyakitnya, yang sehat melindungi yang sakit agar tidak keluar dari rumah dan melakukan kegiatan yang tidak perlu di luar rumah, kemudian yang kaya melindungi yang miskin agar bisa hidup dengan wajar, dan yang miskin melindungi yang kaya agar tidak menularkan penyakitnya. Ini menjadi kerja sama yang penting."

Pernyataan: yang miskin melindungi yang kaya agar tidak menularkan penyakitnya; tentu saja menyakitkan karena menganggap bahwa korona ini merupakan virus yang menyerang orang-orang miskin saja. Padahal virus tidak sama sekali mengenal kelas dan strata sosial. Bahkan kalau mau ditelisik, awal mula penularan virus ini, terutama di Indonesia, itu dari orang kaya yang bepergian ke luar negeri.

Orang miskin mana bisa pergi ke luar negeri? Untuk makan saja harus susah-payah, bekerja dengan penghasilan harian. Sangat menyulitkan di saat-saat korona sudah sangat mencekam seperti ini. Dianggap tidak mematuhi aturan dan anjuran pemerintah untuk tetap berdiam diri di rumah, padahal dari mana orang miskin bisa makan kalau tidak keluar dari rumah?

Berbeda halnya dengan orang kaya yang bisa bekerja dari rumah. So, work from home sama sekali tidak berlaku bagi orang miskin. Lalu, apa yang sudah diberikan pemerintah untuk orang miskin? Kucuran anggaran dan bantuan sosial, penangguhan angsuran, serta jaminan hidup memang sudah masuk dalam perencanaan. Tapi sungguh belum realisasi. Kenapa lantas orang miskin dikambinghitamkan, seolah penyebaran virus itu bersumber dari si miskin yang menularkan kepada si kaya? Ini menyakitkan sekali.

Baik, agar saya tidak dihukumi sebagai kaum sumbu pendek dan cuti nalar lantaran hanya menonton, mengutip, serta mengomentari pernyataan Jubir itu hanya sepotong, saya sudah membuat transkrip pidato yang dilakukan oleh Pak Yuri itu. Secara keseluruhan, pesan yang disampaikan sangat baik dan membangkitkan optimisme untuk terus melawan dan menghadapi pandemi ini.

Namun, pernyataan pada menit ke 22 lewat 40 detik itu, tidak bisa diterima. Masih menyisakan kesakithatian yang mendalam. Semoga Pak Yuri, sebagai pejabat yang sudah pasti adalah orang kaya senantiasa diberikan kesehatan selalu agar tidak menularkan penyakit kepada orang-orang miskin seperti saya. 

(Kalau anda tidak kuat membaca dalam durasi yang lama, silakan untuk tidak melanjutkan. Jaga kesehatan. Jangan sampai korona menyerang anda)

Berikut ini adalah transkrip pidato Pak Yuri:

...Terkait dengan perkembangan kasus Covid-19 yang saat ini sedang kita hadapi bersama...

Dari hari ke hari, kita melihat adanya pertambahan kasus yang cukup signifikan. Ini menandakan bahwa proses penularan masih berlangsung terus-menerus di tengah masayarakat kita. Ini kita maknai, (pertama) bahwa masih ada kasus positif Covid-19 yang masih berada di tengah-tengah kita sekalian.

Kemudian yang kedua, berarti ada kontak dekat yang terjadi dengan kasus ini, sehingga kemudian terjadi penularan dan memunculkan angka yang menjadi sakit. Inilah yang menjadi faktor utama di dalam kaitan penambahan kasus dari hari ke hari.  Mencermati hal ini, maka sekali lagi, mari bersama-sama kita putuskan rantai penularan ini.

(Hal) yang pertama, kita akan berusaha untuk menemukan kasus-kasus positif yang ada di masyarakat melalui penelusuran kontak dari kasus positif yang kita dapatkan di rumah sakit. Kita akan melaksanakan pemeriksaan cepat, dengan rapid-test yang tujuannya adalah untuk melaksanakan screening penahbisan di kelompok-kelompok yang memiliki resiko tertular dengan pasien positif yang kita rawat di rumah sakit. 

Ini kita lakukan bersama-sama masyarakat tentunya, agar kita bisa menemukan dan kemudian dengan cepat melaksanakan isolasi dari kasus ini. Baik itu isolasi secara mandiri di rumah, maupun harus kita isolasi di rumah sakit. Ini yang akan kita lakukan.

Namun yang kedua, yang lebih penting lagi adalah bahwa anjuran pemerintah untuk menjaga jarak pada kontak sosial di tengah masyarakat harus dipatuhi. Karena (pertama) pada jarak yang sangat dekat, kurang dari satu setengah meter, ini memberikan peluang yang besar untuk terjadinya penularan dari orang yang positif sakit dan kemudian di dalam tubuhnya ada virus melalui percikan ludah yang kita sebut droplet, pada saat yang sakit ini batuk; pada saat yang sakit ini bersin; dan kemudian mengenai orang lain yang sehat. Artinya, kontak dekat masih terjadi.

Kemudian yang kedua, bisa saja terjadi kontak tidak langsung, misalnya percikan itu mengenai barang-barang yang sering digunakan bersama. Di dalam kendaraan angkutan massal misalnya adalah pegangan pada saat berdiri, kemudian gagang pintu pada saat kita keluar-masuk, kemudian railing tangga pada saat kita akan pindah dari satu tempat yang lebih tinggi atau rendah dan sebaliknya.

Ini terjadi, kemudian tidak disertai dengan cuci tangan dengan menggunakan sabun, dan kemudian secara langsung makan atau minum tanpa cuci tangan atau menyentuh mulut, hidung, mata, tanpa cuci tangan. 

Inilah yang menjadi bukti, bahwa kasus (Covid-19) ini masih terus akan menular di tengah masyarakat kita. Oleh karena itu, saya minta Kembali lagi, mari kita patuhi bersama tentang kontak dekat. Hindari kontak dekat. Oleh karena itu, jaga jarak pada saat melaksanakan komunikasi sosial dengan siapa pun, baik itu di rumah maupun di luar rumah.

(Hal) yang menjadi keprihatinan kita sekarang adalah masih banyaknya masyarakat yang tidak memperhatikan hal ini. Pada kelompok usia muda, dengan daya tahan tubuh yang baik, infeksi itu bisa saja terjadi dan tidak menimbulkan keluhan apa pun atau mungkin menimbulkan keluhan yang ringan sekali.

Misalnya, hanya merasa demam-demam tidak terlalu tinggi, mungkin batuk-pilek biasa, yang seringkali dimaknai bahwa ini bukan sakit: ini biasa saja. Sehingga tanpa disadari, kondisi tubuh yang penuh dengan virus ini, dia sebarkan ke mana-mana melalui kontak dekat dengan orang lain di luar rumah, atau kontak dekat dengan saudara-saudaranya di rumah.

Apabila (yang dialami anak muda) ini mengenai kelompok-kelompok yang rentan, baik karena usia tua atau karena ada penyakit yang mendahului, maka dampak yang muncul tentunya akan menjadi serius; tidak seperti yang terjadi pada anak muda atau usia muda yang memiliki daya tahan tubuh yang baik.

Inilah yang kemudian menyebabkan menjadi sakit, dengan gambaran sakit; sakit sedang sampai dengan sakit berat yang harus dirawat di rumah sakit. Oleh karena itu, sekali lagi, mari kita sama-sama memiliki kesepahaman untuk melindungi yang sakit. Kita lindungi yang sakit agar dia bisa melakukan isolasi diri dengan baik, agar dia tidak menularkan kepada orang lain, agar dia tidak kontak dekat dengan orang lain, dan agar dia tetap di rumah. 

(Lalu) yang kedua (maksudnya yang ketiga), mari kita juga melindungi yang sehat. Untuk (orang) yang (sedang) sakit, sadari betul bahwa kita harus menjaga orang di sekitar kita, jangan sampai sakit tertular oleh kita yang sakit. Oleh karena itu, jalankan isolasi di rumah dengan baik, gunakan masker, kemudian sementara jaga jarak fisik dengan semua anggota keluarga yang di rumah, kemudian ya terpaksa tidak usah makan bersama-sama di dalam satu meja dengan keluarga kita yang sehat. Makan sendiri saja, tidak perlu kemudian bergabung.

(anjuran-anjuran) ini yang menjadi penting. Karena kalau (anjuran-anjuran) ini tidak dilaksanakan, maka dari hari ke hari, penambahan kasus akan terus saja terjadi. Apalagi kita sekarang sudah tidak tahu pasti lagi, siapa di luar yang bertemu dengan kita itu sakit atau tidak. Oleh karena itu, memang benar kita nggak bakalan ketemu orang di luar rumah dalam keadaan sakit berat. Tetapi orang dengan kasus positif dengan sakit ringan, ini memiliki peluang yang besar, untuk kemudian menularkan ke kita. 

Mari bersama-sama, jaga jarak. Di dalam berkomunikasi, jaga jarak secara fisik. Ambil jarak aman, dua meter. Ini menjadi penting. Bukan hanya di luar, tetapi juga di dalam rumah. Ini menjadi sesuatu yang penting.

Kita bisa membayangkan, apabila di dalam satu rumah ada enam orang penghuni, lima (orang) sudah disiplin tidak keluar, tapi (ada) satu (orang) yang sering keluar rumah, dan kebetulan kondisi fisiknya bagus, terinfeksi di luar dan kemudian membawa virus ke rumah, maka tidak aman bagi penghuni yang lain manakala kemudian jarak tidak kita atur lebih dari dua meter. Ini yang menjadi penting.

Dan kemudian disertai dengan kebiasaan mencuci tangan untuk yang sehat tidak dilakukan, inilah yang menjadi sumber-sumber penularan dan inilah yang kemudian memberikan gambaran bahwa dari hari ke hari kasus yang kita hadapi semakin besar. Isolasi diri di rumah itu menjadi penting. Bukan berarti berada di rumah, mengabaikan jarak. Tetap harus menjaga jarak. Kemudian sadari betul, bahwa kita yang berasal dari luar rumah dan masuk ke rumah memiliki peluang untuk membawa virus ini.

Oleh karena itu, pola hidup bersih-sehat menjadi kunci di dalam kaitan penanganan Covid-19. Tidak perlu mencari sesuatu yang sulit, karena secara ilmiah sudah dibuktikan bahwa virus ini sangat-sangat rentan dan mudah hancur manakala terkena sabun, terkena deterjen. Oleh karena itu, tidak ada alasan karena tidak punya hand sanitizer kemudian tidak mencuci tangan. Tidak ada alasan karena tidak mudah mencari hand sanitizer maka tidak mencuci tangan. Cuci tanganlah pakai sabun. Setiap hari pasti ada dan tidak sulit mencari sabun. Ini menjadi penting.

Isolasi diri di rumah juga dimaknai membatasi jarak dengan anggota keluarga. Pakai masker sepanjang berada di rumah. Jika memungkinkan gunakan satu kamar sendiri, jika memungkinkan. Apabila tidak memungkinkan, ya bukan hanya kamar, mungkin tempat tidur juga dipisah. Kemudian sementara tidak makan bersama-sama dengan keluarga lain yang sehat.

Kemudian tidak menggunakan alat makan (dan) alat minum bersama-sama, dan mengonsumsi gizi yang baik serta protein serta vitamin yang cukup. Tidak kemudian harus panik dengan membeli vitamin di toko, di apotek. Karena pada hakikatnya, (negeri) kita kaya dengan buah-buahan, kita kaya dengan sayur-mayur, dan semuanya pasti akan mengandung vitamin yang kita butuhkan.

Jadi tidak harus dimaknai kemudian harus membeli vitamin, membeli multivitamin di apotek atau di toko tetapi makanlah buah dan sayur yang cukup. Tidak harus buah impor, apa pun buah, itu akan mengandung gizi yang baik, mengandung vitamin yang cukup. Ini yang menjadi kunci pada saat melaksanakan isolasi diri.

Kemudian lakukan pemantauan diri. Lakukan pemantauan diri dan lakukan konsultasi dengan tenaga kesehatan. Tidak harus keluar rumah untuk datang ke puskesmas, tidak harus keluar rumah untuk datang ke rumah sakit. Sekarang banyak sekali, media yang bisa kita akses untuk berkonsultasi. Bahkan bisa berinteraksi langsung dengan yang memberikan konsultasi.

Kita pahami ada beberapa call center yang bisa dihubungi, baik di 119 ext 9 kemudian di halokemkes 1500-567 ataupun banyak lagi di media online yang lain. Bisa di halodoc, bisa di sehatpedia, bisa di gojek, dan sebagainya. Kita pun mungkin juga memiliki dokter keluarga, bisa juga digunakan untuk berkonsultasi. Anda tidak sendiri di rumah, semua keluarga akan melindungi, dan semua keluarga sudah bertekad untuk menjaga agar yang sakit bisa melaksanakan isolasi mandiri dengan baik sehingga diharapkan bisa sembuh dengan baik. 

Sekarang ini, banyak kasus yang sudah bisa sembuh karena memang ini adalah penyakit virus yang pada umumnya adalah bisa sembuh sendiri. Self limiting disease. Tidak perlu kemudian harus mengonsumsi hal-hal yang khusus, tidak perlu kemudian terpengaruh untuk harus mengonsumsi hal-hal tertentu. Semuanya penuhi dengan prinsip: gizi yang seimbang, kemudian nutrisinya cukup, dan istirahat dengan baik. Ini yang menjadi penting untuk kita pahami. 

Pemerintah secara aktif, sekarang tetap melaksanakan pencarian kasus positif di masyarakat dengan menggunakan rapid-test. Kami sudah mendistribusikan rapid-test, sudah hampir 500 ribu kita distribusikan ke seluruh provinsi. Manfaatkan ini di dalam kaitan dengan tracing (melacak). (Namun) sudah barang tentu, rapid-test bukan untuk menegakkan diagnosa. Tetapi merupakan penahbisan, penyaringan (screening), untuk mengarah pada kasus-kasus yang positif.

Oleh karena itu, manakala diantara saudara-saudara ada yang sudah melaksanakan rapid-test dan hasilnya negatif, jangan memaknai bahwa anda bebas dari penyakit ini. Karena beberapa kasus negatif sebenarnya adalah kasus yang sudah terinfeksi tetapi masih kurang dari tujuh hari, sehingga antibodi belum terbentuk, maka pada saat pemeriksaan bisa memberikan kesan gambaran negatif.

Sebenarnya (itu) virusnya sedang berproses, karena kita bisa mendapatkan antibodi itu pada umumnya setelah hari ketujuh. Oleh karena itu, seharusnya dilakukan pemeriksaan ulang pada tujuh hari kemudian dari pemeriksaan yang pertama. Manakala kemudian dalam pemeriksaan tujuh hari kemudian juga masih negatif, maka saat ini bisa dikatakan anda sedang tidak terinfeksi tapi bukan berarti kebal.

Anda belum terinfeksi dan sangat-sangat mungkin terinfeksi manakala kontak dengan kasus positif tetap dilakukan, (dan) tidak memperhatikan jaga jarak. Ini pasti akan memberikan dampak yang besar. 

Oleh karena itu, kita harus mewaspadai betul bahwa (penggunaan) rapid-test tidak memberikan jaminan bahwa kita tidak akan pernah sakit. Pahami ini dengan tujuan adalah meyakinkan kita rapid-test sebagai isyarat bagi kita untuk lebih berhati-hati lagi. Bukan kemudian untuk meyakinkan bahwa saya tidak sakit dan tidak akan sakit. Ini menjadi penting. 

Terkait dengan konteks menjaga jarak, kemudian rajin cuci tangan, kemudian pemeriksaan rapid-test yang belum tentu bahwa itu dimaknai tidak sakit, maka sebaiknya berhati-hatilah. Tidak perlu meninggalkan rumah, tidak perlu bepergian yang jauh, tidak perlu kemudian bepergian bersama keluarga menuju tempat lain yang jauh. Resiko akan sangat besar terkait dengan hal itu (Covid-19).

Apalagi kemudian, harus pergi ke kampung dengan keluarga yang cukup banyak di dalam satu mobil atau di dalam angkutan transportasi umum yang berdesak-desakan. Ini memberikan resiko yang berlipat ganda. Oleh karena itu bijak di dalam kaitan merencanakan apabila nantinya akan mudik. Kami menyarankan hati-hati, sebisa-bisanya ditunda sampai dengan kondisi ini menjadi jauh lebih baik. Ini menjadi perhatian pemerintah karena kita tidak menginginkan penambahan kasus ini semakin tinggi dan penularan di tengah masyarakat juga semakin banyak. 

Harapan kami, inilah yang harus dilakukan di dalam kaitan mengantisipasi beberapa kegiatan ke depan. Tetap tinggal di rumah, bukan berarti tidak produktif. Silakan melakukan pekerjaan dari rumah, belajar dari rumah, dan beribadah di rumah. Rajin cuci tangan menjadi kunci.

Oleh karena itu, ini cara yang paling tepat untuk memutus rantai penularan dari penyakit ini. Kalau ini bisa kita lakukan bersama-sama di mana semua orang berusaha saling melindungi; yang sakit melindungi yang sehat agar tidak tertular oleh penyakitnya, yang sehat melindungi yang sakit agar tidak keluar dari rumah dan melakukan kegiatan yang tidak perlu di luar rumah, kemudian yang kaya melindungi yang miskin agar bisa hidup dengan wajar, dan yang miskin melindungi yang kaya agar tidak menularkan penyakitnya. Ini menjadi kerja sama yang penting.

Saya optimis dan sangat meyakini karena sebenarnya bekerja sama, bergotong-royong, saling toleransi, itu modalitas dasar kita sebagai bangsa Indonesia. Karena inilah kepribadian kita yang sebenarnya. Tidak perlu kemudian kita mencari-cari cara karena hakikatnya kita sudah memiliki itu. Bertoleransilah dengan tetangga kita. Saling mengingatkan, ini menjadi sesuatu yang penting. Saling membantu, ini menjadi tulang punggung dari upaya untuk mengendalikan penyakit ini. 

Ini beberapa pesan yang saya sampaikan, sebelum saya menyampaikan update kasus yang kemudian kita catat.

Terhitung sejak tanggal 26 Maret 2020 pukul 12.00 WIB kemarin, sampai dengan hari ini (27 Maret 2020) pukul 12.00 WIB terjadi penambahan kasus yang cukup signifikan juga. Ada 153 kasus baru yang kita dapatkan. Sekali lagi, ini menggambarkan bahwa masih ada penularan penyakit ini di tengah masyarakat kita. Masih ada sumber penyakitnya dan masih ada kontak dekat yang terjadi. Sehingga total kasus menjadi 1046.

Ada 11 pasien yang sudah dinyatakan sembuh dan boleh pulang, sehingga total sembuh adalah 46. (Dan) ada sembilan kematian baru pada 24 jam kemarin, sehingga (kematian) menjadi 87 orang. Sehingga posisi sekarang (maksudnya kemarin) pada tanggal 27 Maret pukul 12.00 WIB, ada 1046 kasus positif akumulatif; dan kemudian ada 46 yang sembuh akumulatif; dan ada 87 yang meninggal selama ini data akumulatif.

Saya ingatkan Kembali, mari sama-sama kita menjaga jarak. Jaga jarak lebih dari dua meter. Cuci tangan dengan sabun dan dengan air yang mengalir. Kemudian produktif di rumah. Bekerja dari rumah, belajar di rumah, dan beribadah di rumah.

Mudah-mudahan upaya yang keras kita laksanakan secara sinergi bersama-sama pemerintah, bersama-sama masyarakat, bersama-sama siapa pun, bisa menanggulangi permasalahan penyebaran penyakit Covid-19. Kami yakin, optimis, kita mampu. Terima kasih, selamat sore.

~Pidato Pak Yuri selesai di menit 25.40

*****

So, seluruh pesan yang disampaikan di atas itu merupakan pesan yang sangat penting untuk dilakukan. Tetapi satu pernyataan yang menyinggung kelas sosial itulah yang tidak bisa diterima oleh saya sebagai orang miskin.

Terima kasih.

Sumber video: KOMPASTV
Sumber potongan video: Twitter @boderrakyat




Jumat, 27 Maret 2020

JUMATAN: Berhentilah Saling Menyalahkan! (Renungan Al-Baqarah: 113)


Ilustrasi. Sumber gambar: docplayer.info

Jumat pekan kemarin, lingkungan sekitar rumah saya masih baik-baik saja. Berbeda dengan hari ini, yang sudah terkepung oleh penyebaran korona. Dua perumahan di dekat permukiman tempat saya tinggal, sudah ada yang positif korona dan sedang menjalani masa karantina di salah satu rumah sakit rujukan di Kota Bekasi. 

Oleh karena Jumat kemarin masih baik-baik saja, maka masih ada gelaran salat Jumat. Saya jumatan di Masjid Jami' Hasbiyallah, Kaliabang Tengah, Bekasi Utara. Sudah sejak lama, saya jumatan di masjid ini. Sebab, jujur saja, khutbah-khutbah Jumat di masjid ini sama sekali tidak pernah ada nuansa kebencian. Justru sebaliknya, para khotib menyampaikan materi khutbah tentang ibadah, persatuan, dan perdamaian. 

Khotib yang diundang pun, sangat mumpuni. Berkali-kali saya jumatan di sana, khotibnya adalah seorang kiai atau guru yang berhaluan Islam Ahlussunnah wal Jamaah An-Nahdliyah. Sehingga, saat menjelaskan tentang dalil --baik naqli maupun aqli-- sangat terperinci dan jelas. Tidak leterlek, tekstual, dan saklek. Sebagaimana kebanyakan pemuka agama di perkotaan. 

Jumat kemarin, entah siapa nama kiai yang khutbah itu, temanya adalah soal larangan saling menyalahkan. Dari balik mimbar, kiai itu menjelaskan tentang sebuah ayat di dalam Al-Quran yang mesti dijadikan sebagai bahan renungan dan pelajaran bagi umat Islam. Ayat itu adalah yang termaktub dalam surat Al-Baqarah nomor 113. 

وَقَالَتِ الْيَهُوْدُ لَيْسَتِ النَّصٰرٰى عَلٰى شَيْءٍۖ وَّقَالَتِ النَّصٰرٰى لَيْسَتِ الْيَهُوْدُ عَلٰى شَيْءٍۙ وَّهُمْ يَتْلُوْنَ الْكِتٰبَۗ كَذٰلِكَ قَالَ الَّذِيْنَ لَا يَعْلَمُوْنَ مِثْلَ قَوْلِهِمْ ۚ فَاللّٰهُ يَحْكُمُ بَيْنَهُمْ يَوْمَ الْقِيٰمَةِ فِيْمَا كَانُوْا فِيْهِ يَخْتَلِفُوْنَ

Artinya: Dan orang Yahudi berkata, “Orang Nasrani itu tidak memiliki sesuatu (pegangan),” dan orang-orang Nasrani (juga) berkata, “Orang-orang Yahudi tidak memiliki sesuatu (pegangan),” padahal mereka membaca Kitab. Demikian pula orang-orang yang tidak berilmu, berkata seperti ucapan mereka itu. Maka Allah akan mengadili mereka pada hari kiamat, tentang apa yang mereka perselisihkan.

KH Bisri Mustofa (Ayahanda KH Mustofa Bisri atau Gus Mus) dalam kitab tafsir Al-Ibriz menjelaskan bahwa pada ayat tersebut, masing-masing dari mereka (Yahudi dan Nasrani) sama-sama merasa paling benar dan menuding yang lain salah. 

Orang Yahudi itu berkata: Kalau orang Nasrani itu agamanya tidak benar. Orang Nasrani juga berkata: Orang Yahudi itu agamanya tidak benar. (Padahal) orang Yahudi dan orang Nasrani itu membaca Kitab Suci milik Allah, begitu pula orang-orang yang tidak memiliki pengertian juga, mereka juga berkata seperti apa yang dikatakan oleh orang Yahudi dan Nasrani. Allah sendiri yang akan memberikan keputusan hukum pada Hari Kiamat nanti, atas permasalahan yang menjadi perdebatan orang-orang tersebut.

Lalu, apa yang bisa kita petik pelajaran sebagai hikmah dari ayat tersebut? Khotib Jumat itu mengungkapkan beberapa hal agar menjadi pelajaran.

Pertama, kita mesti bersyukur dilahirkan sebagai umat Islam yang merupakan agama 'bontot'. Sehingga kita dapat belajar dari sejarah. Jika terdapat sejarah yang baik, maka tugas kita adalah melanjutkan estafet kebaikan itu. Sehingga menjadi amal jariyah yang tidak pernah terputus. Akan tetapi jika sejarah itu tidak baik, maka wajiblah kita belajar darinya, dan mencukupkan sejarah itu. Jangan diteruskan. Sebab hanya akan merusak dan menghancurkan peradaban.

Sebagaimana ayat di atas. Itulah contoh sejarah yang buruk. Sudah selayaknya kita memangkas sejarah yang seperti itu. Kita bisa memilih untuk tidak melanjutkan. Sebab, saat kita berhenti untuk saling menyalahkan, sebagaimana yang terjadi dalam sejarah Yahudi-Nasrani pada ayat itu, berarti kita telah berperan dalam menciptakan sebuah peradaban yang berkeadaban. 

Mari merenung, berapa banyak kita telah menyakiti hati orang lain lantaran kita merasa paling benar seraya menuding orang lain salah? 

Kedua, orang-orang Yahudi dan Nasrani itu oleh Allah telah diberikan kitab sebagai pedoman hidup masing-masing. Tetapi mereka masih juga saling berselisih paham. Apa yang menyebabkan mereka bersikap seperti itu? Tidak lain adalah karena kurangnya ilmu, sehingga mereka seperti memakai 'kacamata kuda' yang sempit dalam memandang, menilai, dan melihat sesuatu hal. 

Ketiga, marilah kita benar-benar menuntut ilmu dengan sebaik mungkin. Mencari pengetahuan atas dasar keinginan dan kesadaran untuk bisa menjadi manfaat dan berguna bagi orang banyak. Jangan sampai ada niat yang terselip dalam hati, kita menuntut ilmu karena ingin menjatuhkan orang lain. Pergunakan ilmu yang kita miliki sebagai sumber cahaya untuk masyarakat, bukan justru menjadi petaka bagi sesama. 

Keempat, ayat di atas menjadi bekal bagi kita untuk membangun peradaban yang baik. Ayat 113 dalam surat Al-Baqarah itu tidak hanya berlaku bagi umat Islam, karena terdapat di dalam Al-Quran, tetapi juga berlaku bagi umat beragama yang lain. Kita bisa gunakan ayat ini sebagai modal untuk membangun kerukunan antarumat beragama. Bahwa di dalam Al-Quran memang ada contoh tidak baik yang pernah dipraktikkan oleh umat beragama zaman dulu, maka tugas kita saat ini adalah agar jangan meniru perilaku buruk itu.

Oleh karenanya, saya tidak pernah lelah untuk terus menyuarakan soal toleransi. Mari kita bersikap dewasa dalam menyikapi perbedaan. Terlebih, kita hidup di Kota Bekasi (atau Indonesia) yang merupakan sebuah wilayah yang berpenduduk sangat heterogen.

Kita, sebagai umat beragama, masing-masing memang memiliki klaim kebenaran tersendiri yang berbeda dengan konsep kebenaran agama lain. Namun, tempatkanlah hal itu di 'dapur' atau di ruang internal sehingga tidak terjadi perselisihan sebagaimana yang telah diterangkan dalam Al-Quran itu. 

Alangkah lebih baiknya pula, di ruang internal itu, kita mengajak umat atau jamaah atau pengikut kita agar sekalipun agama kita 'paling benar', tapi sungguh tidak dibenarkan menuding agama lain sebagai objek yang pasti salah dan tidak ada sama sekali kebenaran dalam ajarannya. Dengan kata lain, janganlah menghasut umat untuk membenci orang yang berbeda pemahaman dengan kita.

Kelima, biarlah Allah yang menjadi 'pengadilan' terakhir bagi segala sesuatu yang saat ini tengah menjadi perselisihan. Tidak ada keadilan yang bisa tegak seadil-adilnya, kecuali Allah-lah hakim yang paling adil. Karena itu, mari kita senantiasa berbaik sangka kepada semua orang, belajar dan menggali pengetahuan dari semua kalangan, serta menjunjung tinggi nilai persaudaraan dan persatuan.

Maka, mulai saat ini, berhentilah saling menyalahkan!

Kamis, 26 Maret 2020

Menolak Lupa: Garingnya Bercandaan Pejabat Negara Soal Korona



Mengisolasi diri di rumah, sudah entah sejak kapan, tentu saja merupakan hal yang sangat membosankan dan menjenuhkan. Sekalipun diisi dengan aktivitas atau kegiatan bermanfaat seperti membaca buku, untuk seseorang yang senang bertemu dan berdiskusi dengan banyak orang, saya tetap juga merasakan jenuh. 

Dua malam yang lalu, Selasa malam, 24 Maret 2020, saya nekat keluar untuk menghilangkan rasa jenuh. Tapi tentu saja tidak jauh-jauh dari rumah. Sekira jam sepuluh malam, saya ngopi dengan abang saya, Ale Nisfu, di sebuah warung kopi di Jalan Muchtar Tabrani, Kaliabang Nangka, Bekasi Utara. 

Suasana malam itu sungguh sepi, tapi masih ada juga orang-orang yang beraktivitas di luar. Apa mau dikata ngeyel? Entahlah. Saya tidak bisa dan tidak mau menghakimi orang-orang yang tidak mau mengisolasi diri di rumah. Sebab barangkali ada keperluan mendesak sehingga mereka harus pergi atau keluar dari rumah. Ya, seperti saya dan abang saya ini, sekadar ngopi untuk menghilangkan jenuh; sebuah kebutuhan yang sangat mendesak. Hehehehe...

Di tengah obrolan yang sama sekali tidak membahas korona, tetiba ada mobil polisi patroli lewat dengan menyalakan sirine yang sangat mengganggu pendengaran. Berisik sekali. Kemudian ditambah dengan woro-woro dari Pak Polisi menggunakan alat pengeras suara: toa. Siapa pun yang ketika itu sedang asyik ngobrol, saya yakin pasti berhenti dan mengalihkan konsentrasi ke polisi yang lewat itu. 

"Dimohon kepada warga masyarakat Bekasi Utara agar segera masuk ke dalam rumah masing-masing, demi mencegah penularan virus covid-19 yang sudah masuk ke daerah kita. Dimohon kerjasamanya untuk sama-sama mewujudkan program pemerintah, yakni melawan virus corona," demikian imbauan Pak Polisi yang saya masih ingat. 

Orang-orang di sekitar, anehnya, sama sekali tidak ada yang mengindahkan omongan polisi itu tadi. Barangkali masih ada keperluan mendesak lainnya, sehingga orang-orang belum bergegas untuk pulang. Saya pun demikian. Masih ngopi-ngopi santai.

Sesaat setelah, bunyi-bunyian polisi yang berisik itu hilang, saya kembali membuka obrolan dengan tema yang berbeda:

"Mas, gue kalo jadi Jokowi mah asli dah kagak bakalan bisa tidur. Dia pasti lagi mikir gimana caranya ngasih solusi buat keadaan sekarang. Serba salah banget pasti."

"Pemerintah terlalu santai, sih. Awal-awal korona waktu booming di Cina, pemerintah kita malah masih asyik ngomongin soal pariwisata atau investasi, bukannya malah mikirin upaya pencegahan supaya itu virus nggak masuk," timpal abang saya. Dia lalu menyicip kopi yang ada di hadapannya.

Dia melanjutkan, "Ditambah Jokowi ini orang Jawa. Budaya Jawa itu kan hati-hati sekali. Penuh perhitungan yang matang. Terus juga pasti mempertimbangkan bisikan-bisikan yang ada di sekeliling. Itulah yang bikin pemerintah terkesan lamban dalam penanganan korona ini. Jokowi pasti pusing banget."

Demikian obrolan saya mengenai korona dan pemerintah yang sangat lamban. 

Sementara itu, pagi ini, Kamis 26 Maret 2020, saya menemukan sebuah gambar kolase yang beredar. Gambar kolase itu adalah kumpulan tangkapan layar judul berita soal candaan para petinggi negara mengenai korona. Seperti meremehkan. Tidak ada upaya apa pun dalam mencegah. Inilah yang menjadi bukti dari obrolan kami, saya dan abang saya, bahwa pemerintah memang sangat lamban.

*****

Berikut ini adalah kumpulan berita itu.

Pertama, sebuah berita yang ditayangkan di Detikcom pada Senin, 3 Februari 2020 yang berjudul: Rapat di DPR, Ribka Tjiptaning Bercanda Korona 'Komunitas Rondo Mempesona'. 

Anggota Komisi IX Ribka Tjiptaning dari Fraksi PDIP mengikuti rapat penanganan virus corona. Dengan nada santai, Ribka berbicara soal singkatan 'korona' yakni komunitas rondo mempesona yang menurut dia berbahaya.

Hal itu disampaikan Ribka saat rapat kerja (raker) bersama dengan Menkes Terawan Agus Putranto di Kompleks MPR/DPR, Senayan, Jakarta, Senin (3/2/2020). Ribka awalnya mengatakan virus corona tak bahaya bagi kesehatan dibanding virus MERS dan SARS.

"Itu tadi dijabarkan sama ahli paru itu di Metro TV kalau nggak salah saya lihat. Ini lebih bahaya MERS dan SARS dibanding itu daripada si corona, kecuali komunitas rondo mempesona. Bahaya itu penghuni koronanya itu, sebab hati-hati itu ya kan," kata Ribka. Sejumlah peserta rapat tertawa saat Ribka berbicara.

Rondo merupakan bahasa Jawa yang berarti janda. Ribka mengatakan 'virus korona' ini bahaya bagi para pria yang telah berumah tangga.

"Bapak-bapak kalau kena korona yang itu ngeri kita. Itu korona beneran itu, korona yang membahayakan itu, komunitas rondo mempesona itu," ujarnya.

Usai menjelaskan 'virus korona' yang bahaya, Ribka kembali menyampaikan komentarnya terkait penanganan 238 WNI yang diobservasi di Natuna. Menurutnya, para WNI tersebut terkena musibah dan tak perlu dikucilkan.

"Jadi corona virus ini kita tak perlu bagaimana, jadi saudara-saudara kita di Natuna itu dia sudah datang-disemprot-semprot diperlakukan kayak begitu, dia juga nggak pengin kena musibah itu, tapi ya bagaimana menimpa dia," imbuhnya.

Kedua, CNN Indonesia menayangkan berita berjudul, Mahfud: RI Satu-satunya Negara Besar di Asia Tak Kena Corona. Berita ini tayang pada Jumat, 7 Februari 2020.

Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengklaim bahwa Indonesia merupakan satu-satunya negara besar di Asia yang belum memiliki kasus positif virus corona. Sementara negara-negara lain beberapa sudah memiliki kasus positif virus corona.

"Yang ingin saya katakan bahwa sampai saat ini Indonesia itu adalah satu-satunya negara besar di Asia yang tidak punya kasus corona. Virus corona itu tuh ndak ada di Indonesia," kata Mahfud di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Jumat (7/2).

Mahfud menegaskan bahwa penduduk Indonesia sejauh ini tak ada yang positif terjangkit virus corona. "Terinfeksi aja di sini tak ada," kata Mahfud.

Mahfud juga menegaskan seluruh WNI yang sudah dievakuasi dari Wuhan, China dalam kondisi sehat. Mereka kini tengah menjalani observasi selama 14 hari di Natuna.

Mahfud menjelaskan observasi itu dilakukan karena mengikuti standarisasi yang diterapkan World Health Organization (WHO) agar tiap negara melakukan observasi masing-masing warga negaranya yang dievakuasi dari Wuhan.

"Bahwa orang yang pulang dari Wuhan itu sedang ada virus Corona maka sebaiknya diobservasi selama 14 hari itu," kata dia.

Setidaknya ada 285 orang yang saat ini masih menjalani observasi di Natuna untuk 14 hari sebagaimana masa inkubasi virus corona. Mereka terdiri dari 237 WNI, 1 WNA, 5 orang tim Kemenlu, 24 tim penjemput, dan 18 kru Batik Air.

Hingga hari ini, mereka sudah tujuh hari menjalani masa observasi sejak tiba di Natuna pada 1 Februari 2020. Menkes Terawan Agus Putranto menyebut 285 orang itu dalam kondisi baik tanpa ada peningkatan suhu tubuh.

Jika tak ada kendala dan tetap sehat, mereka akan dipulangkan ke kediaman masing-masing pekan depan, tepatnya 14 Februari. 

Ketiga, Detikcom menayangkan sebuah berita pada Senin, 10 Februari 2020. Berita itu berjudul, Canda Luhut saat Ditanya Corona Masuk Batam: Mobil?

Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan sudah enggan bicara banyak soal dampak virus corona. Saat ditanya wartawan, Luhut hanya mengatakan virus corona sudah pergi dari Indonesia.

"Corona? Corona kan sudah pergi," pungkas Luhut di kantornya, Jakarta Pusat, Jakarta, Senin (10/2/2020).

Luhut sempat ditanya soal adanya suspect alias dugaan corona yang menjangkit warga di Batam. Namun Luhut malah menjawabnya dengan candaan, dia menyebut corona sebagai mobil.

"(Corona masuk Batam?) Hah? Mobil Corona?" kata Luhut sambil tersenyum.

Memang corona sendiri bukan cuma nama virus. Pabrikan kendaraan bermotor Toyota memang pernah mengeluarkan mobil dengan nama Corona pada medio 1950-an.

Di Indonesia, mobil Corona sendiri masuk dan dirakit perusahaan lokal pada generasi keempat atau sekitar tahun 1970-an.

Sejak diluncurkan pada tahun 1957 hingga 1986, mobil ini terbilang moncer sebab mampu menjual hingga 5 juta unit mobil secara global. Generasi terakhir mobil Corona yang dijual di Indonesia adalah Corona Absolute, dan sejak tahun 1998 produksi Toyota di Indonesia digantikan oleh Camry.

Kembali ke Luhut, dia juga mengatakan soal imbas corona terhadap pariwisata. Menurutnya memang pariwisata akan menurun, namun pemerintah lewat Kemenparekraf sudah menyiapkan paket wisata domestik, sehingga bisa mengurangi kerugian karena berkurangnya wisatawan asing.

"Berjalannya waktu kita juga bikin dari Kemenpar membuat paket-paket wisata untuk domestik sekarang ini. Mengurangi dampak kerugiannya," ungkap Luhut.

Keempat, CNN Indonesia merilis berita berjudul, Menkes Tantang Harvard Buktikan Virus Corona di Indonesia. Berita ini tayang pada Selasa, 11 Februari 2020.

Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto menantang Universitas Harvard untuk membuktikan langsung hasil riset yang memprediksi virus corona semestinya sudah masuk ke Indonesia.

Terawan berkukuh hingga saat ini belum ada kasus virus corona karena Indonesia telah memiliki alat untuk mendeteksi virus asal China tersebut. 

"Ya Harvard suruh ke sini. Saya suruh buka pintunya untuk melihat. Tidak ada barang yang ditutupi," ujar Terawan di Istana Kepresidenan, Bogor, Jawa Barat, Selasa (11/2).

Terawan mengklaim proses pemeriksaan terkait virus corona dilakukan dengan ketat dan sesuai standar.

Untuk itu, ia meminta semua pihak mestinya bersyukur karena hingga saat ini belum ada orang terjangkit virus corona di Indonesia. Menurutnya, kondisi itu tak lepas dari doa yang terus dipanjatkan. 

"Perkara Indonesia itu tidak ada (virus corona) ya berkat Yang Maha Kuasa, karena doa kita semua. Kita tidak mengharapkan itu ada. Dan kita terus berdoa mudah-mudahan jangan ada mampir ke Indonesia," katanya. 

Penelitian dari Harvard sebelumnya menyebutkan belum ditemukannya kasus virus Corona di Indonesia karena Indonesia belum mampu mendeteksi virus corona. Sementara di sejumlah negara tetangga telah mendeteksi keberadaan virus tersebut. Keraguan Harvard itu disampaikan oleh tim peneliti dari Harvard T.H. Chan School of Public Health di Amerika Serikat.

Kelima, Republika Online menerbitkan sebuah berita pada Senin, 17 Februari 2020 berjudul, Kelakar Menhub: Kita Kebal Corona karena Doyan Nasi Kucing.

Menteri Perhubungan (Menhub) RI. Budi Karya Sumadi berkelakar bahwa tidak ditemukannya virus COVID-19 di Indonesia hingga saat ini karena masyarakatnya memiliki kekebalan tubuh. Kekebalan tubuh itu dimiliki lantaran setiap hari gemar makan nasi kucing.

"Tapi (ini) guyonan sama Pak Presiden ya, insya Allah ya, (virus) COVID-19 tidak masuk ke Indonesia karena setiap hari kita makan nasi kucing, jadi kebal," kata Budi Karya saat menyampaikan pidato ilmiah dalam acara peringatan Hari Pendidikan Tinggi Teknik (HPTT) ke-74 di Grha Sabha Pramana, UGM, Yogyakarta, Senin (17/2).

Nasi kucing adalah nasi dengan porsi kecil dan lauk yang sangat sederhana seperti sambal ikan teri, telur, tempe dan beragam variasi lainnya. Nasi yang biasa dibungkus dengan daun pisang ini populer di Yogyakarta, Surakarta, dan Semarang.

Meski demikian, ia melanjutkan bahwa hingga saat ini faktanya memang belum ada laporan pasien terjangkit virus COVID-19 di Tanah Air. Dengan merujuk laporan Bank Dunia 2020, Budi Karya kemudian menyebutkan bahwa virus yang pertama kali ditemukan di Kota Wuhan, China itu menjadi salah satu penyebab ketidakpastian ekonomi global saat ini.

Selain itu, kata dia, gejolak ekonomi global itu masih diperparah dengan perang dagang Amerika Serikat dengan China, konflik di Timur Tengah, hingga keluarnya Inggris dari Uni Eropa atau Brexit.

"Dengan keadaan ini kita harus bangga Indonesia itu tiga tahun berturut-turut growth (pertumbuhan ekonomi)-nya lima persen. Kita nomor dua di dunia setelah China," kata dia.

Sebelumnya, Medical Officer dari Badan Kesehatan Dunia (WHO) untuk wilayah Indonesia Vinod Kumar Bura mengatakan Indonesia mampu mendeteksi virus novel COVID-19 2019 dengan fasilitas yang memadai dan sesuai dengan standar WHO.

"Mereka (Kementerian Kesehatan RI) baru saja menguji semua spesimen dari 60 kasus dalam beberapa minggu terakhir dan telah mengonfirmasi bahwa tidak satu pun dari kasus itu positif virus corona. Kami sepenuhnya yakin bahwa laboratorium ini mampu untuk mendeteksi virus COVID-19 ini," terang Vinod di Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kementerian Kesehatan usai mengunjungi fasilitas deteksi virus di kantor badan itu di Jakarta.

Keenam, CNBC Indonesia menerbitkan berita berjudul, Terawan Bicara Kekuatan Doa yang Bikin RI Bebas Corona. Berita ini kemudian terbit pada Senin, 17 Februari 2020.

Sampai dengan hari ini, belum ada satupun orang di Tanah Air yang positif terjangkit virus corona (Covid-19). Dalam berbagai kesempatan, Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto mengungkapkan hal itu tak lepas dari doa. Hal itu tentu menjadi pertanyaan awak media, tidak terkecuali dalam konferensi pers setelah rapat koordinasi di Kantor Staf Presiden, Jakarta, Senin (17/2/2020).

Terawan menjelaskan, Indonesia merupakan negara dengan dasar Pancasila. Sila pertama pun berbunyi Ketuhanan yang Yang Maha Esa.

"Apa pun agamanya, selama kita berpegang teguh pada Pancasila, doa itu menjadi hal yang harus utama maka namanya ora et labora. Saya kira itu tetap ada bekerja sambil berdoa dan itu sebuah hal yang sangat mulia," ujar Terawan.

Ia tidak mempermasalahkan apabila ada negara atau pihak lain yang keberatan dengan hal itu. Hal itu merupakan hak bangsa Indonesia untuk mengandalkan yang maha kuasa.

"Selama kita mengandalkan yang maha kuasa ya itulah hasil yang kita dapatkan sekarang. Kenapa malu mengandalkan yang maha kuasa? Aku tanya ganti. Ngapain malu kita andalkan yang maha kuasa? Masa berdoa aja malu. Salahnya sendiri," kata Terawan.

"Orang boleh beragama tapi belum tentu mau berdoa. Itu yang ingin saya tajamkan, satu, efisiensi harus dilakukan berdasarkan rasional ilmu kesehatan pada standar WHO. Yang kedua, yo berdoa. Nek ndak berdoa jangan coba-coba andalkan kekuatan sendiri," lanjutnya.

Berdasarkan data monitoring KSP hingga Senin (17/2/2020) pukul 08.00 WIB, virus corona telah menjangkiti 71.290 orang di seluruh dunia dengan jumlah korban meninggal dunia 1.772 orang. Sementara itu sebanyak 10.893 orang pulih.

Ketujuh, sebuah berita yang ditayangkan oleh Okezone berjudul, Kelakar Bahlil di Depan Hary Tanoe: Virus Korona Tak Masuk Indonesia Karena Izinnya Susah. Berita ini terbit pada Senin, 24 Februari 2020.

Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menyebut masalah perizinan masih menjadi faktor pertama yang menghambat investasi di Indonesia. Banyak investor yang mengeluh jika perizinan di Indonesia begitu lama dan juga berbelit.

Kepala BKPM Bahlil Lahadalia mengatakan, lamanya proses perizinan di Indonesia bahkan sampai dibuat jokes. Adapun bunyi jokes tersebut menyebut jika alasan virus Korona sulit masuk ke Indonesia karena sulitnya perizinan.

Jokes tersebut dilemparkan Bahlil dalam acara Manager Forum XLIV 'Kebijakan Investasi untuk Mendorong Perekonomian Nasional dan Coorporate Busines'. Dalam acara tersebut dihadiri oleh Executive Chairman MNC Group Hary Tanoesoedibjo.

"Sampai katanya virus korona enggak masuk ke Indonesia karena izinnya susah," ujarnya dalam acara Manager Forum MNC Group di Gedung Inews, Jakarta, Senin (24/2/2020)

Bahlil pun mencontohkan jika berbelitnya perizinan adalah terjadi pada proses perizinan yang diajukan PT Vale Indonesia Tbk. Untuk mendapatkan izin Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) sudah 3,5 tahun tak kunjung rampung.

*****

Setidaknya, obrolan saya dengan abang saya diatas itu terjawab sudah bahwa wajar saja jika saat ini, kasus positif korona meningkat tajam. Bahkan, ada sekitar 100 kasus per hari. Itu yang ketahuan. Berapa yang belum terdeteksi? Saya dan abang saya yakin, kasus positif korona di Indonesia, hingga saat ini, sudah lebih dari 1000. Hanya saja belum terdeteksi.

Lalu, kenapa kok bisa demikian? Semakin hari kian mencekam? Jawabannya adalah karena pembantu-pembantunya Pak Jokowi tidak serius dalam hal mencegah masuknya pandemi ini. Bahkan terkesan meremehkan. Kabinet Indonesia Maju, menurut saya, harus segera direshuffle. Jangan sampai, para 'pelawak' yang garing banget itu terus-terusan jadi menteri atau jadi petinggi negeri.

Kalau anggota DPR, Ribka Tjiptaning itu, wajarlah kalau berpernyataan ngawur begitu. Namanya juga DPR. Maklumin saja. Bagi Gus Dur, DPR itu kan sama dengan TK. Jadi, untuk apa kita ngurusin anak TK? Namanya juga anak-anak. Harap maklum saja.

Terakhir, mari kita doakan Presiden Jokowi semoga diberikan kekuatan atas berbagai cobaan yang sedang menimpa dirinya. Kemarin, 25 Maret 2020, ibunda tercintanya wafat. Ibu Sudjiatmi Notomiharjo adalah kekuatan spiritual yang selama ini dimiliki Joko Widodo. Namun kini, kekuatan itu dicabut oleh Allah. 

Pepatah mengatakan, semakin tinggi pohon maka akan semakin besar tiupan anginnya. Semakin besar iman seseorang kepada Tuhan, akan semakin besar pula cobaan yang diberikan. So, kita dapat melihat seberapa tebal iman dan ketegaran hati seseorang dapat dilihat dari seberapa besar cobaan yang diterimanya. 

Semoga Pak Jokowi senantiasa diberikan kesehatan. Aamiin.  

Rabu, 25 Maret 2020

Menyepi dari Korona


Ilustrasi. Sumber gambar: grid.id

Hari ini, di tengah hiruk-pikuk keramaian manusia membincang korona, umat Hindu merayakan dan memperingati Hari Raya Nyepi. Tahun ini, tradisi Nyepi itu tidak hanya dirasakan oleh umat Hindu, tetapi juga oleh seluruh umat manusia. Kita berbondong-bondong untuk berhindar dari keburukan, mencari ruang sepi, agar kehidupan tetap dapat berjalan. 

Sebagai pribadi, dan orang lain menyebut saya sebagai pelaku kebinekaan, saya mengucapkan: Rahajeng Nyanggra Rahina Nyepi 1942 tahun Saka yang bertepatan dengan 25 Maret 2020. Saya titip doa untuk kebaikan bangsa Indonesia dan juga dunia, agar kembali normal seperti sediakala, agar kehidupan dapat berjalan sebagaimana biasa. 

Selama setahun ini, mari kita sadari dan renungi, telah banyak dosa yang menyelimuti seluruh lapisan bumi. Sudah ada milyaran kesalahan, kemaksiatan, dan kebobrokan kita yang membuat bumi menjadi tidak baik-baik saja. Hari ini, sejak pagi tadi pukul 06.00 hingga besok pukul 06.00, umat Hindu berdoa seraya mengistirahatkan lelah yang sudah lama berlaku-lampah, menjelajah isi bumi dengan segudang masalah. 

Dari umat Hindu, kita belajar, tentang sebuah keberpasrahan dan kerelaan untuk menyelami diri, merenungi, serta memandang diri sendiri. Inilah yang disebut muhasabah an-nafs atau introspeksi diri. Aktivitas selama 364 hari, telah banyak yang dilewati, lebih-lebih malapetaka yang disebabkan dari kecerobohan dan kelalaian diri. Berapa banyak hal itu terjadi?

Selama 24 jam, sehari penuh, pemeluk Hindu di Indonesia melaksanakan sebuah peribadatan sekaligus permenungan suci. Itulah yang disebut: Tapa Brata Nyepi, yakni amati geni, amati karya, amati lelanguan, dan amati lelungaan. Demikian keterangan yang saya dapat dari berbagai literatur. 

Dalam penyepian diri itu, umat Hindu harus meniadakan api dari hidupnya, selama satu hari penuh. Tidak ada api untuk memasak atau bahkan sekadar menyalakan lilin serta tidak sama sekali menghidupkan listrik. Kalau ada ibu-ibu yang ternyata punya anak kecil atau orang yang sedang sakit, maka harus mendapat izin terlebih dulu dari pihak yang memegang otoritas untuk bisa menyalakan lilin sebagai penerang. 

Dari amati geni, kita dapat belajar, betapa kita selama ini sangat bergantung pada api dan cahaya. Dapatkah sekali saja, mengisi hari untuk tidak bertemu cahaya dan api? Di dalam gelap, di dalam kesendirian, akan dengan mudah kita berdialog dengan diri sendiri. Menghancurkan segala macam pembenaran yang mengagungkan diri sendiri. Sehingga ke depan, di kemudian hari, kita dapat lebih mudah mengendalikan ego, mengontrol hawa nafsu, dan menjadi lebih tenang dalam menyikapi segala hal. 

Selain itu, umat Hindu juga menjalankan amati karya atau tidak melakukan kegiatan atau aktivitas apa pun. Hal tersebut bertujuan agar umat Hindu benar-benar bisa fokus untuk melakukan semedi. Di sinilah, kita dapat belajar dari umat Hindu, bahwa untuk bisa berkunjung ke diri sendiri, kita mesti memberhentikan terlebih dulu segala macam kesibukan dunia. 

Jika sudah tidak ada aktivitas lain yang menganggu permenungan, kita akan sangat dengan mudah mendalami diri, mengenali diri, dan menginsyafi diri. Sehingga dengan demikian, jika kita sudah dapat menemukan diri sendiri di dalam kedalaman, kita tentu saja akan bertemu dengan Tuhan. Kata Nabi Isa, siapa yang telah mengenali diri sendiri, maka ia akan mengenali siapa Tuhannya. 

Dari permenungan itu, kita akan mengetahui seberapa jauh kita mengenali diri dan Tuhan. Bahkan lebih dalam lagi, kita akan mengetahui siapa atau apa yang selama ini kita sembah? Jangan-jangan, yang selama ini menjadi sesembahan kita adalah hawa nafsu, ego, eksistensi, dan narsisme. Sehingga kita menjadi mudah marah jika ada sesuatu hal yang tidak berkesesuaian dengan keinginan kita. Bukankah demikian? 

Lalu, umat Hindu juga menjalankan amati lelanguan. Yakni tidak bersenang-senang. Ini menjadi penting sekali. Sebab, sebagaimana para bijak bestari berungkap bahwa Tuhan akan dapat dicumbui dengan keprihatinan dan kesengsaraan. Sementara kemewahan dan kemegahan, akan sangat berpeluang besar menjauhkan diri kita dari kemahakuasaan Tuhan. 

Di dalam kesenang-senangan itu, ada sejumlah kelalaian yang siap menelanjangi kita dari kesucian. Oleh sebab itu, meninggalkan perilaku senang-senang menjadi salah satu upaya agar permenungan dapat berjalan khidmat. Sehingga, jika amati lelanguan ini dapat dijalani dengan khusyuk, kita akan melewati berbagai malapetaka yang siap mencelakai diri karena kesenangan duniawi. 

Terakhir, umat Hindu tentu saja akan menjalani amati lelungaan, yakni tidak bepergian. Secara adat, kalau ketahuan ada umat Hindu yang nekat bepergian saat sedang menjalankan ritual Tapa Brata, terutama di Bali, maka akan langsung ditangkap oleh polisi agama yang disebut: pecalang. Namun, tetap ada keringanan bagi mereka yang akan melahirkan atau mereka yang sedang sakit sehingga harus pergi berobat ke dokter. 

Di saat kondisi seperti sekarang, situasi yang memprihatinkan lantaran Covid-19 yang membuat siapa pun khawatir, kita dapat belajar dan memetik keteladanan umat Hindu. Betapa mereka sangat serius, khusyuk, dan khidmat dalam menyelami samudera diri yang tanpa batas dan tepi ini. Di luar ada banyak virus bertebaran, tetapi rupanya di dalam diri juga terdapat milyaran kotoran yang harus disucikan melalui pertapaan atau permenungan yang mendalam. 

Kita dianjurkan untuk berdiam diri di rumah. Tujuannya agar meminimalisir penyebaran virus jahat itu. Memang, korona dapat dengan mudah disembuhkan, tetapi penularannya juga sangat cepat sehingga membuat tenaga medis menjadi kewalahan. Maka, untuk bisa mengatasi persoalan ini, jawabannya adalah menyepi. 

Menyepi dalam rangka menghindari korona ini, penting sekali kita manfaatkan sebagai momentum pengenalan diri yang lebih dalam. Mari kita merenung, sudah berapa banyak dosa yang disebabkan oleh kesombongan diri yang menyebabkan ketersinggungan di hati orang lain? Sudah berapa banyak eksistensi yang ditayangkan sehingga menganggap orang lain tidak ada apa-apanya ketimbang diri sendiri --padahal tidak ada yang benar-benar eksis kecuali yang Mahaeksis, Dialah Tuhan Yang Mahatinggi--? 

Sudah berapa kali kita merasa paling baik dari orang lain karena telah menaati anjuran pemerintah dan ulama agar berdiam diri di rumah, sementara di saat yang sama kita menghardik dan mencaci orang-orang yang masih berasyik-masyuk berkegiatan di luar di rumah? 

Sekali lagi, mari kita menyepi. Merenungi. Memandang diri sendiri. Ada banyak pelajaran yang bisa kita petik dari umat Hindu, dari peringatan Nyepi tahun ini, dari perayaan Tahun Baru Saka 1942 yang bertepatan dengan tahun masehi 2020, di tengah virus korona yang kian mengkhawatirkan.

Sudah sepikah kita dari ramai-ramai kesombongan, keangkuhan, dan kejemawaan? Mari menyepi sejenak.

Senin, 23 Maret 2020

MAHACORONA (2)


Ilustrasi. Sumber gambar: nationalgeographic.grid.id

Kuberi tahu kepadamu
wahai virus yang menggemuruhkan bumi
pandemi yang kusebut: Mahacorona
dengarkan baik-baik, ya

keberadaanmu kini membuat kami susah
orang-orang harus masuk rumah
begitu pula untuk ibadah
tapi sungguh itu tidak mudah

bagaimana dengan manusia gerobak yang biasa keliling bersama anak-anaknya di tengah kota?
siapa yang peduli kepada mereka?
saban malam mereka tidur di pelataran toko yang tertutup?

alas tidur mereka kardus-kardus bekas
atapnya langit luas

mereka terbangun saat matahari pertama kali menyengat tubuhnya
ada pula yang terbangun karena azan subuh yang membisingkan kesunyian
sebagian ada yang terbangun lantaran suara pemilik toko yang bersiap untuk kembali berjualan

pemilik toko itu pun juga harus berikhtiar mencari rezeki
ia berpenghasilan harian
tak bisa makan jika di rumah seharian
apalagi kalau harus bertahan di rumah selama dua mingguan
lebih-lebih berbulan-bulan

lalu,

manusia gerobak itu bangun
menghadapi dunia lagi
mencari apa pun yang bisa dicari
menjual apa saja yang dapat dijual
mereka tak peduli sama sekali oleh apa pun juga
yang terpenting hari ini bisa makan
menyambung hidup

mereka entah mandi di mana
mungkin di masjid-masjid pinggir jalan atau musala di dalam komplek dan perumahan
sembari melaksanakan salat berjamaah
atau mereka menumpang mandi di rumah ibadah yang lain
di gereja
pura
atau vihara
bagi mereka Tuhan segalanya
mengunjungi rumah-Nya adalah anugerah yang patut disyukuri
disanalah akan ada nikmat yang tersuguh sepanjang hari

manusia gerobak yang saban hari kulihat di tengah kota itu tak pernah berpangku tangan
mereka selalu berupaya dengan penuh sungguh tanpa berharap belas-kasihan dari pejabat pemerintahan
sakitnya tak ditanggung BPJS
bahkan mereka tak paham siapa kepala daerahnya

manusia gerobak itu
hari-harinya tak ada sedikit pun waktu untuk mengeluh
mereka tak pernah pula mengritik kerja pemerintah
mereka hidup untuk menghidupi kehidupannya
tanpa sedikit pun mengiba kepada pejabat yang sedang berkuasa

setiap saat mereka bersyukur
atas karunia yang tak terukur
meski ada virus yang menjalar di bumi
mereka tetap yakin tak tertular sama sekali
kalau sakit, obatnya hanya satu: berdoa sungguh-sungguh
yakin mereka, kelompok yang termarjinalkan dan teraniaya akan cepat dikabul doanya

maka sebelum tidur, doa dipanjatkan agar diberi hidup untuk esok hari
saat terbangun hingga menjelang rebah, dimanfaatkan waktu untuk berikhtiar seraya bersyukur tanpa henti

Mahacorona,
aku mohon ampun
jangan kau hinggap di tubuh mereka
tolong beritahu pula kepada semua yang ketakutan atas hadirmu itu: jangan emosian!

Sabtu, 21 Maret 2020

Unjuk Rasa di Masjid yang Meniadakan Salat Jumat


Ilustrasi. Sumber gambar: grid.id

Pagi tadi, sekelompok orang melangsungkan unjuk rasa atau demonstrasi di depan masjid yang meniadakan salat Jumat. Orang-orang itu memprotes Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) seraya berteriak dengan sangat keras.

"Bubarkan DKM. Ganti pengurus DKM," kata sekelompok pendemo itu, diucapkan berulangkali dan secara serentak.

Sejurus kemudian, Ketua DKM menemui para pendemo. Adu mulut pun terjadi dan tak bisa terhindarkan. Tak lama berselang, seorang ustaz melerai pertikaian adu mulut mereka.

Seorang pentolan demo berkata sembari melotot, "Begini ustaz, masa orang mau salat Jumat dilarang?!"

Dengan santai dan penuh keyakinan, Ketua DKM menjawab pertanyaan menyerang itu. "Kalau kami izinkan salat Jumat, bisa-bisa kami dosa ustaz."

Lalu, si pendemo itu kebingungan dan lantas bertanya, "Kok, bisa berdosa?"

"Ini kan hari Sabtu," jawab Ketua DKM.

Hehehehehee....

Jumat, 20 Maret 2020

MAHACORONA (1)


Sumber: tirto.id

engkau sedang dan semakin hangat dibincangkan
oleh manusia-manusia yang hidupnya penuh ketakutan
maksudku, kekhawatiran
maaf

engkau tak nampak sedikit pun
tapi hadirmu sungguh mencekam
sudah banyak yang tak kau beri ampun
meski segala upaya telah disungguhkan
Mahacorona yang menakjubkan, kapan kau tak menghantui manusia lagi?

semua orang cemas
merasa was-was
memperlebar ruang batas
sungguh, kehadiranmu adalah sarkas
engkau tak lebih bahaya dari mers dan sars
tetapi orang-orang mengutukimu dengan sangat keras
kasihan sekali

para pemuka agama mulai gemar beretorika
mengajari umat agar meningkatkan takwa
jangan lupa pula sering-sering berdoa
dan mari senantiasa berolahraga
hidup bersih juga perlu
mencuci tangan agar tak kotor melulu

kami sebagai umat kemudian bertanya:
memangnya selama ini kami tidak bertakwa, jarang berdoa, tidak pernah berolahraga, tidak hidup bersih, dan selalu kotor dalam keseharian?

Mahacorona yang kucinta
kau ini benar adanya?
atau hanya sekadar apa?
maaf hanya bertanya