Selasa, 31 Desember 2019

Sebuah Refleksi Diri di Pengujung 2019


Sumber: jmf.com

Tahun segera berganti. Orang-orang saling sibuk mempersiapkan diri. Bersiap merayakan pergantian tahun dengan berbagai cara, juga bersiap-siaga menghadapi hari-hari baru di tahun berikutnya. Terlepas dari berisiknya sebagian kaum beragama mengenai hukum merayakan malam pergantian tahun, saya ingin mengajak kita semua untuk merefleksikan diri. 

Tahun 2019 adalah jalan panjang yang sangat melelahkan. Kita sempat bersitegang, saling sikut lawan, menghakimi yang lain, menolak berbeda, dan mengancam atau mengiming-imingi. Semua dilakukan dengan kucuran keringat yang tak sedikit, dengan fisik yang sangat melelahkan, dan bahkan dengan emosi yang meletup-letup. Persaudaraan yang semula rekat menjadi retak karena lidah-lidah yang saling berdalih untuk membela dan membelot. 

Tahun 2019 adalah labirin penghakiman tiada henti. Kita diadu-domba oleh pihak-pihak yang menginginkan keterpecahan berlangsung di Bumi Pertiwi dan celakanya kita menikmati itu. Kita menikmati permusuhan yang dibumbui oleh nada-nada kebencian. Kita menikmati perselisihan yang sengaja diselisihkan oleh sebagian oknum yang menghendaki perselisihan. Kita saling bersitegang, tak saling tegur, dan bahkan memutus silaturahmi hanya karena berbeda. 

Tahun 2019 merupakan koridor gelap yang sudah seharusnya menjadi pelajaran berharga bagi hidup dan kehidupan kita sebagai manusia. Kita dibuat seolah saling tak kenal, padahal semula adalah saudara yang sangat memiliki ikatan yang kuat. Kita menjadi tercerai lantaran wawasan kita yang masih seujung kuku. Kita menjadi musuh yang saling mencederai. Budaya ketimuran yang ramah, toleran, dan penuh penghormatan kepada orang lain menjadi hancur-lebur karena ketidakmengertian kita tentang sesuatu bernama politik.

Tahun 2019 adalah masa lalu yang harus ditutup rapat-rapat, yang boleh saja dibuka kalau di depan nanti ada peristiwa serupa yang sengaja ingin dibuat oleh kelompok yang menghendaki perpecahan. Masa lalu harus dijadikan spionase diri untuk mengubah diri, memperindah laku, dan memperluas cakrawala pemikiran agar tidak terjerembab pada lubang yang sama. Masa lalu menjadi pembelajaran penting supaya kita tak lagi masuk ke dalam kubang-kabung yang membawa luka-duka pada persahabatan yang telah terjalin.

Sepanjang tahun 2019, kita dihadap-hadapkan dengan pertengkaran yang seolah-olah kehidupan di dunia adalah segalanya. Kita dipertontonkan dengan kejadian-kejadian yang diperankan oleh kita sendiri yang selalu bicara tentang kehidupan kekal di akhirat, tetapi pada kenyataannya kita takut kehilangan segala sesuatu yang bersifat kebendaan. Kita diperlihatkan secara gamblang, wajah-wajah penuh kebencian yang menempati ruang-ruang media massa. Kita merasa terancam, jika berada dalam lingkaran yang berbeda.

Kawanku, pergantian tahun ini mari kita jadikan sebagai momentum penginsyafan diri. Mari tanyakan kepada diri, sudah melakukan hal baik apa sepanjang tahun? Segala yang baik, mari kita lanjutkan dengan penambahan nilai-nilai kebaikan itu. Namun semua yang kurang baik, hendaknya juga ditambal dengan perbuatan kebaikan di masa mendatang. Kita mengenal ungkapan pepatah, 'Tak ada gading yang tak retak'. Bahwa manusia adalah tempatnya salah dan lupa. 

Sudahkah memaafkan dan berdamai dengan sendiri, sehingga mampu memberi maaf atau bahkan meminta maaf kepada orang-orang yang selama ini--mungkin saja--tersakiti oleh perbuatan-perbuatan kita? Sudahkah kita mendoakan orang-orang terdekat kita agar terhindar dari segala macam kebahayaan yang sewaktu-waktu menghampiri? Sudahkah kita menjadi pelita bagi kegelapan hidup dan kehidupan? Sudahkah kita menjadi cahaya bagi keputus-asaan yang sempat hinggap di dalam diri?

Sudahkah kita bersyukur dengan tanpa melihat orang lain yang hidup lebih payah dari kita sebagai objek kebersyukuran diri? Sudahkah kita memberikan apresiasi atas kinerja diri yang selama ini telah dilakukan? Sudahkah kita mengungkapkan kebahagiaan terhadap pemberian orang lain, walau secara nominal tidak seberapa, tapi memiliki nilai yang sangat berharga? Sudahkah dan seberapa banyak kita bersedekah, walau hanya sesungging senyum dari bibir yang melebar ke kiri dan kanan?

Sudahkah kita tak merasa lebih besar dari yang lebih akbar, yang menciptakan hidup dan kehidupan kita di dunia? Sudahkah kita membela kehidupan demi kemanusiaan? Sudahkah kita membela kemanusiaan sebagai wujud penghambaan kepada yang berkuasa atas manusia? Sudahkah kita berkontribusi dalam mewujudkan peradaban yang rukun, sekalipun hanya dalam lingkaran paling kecil? Sudahkah kita melakukan upaya pencegahan dan bahkan penanggulangan atas segala hal yang mencederai nilai kemanusiaan?

Sudahkah kita bertanya pada diri sendiri, lalu berniat untuk menjadi pribadi yang lebih baik dari kini? Sudahkah? Kalau belum, segera dipersiapkan. Kalau sudah, segera ditingkatkan. Mari sama-sama kita songsong tahun 2020 dengan kegemilangan, dengan terang-benderang, dan dengan kemeriahan suka-cita yang membahagiakan kehidupan semesta. 

Sudahkah dipersiapkan?

Kamis, 26 Desember 2019

Menjadi Muslim Tanpa Emosi (2): Penyebaran Islam di Jawa Bagian Barat


Sumber gambar: islami.co

Saat mendengar kabar bahwa Islam telah masuk ke wilayah kekuasaannya, Raja Pajajaran Prabu Siliwangi marah bukan main. Ketika itu, Islam mulai disebarkan atau disyiarkan pada tahun 1410 oleh seorang ulama dari Tiongkok, Syaikh Hasanuddin yang terkenal dengan bacaan Al-Quran yang indah dan merdu, sehingga ia akrab disapa Syaikh Quro. Sehari-hari, ia tinggal di Rengasdengklok, Karawang, mengajari orang-orang sekitar yang baru masuk Islam untuk belajar Al-Quran.

Prabu Siliwangi, marah. Ia tak terima atas masuknya Islam di Pajajaran, lalu ia lantas berangkat dari daerah Bogor menuju utara untuk membunuh Syaikh Quro yang dianggap membawa agama baru. Setibanya di sana, ia melihat seorang perempuan cantik yang merupakan murid dari Syaikh Quro bernama Subanglarang yang sedang membaca Al-Quran.

Subanglarang, perempuan yang punya paras cantik dan tubuh yang menarik. Dalam ceramahnya di Universitas Mitra Karya, Bekasi, Jawa Barat, Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj menggambarkan tubuh Subanglarang, kutilang (kuning, tinggi, langsing). Subanglarang adalah putri dari Ki Gede Tapa Cirebon.

Tak dinyana, Prabu Siliwangi yang awalnya ingin marah-marah dan bahkan membunuh Syaikh Quro karena telah menyebarkan agama baru itu, seketika klepek-klepek saat melihat Subanglarang yang cantik itu sedang membaca Al-Quran dengan suara merdu. 

Tanpa pikir panjang, Prabu Siliwangi langsung melamar Subanglarang. Pada saat itu pula, Syaikh Quro sebagai guru pun memberi izin. Namun dengan syarat, yakni Prabu Siliwangi agar terlebih dulu memeluk agama Islam. Prabu Siliwangi menyanggupi.

Usai baca syahadat, tanda masuk Islam, Prabu Siliwangi diminta untuk memberikan maskawin berupa lintangkerti atau tasbih yang hanya ada di Arab. Kemudian dengan kesaktiannya, Prabu Siliwangi terbang ke Arab dan dengan sangat cepat sudah kembali lagi di kediaman Syaikh Quro untuk memberikan maskawin itu. 

*****

Hal yang terpenting dari kejadian di atas adalah telah terjadi perkawinan antara Prabu Siliwangi dengan perempuan Muslimah murid Syaikh Quro bernama Subanglarang. Kelak, pasangan itu memiliki keturunan yang akan mengislamkan seluruh Jawa bagian barat. 

Putra pertama adalah Syaikh Rohmatullah yang punya gelar Prabu Kiansantang. Ia akan mengislamkan Jawa bagian barat (kecuali Patih Pucuk Umun yang tidak mau masuk Islam dengan pengikutnya Suku Baduy di Malimping, Banten, yang tetap memilih untuk beragama Sunda Wiwitan Karuhunan).

Lalu putra kedua dari pasangan Prabu Siliwangi dan Subanglarang adalah Syaikh Shomadullah yang menjadi kuwu atau kepala desa di Cirebon sehingga mendapat gelar Ki Kuwu Cirebon. .

Ketiga, anak Prabu Siliwangi-Subanglarang adalah perempuan yang diberi bernama Syarifah Muda’im atau yang dikenal Rarasantang, kemudian dinikahi oleh Habib Abdullah Azmatkhon dari India. Dari pernikahan itu lahirlah seorang putra bernama Syaikh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunungjati. 

Dengan adanya Prabu Kiansantang dan Ki Kuwu Cirebon bersama keponakannya Syaikh Syarif Hidayatullah, seluruh wilayah Jawa bagian barat, semuanya masuk Islam.  Masuknya Islam di wilayah Jawa bagian barat tidak sama sekali menggunakan kekerasan, tidak dengan kalimat takbir seraya melakukan sweeping membawa pentungan. Bahkan bisa dibilang, bahwa Islam di Tanah Jawa bagian barat tersebar lantaran pemicu awalnya adalah perempuan cantik bersuara merdu yang membuat Prabu Siliwangi jatuh hati.

Walaupun semangat keislaman Prabu Siliwangi tidak terlalu terlihat, tapi anak-anak dan cucunyalah yang memiliki keislaman kuat. Sehingga, mereka mampu melakukan syiar Islam dengan damai di Tanah Jawa bagian barat. Mereka itulah Syaikh Rohmatullah atau Prabu Kiansantang, Syaikh Shomadullah atau Ki Kuwu Cirebon, dan Rarasantang yang dinikahi oleh Habib Abdullah Azmatkhon yang memiliki anak Syaikh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunungjati.

Syaikh Syarif Hidayatullah kemudian punya anak, yakni Maulana Hasanuddin yang mengislamkan seluruh Banten dan sekitarnya. Islam kemudian menyebar hingga ke arah Timur dari Banten, yang ketika itu masih menjadi wilayah yang sangat menyeramkan dan mengerikan. Daerah itu kemudian diberi nama Jayakarta atau Jakarta.

(Tulisan ini disarikan dari Ceramah KH Said Aqil Siroj di Universitas Mitra Karya, beberapa waktu lalu)

Rabu, 25 Desember 2019

Surat Cinta untuk Gus Dur


Sumber gambar: viva.co.id

Gus Durku, bagaimana kabarmu? Tak terasa sudah satu dekade kita tak jumpa. Orang-orang di sini berkali-kali meneriakkan kata rindu, menuliskan kalimat sepi, tetapi juga seraya melangitkan doa. Doa-doa itu, bukan hanya sekadar permintaan agar kau senantiasa damai bersama Dzat yang Mahaagung. Tetapi doa-doa itu dilangitkan, agar spirit dan ruh perjuanganmu senantiasa membumi.

Gus Durku, sedang apa kau di sana? Kuharap, dan kita semua di sini berharap, engkau bahagia, tertawa cekikikan dan melucu di hadapan para malaikat seperti yang sering kau lakukan, dulu, kepada kami. Ya, humormu itu selalu segar untuk dibawakan di sepanjang zaman, mungkin saja para jin dan malaikat di sana juga terhibur karena humor-humormu itu. Jangan lupa juga, sering-sering sampaikanlah kepada mereka itu kalimat andalanmu yang sakti: "Gitu saja kok repot".

Gus Durku, kini kami yang ada di bumi selalu dibuat repot. Sejak kepulanganmu ke negeri akhirat sepuluh tahun lalu, kalimat "Gitu saja kok repot" itu, justru repot sekali dilakukan. Tapi kami tahu maksudmu, dan kami akan selalu belajar memahami itu.

Kalimat saktimu itu adalah pemaknaan dari doa: Allahumma yassiru wa laa tuassiru, Ya Allah mudahkan dan jangan disulitkan. Selain itu juga bermakna sama seperti kalimat simplex veri sigillum atau simplicity is the sign of truth, bahwa kesederhanaan itu sangat dekat dengan kebenaran. Laku-lampahmu selama hidup menjadi gambaran betapa kebenaran itu sebenarnya simpel, mudah, sederhana, tetapi justru kami yang kerapkali mempersulit.

Gus Durku, anak-anak dan keluargamu di bumi selalu rindu kepadamu. Namun, saat rindu itu datang, yang dilakukan oleh anak-anak dan keluargamu bukan justru merenung yang menjadikannya justru tidak produktif, tetapi terus-menerus melakukan kerja-kerja kemanusiaan yang dulu telah kau teladankan. 

Maksudku, anak-anakmu itu bukan Alissa, Yenny, Anita, dan Inaya. Ya, mereka anak-anak biologismu. Tetapi anak-anakmu yang kumaksud itu adalah anak-anak bangsa yang dalam semangat hidupnya tersisip nilai-nilai yang telah kau tanamkan sejak dulu. Anak-anak itu yang kini tergabung dalam sebuah jaringan komunitas bernama GUSDURian. Sebuah komunitas yang lahir demi untuk melestarikan nilai-nilai utama perjuanganmu, mereka meramunya ke dalam 9 nilai utama. 

Juga yang kumaksud keluargamu adalah mereka yang menjadi fokus utama dari penyebaran nilai-nilai yang telah kau teladankan itu. Keluargamu adalah umat Islam yang senantiasa menyebar salam, kedamaian, dan keselamatan. Keluargamu adalah seluruh warga negara Indonesia yang tidak main-main dengan Pancasila dan konstitusi negara. Keluargamu adalah seluruh umat manusia di muka bumi. Ya, kami semua adalah keluargamu yang selalu rindu dan menjadikan doa sebagai pertemuan spiritual kita. 

Gus Durku, apakah kau juga rindu dengan kami di sini?

Hari Natal dan Umat Islam yang Berisik


Sumber gambar: tjangkir.com

Setiap tahun, terutama menjelang Hari Raya Natal, pasti menjadi polemik. Tentu saja, yang berisik itu adalah umat Islam di Indonesia, negeri +62. Suara-suara mereka di media sosial cukup bising dan berisik. Kubu satu menghantam kubu yang lain, begitu pula sebaliknya.

Polemik itu mengenai perdebatan soal hukum mengucapkan "Selamat Natal". Umat Islam terpecah dalam persoalan ini, karena masing-masing punya pandangan yang berbeda. Ada yang membolehkan, tetapi ada juga yang melarang. Ada yang mengharamkan, tetapi ada juga yang mempersilakan. 

Tapi bagi saya, kedua kubu umat Islam, terutama di Indonesia itu, sangat kampungan sekali. Berisik. Merasa paling benar dengan pendapatnya, tetapi justru seperti ketakutan terhadap kebenarannya ketika argumentasinya itu dilawan. Sehingga timbul upaya untuk menyerang, menjatuhkan, dan menghina orang lain yang punya pandangan berbeda.

Orang-orang atau umat Islam yang membolehkan ucapan "Selamat Natal" itu adalah mereka yang merasa paling toleran. Bersamaan dengan itu, mereka menganggap orang-orang yang menghukumi haram ucapan "Selamat Natal" itu sebagai umat yang intoleran.

Bahkan bukan hanya itu, orang-orang yang "sok toleran" tersebut juga merasa diri sudah tercerahkan, tercerdaskan, dan berwawasan luas. Sehingga, orang-orang atau umat Islam yang tak sepaham dengannya disebut sebagai fundamentalis, konservatif,  radikal, dan istilah-istilah lain yang bernada merendahkan. 

Sementara umat Islam yang melarang atau menghukumi haram ucapan "Selamat Natal" akan menganggap umat Islam yang lain, yang membolehkan ucapan itu untuk diungkapkan, sebagai umat Islam yang telah luntur keislamannya. Sehingga, karena keislaman itu sudah luntur, dan bahkan bisa saja dihukumi sebagai kafir, maka harus diperbarui syahadatnya. 

Sebutan kafir itu menyakitkan sekali. Kita bisa berdiskusi kapan saja soal makna kafir yang seringkali disalahpahami. Namun terlepas dari itu, umat Islam yang menghukumi haram mengucapkan "Selamat Natal" tersebut, tentu saja merasa diri paling islami, merasa diri paling dekat dengan Allah, dan merasa diri paling punya banyak pahala serta dekat dengan surga.

Oleh karenanya, mereka menempatkan umat Islam yang tak sependapat itu di tempat yang paling rendah. Disebutlah liberal (dimaknai sebagai paham yang sesat dan melenceng dari ajaran agama), munafik, kafir, sesat, rusak akidah, fasik, dan istilah-istilah lain yang dimaksudkan untuk merendahkan.

Kenapa sih kalian berisik banget? 

Merasa paling benar boleh-boleh saja, kok. Hal itu justru diperlukan dalam hal beragama, tapi jangan lantas menganggap pendapat, argumentasi, dan pandangan orang lain sebagai sebuah kesalahan yang mutlak. Kapan mau majunya umat Islam kalau begitu terus? Malu-maluin. 

Kalian itu selalu sok toleran dan merasa paling toleran, tapi disaat yang bersamaan kalian justru memberisiki orang-orang yang tidak mengikuti laku-lampah atau jalan yang kalian tempuh. Kalian juga selalu saja merasa paling islami dan disaat yang sama, kalian justru merecoki orang lain yang tidak sepaham-sepemikiran dengan kalian. 

Aneh, beragama kok jadi berisik sekali. Lagipula, umat Kristen juga nggak butuh diucapkan kok. Kita nggak perlu caper juga lah. Mereka hanya butuh ketenangan lahir-batin untuk beribadah, itu saja. Berisiknya umat Islam, saya khawatir justru akan menganggu kekhidmatan umat Kristen dalam menjalani peribadatan di hari --yang menurut mereka sebagai hari-- yang istimewa ini. Tapi semoga saja tidak.

Namun sebagai manusia ruang (meminjam istilah Emha Ainun Najib), saya akan menerima semua perbedaan yang saling silang pendapat dengan gembira. Itulah sebuah keniscayaan yang harus disyukuri. Bahwa keragaman itu bukan hanya dalam bentuk fisik saja, tetapi juga pemikiran yang setiap tahunnya membuat saya bertambah wawasan pengetahuannya. 

Karenanya, saya ingin mengucapkan begini:

Kepada saudara-saudara saya, umat Kristen dan Katolik, saya ucapkan, "Selamat merayakan Hari Raya Natal".

Kepada saudara-saudaraku, umat Islam yang membolehkan untuk memberikan ucapan kepada umat Kristen dan Katolik, saya ucapkan, "Selamat mengucapkan Selamat Natal".

Dan kepada saudara-saudaraku, umat Islam yang melarang ucapan dan mengharamkan untuk memberikan ucapan kepada umat Kristen dan Katolik, saya ucapkan, "Selamat tidak mengucapkan Selamat Natal".

Plis ya, jangan jadi umat Islam yang berisik.

Sabtu, 07 Desember 2019

Menjadi Muslim Tanpa Emosi (1): Umar bin Khattab Masuk Islam


Ilustrasi. Sumber: moondoggiesmusic.com

Nabi Muhammad lahir di tengah-tengah masyarakat Arab yang ketika itu punya dua ciri. Pertama, dari sisi peradaban, masyarakatnya buta huruf. Kedua, dari sisi teologi, masyarakatnya masih banyak yang dalam keadaan sesat. 

Sebagaimana yang termaktub dalam QS 62 ayat 2, bahwa Nabi diutus di tengah-tengah bangsa yang ummiyyin (buta huruf) dan dholalim mubin (sesat). Kemudian, ia diperintah agar membangun masyarakat yang seperti itu menjadi masyarakat yang tercerahkan. Maka, digunakanlah beberapa metode.

Metode pertama adalah yatlu ‘alaihim aayaatih. Nabi memperkenalkan Al-Quran kepada orang-orang Arab yang jahiliyah itu. Sebagai pembawa 'agama baru', Nabi mendapatkan reaksi yang macam-macam dari masyarakat Arab kala itu. 

Ada yang mengatakan, bahwa Muhammad putra Abdullah telah beralih-profesi menjadi seorang pembaca mantra atau dukun, pembaca puisi atau sastrawan, penyanyi, dan penyihir. Sebab, bagi masyarakat Arab yang belum mendapat pencerahan ketika itu, Muhammad dirasa aneh, karena dirinya merupakan seorang yang buta-huruf.

Namun demikian, ada saja orang yang mendapat hidayah saat mendengar ayat-ayat Al-Quran dilantunkan. Salah satunya adalah seorang jawara, preman, pemabuk, dan pezina bernama Umar bin Khattab.

Suatu hari, Umar mendengar kabar tentang adiknya yang bernama Fatimah binti Khattab dengan suaminya Sa'id bin Zaid bin Nufail yang telah masuk Islam. Seketika itu pula, Umar marah. Ia lantas mendatangi kediaman sang adik. 

Setibanya di sana, tanpa ba-bi-bu Umar langsung mendobrak pintu rumah adiknya. Saat pintu terbuka, ia melihat Fatimah sedang membaca Al-Quran (surat Toha). Umar yang semula ingin marah dengan adiknya itu, seketika itu juga langsung lemas dan ambruk.

"Al-Quran diturunkan untuk menyelamatkan umat manusia. Al-Quran diturunkan tidak membuat celaka kamu sekalian. Diturunkan dari Tuhan yang menciptakan bumi dan langit. Dia adalah arrahman, yang menguasai arasy dan seluruh jagat raya," demikian awal surat Toha, yang dibaca Fatimah, jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

Kemudian, Umar malah bertanya: aina Muhammad? (Di mana Muhammad?)

Dijawab oleh adiknya: Di sana, di rumahnya Al-Arqam bin Abil Arqam.

Umar langsung lari untuk mendatangi Nabi Muhammad.

Setibanya di kediaman Arqam, Umar kemudian mengetuk pintu. Di dalam rumah itu ada Nabi dengan para sahabatnya yang sedang berdiskusi. Saat melihat Umar datang, para sahabat yang ada di dalam ketakutan, mengira Umar akan marah-marah. 

Namun, Nabi dengan tenang membuka pintu dan mengatakan, “Saya semalam berdoa: Allahumma a-izzal Islam bi ahadi umarayn (Ya Allah kuatkanlah Islam dengan salah satu Umar).”

Kalau bukan Umar bin Khattab, maka ‘Amr bin Hisyam atau Abu Jahal. Tapi rupanya hidayah jatuh kepada Umar bin Khattab bukan kepada ‘Amr bin Hisyam. Umar lalu dipersilakan masuk dan membaca syahadat dengan dibimbing langsung oleh Nabi Muhammad. Ia telah masuk Islam, semua sahabat gembira menyambut keislaman Sayyidina Umar bin Khattab.


(Tulisan ini disarikan dari Ceramah KH Said Aqil Siroj di Universitas Mitra Karya, beberapa waktu lalu)

Senin, 02 Desember 2019

Kiai Enha Bertutur (2): Islam, Dari Rahim Menuju Rahmat


Foto: Kang Opi Lengket Suraden

Kumandang azan magrib, sesaat lagi akan menggema. Kiai Enha tampak masuk ke dalam rumah, bersiap untuk mengimami salat magrib di Masjid Nurul Anwar, yang berada persis di samping rumahnya, di komplek Pesantren Motivasi Indonesia, Burangkeng, Setu, Bekasi. 

Usai salat magrib, berdzikir dan berdoa serta salat bakdiyah magrib, Kiai Enha lantas berbalik badan menghadap ke jamaah yang mayoritas adalah santri. Proses pengislaman, pembacaan ikrar dua kalimat syahadat untuk Handreas, seorang nonmuslim dari Cikarang Barat, akan segera dilakukan. 

Namun sebelum itu, Kiai Enha tampak bahagia sekali. Sehingga terlebih dulu memaparkan berbagai pandangannya tentang konsep Islam yang penuh dengan kasih sayang. Di awal bicaranya, dia mengungkapkan makna silaturahmi –atau dalam bahasa arab disebut silaturrahim

"Karena Islam turun di Arab, maka banyak istilah yang menggunakan bahasa Arab. Banyak bahasa Arab yang diindonesiakan, sekaligus membuktikan bahwa di Indonesia ini memberikan dampak yang luar biasa sampai ke urusan bahasa," kata Kiai Enha, di awal penjelasannya mengenai silaturahmi.

Bahasa arab itu, yang diserap ke dalam bahasa Indonesia, salah satunya adalah silaturrahim (yang menjadi silaturahmi, dalam bahasa Indonesia) yang sering diucapkan dalam keseharian. Silaturrahim berasal dari dua kata. Silah, artinya keterhubungan atau koneksi dan arrahim yang berarti kasih sayang.

"Jadi, silaturrahim adalah hubungan yang didasari dengan rasa kasih sayang. Sehingga setiap saat, sebenarnya kita ini sedang membangun hubungan kasih sayang," jelas Kiai Enha yang jebolan Pondok Pesantren Ploso, Kediri, Jawa Timur ini.

Menurutnya, membangun hubungan yang didasari dengan rasa kasih sayang menjadi sesuatu hal yang sangat penting. Sebab, Islam hadir sebagai rahmat, yang juga berarti adalah kasih sayang. Sehingga hubungan yang dibangun di atas dasar kasih sayang adalah hubungan yang diperkenalkan Islam.

"Kita itu sebelum lahir, berada di dalam ruang yang bernama kantung rahim dan ketika berpulang nanti, dapat predikat bahwa kita ini berpulang ke rahmatullah: kasih sayang juga. Jadi, hidup kita ini berasal dari rahim menuju rahmat. Bisa dibayangkan, muslim itu kalau dia mengkhianati keislamannya, maka berarti dia sudah merusak pola yang sudah dibuat oleh Tuhan," kata Kiai Enha. 

Dikatakan, manusia adalah alumni kantung rahim. Maka kalau hidupnya tidak membawa kerahmatan, kedamaian, dan kasih-sayang, itu berarti telah mengkhianati Tuhan. Pertanyaannya kemudian, kenapa Islam berarti kedamaian? 

Jawabannya tak lain lantaran hidup seorang muslim, sejak lahir hingga meninggal, membawa misi. Yakni misi kerahmatan atau kasih-sayang yang telah ada, sejak berada di dalam kantung rahim hingga nanti pulang ke rahmatullah

Kalau ada seorang muslim yang dalam hidupnya, kerap mengkhianati misi kerahmatan, hidupnya akan dipenuhi oleh ketegangan dan penuh dengan kemarahan. Sehingga yang dibawa adalah rasa berbeda dengan orang lain, dan orang yang berbeda itu, harus dihabisi. 

"Jadi kita tidak boleh mengkhianati misi yang telah dititipkan Allah itu," pesan Kiai Enha.

Larangan Menghakimi Jenazah

Tak hanya itu, Kiai Enha juga menitipkan pesan bahwa orang-orang yang sudah berpulang ke rahmatullah sekalipun, jangan dikhianati. Artinya, kalau ada seseorang yang selama hidupnya bergelimang kemaksiatan, maka jangan dihakimi bahwa orang tersebut (saat meninggal dunia) tidak berpulang ke rahmatullah. Atau dalam kalimat lain, kematiannya itu tidak mendapat rahmat Allah.

Kalau ada bandar narkoba yang meninggal dunia, misalnya, harus dipersaksikan juga bahwa dia adalah orang baik. Jangan sampai dihakimi, karena kematiannya itu membawa dirinya untuk tidak lagi berurusan dengan narkoba. Itu berarti, kematian telah menghentikannya dari kejahatan dan kemaksiatan.

Secara sangat terperinci, Kiai Enha menjelaskan, "Itulah mengapa istilah berpulang ke rahmatullah adalah doa. Kita tidak boleh menghakimi orang lain, termasuk menghakimi jenazah yang sudah meninggal dunia. Selain itu, kematiannya juga pasti membawa dampak baik kepada lingkungan masyarakat karena telah berkurang satu kemaksiatan. Isyhad (persaksian) itu bukan dalam arti kita menyaksikan kejahatannya, tapi didoakan agar dia menjadi orang baik, dan kebaikannya memberi dampak untuk masyarakat setelah dia tidak ada."

Walaupun kemudian, setelah kematian itu, si bandar narkoba punya tanggungan personal di akhirat kepada Allah karena dosa-dosanya selama di dunia, biarlah menjadi urusan pribadinya kepada Allah, bukan menjadi urusan manusia yang masih hidup. Urusan bagi orang-orang yang masih diberikan hidup adalah mendoakan.

Demikianlah Islam, yang membungkus kehidupan dari rahim menuju rahmat. Maka, Islam itu adalah rahmatan lil alamin yang bermakna bahwa keberadaan Islam harus mampu merahmati semua alam. Kerahmatan di dalam Islam bukan hanya untuk umat Islam saja, tetapi untuk seluruh penghuni semesta.

Ajaran Inti Agama-agama

Itulah yang kemudian menjadi bagian penting di dalam ajaran Islam. Bahwa kerahmatan ini adalah dasar dari pelaksanaan misi yang dibuat oleh Tuhan bernama kasih-sayang. Allah meletakkan kerahmatan itu sejak awal. Islam diturunkan kepada Nabi Muhammad melalui serangkaian peristiwa yang terhubung dari waktu ke waktu. Dari Nabi Adam hingga Nabi Muhammad.

Nabi Ibrahim pernah mengatakan, “Ana awwalul muslimin.” Aku adalah orang muslim yang pertama. Padahal secara formal, Islam belum ada di zaman Nabi Ibrahim. Hal itu menjadi bukti nyata bahwa ajaran-ajaran Islam, tidak ada yang berbeda dari agama-agama yang dibawa para nabi sebelumnya. Syariatnya berbeda, tapi poin inti dari ajaran agama tidak ada yang berbeda sama sekali.

Poin inti itu adalah ketundukan kepada Allah. Kalimat sami’na wa atho’na, yang terdapat di dalam Al-Quran, harus betul-betul diimplementasikan. Namun ironinya, saat ini ada banyak muslim yang mengucapkan kalimat itu, tetapi hanya sebatas ucapan di bibir saja. Sehingga menjadi sami’na wa ashoyna.

Sami’na wa atho’na berarti mengenali kerahmatan yang telah Allah turunkan, sehingga ketika salat atau beribadah, seseorang menjadi sangat mudah, tidak berat dan tanpa beban apa pun. Pondasinya adalah dua kalimat syahadat. Sebuah kalimat kebersaksian bahwa tidak ada Tuhan kecuali Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah.

Maka sesungguhnya kalimat tauhid, menurut Kiai Enha, menjadi motor penggerak untuk seluruh keislaman yang ada. Kalimat tauhid menjadi penting, karena merupakan kalimat yang menggerakkan berbagai laku kehambaan diri kepada Allah, dan sekaligus implementasinya kepada sesama. 

"Kalimat tauhid ada, tapi benderanya tidak ada. Karena kalimat ini tidak pernah dibenderakan oleh Rasulullah. Zaman nabi itu memang ada panji-panji, tapi biasanya untuk berperang dan pembebasan kota baru, tapi tidak tertulis seperti yang saat ini sedang marak," kata Kiai Enha.


Setelah panjang-lebar menjelaskan tentang Islam yang membawa misi kerahmatan, kedamaian, dan kasih sayang, prosesi pengislaman untuk Handreas pun dilangsungkan. Karena Kiai Enha seperti ingin menitipkan ruh keislaman yang penuh kasih-sayang itu, maka Handreas diberi tambahan nama baru.

Nama itu adalah Abdurrahman, artinya hamba yang diliputi rasa kasih sayang. Selain itu, Kiai Enha juga sebenarnya terinspirasi oleh tokoh atau ulama NU, KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, yang sepanjang hidupnya selalu menebarkan dan mengampanyekan Islam yang ramah dan rahmatan lil 'alamin.

Abdurrahman Handreas, begitu nama barunya. Semoga kasih-sayang selalu meliputi dirinya: kasih-sayang dari Allah, juga kasih sayang dari sesama manusia, serta kasih sayang dirinya untuk Allah dan hamba-Nya. Demikianlah Islam, yang selalu mengajarkan tentang kedamaian dan kasih-sayang.

Wallahua'lam...

Sabtu, 30 November 2019

Kiai Enha Bertutur (1): Konsekuensi Tauhid adalah Kemanusiaan


Suasana di selasar rumah Kiai Enha


Sore itu, 29 November 2019, saya "main" ke Pesantren Motivasi Indonesia. Sebuah institusi pendidikan yang memiliki nama lain Istana Yatim. Di sana, santri-santrinya adalah anak-anak yatim. Baik yatim lantaran sudah tidak punya orangtua, maupun mereka yang diyatimkan oleh keadaan. 

Pesantren ini terletak di pelosok Bekasi. Kalau malam tiba, tidak ada suara apa pun, kecuali angin yang saling bersaut dan suara-suara sunyi yang mengetuk keramaian kota. Lebih tepatnya, pesantren ini berada di Kampung Cinyosog, Desa Burangkeng, Kecamatan Setu, Kabupaten Bekasi.

Santri-santri di sini, diasuh oleh seorang kiai muda jebolan Pondok Pesantren Ploso, Kediri, Jawa Timur. Dia adalah Kiai Haji Nurul Huda (Enha). Para santri memanggilnya dengan sebutan Ayah. Sebuah panggilan keakraban yang memang sangat dirindukan bagi anak-anak yang sejak kecil sudah ditakdirkan berpisah dengan pemimpin keluarganya. 

Dia adalah putra dari Buya KH Muhali, salah seorang ulama terkemuka di Tanah Betawi, Kampung Sumur, Klender, Jakarta Timur. Kiai Enha juga merupakan bagian dari ulama muda NU. Namanya sudah dikenal oleh para kiai di kalangan NU. Bersahabat pula dengan–salah satunya–Prof Nadirsyah Hosen, Rais Syuriyah PCINU Australia dan New Zealand. Seringkali dirinya diundang untuk ceramah di Bumi Eropa, mendakwahkan Islam yang ramah dan penuh kedamaian. Dalam bahasa arab, disebut rahmatan lil alamin. 

Saya tiba di kediaman Kiai Enha bakda ashar. Di selasar rumahnya, ada sekira tujuh orang tamu sedang berkumpul. Salah satu diantaranya adalah Handreas, seorang nonmuslim dari Cikarang Barat yang ingin masuk Islam dengan dibimbing langsung oleh Kiai Enha. Tak lama berselang waktu, hadir juga dua orang pemuda dari Gereja Kristen Pasundan Jemaat Cimuning, Choky dan Viko.

Di selasar rumah Kiai Enha, berarti sedang berkumpul orang-orang yang berbeda latar belakang, terutama berbeda latar belakang agama. Tutur kata Kiai Enha, sangat terukur dan terstruktur. Kalimat demi kalimat yang diucapkan, menjadi semacam stimulus untuk semakin giat beragama. Selain sebagai kiai, dia juga seorang orator dan motivator. Maka wajar jika setiap kata yang diucapkan memberi dampak positif bagi pendengarnya. Benar-benar komunikator yang baik. 

Kiai Enha, dalam pembicaraannya, mengutip ayat kelima dari Surat Al-Bayyinah. Olehnya, ayat itu dimaknai bahwa agama akan menjadi kuat (dinul qayyimah), jika didasari atas penghambaan kepada Allah secara tulus sekaligus melakukan pengorbanan berupa pelayanan kepada hamba-Nya. 

Di dalam agama apa pun, kata Kiai Enha, pasti terdapat tata cara peribadatannya masing-masing. Tetapi, yang lebih penting dari itu adalah bagaimana mengimplementasikan keberagamaan dengan memberikan pelayanan kepada sesama. Maka, kemelekatan di dalam diri harus segera dienyahkan. Kalau sudah demikian, maka pengorbanan apa pun yang dilakukan, tidak akan ada tujuan lain kecuali Allah. 

Sejak Nabi Adam, Allah sudah mengajarkan betapa pentingnya sebuah pengorbanan yang menjadi bukti atas kehambaan diri terhadap Sang Pencipta. Itulah sebenarnya yang menjadi poin penting atau substansi dari nilai-nilai agama yang, menurut Kiai Enha, harus terus disosialisasikan. 

"Dalam beragama, diperlukan sebuah kesadaran bahwa agama (secara personal) menghubungkan kita kepada Tuhan. Tapi fakta di lapangan, sesungguhnya, Tuhan akan mengukur kedalaman iman seseorang ketika dia bisa melayani hamba-Nya. Thats the point," kata Kiai Enha. 

Karenanya, di dalam Islam, ritual ibadah (salat) diawali dengan–yang disebut–takbiratul ihram. Sebuah gerakan awal di dalam salat yang bukan hanya sebatas gerakan saja, tetapi punya makna yang dalam. Artinya, sebagai seorang muslim yang sedang salat, haruslah memiliki kesadaran bahwa Allah Mahabesar. Hanya Allah yang besar. 

Suasana di selasar rumah Kiai Enha

Pada tutur kata yang saya dengar, Kiai Enha mengatakan bahwa salat merupakan urusan yang bersifat spiritual, sampai-sampai untuk melaksanakannya harus dengan membersihkan diri terlebih dulu. Tidak boleh sembarangan. Lalu setelah melalui serangkaian gerakan yang di dalamnya berdimensi spiritual yang membesarkan Allah itu, salat ditutup dengan salam yang berarti kedamaian.

Artinya (Kiai Enha mempersepsikan ungkapan Allah), "Ketika engkau berjumpa dengan-Ku dalam salatmu, engkau kecil bukan siapa-siapa, Aku yang besar. Tetapi ketika engkau selesai salat, kau bawa kebesaran-Ku dalam baju keselamatan yang kau tebarkan ke kanan dan kirimu."

Sehingga, salat yang demikian itu memiliki makna. Tidak kosong. 

Lalu, kepada Handreas yang ingin memeluk Islam itu (juga saya persepsikan kepada siapa saja yang mendengar tutur Kiai Enha dan membaca tulisan ini), dianjurkan agar sering-sering mendatangi tokoh agama, seperti kiai dan ulama. Tujuannya untuk memperdalam pengetahuan tentang keislaman. Tentu saja, saya memahami bahwa Kiai Enha berharap agar seorang muslim harus mampu beragama dengan didasari ilmu pengetahuan. 

Sebab di dalam Al-Quran itu, kata Kiai Enha, agar seseorang mampu memahami kalimat tauhid laa ilaaha illallah harus dengan fa'lam (pahami) annahu, bukan fa'mal (lakukan) annahu. Artinya, fa'lam itu berarti based on knowledge (berdasarkan pengetahuan) not based on action (bukan berdasarkan pada aksi).

Kalau fa'mal, Kiai Enha berasumsi, hanya akan berujung pada ritual semata. Tapi kalau fa'lam (itulah yang sesungguhnya) menjadi syarat dari ketauhidan seorang muslim, yakni paham atau kenal. Jadi, based on knowledge itu menjadi penting, supaya orang beragama diliputi dengan keimanan yang kuat.

"Karena apabila tidak kuat, akan sangat dengan mudah dibikin bingung atau dibuat ragu. Kenapa knowledge itu menjadi penting? Ya untuk memahamkan kepada diri tentang Tuhan," katanya.

Bagi Kiai Enha, agama harus memahamkan seseorang tentang Tuhan yang sebenar-benarnya. Yaitu Tuhan yang menurunkan agama, yang menciptakan jagad raya untuk kehidupan makhluk di dalamnya. Namun demikian, orang-orang beragama, terkadang memiliki konsep Tuhan menjadi dua kategori.

"Ada Tuhan yang menciptakan kita, ada Tuhan yang kita ciptakan. Tuhan yang kita ciptakan adalah Tuhan yang menurut akal dan pikiran sendiri, termasuk yang berpikir bahwa Tuhan itu adalah pemarah sehingga yang keluar adalah perilaku yang selalu marah-marah dan membuat agama tampil menyeramkan," kata Kiai Enha.

Kalau ada yang beranggapan bahwa Tuhan adalah sesuai dengan akal pikiran, lebih-lebih mempersepsikan Tuhan sebagai algojo yang sangar dan bengis, maka yang demikian itu bukan ajaran inti agama. Tetapi disebabkan karena pelaku agamanya sendiri yang menafsirkan Tuhan dengan seenaknya, tanpa ilmu pengetahuan yang mumpuni.

"Pelaku agama yang begitu, terkadang merasa dirinya sudah seperti Tuhan. Ini bahaya sekali, karena menggambarkan Tuhan yang kejam. Maka di agama apa pun, larangan terbesar adalah saat engkau merasa seperti Tuhan," kata Kiai Enha.

Islam, menurutnya, bermakna damai. Jadi, kalau ternyata ada umat Islam yang sudah tidak mengajarkan atau menebarkan kedamaian kepada kehidupan kemanusiaan, itu berarti ada yang keliru dalam pemahaman tentang Islam itu sendiri. 

"Itu bahaya sekali," kata Kiai Enha.

Senin, 04 November 2019

Definisi dan Syarat Menjadi Ulama Menurut Mas Ulil


Foto ini diambil di kediaman Mas Ulil

Dalam sebuah acara di Bali, bertajuk Ngaji Kebangsaan, Mas Ulil Abshar Abdalla menyebutkan bahwa Nahdlatul Ulama merupakan organisasi yang berdasar pada ulama, dan ulama itu dasarnya adalah ilmu.

Kata ulama itu berasal dari ilmu. Lalu muncul kata 'alimun, artinya adalah orang yang punya ilmu; jamaknya menjadi 'ulama, yaitu orang-orang yang punya pengetahuan.

Jadi, Nahdlatul Ulama adalah organisasi yang didalamnya adalah orang-orang yang punya ilmu. Tetapi maksud Mas Ulil adalah ilmu dalam segala bidang atau dalam hal apa pun. Baik ilmu yang disebut Imam Ghazali sebagai 'ulum syar'iyyah (ilmu yang bersumber dari wahyu), maupun ilmu yang ghairu syar'iyyah.

Pengertian yang kedua itu adalah ilmu-ilmu yang bukan bersumber dari wahyu, melainkan bisa saja berasal dari akal manusia atau dari pengalaman-pengalaman manusia. Seperti misalnya pertanian yang merupakan ilmu karena didasari atas pengalaman para petani selama berpuluh atau ribuan tahun, yang kemudian lahirlah ilmu tentang pertanian.

Tetapi pada umumnya, sebagian besar masyarakat kita menyematkan gelar ulama itu hanya kepada pengertian yang pertama, yakni orang-orang yang punya pengetahuan di bidang ilmu-ilmu keagamaan atau 'ulum syar'iyyah. Padahal, orang yang berilmu sebagaimana pengertian yang kedua itu bisa juga disebut sebagai ulama.

Jadi, ulama itu artinya bukan hanya orang yang punya keilmuan di bidang keagamaan saja tetapi juga orang-orang yang memiliki ilmu diluar agama, atau bukan ilmu syara'. 

"Semua orang yang berilmu itu, baik yang berilmu agama maupun nonagama, itu semua sama, mereka adalah ulama. Kalau mereka betul-betul punya ilmu yang sesungguhnya, maka mereka berarti juga punya sikap yang sama sebagai ulama," kata Mas Ulil.

Sikap ulama itu, sebagaimana yang disebutkan di dalam Al-Quran: innamaa yakhsyallaha min 'ibadihil 'ulama. Jadi, akibat atau hasil akhir dari orang yang punya pengetahuan itu adalah punya rasa takut kepada Allah. Itulah inti dari sikap dasar seorang ulama. 

Maka, objek ketakutan seorang ulama bukanlah manusia atau segala perkara keduniaan, tetapi takutnya hanya kepada Allah semata. Itulah ciri dari para ulama, baik ulama dalam ilmu agama maupun nonagama. Kalau ada orang yang mengaku berilmu tapi hasil akhirnya tidak punya rasa takut kepada Allah–melainkan takut kepada jabatan, uang, atau kepada sesama manusia–maka itu sudah pasti bukan ulama.

Sebagai contoh, ada fenomena seorang pendakwah yang takut kalau-kalau jumlah pendengarnya berkurang. Maka yang demikian itu sudah bisa dipastikan bukanlah seorang ulama. Itu pula yang dikritik oleh Imam Ghazali dalam Ihya Ulumiddin di bagian pertama tentang kitabul 'ilmi. Bahwa banyak orang yang memiliki ilmu agama tetapi sikapnya justru berkebalikan dari sikap yang disebut dalam Al-Quran itu.

Bahkan, ada orang yang belajar ilmu agama tetapi justru yang lahir dari orang itu bukan akhlak agama. Seperti misalnya, menjadikan ilmu yang dimilikinya itu sebagai alat untuk menyombongkan diri, padahal yang dipelajarinya adalah ilmu agama seperti fiqh. Fenomena seperti itu sudah sangat banyak dan seringkali terjadi. 

Ilmu fiqh, kata Mas Ulil, sering membuat seseorang yang mempelajarinya, kalau tidak hati-hati, justru akan membuat diri merasa lebih hebat dari yang lain. Terlebih, misalnya dalam bahtsul masail. Di forum debat itu, seringkali orang-orang merasa paling pintar. Sebab orang kalau sudah debat, pasti punya tujuan untuk mengalahkan lawan debatnya.

"Itulah contoh ilmu agama yang kemudian menjadi washilah untuk sombong kepada orang lain," kata Mas Ulil.

Maka, takut kepada Allah itulah yang harus menjadi pegangan utama bagi seorang yang berilmu. Artinya, memiliki kesadaran atas hadirnya Allah dalam seluruh aktivitas kehidupan sehari-hari. 

Sebagaimana yang pernah didawuhkan Nabi Muhammad, bahwa umat Islam itu akan berjalan seperti menaiki tangga. Tangga pertama adalah iman, kedua adalah Islam, dan tangga terakhir yang paling tinggi adalah ihsan. Nah, orang beragama, dalam Islam, haruslah sampai kepada tingkat yang ketiga itu.

"Ihsan itu didefinisikan Kanjeng Nabi adalah: engkau menyembah Allah seolah engkau melihat Allah. Tapi kalau tidak bisa mencapai tingkat tertinggi itu, minimal kita merasa kehadiran Allah yang terus-menerus melihat kita. Itu namanya ihsan," kata Mas Ulil.

Sebab, hidup ini seluruhnya adalah ibadah. Sedangkan ibadah bukan berarti hanya salat saja, melainkan seluruh tindak-tanduk kehidupan seorang manusia di bumi–pada hakikatnya–adalah ibadah. Kalau ada orang yang mengaplikasikan ihsan hanya ketika salat saja, sementara diluar salat tidak dipraktikkan, maka itu bukan yang dimaksud ihsan.

Oleh karena semua tindakan dalam hidup ini adalah ibadah, maka harus punya kesadaran bahwa Allah melihat segala hal yang kita lakukan. Bahkan, kalau bisa memiliki kesadaran bahwa kita melihat Allah. Namun, yang demikian itu hanya untuk para wali.  

Secara implisit, ihsan itulah yang disebut khasyyah, takut kepada Allah. Sebuah sikap sadar atas seluruh gerak-gerik yang dilakukan di bumi, karena semuanya pasti dilihat Allah.

Wasiat KH Abdullah Rifa'i

Mas Ulil kemudian menyampaikan sebuah pesan atau wasiat dari KH Abdullah Rifa'i. Dikatakan, Allah itu menyukai kalau seorang hamba melakukan sesuatu yang kemudian dilakukan dengan penuh profesionalitas. Dalam bahasa Arab, dikatakan: innallaha ahabba 'abdan idza 'amila syai-an atqonahu.

Itqon itu artinya adalah melaksanakan sesuatu dengan segenap kemampuan yang dimiliki. Itulah profesional, tidak dikerjakan secara serampangan. Segala sesuatu dilakukan dengan sesuai prosedur, sesuai dengan ilmu yang dibutuhkan.

Kalau seseorang sadar terhadap kehadiran Allah dalan kehidupannya, maka dalam melakukan sesuatu, apa pun, pasti penuh dengan tanggung jawab. Sebab, dia sadar bahwa yang mengawasinya bukanlah manusia tetapi langsung diawasi oleh Yang Menciptakan Kehidupan. Karena itu, dia pasti punya keinginan untuk melakukan segala hal di dunia ini dengan maksimal.

"Kalau ada orang beriman tapi tidak bekerja secara profesional, maka akan diragukan keimanannya. Kalau ada orang beriman kepada Allah tapi melakukan sesuatu dengan sembarangan, menjadi medioker, berarti orang ini belum merasa kehadiran Allah dalam kehidupannya," kata Mas Ulil.

Dalam periode kedua ini, Presiden Jokowi konon akan fokus pada pengembangan Sumber Daya Manusia. Nah, SDM Indonesia, saat ini, masih kalah jauh dibanding dengan SDM di negeri-negeri lain. Seperti misalnya soal kemampuan mengerjakan segala sesuatu dengan profesional, maksimal, dan dengan sebaik-baiknya.

Kebinekaan

Akhir-akhir ini, isu yang mencuat dan menjadi tema pembahasan oleh banyak kalangan adalah soal keberagaman. Disadari atau tidak, memang sekarang sedang muncul sebuah gejala keagamaan yang sepertinya memusuhi kebinekaan.

Atau bahkan lebih jauh lagi, yakni memusuhi eksistensi negara Indonesia. Model keagamaan yang seperti itulah, yang justru belakangan ini muncul di kalangan masyarakat perkotaan. Anehnya, gejala tersebut menyerang kalangan orang-orang terdidik.

Pertanyaannya kemudian, kenapa muncul model atau pola keagamaan yang mempertentangkan antara keislaman dengan keindonesiaan; atau antara keislaman dengan kebinekaan? Kenapa semua itu terjadi?

Menurut Mas Ulil, salah satu yang menjadi penyebabnya adalah karena kurangnya ilmu pengetahuan. Tetapi, hanya NU-lah yang sangat vokal dan lantang menyuarakan kebinekaan, perdamaian, dan persaudaraan sesama anak bangsa. 

Kenapa demikian?

Karena NU merupakan organisasi kemasyarakatan yang landasan utamanya adalah ilmu. Nahdlatul Ulama itu artinya kebangkitan orang-orang yang punya pengetahuan. Sementara ulama itu, sebagaimana yang sudah dijelaskan di atas, bukanlah semata-mata orang yang punya ilmu agama tetapi semua orang berilmu di bidang apa saja dengan dibarengi rasa takut kepada Allah.

Karena itu, kalau merasa menjadi bagian dari Nahdlatul Ulama, maka harus memiliki tanggung jawab atas kebangsaan. Nah, tanggung jawab kebangsaan kita adalah menyebarkan ilmu yang sudah diperoleh dari para kiai ke masyarakat. 

Sesungguhnya ada banyak sekali ilmu yang dikembangkan oleh para ulama NU. Tetapi salah satunya adalah ilmu Tri Ukhuwah yang diajarkan Allahyarham KH Ahmad Shiddiq. Tiga model persaudaraan itu sangat penting, sekalipun kelihatannya hanya sederhana. Tetapi tidak semua orang paham, bahkan tidak semua orang mau paham.

Ketiganya itu adalah ukhuwah Islamiyah (persaudaraan sesama muslim), ukhuwah wathoniyah (persaudaraan sesama warga bangsa), dan ukhuwah basyariyah (persaudaraan sesama manusia). Kalau dalam hidup berkebangsaan memegang ilmu yang diajarkan Kiai Ahmad Shiddiq itu, maka insyaallah Indonesia akan selesai dengan berbagai konflik keagamaan yang mencederai kebinekaan. 

Sumber Ilmu Kiai Ahmad Shiddiq

Salah satu sumber ilmu Kiai Ahmad Shiddiq ini, menurut Mas Ulil, adalah dari Sayyidina Ali Karamallahu Wajhah. Suatu ketika, dia berkirim surat kepada gubernur yang diperintahkan untuk menjadi wakilnya di Mesir. Gubernur itu adalah Malik Al-Asytar.

Ali menulis surat panjang sekali. Wasiat dalam surat itu sekitar 35 halaman. Namun kalau dipelajari, wasiat Ali dalam surat itu bisa menjadi pelajaran penting tentang teori mengurus negara menurut Islam. 

Dalam pembukaan suratnya, Ali berkata: "Wahai Malik Al-Asytar, nanti kalau engkau sudah tiba di Mesir dan kemudian menjadi gubernur di sana, ingatlah, engkau jangan berlaku seperti gubernur-gubernur sebelummu, terutama sebelum kedatangan Islam di Mesir."

Dulu sebelum Islam datang, Mesir menjadi bagian dari wilayah Romawi Timur yang ibukotanya di Bizantium (di Turki yang sekarang ini). Akidah Nasrani di Mesir kemudian bertentangan dengan Nasrani di Bizantium itu. Oleh sebab itu, Mesir akhirnya menjadi sasaran penindasan karena punya penafsiran keagamaan yang berbeda mengenai kekristenan.

Sayyidina Ali ketika mengutus Al-Asytar itu berpesan:

"Jangan sesekali nanti kalau engkau menjadi gubernur, engkau seperti gubernur-gubernur sebelumnya. Yakni engkau menjadi seperti binatang buas yang punya gigi tajam yang menerkam hewan lain. Engkau jangan menjadi seperti binatang buas yang memakan harta orang lain. Maksudnya memakan harta rakyatmu sebagaimana tradisi gubernur-gubernur sebelumnya. Ingat, manusia itu terbagi menjadi dua, manusia yang seagama dan manusia yang tidak seagama tapi sama-sama manusia. Maka, mereka yang bukan saudaramu dalam iman adalah saudaramu dalam kemanusiaan."

Dikatakan Mas Ulil, bahwa Hak Asasi Manusia (HAM) atau konsep kemanusiaan, sesungguhnya sudah diterapkan sejak dulu. Maka tak heran kalau di batu nisan makam Gus Dur tertulis: "Di sini berbaring seorang pejuang kemanusiaan."

Bisa jadi, Mas Ulil menduga bahwa sumber utama dari ilmu KH Ahmad Shiddiq mengenai Tri Ukhuwah itu adalah surat Ali kepada Malik Al-Asytar. Konsep Tri Ukhuwah itu sesungguhnya berasal dari Sayyidina Ali. 

Kanjeng Nabi pernah berkata: Ana madinatul 'ilmi wa 'aliyyun baabuha. Artinya, Aku adalah kotanya ilmu dan Ali adalah gerbangnya.

"Ali ini kira-kira bagian depan rumahnya Kanjeng Nabi. Jadi kalau mau sowan kepada Kanjeng Nabi, maka pertama kali harus sowan terlebih dulu kepada Ali," kata Mas Ulil.

Kesimpulannya adalah bawah ilmu merupakan sesuatu yang sangat penting, yang harus dimiliki seorang ulama dan dengan dibarengi oleh rasa takut kepada Allah, karena selalu dalam pengawasan-Nya. Sedangkan ilmu Kiai Ahmad Shiddiq, Tri Ukhuwah, merupakan sebuah modal untuk hidup berkebangsaan.

Sabtu, 02 November 2019

Artikel Gus Dur: Arti Sebuah Buku (Gus Dur Membaca Das Kapital)


Gambar ini karya Kang Dodi Budiana dari jabarnews.com

Dalam sebuah diskusi di Gedung Perpustakaan Nasional, penulis (Gus Dur) mengajukan sebuah presentasi mengenai sebuah buku jilid I 'Das Kapital' yang ditulis Karl Marx lebih dari seratus tahun lalu. Di samping penulis, juga diajukan presentasi lisan dari penerbit terjemahan karya agung tersebut, pihak penerjemah, dan editor.

Di tengah-tengah diskusi yang berlangsung, Dr Franz Magnis Suseno dari Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara di Rawamangun, Jakarta, diminta menguraikan karya agung itu. Namun, ia mengelak karena memang bukunya sangat tebal. Ia hanya menyebutkan bahwa karya agung itu adalah karya ilmiah dan penuh dengan hasil-hasil penelitian. 

Yang menarik, ia menyatakan bahwa karya tersebut tidak menentang kapitalisme melainkan menunjukkan banyak aspek dari pandangan tersebut. Karena Romo Franz Magnis Suseno adalah seorang ilmuan, maka ia tidak berbicara secara emosional, tidak seperti kebanyakan agamawan yang selalu berbicara tentang buku itu secara sepihak saja.

Penulis mengemukakan, bahwa buku itu tidak dapat dibaca sendiri saja, melainkan harus dibaca bersama-sama dengan karya-karya tertulis lainnya. Dalam hal ini, penulis kembalikan jasa terbesar sehingga membacanya 40 tahun lalu kepada Ibu Rubiyah, yang belakangan menjadi dosen di Universitas Sumatera Utara (USU) di Medan.

Beberapa waktu kemudian, ia menjadi Ketua Perkumpulan Wanita Partai Demokrasi Indonesia di bawah pimpinan Suryadi. Penulis tidak tahu, apakah ia sekarang masih hidup dan kalau demikian apakah ia masuk dalam Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang dipimpin Megawati Soekarnoputri. Dulu, ia menjadi guru di Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP), Gowongan Lor, Yogyakarta.

Walaupun ia beragama Katolik, tapi ia memberikan kepada penulis buku-buku tentang sosialis.

Di samping karya agung itu (Das Kapital), penulis juga mempelajari karya-karya Vladimir Lenin, terutama sebuab pamflet tentang 'penyakit kiri kekanak-kanakan dari kaum revolusioner', juga pamflet Mao Zedong terutama yang berisikan 'tiga langkah perjuangan' yang klasik: "Kalau musuh mengejar kita lari, kalau musuh berhenti kita ganggu, dan kalau musuh mundur kita kejar."

Penyakit yang dimaksud Lenin  adalah perasaan perjuangan mengalami kegagalan, jika belum berhasil ketika aku berhenti menjadi pemimpin. Dengan kata lain, orang menilai kepemimpinannya sendiri terlalu tinggi, sehingga seolah-olah bagaikan bergantung seluruh sukses kepada kepemimpinan seseorang. 

Padahal terbukti dari kasus pemimpin revolusioner Rusia, Leon Trotsky, bahwa ia dapat dibunuh oleh orang suruhan Joseph Stalin karena berbeda pandangan, tetapi gagasannya tentang revolusi simultan di seluruh dunia tidak terhenti karena itu, sebagaimana terbukti dalam kiprah Tan Malaka di negeri kita.

Salah satu pertanyaan mendasar yang senantiasa diajukan kepada penulis, ketika membahas arti dan tempat 'Das Kapital' adalah: apakah arti karya agung itu bagi penulis sendiri? Penulis lalu menjawab, bahwa penulis tidak pernah memahami karya agung itu sebagai sesuatu yang harus diperlakukan tersendiri, melainkan harus dibaca bersamaan sejumlah karya-karya tertulis lainnya.

Sebagaimana penulis katakan di atas, 'Das Kapital' penulis baca bersamaan sejumlah karya agung lainnya, seperti manifesto politik Karl Marx dan Friedrich Engels, bahkan bersama-sama dengan karya-karya Berdjrosa Richard dan Adam Smith, dan Luxemburg Dyayef. 'Bacaan gado-gado' itu akhirnya membentuk pandangan penulis tentang ekonomi. Penulis menolak anggapan sebagian orang bahwa kita harus berpandangan sosialistik penuh atau kapitalistik penuh. Inilah yang membuat mengapa ada yang tidak percaya kepada penulis.

Penulis sekadar mengikuti tindakan-tindakan yang diambil Bung Karno dan kawan-kawan, ketika mereka mendirikan NKRI. Kalau kita lihat, mereka menciptakan negara yang berorientasi sosialistik, yaitu dengan rumusan negara harus menyediakan hajat hidup orang banyak. Tetapi mereka juga mengambil dari ajaran Islam, kesediaan untuk menciptakan masyarakat adil dan makmur.

Pemikiran sosialistik dalam hal ini, tidak mencapuradukkan antara keadilan dan kemakmuran. Demikian juga, pemilikan barang-barang modal oleh pihak swasta ditiadakan. Ini adalah sikap teoritik yang tidak pernah terbukti dalam praktik. Justru kepentingan ekonomi kapitalistik dari subsistem kapitalistik menurut UUD yang kita pakai sampai saat ini.

Sekarang ini, kita sedang menghadapi pilihan yang harus diambil dalam pengembangan sistem ekonomi yang akan dipakai. Ketika para teknokrat ekonomi, yang dalam Kabinet Indonesia Bersatu, Ketua Bappenas Sri Mulyani dan Aburizal Bakrie, memilih untuk mengutamakan swastanisasi sesuai dengan kehendak Dana Moneter Internasional (IMF), maka mereka meninggalkan UUD yang kita miliki. Mengapa?

Karena mereka membiarkan (bahkan melanjutkan) kebijakan untuk melakukan swastanisasi atas sejumlah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang menjaga keberlangsungan orientasi sosialistik yang dirumuskan, dengan kata-kata sederhana: memenuhi kebutuhan dan hajat hidup orang banyak. Kalau ini saja dilanggar, jelaz kita juga melanggar UUD, karena ia masih berbunyi demikian.

Kebiasaan kita untuk mencari jalan pintas seperti itu, justru akan menghantam kita sendiri. Para pemimpin kita dahulu berlama-lama mencari rumusan kompromistik antara berbagai pendekatan yang kelihatannya saling bertentangan. Demikianlah para pendahulu kita itu mencoba mencari 'jalan tengah' yang kapitalistik sebagian dan sosialistik sebagian pula. 

Ini adalah cara yang sehat untuk keluar dari dialektika (pertentangan, pengertian). Yang kita kenal dengan istilah 'tesa', 'antitesa', tentu akan berkesudahan pada 'sintesa'. Inilah hukum alam yang tadinya dipercaya oleh para pendiri negeri ini. Hal itu tentu harus dijalankan, dan untuk mengubah tindakan yang diambil dari pandangan itu, kita terlebih dahulu harus melakukan perubahan pada Pembukaan UUD. Karenanya jalan pintas apa pun, harus ditolak sebagai pelanggaran UUD.

Disinilah terletak arti besar dari sebuah karya agung. Begitu karya itu 'diambil' hal-hal yang dimuat dalam sebuah dokumen kenegaraan resmi, seperti UUD untuk membawa perubahan, kebijakan haruslah diubah terlebih dahulu. Barulah dengan demikian, kita terbebas dari upaya melanggar konstitusi.

Jika kita diam-diam membuat kebijakan baru, dan pura-pura tidak melihat hal itu sebagai sebuah penyimpangan konstitusional, maka kita lalu langsung menjadi para warga negara yang munafik/hipokrit. Kita harus berhati-hati dan bersikap loyal kepada UUD kita sendiri. Bagaimana kita akan menjadi bangsa yang kuat dan negara besar, kalau kita tidak dipercaya orang lain? Dan, kepercayaan seperti itulah yang harus kita pegang teguh.

Dari apa yang diuraikan di atas, jelas karya-karya agung dari masa lampau memiliki arti besar kehidupan kita sebagai bangsa sekarang ini. Kesetiaan kita pada apa yang diputuskan sebagai bagian dari kehidupan kolektif kita, mengharuskan kita untuk menjaga konsistensi antara perbuatan kita dan dokumen-dokumen resmi negara kita. 

Setiap perubahan kebijakan mendasar, haruslah didahului oleh perubahan redaksional dalam dokumen-dokumen resmi negara kita. Dengan demikian, baru kita dapat membuat sebuah proses yang benar, guna melestarikan atau membuang sesuatu yang merupakan hal biasa dalam sejarah manusia, bukan?


(Ditulis Gus Dur pada 17 Februari 2004)

Jumat, 01 November 2019

Islam Bukan Hanya Persoalan Akidah dan Syariat


Gambar ini diambil dari history.com

Dalam sebuah diskusi santai bersama KH Nurul Huda (Ayah Enha), di Pesantren Motivasi Indonesia, Burangkeng, Setu, Bekasi, saya mendapat banyak pelajaran tentang sebuah cara memahami Islam dari sudut pandang yang baru. 

Pola kaum beragama sebagian besar umat Islam kekinian, terutama di perkotaan-perkotaan, memang sedang mengalami peningkatan secara simbolik dan kuantitas ibadah atau intensitas perjalanan pergi-pulang ke rumah ibadah.

Kemudian juga ada banyak sekali peraturan-peraturan daerah, yang misalnya diterapkan sebagai upaya (atau bertujuan) untuk menerapkan syariat Islam sekaligus menjaga akidah umat Islam. Hanya sebatas itu.

Tentu saja, semua hal tersebut bermula dari kampanye keagamaan, "Kembali kepada Al-Quran dan Hadits". Memangnya sejak kapan, sebagian umat Islam keluar dari inti sumber hukum Islam itu, sehingga harus ada kalimat kampanye yang demikian? Apakah Islam dipandang hanya sebatas akidah, syariat, dan berbagai hal yang serba rumit dimengerti?

Begini, Ayah Enha pernah menjelaskan kepada saya bahwa apabila Islam itu dipahami bukan hanya sekadar akidah dan syariat, maka kita akan dapat merasakan betapa Islam memiliki positioning yang begitu luas. Ya, Islam memang lebih luas dari pada sekadar akidah dan syariat.

Islam itu sebagai ilmu pengetahuan, kebudayaan, dan juga peradaban. Jadi seluruh perdebatan, misalnya, soal halal-haram atau sesat-menyesatkan tidak lagi menempati posisi teratas dalam kehidupan keberagamaan kita sebagai muslim.

Walau demikian, diskursus soal itu, halal-haram dan sesat-menyesatkan, biar diletakkan di wilayah internal saja. Tergantung pada istidlal dan istinbath masing-masing.

Lalu pada skala makro, umat Islam juga harus bergerak pada pengejawantahan keislaman yang rahmatan lil 'alamin. Maka kemudian bergulirlah berbagai ide pengetahuan, sains, konsep moral dan budaya, yang akan mewujud pada persaudaraan-kemanusiaan tanpa pandang ras, suku, dan golongan atau bahkan agama.

Nah sayangnya, sebagian dari muslim yang ada di tengah masyarakat kita, terlalu takut memasuki ranah tersebut. Mungkin saja, beberapa orang beranggapan bahwa jika bersentuhan pada ide-ide kesetaraan dan perdamaian-kemanusiaan tanpa pandang bulu itu, akan menodai akidah dan keyakinan kepada Allah. Benarkah demikian? Saya rasa tidak. Itu hanya ekspresi dari dosis beragama yang terlalu tinggi.

Padahal, jutaan umat yang dalam doktrin keagamaannya mengusung spirit kemanusiaan ini tetap tidak akan kehilangan identitas akidahnya sebagai mukmin. Yakni sebagai orang-orang yang mampu memberikan kemananan terhadap sesama saudaranya, bahkan keamanan untuk negeri ini dan semesta.

Karena sesungguhnya, ketakutan terhadap akan bergeser akidah lantaran mengusung ide-ide kesetaraan atau perdamaian-kemanusiaan, merupakan sebuah kekeliruan dalam beragama. Alih-alih menyelamatkan akidah, tapi justru sikap dan tindakan yang muncul di kemudian waktu adalah arogansi, radikal, dan ekstrem.

Bukankah dengan kita selalu memelihara ketakutan itu, justru mengecilkan nilai tauhid yang diyakini?

Konsistensi tauhid itu sejatinya berada pada sikap pembebasan terhadap segala bentuk penindasan atau penghambaan, baik kepada makhluk atau bahkan kepada pikiran sendiri (dan kelompok). 

Sebenarnya, dalam konsep Islam, tauhid merupakan pemurnian hingga pada batas ketidakmampuan pikiran kita memberikan balasan atas hakikat, esensi, dan substansi Dzat Ilahi. 

"Tauhid kita bukan sekadar perkataan yang diucapkan lisan. Bukan juga sekadar persepsi falsafah hubungan manusia dengan Sang Pencipta. Tapi tauhid kita adalah potensi pembebasan," kata Ayah Enha dengan semangat menjelaskan. 

Potensi pembebasan itu yang kemudian mampu memerdekakan manusia dengan segala kekuatannya dari menghambakan diri kepada sesama makhluk, ketika dengan tulus menghambakan diri kepada Allah dengan sangat sempurna.

Hal tersebut, bagi Ayah Enha merupakan realisasi total dari hubungannya dengan Allah. Yakni hubungan yang akan melindungi manusia itu sendiri dari segala macam kelemahan yang akan menyeretnya ke jurang keterasingan.

Lalu, kenapa kita berdebat soal teks suci dengan pemaknaan yang dipaksakan, padahal sejak dulu makna literal dari suatu ucapan selalu problematik dan tidak pernah bebas nilai? Ini berkaitan dengan ucapan simbolik dan kesucian.

"Pluralitas bahasa dan ambiguitas sejarah tak dapat dihindarkan dalam upaya memahami. Problem bahasa tak terbatas pada penafsir, tapi juga meluas pada tradisi atau teks yang ditafsirkan," kata Ayah Enha.

Dikatakan, ribuan kitab tafsir Al-Quran dan prosesi martabat kesahihan hadits nabi yang disusun para ulama, menjadi indikasi paling signifikan mengenai ambiguitas persepsi atas dalil keagamaan. Karenanya, semua keyakinan terhadap penerimaan atas ajaran agama, akan segera berpulang kepada keyakinan penganutnya masing-masing.

Maka, sampai kiamat kita tidak akan bisa memaksakan terciptanya wihdatul fikrah (kesatuan pemikiran). Arah wihdatul fikrah, seperti digagas oleh sekelompok umat, benar-benar ahistoris atas keragaman makna yang faktanya diakomodir oleh banyak dokumentasi nash dalam risalah Islam.

Perbedaan cara pandang dan proses memaknai risalah harus benar-benar disikapi dengan tenang, damai, dan berorientasi pada produktivitas karya kemanusiaan yang nyata. Bukan justru mengedepankan arogansi kelompok dan golongan, sehingga membuat Islam semakin terpuruk dalam kejatuhannya.

Mari bangkit menuju keberagamaan yang tasamuh dan padat karya manfa'at. Aamin. Wallahua'lam...

Mas Ulil: Kenapa Terjadi Penghakiman dalam Beragama?


Foto ini diambil dari beritagar.id

Selamat November. Selamat Jumat. Selamat membaca. Selamat bertambah berkah. Selamat bertambah segala kebaikan.

Kali ini saya menulis segala yang dipaparkan Mas Ulil Abshar Abdalla dalam acara yang digelar Komunitas Musisi Mengaji (Komuji) bernama Picnikustik dengan tema Sholeh Tanpa Menghakimi pada Rabu, 30 Oktober 2019.

Tulisan ini cukup panjang. Bahkan sangat panjang. Sila dibaca hingga tuntas atau bagi yang tidak suka baca tulisan terlalu panjang, silakan bersabar saja.

Jujur, sejak poster kegiatan Komuji dengan tema Sholeh Tanpa Menghakimi, saya jadi tertarik sekali untuk ikut. Tapi untuk mendaftar mengikuti kegiatan tersebut, karena satu dan lain hal, saya urungkan. Alasan utamanya adalah karena lokasinya yang sangat jauh dari rumah saya, di Jakarta Tenggara. 

Kenapa saya tertarik? Ini yang menjadi kegelisahan saya sebenarnya. Bahkan sejak beberapa tahun silam, ketika saya mulai dengan sangat intens dan bahkan rutin-terjadwal setiap bulan melingkar dalam forum komunitas pemikiran yang didirikan Mas Ulil di Utan Kayu, Jakarta Timur. 

Awalnya memang saya gelisah terhadap sebagian orang beragama diantara kita yang merasa paling 'islami', sehingga bagi kelompok muslim yang berada diluar dari mereka disebut atau dianggap kurang 'islami'. Begitu pula bagi lingkaran yang saya ada di dalamnya itu. Bagi sebagian besar dari kami, apa yang dilakukan oleh kelompok 'paling islami' itu lantaran mereka mempelajari Islam tidak menyeluruh, sehingga substansi agama itu sendiri menjadi hilang. 

Bagi kami, mereka bodoh. Sedangkan bagi mereka, kami tidak 'islami'. Meskipun labelisasi dilakukan dengan istilah yang lain, seperti kami menilai mereka sebagai fundamentalis, radikalis, ekstremis; atau mereka yang menilai kami sebagai pengidap sepilis (sekularisme, pluralisme, dan liberalisme). Sebuah akronim yang homograf dengan penyakit kelamin menjijikkan. 

Singkatnya, kami dan mereka sama-sama merasa paling superior. Secara level keimanan, mereka menganggap kami tidak ada apa-apanya. Tetapi secara tingkat intelektualitas, keilmuan, dan kecerdasan, mereka jauh tertinggal dari kami. Sebab, kamilah orang-orang yang tercerahkan. Begitu pula mereka yang bangga karena dirasa dekat lebih dekat dengan Tuhan ketimbang kami.

Kenapa Terjadi Penghakiman?

Pertemuan Komuji yang mengangkat tema Sholeh Tanpa Menghakimi itu, oleh Mas Ulil dianggap sebagai tema yang (masih) sangat relevan untuk diangkat menjadi sebuah diskusi publik. Sebab, menurut Mas Ulil, orang-orang yang ada di Komuji, juga siapa saja, termasuk saya, pernah menjadi korban penghakiman. 

Tema itu dipilih, memang karena ada kegalauan dan kerisauan terhadap fenomena beragama yang mengarah pada penghakiman. Mungkin juga, fenomena tingkat keberagamaan seseorang yang pada saat bersamaan dibarengi dengan perasaan paling benar sendiri. Sehingga, konsekuensinya adalah menghakimi orang lain.

Konsekuensi itu, yakni menghakimi orang lain, memang tidak bisa dihindari oleh kita semua, sebagai manusia yang diberi akal dan nafsu. Semua berjalan secara naluriah. Itulah yang menjadi akibat, sedangkan penyebabnya perlu ditelaah lebih mendalam.

Penyebab yang paling mendasar dari adanya penghakiman, baik dalam hal keagamaan maupun pada semua kasus, biasanya karena seseorang memiliki posisi moral yang sangat kuat. Sehingga dengan sendirinya, dia akan dengan semangat mempertahankan posisi moralnya itu.

Sehingga orang yang demikian itu, memandang orang-orang yang berada pada posisi moral yang berbeda, sebagai kelompok yang salah. Namun sesungguhnya, hal tersebut bukanlah menjadi gejala dalam kehidupan beragama saja. Dalam semua hal, ketika seseorang memiliki posisi moral yang sangat kuat, pasti akan dengan sendirinya menganggap posisi moral yang lain tidak lebih baik dari posisi moralnya.

Jadi ketika seseorang punya posisi moral yang kuat, kemudian ditambah memiliki strong opinion (kekuatan argumentasi), biasanya akan sangat dengan mudah melakukan penghakiman kepada orang lain. Baik penghakiman itu dilakukan secara lagsung secara verbal atau dikemukakan secara implisit.

"Orang yang mempunyai strong opinion, kemudian ditambah pula punya strong moral standing, maka dia akan punya posisi moral yang sangat kuat sekali. Dia biasanya punya kecenderungan melihat orang yang berbeda sebagai pihak yang salah," kata Mas Ulil, dalam tayangan siaran langsung di akun facebook Ulil Abshar Abdalla yang saya tonton hingga selesai. 

Gejala tersebut, ditegaskan Mas Ulil, merupakan sebuah gejala yang manusiawi. Setiap manusia pada dasarnya punya kecenderungan yang seperti itu. Karenanya, pertemuan Komuji dengan tema Sholeh Tanpa Menghakimi merupakan momentum introspeksi. Maka kita, sebagai manusia, harus mulai hati-hati. 

Sebagaimana pertandingan sepakbola, misalnya Barcelona vs Real Madrid, kalau kita tidak memihak kepada salah satu kubu, maka otomatis pertandingan tidak akan berjalan seru dan asik. Bisa jadi, malah ngantuk karena tidak ada yang bisa dihakimi sebagai kubu yang 'kalah', atau sebagai kubu yang menang tapi 'curang'. 

Dengan demikian, strong opinion dalam hal apa pun, termasuk dalam kehidupan beragama masyarakat muslim kekinian, merupakan sesuatu yang sah-sah saja. Namun kini yang menjadi permasalahannya adalah soal bagaimana kita punya strong opinion itu tapi tanpa disertai dengan penghakiman?

Baca juga: Sebuah Catatan: Melihat Mas Ulil Bicara Menggebu-gebu

Kebijaksanaan Imam Syafi'i

Mas Ulil kemudian memberikan sebuah wisdom atau kebijaksanaan yang didapatkannya ketika di pesantren dulu. 

Ada seorang imam besar. Sarjana besar yang merupakan pendiri madzhab yang kini banyak diikuti oleh umat Islam di Indonesia, yakni Imam Syafi'i. Dia adalah sosok yang sangat punya strong opinion dalam berbagai isu keagamaan, terutama dalam masalah hukum Islam. Kala itu, pada sekira abad ke-3, dia sering melakukan debat argumentatif dengan lawan-lawannya.

Apa yang menarik dari Imam Syafi'i? Tak lain karena dia dikenal dengan ungkapan yang sangat berguna hingga sekarang. 

"Ketika saya berpendapat tentang satu hal maka saya berpandangan bahwa saya benar, tetapi mungkin salah. Sementara pendapat lawan debat saya, saya pandang salah tapi juga mungkin benar."

Menurut Mas Ulil, posisi Imam Syafi'i itu merupakan posisi yang sangat ideal. Jadi, seseorang tidak dilarang punya strong opinion dalam hal apa pun. Bahkan justru bagi siapa saja yang tidak punya strong opinion dalam hal-hal tertentu, bisa dipastikan hidupnya tidak akan menarik.

Saat seseorang punya strong opinion, maka disitu kita menemukan passion yang menjadikan hidup lebih bergairah, karena memiliki suatu tujuan besar yang harus dibela secara argumentatif. Tapi yang menjadi masalah adalah strong opinion itu pasti punya kecenderungan untuk membuat seseorang melakukan penghakiman kepada orang lain; dalam semua hal.

Hampir semua orang Barat, ketika melihat umat Islam sangat penuh dengan penghakiman. Mas Ulil sering sekali menghadapi atau melayani wartawan-wartawan luar negeri, dari Barat, yang selalu saja ketika datang ke Indonesia pasti mengajukan pertanyaan, "Apakah Islam sesuai dengan demokrasi?"

Sesungguhnya, pertanyaan semacam itu adalah pertanyaan yang juga sekaligus menuduh. Maka sudah sangat tepat jika kita meniru apa yang dilakukan oleh Imam Syafi'i. Boleh berpendapat dan memiliki keyakinan terhadap suatu kebenaran, tapi tetap membuka ruang kemungkinan atas kebenaran kepada orang lain.

Imam Syafi'i mengajarkan kepada kita agar senantiasa menanamkan sikap keragu-raguan terhadap diri kita sendiri; benar-benar benar atau tidak. Tapi disaat yang sama juga meragukan posisi lawan debat, apakah mereka betul-betul salah atau justru ada kemungkinan benar.

"Jadi, keragu-raguan merupakan sikap yang sehat bagi seseorang yang punya pendapat kuat dalam suatu hal. Artinya ada keraguan terhadap diri kita sendiri sekaligus keraguan kepada lawan kita," kata Mas Ulil dengan sangat serius.

Penutup

Terakhir, Mas Ulil mengungkapkan bahwa memang kita semua harus juga menyadari bahwa selalu saja ada orang-orang yang beragama dengan seperti itu; penuh penghakiman. Karena orang-orang beragama tapi dengan menjengkelkan itu memang selalu ada. 

Konfusius mengatakan dalam kalimat negatif, "Jangan lakukan sesuatu kepada orang lain yang kalau kamu diperlakukan seperti itu kamu tidak akan suka." 

Sedangkan Nabi Muhammad pernah bersabda tapi dengan kalimat positif, "Kamu tidak disebut sebagai orang beriman sampai kamu melakukan kepada orang lain sesuatu yang kamu suka jika orang lain itu melakukannya kepadamu."

Secara garis besar, apabila kita menyukai orang lain yang tidak menghakimi kita, maka kita juga harus melakukan hal itu kepada orang lain. Inilah kebijaksanaan yang sangat sederhana, tetapi penting untuk diterapkan dalam kehidupan beragama dalam masyarakat kekinian.

Memang, akan selalu ada dan bertumbuh secara terus-menerus, tipe masyarakat yang beragama dengan sangat menjengkelkan. Maka dalam hal ini, Mas Ulil mengajak kita untuk mengikuti nasihat Imam Ghazali tentang cara menghadapi orang yang hidupnya menjengkelkan. 

Yaitu dengan menanamkan kesadaran bahwa jangan-jangan ketika ada orang yang menjengkelkan, Tuhan memang sengaja mengirim dia untuk kita sebagai pesan agar tahu bagaimana rasanya dibuat jengkel. Itulah pesan yang dikirim Allah, maka harus diterima dengan penuh syukur.

"Di balik terima dan syukur itu, sebenarnya ada Allah yang sedang mengirim pesan kepada kita. Itulah cara untuk kita menurunkan dosis kejengkelan kepada orang yang menjengkelkan," tutup Mas Ulil.


(Transkrip: Khaifah Indah Parwansyah)