Kamis, 26 Desember 2019

Menjadi Muslim Tanpa Emosi (2): Penyebaran Islam di Jawa Bagian Barat


Sumber gambar: islami.co

Saat mendengar kabar bahwa Islam telah masuk ke wilayah kekuasaannya, Raja Pajajaran Prabu Siliwangi marah bukan main. Ketika itu, Islam mulai disebarkan atau disyiarkan pada tahun 1410 oleh seorang ulama dari Tiongkok, Syaikh Hasanuddin yang terkenal dengan bacaan Al-Quran yang indah dan merdu, sehingga ia akrab disapa Syaikh Quro. Sehari-hari, ia tinggal di Rengasdengklok, Karawang, mengajari orang-orang sekitar yang baru masuk Islam untuk belajar Al-Quran.

Prabu Siliwangi, marah. Ia tak terima atas masuknya Islam di Pajajaran, lalu ia lantas berangkat dari daerah Bogor menuju utara untuk membunuh Syaikh Quro yang dianggap membawa agama baru. Setibanya di sana, ia melihat seorang perempuan cantik yang merupakan murid dari Syaikh Quro bernama Subanglarang yang sedang membaca Al-Quran.

Subanglarang, perempuan yang punya paras cantik dan tubuh yang menarik. Dalam ceramahnya di Universitas Mitra Karya, Bekasi, Jawa Barat, Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj menggambarkan tubuh Subanglarang, kutilang (kuning, tinggi, langsing). Subanglarang adalah putri dari Ki Gede Tapa Cirebon.

Tak dinyana, Prabu Siliwangi yang awalnya ingin marah-marah dan bahkan membunuh Syaikh Quro karena telah menyebarkan agama baru itu, seketika klepek-klepek saat melihat Subanglarang yang cantik itu sedang membaca Al-Quran dengan suara merdu. 

Tanpa pikir panjang, Prabu Siliwangi langsung melamar Subanglarang. Pada saat itu pula, Syaikh Quro sebagai guru pun memberi izin. Namun dengan syarat, yakni Prabu Siliwangi agar terlebih dulu memeluk agama Islam. Prabu Siliwangi menyanggupi.

Usai baca syahadat, tanda masuk Islam, Prabu Siliwangi diminta untuk memberikan maskawin berupa lintangkerti atau tasbih yang hanya ada di Arab. Kemudian dengan kesaktiannya, Prabu Siliwangi terbang ke Arab dan dengan sangat cepat sudah kembali lagi di kediaman Syaikh Quro untuk memberikan maskawin itu. 

*****

Hal yang terpenting dari kejadian di atas adalah telah terjadi perkawinan antara Prabu Siliwangi dengan perempuan Muslimah murid Syaikh Quro bernama Subanglarang. Kelak, pasangan itu memiliki keturunan yang akan mengislamkan seluruh Jawa bagian barat. 

Putra pertama adalah Syaikh Rohmatullah yang punya gelar Prabu Kiansantang. Ia akan mengislamkan Jawa bagian barat (kecuali Patih Pucuk Umun yang tidak mau masuk Islam dengan pengikutnya Suku Baduy di Malimping, Banten, yang tetap memilih untuk beragama Sunda Wiwitan Karuhunan).

Lalu putra kedua dari pasangan Prabu Siliwangi dan Subanglarang adalah Syaikh Shomadullah yang menjadi kuwu atau kepala desa di Cirebon sehingga mendapat gelar Ki Kuwu Cirebon. .

Ketiga, anak Prabu Siliwangi-Subanglarang adalah perempuan yang diberi bernama Syarifah Muda’im atau yang dikenal Rarasantang, kemudian dinikahi oleh Habib Abdullah Azmatkhon dari India. Dari pernikahan itu lahirlah seorang putra bernama Syaikh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunungjati. 

Dengan adanya Prabu Kiansantang dan Ki Kuwu Cirebon bersama keponakannya Syaikh Syarif Hidayatullah, seluruh wilayah Jawa bagian barat, semuanya masuk Islam.  Masuknya Islam di wilayah Jawa bagian barat tidak sama sekali menggunakan kekerasan, tidak dengan kalimat takbir seraya melakukan sweeping membawa pentungan. Bahkan bisa dibilang, bahwa Islam di Tanah Jawa bagian barat tersebar lantaran pemicu awalnya adalah perempuan cantik bersuara merdu yang membuat Prabu Siliwangi jatuh hati.

Walaupun semangat keislaman Prabu Siliwangi tidak terlalu terlihat, tapi anak-anak dan cucunyalah yang memiliki keislaman kuat. Sehingga, mereka mampu melakukan syiar Islam dengan damai di Tanah Jawa bagian barat. Mereka itulah Syaikh Rohmatullah atau Prabu Kiansantang, Syaikh Shomadullah atau Ki Kuwu Cirebon, dan Rarasantang yang dinikahi oleh Habib Abdullah Azmatkhon yang memiliki anak Syaikh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunungjati.

Syaikh Syarif Hidayatullah kemudian punya anak, yakni Maulana Hasanuddin yang mengislamkan seluruh Banten dan sekitarnya. Islam kemudian menyebar hingga ke arah Timur dari Banten, yang ketika itu masih menjadi wilayah yang sangat menyeramkan dan mengerikan. Daerah itu kemudian diberi nama Jayakarta atau Jakarta.

(Tulisan ini disarikan dari Ceramah KH Said Aqil Siroj di Universitas Mitra Karya, beberapa waktu lalu)
Previous Post
Next Post

0 komentar: