Kamis, 21 Maret 2019

Mengenal Kiai Ma'ruf Amin (2): Nasab Ningrat dan Ulama


Sumber foto: suara.com
KH Ma’ruf Amin terlahir dari keluarga pesantren, keluarga kiai dan ulama. Dari ayah dan ibunya, ia mewarisi darah ulama yang sanad keilmuannya tersambung kepada Rasulullah SAW. Akan tetapi, ia juga mewarisi darah keningratan.

Jalur Banten

Dari jalur silsilah Banten, Kiai Ma’ruf tersambung kepada Sultan Maulana Hasanuddin bin Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati). Berikut silsilah lengkapnya:

KH Ma’ruf Amin – KH Muhammad Amin Koper – Kiai Abdullah – Nyai Kati – Nyai Kanisah – Syekh Alim – Syekh Abdullah – Syekh Ibrohim – Syekh Hasan Bashri Cakung – Raden Mahmud – Raden Saleh – Sultan Abdul Mufakhir – Sultan Maulana Muhammad – Sultan Maulana Yusuf – Sultan Maulana Hasanuddin – Syekh Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati).

Jalur Sumedang

Dari Jalur Sumedang, Kiai Ma’ruf tersambung kepada Prabu Geusan Ulun (Syarif Ja’far) yang beristrikan Ratu Harisbaya. Silsilahnya adalah: Syekh Hasan Bashri Cakung – Raden Ayu Fatimah – Raden Wiranegara – Pangeran Wiraja II – Pangeran Wirajaya I – Prabu Geusan Ulun Sumedang.

Silsilah Prabu Geusan Ulun tersambung kepada Syekh Datuk Kahfi, Penyebar Islam di Cirebon. Geusan Ulun – Pangeran Santri (Maulana Soleh) – Pangeran Pamelekaran – Pangeran Panjunan (Syekh Abdurrahman) – Syekh Nurjati (Syekh Datuk Kahfi).

Jalur Madura

Ratu Harisbaya bernama lain Nyai Narantoko. Silsilah lengkapnya: Ratu Harisbaya – Pangeran Suhra Pradoto (Jambringin Pamekasan) – Ki Pragalbo (Bangkalan) – Ki Demang Plakaran – Aryo Pojok (Sampang).

Jalur Demak

Pangeran Suhra Pradoto beristrikan Ratu Pembayun. Ratu Pembayun – Sultan Trenggana – Raden Patah (Demak).

Syekh Nawawi Al-Bantani

Kiai Ma’ruf Amin juga tersambung nasabnya dengan Syekh Nawawi Al-Bantani dari jalur ibu, sekalipun secara tidak langsung. Syekh Nawawi punya enam saudara, yakni: Ahmad Syihabudin, Tamim, Said, Abdullah, Tsaqilah, dan Sariyah. Kiai Ma’ruf Amin merupakan keturunan langsung dari Syekh Abdullah.

Silsilahnya: Kiai Ma’ruf Amin – Nyai Maemunah – Kiai Muhammad Ramli – Nyai Marsati – Syekh Abdullah – Syekh Abdullah (dari Syekh Nawawi) – Syekh Umar – Syekh Arabi – Syekh Ali – Syekh  Jamad – Syekh Janta – Syekh Masbuqil – Syekh Maskun – Syekh Masnun – Syekh Maswi – Syekh Tajul Arsy (Pangeran Sunyaranas) – Sultan Maulana Hasanuddin – Syekh Syarif Hidayatullah.

Dari jalur ayah dan ibu, nasab Kiai Ma’ruf bersambung kepada Sultan Maulana Hasanuddin, pendiri dan sultan Banten pertama.

Mencermati silsilah di atas, tampak bahwa Kiai Ma’ruf mewarisi genetik kepemimpinan yang kuat. Ia keturunan dari para raja yang mengislamkan tanah Jawa bagian barat. Ia punya modal sosial yang kuat untuk menjadi penguasa Indonesia yang akan memperkuat keislaman umat yang telah diislamkan oleh para leluhurnya.

Baca juga: Mengenal Kiai Ma'ruf Amin: Politik Jalan Tengah

Sanad Keilmuan

Sanad keilmuan Kiai Ma’ruf bersambung dengan jalur para ulama Nusantara yang mendirikan Nahdlatul Ulama (NU). Pertama-tama, ia belajar kepada ayahnya, Kiai Muhammad Amin yang terkenal sebagai ahli fiqih.

Kiai Amin belajar di Makkah selama 15 tahun, antara lain mengambil sanad keilmuan dari Sayyid Alawi Al-Maliki di Makkah. Kiai Amin menjadi guru banyak kiai di seputar Banten, mengajarkan kitab Al-Mahalli, Tuhfah, Al-Muhadzdzab, dan lain-lain.

Lalu, Ma’ruf kecil belajar kepada kakeknya dari ibu, yakni Kiai Muhammad Ramli yang mengambil sanad keilmuannya di Makkah. Diantaranya dari Syekh Mahfuzh At-Tarmasi, ulama asal Termas Pacitan yang menjadi guru para ulama NU. Kiai Ramli memberi cucunya itu berupa ijazah doa-doa yang diamalkan hingga kini.

Kemudian, Ma’ruf belajar sebentar di Perguruan Islam Citangkil, Cilegon, Banten, sebelum melanjutkan penjelajahan ilmunya ke Tebuireng, Jombang, Jawa Timur. Sepulang dari Tebuireng, ia belajar secara tabarrukan di tiga pesatren; Caringin (Labuan Pandeglang), Petir (Serang), dan Pelamunan (Serang).

Setelah bermukim di Jakarta, ia melanjutkan pencarian ilmunya kepada Kiai Ahmad Mi’an dan Kiai Usman Perak di Masjid Al-Fudlola, sebuah masjid bersejarah di Tanjung Priuk. Ia juga mengambil sanad keilmuan dari Habib Ali Husein Al-Attas yang dikenal sebagai Habib Ali Bungur.

Dengan kajian berbagai kitab yang komprehensif itu, Ma’ruf memiliki bekal yang matang dalam mengembangkan dirinya sebagai ulama. Perkembangan keilmuannya bahkan diakui oleh ayahnya sendiri.

“Kalau ada ajaran bahwa seorang ayah boleh sungkem pada anaknya, maka saya akan menjadi orang pertama yang akan sungkem pada Ma’ruf,” ujar Kiai Amin.

(Iip D Yahya, dalam buku KH Ma'ruf Amin: Santri Kelana Ulama Paripurna)

Rabu, 20 Maret 2019

Lima Ciri Seorang Idealis, Dijauhi Hingga Dibunuh



Demi kebutuhan perut dan kekayaan, lawan bisa jadi kawan atau sebaliknya. Bahkan, menjadi munafik pun seperti wajib dilakukan. Lantas, di mana letak idealisme? Jawabannya: terletak di permukaan bibir, menjadi diksi-diksi yang rumit dimengerti.

*****

Akhir-akhir ini, di linimasa media sosial milik pribadi, saya memosting berbagai kutipan atau 'untaian kata bijak' soal idealisme. Saya yakin, di luar sana, ada banyak orang yang membicarakan soal pernyataan saya yang diabadikan oleh admin instagram @katabangaru.

Jujur, kalimat-kalimat itu muncul dari obrolan-obrolan santai atau celetukan ringan kala sedang membincang berbagai hal dengan teman diskusi, baik yang sebaya maupun lebih tua, mulai dari rakyat jelata hingga pejabat pemerintah kota. 

Soal bagaimana makna idealisme, saya rasa tidak sulit untuk mencarinya di internet. Tinggal googling saja. Terlebih di zaman yang serba digital ini, segala sesuatunya tersedia di mesin pencari google. Termasuk Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang akan memberikan makna terkait kata-kata yang dicari, dan sesuai dengan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI), sebelumnya EYD.

Saya pun demikian, mencari bentuk dan makna kata tidak hanya dari satu sumber. Jujur saja, saya tahu 'idealisme' itu dari Tan Malaka. Siapa dia? Sila cari tahu sendiri. Secara umum, dia adalah Bapak Bangsa Indonesia yang mati di tangan saudaranya sendiri.

Kata-kata Tan Malaka yang sering digaungkan, terutama oleh mahasiswa pergerakan atau aktivis mahasiswa adalah, "Idealisme adalah kemewahan terakhir yang dimiliki seorang pemuda".

Oleh sebab ketertarikan saya dengan kalimat tersebut, suatu ketika, bersama dengan salah seorang teman diskusi, saya mengeluh: "Jangan-jangan anak-anak muda yang maunya serba instan itu tidak kenal dengan sosok Tan Malaka?"

Seorang teman yang ada di hadapan, saya tanya. Apakah dia tahu tentang idealisme dan sosok Tan Malaka? Jawabnya lucu. Sungguh, lucu.

"Siapa sih itu Tan Malaka? Sok banget ngomongin idealisme, belum tahu aja sih kalau hidup pragmatis itu, enak." 

Seketika itu saya tertawa terbahak-bahak. Bukan maksud menghina karena menertawakan dengan sangat berlebihan, tapi jujur itu adalah spontanitas. Tak lama kemudian, saya jelaskan semampunya, juga disesuaikan dengan kadar intelektualitas lawan bicara saya itu.

Jadi, kemudian saya membuat status WA berupa kalimat Tan Malaka dipadukan dengan jawaban pemuda zaman now, teman diskusi saya itu. Begini jadinya:


Tan Malaka bilang, "Idealisme adalah kemewahan terakhir yang dimiliki seorang pemuda".

Dijawab oleh pemuda zaman now, "Siapa itu Tan Malaka? Sok banget ngomongin idealisme, belum tahu aja sih kalau hidup pragmatis itu, enak".

Nah, baiklah. Saya jelaskan, bahwa orang-orang yang memiliki karakter idealis, di muka bumi, hanya segelintir saja. Tidak banyak. Merekalah yang biasanya memiliki pandangan berlainan dengan orang-orang yang ada di sekitar, punya konsep diri yang berbeda, dan cara yang tidak sama dalam menanggapi setiap langkah kehidupan.

Seseorang yang merasa diri sebagai sosok idealis, pasti ada rasa bangga tersendiri, karena telah menjadi beda dari kondisi pemikiran, cara pandang, dan gaya hidup orang-orang pada umumnya. Bahkan, sosok yang idealis itu terkadang diasingkan (atau mengasingkan diri) karena tidak suka (atau tidak disukai) dengan (atau oleh) orang-orang yang ada di sekitarnya.

"Lebih baik diasingkan daripada harus menyerah pada kemunafikan," kata Soe Hok Gie. Tau? Pasti kagak. Hahahahaha...

Berikut adalah ciri dari orang-orang yang memiliki karakter idealis. Saya dapatkan dari berbagai sumber terpercaya di internet, juga buku (digital dan cetak).

Pertama, berani berargumentasi dengan sangat kontras atau berbeda dari pandangan umum.

Di saat suatu kebijakan atau peraturan ditetapkan, sementara orang-orang secara gambaran umum ada yang mengangguk, tidak setuju tapi diam, dan senang selama itu menguntungkan; berbeda dengan seorang idealis, karena dia pasti gerah melihatnya.

Dia akan berargumentasi dengan kontras dan keras, tak peduli terhadap resiko yang akan dihadapi. Dia bakal menyuarakan suara yang berasal dari lubuk hati terdalam, agar muncul ke permukaan sehingga menjadi 'ancaman' bagi orang atau kelompok yang tidak disukainya.

Kedua, dianggap berbeda dan dijauhi banyak orang.

Seorang idealis akan banyak dibicarakan karena gelagat frontal dan tidak peduli dengan budaya yang telah berjalan sebagaimana biasa. Sebab, menurut seorang idealis, seseorang itu direkrut ke dalam bagian sebuah kelompok adalah karena sebagai (atau membawa) pribadi, yang bukan hanya untuk mengekor tanpa tahu arah yang akan dilalui di depan.

Dan, menurutnya, bukan hal yang salah juga jika melakukan kritik dengan lantang dan keras. Toh, kritik merupakan bagian dari pengejawantahan kata-kata tulus untuk menuntut sebuah perubahan menjadi lebih baik, walaupun itu menyakitkan untuk didengar.

"Qulil haq walau kaana murron!" demikian kata Nabi Muhammad, panutan dan sosok muslim sedunia yang sangat idealis.

Ketiga, tidak pernah punya niat untuk mengubah diri (menjadi tidak idealis).

Seorang idealis, akan sangat sering berasyik-masyuk dalam pemikiran pribadi yang kritis nan ideal, tapi bukan dimaksudkan sebagai sebuah sifat yang egois atau keras kepala.

Dia juga terkadang bercermin diri, berdialog pada diri, bermuhasabah, introspeksi, serta memperbaiki diri (bukan mengubah karakter). Namun, sungguh, dia tetap akan berada di jalur 'kebenaran', menyuarakan kenyataan yang sering ditutup-tutupi.

Sekalipun resiko dimusuhi, misalnya, atau jabatan terancam, bahkan menjadi miskin karena tidak kebagian 'kue', seorang idealis akan tetap teguh pada pendiriannya.

Dia berkeyakinan bahwa rezeki dan takdir di dunia ini, sudah ada yang mengatur. Sebab yang terpenting adalah menjadi pribadi yang benar dan membenarkan berbagai sesuatu yang dianggapnya sebagai sebuah kekeliruan.

Keempat, idealisme dilembutkan (tapi tidak bisa diubah) oleh cinta.

Sebab cinta juga bisa bersemi pada pribadi yang idealis. Susah menerima pendapat yang normatif dan budaya yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip idealisme, tidak menutup kemungkinkan untuk cinta itu dibangun dan bersemi dalam sisi ideal.

Seorang idealis tidak pernah bermaksud atau berkeinginan untuk mencari pasangan yang sempurna, tetapi justru pasangan yang bisa mengerti serta memberi pengertian dari sudut pandang lain; dengan bahasa cinta.

Dia suka dengan kata cinta, tapi dia pasti paham betul bahwa cinta bukan hanya sekadar kata-kata, dan yakin kalau cinta akan datang karena implementasi yang memikat.

Seorang idealis, di mana pun berada, siapa pun orangnya, pasti merupakan seorang yang cerdas dan memiliki kadar intelektualitas di atas orang-orang yang ada di sekelilingnya. Ini sudah rahasia umum. Silakan saja, dicari dan dibuktikan sendiri.

Maka, karena kecerdasan itulah, sosok yang berkarakter idealis memiliki daya pikat tersendiri, yang tidak dipunya oleh kebanyakan orang; pada umumnya. 

Maka, jangan pernah takut kepadanya. Sebab, dia tidak akan membuat hal-hal yang kriminal atau membuat masalah yang berkenaan dengan hukum, terlebih masalah cinta. Hahahahahaha.

Sebab, sebagaimana wataknya, dia akan berkata dengan sebenar-benarnya perkataan. Kalau sedang rindu dan cinta, akan disampaikan pula dengan bahasa frontal dan apa adanya. Tidak canggung, jaga wibawa (jaim), dan berpura-pura manis padahal busuk.

Kelima, dikenal sebagai sosok yang menjadi diri sendiri.

Idealis itu merupakan karakter yang seringkali dicap, hampir mirip, dengan tindakan provokatif. Betul. Hanya bedanya tidak dalam makna negatif, tetapi mengajak orang lain berpikir agar tak termakan oleh keadaan; sekalipun menguntungkan. 

Orang-orang seperti itu, dikenal dan dinilai sebagai sosok yang mampu menjadi diri sendiri, dan berbeda atau berani berbeda (dalam kebaikan). Sementara hal tersebut, sebenarnya tidak perlu dipersoalkan. Iya, kan? Dari sisi mana pula, seorang idealis itu dapat merugikan?

Pertanyaan kemudian yang muncul adalah, "Bukankah seorang yang luar biasa itu dilahirkan dari sesuatu yang tidak biasa?"

Namun, perlu diingat, bahwa seorang yang punya karakter idealis itu, tidak angkuh terhadap siapa pun. Dia tetap membumi, karena yakin tidak akan tertelan bumi sekalipun tak dapat mengikuti arus. 

"Ingatlah, bahwa dari dalam kubur suara saya akan lebih keras dari pada di atas bumi," kata Tan Malaka.

Kebanyakan, secara umum, orang-orang yang bersuara lantang menyuarakan kebenaran itu adalah seorang pemimpin pada zamannya. Sebab, barangkali bagi mereka, dasar awal menjadi pemimpin adalah saat mampu bertahan walau banyak ocehan dan komentar yang menggoncang.

Seorang idealis akan senantiasa melangkahkan kaki untuk terus mendaki dengan tetap menghadap ke bawah dan ke depan sesekali, secara bergantian. Dia tidak akan menoleh sedikit pun ke belakang, walau sebenarnya tahu bahwa ada banyak pisau yang siap membunuh. 

Menjadi idealis itu berat, orang-orang pragmatis, pengecut, penakut, dan selalu mementingkan hal-hal yang bersifat duniawi pasti tidak akan kuat.

Sebab harus siap menerima resiko; diasingkan, hidup miskin, bahkan berbagai ancaman pembunuhan (seperti Nabi Isa 'Alaihissalam), atau bahkan dibunuh seperti diantaranya Tan Malaka, Otto Iskandar Di Nata, dan Khulafaur-Rasyidin.

Kalau kamu, hanya karena tidak kebagian kue, pasti ngedumel. Iya, kan? Hahahahaha...

"Idealisme adalah nasi dan garam, pisau dan darah," kata sahabat saya, mahasiswa tingkat akhir di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang tidak khawatir kalau-kalau dosennya terciduk KPK lantaran kasus yang menjerat Ketua Umum PPP berlambang ka'bah, Romahurmuziy. Hahahahahaha.

So, di mana letak idealisme itu? Di permukaan bibir, menjadi diksi-diksi yang rumit dimengerti. Halah, kebanyakan alasan!

Sekian dan terima kasih~

Senin, 18 Maret 2019

Kiai Ma'ruf Unggul dalam Debat? Gak Usah Lebay!


Adegan Sandiaga Uno mencium tangan Kiai Ma'ruf Amin
Debat ketiga yang melibatkan calon wakil presiden dari masing-masing paslon, sudah selesai dilaksanakan dan cukup memuaskan. Saya mendapati berita, bahwa beberapa pakar politik menyebutkan Kiai Ma'ruf menang unggul dalam debat kali ini.

Benarkah?

Banyak lembaga survei pun yang mengklaim elektabilitas Jokowi-Ma’ruf setelah debat cawapres ini masih tetap unggul di atas pasangan Prabowo-Sandi. 

Halah berlebihan!

Jika Kiai Ma'ruf terlihat lebih unggul, tak usah dibangga-banggakan. Lebay. Biasa saja lah. 

Saya suka adegan Pak Sandiaga Uno mencium tangan Kiai Ma'ruf. 

Pak Sandi menunjukkan akhlak mulia sebagaimana santri milenial yang takzim (hormat) terhadap orang yang lebih tua dan juga lebih berilmu. Memantapkan masyarakat bahwa Pak Sandi benar-benar pilihan hasil ijtima ulama yang selalu menghormati ulama.

Ditambah lagi menutup sesi debat kali ini dengan kalimat mulia, “Hasbunallah wa ni’mal wakiil, ni’mal maula wa ni’mannasir”. Kalimat itu diucapkan dengan fasih tidak terbata-bata.

Hal tersebut menepis semua isu yang  sempat menggegerkan dirinya soal wudlu di satu gayung, atau pun pencitraan salat yang dikrumuni banyak orang untuk berfoto. Jelas, isu semua terbantahkan hanya kalimat penutupnya.

Setelah Pak Sandi menyampaikan pernyataan penutup, giliran Kiai Ma’ruf berdiri dan memulai dengan salam. Kiai Ma'ruf terlihat lancar menyampaikan pernyataan penutupnya, pasti sudah disiapkan dengan matang. 

Ciri khas sebagai seorang ulama pun masih kental dengan membawa beberapa dalil untuk menguatkan argumen. 

"Al-Ishlah ila ma huwal ashlah, tsummal ashlah fal ashlah (Melakukan perbaikan ke arah yang lebih baik, yang lebih baik. Secara terus menerus dan berkelanjutan),” kata Kiai Ma’ruf.

Menurut Kiai Ma’ruf, kebijakan pemerintah Jokowi-JK sudah baik. Sementara Kiai Ma’ruf hadir untuk mendampingi Jokowi lima tahun ke depan sebagai perbaikan yang masih kurang maksimal terhadap apa yang sudah dilakukan Jokowi-JK. 

Kiai Ma’ruf akan bekerja sungguh-sungguh semaksimal mungkin, karena hasilnya bukan untuk dirinya maupun Jokowi. Hasilnya untuk generasi yang akan datang, nanti.

Sedangkan untuk menangkal hoaks, Kiai Ma’ruf berpesan dengan mengutip potongan firman Allah dalam surah Al-Hujuraat ayat 6 yang berbunyi:

 إِن جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا

"Jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah."

Hoaks menjadi titik fokus yang saat ini harus diperhatikan khusus. Karena hoaks, Indonesia bisa terpecah belah. 

Ia juga meminta doa restu, “Oleh karena itu kami mohon doa restu kepada seluruh rakyat indonesia, agar cita cita dan niat kami itu atas izin allah dapat terwujud”.

Secara sepontan, hampir seluruh hadirin dalam studio debat itu mengucapkan aamiin secara bersamaan. Doa tetap menjadi pendorong agar semua yang diharapkan diridhoi Allah, dan doa itu sudah diaminkan bersama.

Setelah selesai menyampaikan pernyataan penutup, Pak Sandi mencium tangan Kiai Ma’ruf dan penonton yang hadir langsung melantunkan salawat bersama. Persis seperti melihat santri yang baru saja ngaji kepada kiai.

Pak Sandi santri milenial, dan santri tetaplah santri, tidak boleh melangkahi kiai. Setua apapun Kiai Ma’ruf, moderator tetap memanggilnya putra bangsa. 

(Hafas Alawy, dalam status facebooknya pada Senin, 18 Maret 2019)

Minggu, 17 Maret 2019

Mengenal Kiai Ma'ruf Amin: Politik Jalan Tengah


Kiai Ma'ruf Amin. Sumber foto: tempo.co
Beberapa saat setelah Joko Widodo menetapkan KH Ma’ruf Amin sebagai calon wakil presiden, pada Kamis, 20 September 2018, publik masih bertanya-tanya, “Kenapa Kiai Ma’ruf Amin?”

Kiai kelahiran Kresek, Tangerang 11 Maret 1943 itu, tak pernah menyiapkan tim sukses agar dirinya dipilih Jokowi. Ia juga tak punya tim cyber yang terus-menerus mengangkat namanya di dunia maya. Kalaupun namanya selalu tampil di dalam media, hal itu lantaran kegiatannya di PBNU dan MUI yang dipimpinnya.

Akan tetapi, diam-diam, jauh sebelum penetapan tersebut, Kiai Ma’ruf mulai aktif berziarah ke makam leluhurnya. Pada 25 April 2017, ia sowan ke Dayeuh Luhur, tempat Prabu Geusan Ulun dan Ratu Harisbaya dimakamkan.

Prabu Geusan Ulun adalah penerima mahkota Binokasih sebagai tanda beralihnya kekuasaan Pajajaran ke Sumedang Larang pada 1597.

Rupanya, Kiai Ma’ruf sudah mendapatkan firasat akan datangnya sebuah mandat kekuasaan untuk memimpin Indonesia. Karenanya, ia merasa perlu menziarahi para leluhurnya yang pernah menjadi raja dan ratu di berbagai tempat.

Ia perlu ber-tawassul, agar diberi kekuatan dan ketabahan ketika tugas mulia itu diraihnya. Kiai Ma’ruf Amin memang berdarah ningrat dari Sumedang.

Jalan Tengah

Pola terpilihnya Kiai Ma’ruf sebagai cawapres hampir sama dengan terpilihnya KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur (1999) menjadi Presiden RI ketiga dan terpilihnya Djuanda Kartawidjaja menjadi Perdana Menteri (1957-1969). Pola ‘jalan tengah’ namanya.

Nama Djuanda diajukan oleh Presiden Soekarno, karena partai-partai saling kunci dengan tidak menerima calon dari partai lain. Kabinet silih berganti dalam hitungan bulan, sehingga pembangunan tidak dapat berjalan. Karena itu, kehadiran Djuanda sebagai birokrat nonpartai diterima sebagai jalan tengah.

Begitu pula Gus Dur. Ia diusung oleh partai-partai ‘poros tengah’ atau koalisi partai-partai Islam untuk menjadi salah satu kandidat presiden yang akan dipilih dalam sidang umum MPR. Selain dianggap merepresentasikan aspirasi partai-partai Islam dan masyarakat muslim, Gus Dur juga dapat diterima partai-partai nasionalis dan masyarakat berideologi nasionalis.

Kiai Ma’ruf pun menjadi jalan tengah diantara partai-partai pendukug capres petahana, Joko Widodo. Ia dapat diterima kelompok Islam dan nasionalis. Ia juga dianggap tidak ‘berbahaya’ untuk pilpres berikutnya pada 2024.

Terpilihnya Kiai Ma’ruf sebagai cawapres tentu saja menimbulkan pro dan kontra. Akan tetapi secara umum, masyarakat menaruh optimisme bahwa Pilpres 2019 akan kembali memperkuat ikatan dan lebih menatap ke depan.

Ancaman terjadinya perang berita palsu (hoaks) dengan isu-isu agama menjadi reda, terlebih setelah Capres Prabowo Subianto memilih Cawapres Sandiaga Uno yang berlatar belakang pengusaha.

Anggapan bahwa Jokowi tidak berpihak pada kepentingan umat Islam, menjadi terbantahkan. Kiai Ma’ruf adalah Rais ‘Aam PBNU (mundur, digantikan KH Miftachul Akhyar) sekaligus Ketua Umum MUI Pusat.

Berdasarkan ‘fatwa’ pada kasus Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), lahirlah gelombang demonstrasi yang dimotori Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF-MUI).

Fatwa yang dimaksud pada saat kejadian adalah fatwa yang ditandatangani oleh Kiai Ma’ruf. Meskipun yang ditetapkan MUI pada 11 Oktober 2016 itu berupa pendapat dan sifat keagamaan MUI Pusat, tetapi publik cenderung menganggap bahwa semua produk MUI adalah fatwa. Maka, lahirlah GNPF-MUI tersebut.

Setelah itu, lahir juga Gerakan Bela Ulama yang dilatarbelakangi karena adanya kesan tindakan tidak hormat yang dilakukan Ahok terhadap Kiai Ma’ruf yang tampil sebagai saksi dalam persidangan kasus Ahok, pada 31 Januari 2017.

Oleh karena momen tersebut, kelompok Islam-kiri (baca: liberal) menilai bahwa Kiai Ma’ruf adalah ulama yang cenderung ke kanan atau termasuk kelompok Islam politik yang cenderung fundamentalis. Namun di sisi lain, tak jarang, oleh kelompok Islam-kanan, Kiai Ma’ruf dinilai sebagai ulama yang cenderung ke kiri atau liberal.

“Ada yang menganggap saya itu intoleran, ketika saya menjalankan fungsi-fungsi membangun umat dalam rangka membangun ukhuwah Islamiyah. Tapi ketika saya berusaha menjaga bangsa dan menyatukan ukhuwah wathoniyah, saya dianggap tidak konsekuen, bahkan tidak jarang saya dianggap murtad,” demikian ia sampaikan dalam acara Mata Najwa ‘Politik Sarung Ma’ruf Amin’ pada 30 Januari 2019 lalu.

Menurutnya, untuk meluruskan penilaian keliru mereka tentang dirinya, merupakan pekerjaan yang tidak mudah. “Tetapi pada akhirnya semua orang akan tahu bahwa saya tidak terlalu di kanan dan tidak terlalu di kiri, tapi ada di tengah (tawassuth),” tegasnya.

Terlepas dari itu, tidak dipungkiri bahwa ada keinginan besar di tengah masyarakat untuk menempatkan ulama sebagai pemersatu aspirasi. Jokowi menangkap itu dan memilih Kiai Ma’ruf.

Oleh karena itu, terpilihnya Kiai Ma’ruf sebagai cawapres sudah selayaknya disambut baik dan disyukuri. Inilah kesempatan terbaik bagi umat Islam dari berbagai madzhab yang ada di Indonesia, untuk menitipkan aspirasi kepadanya.

Kiai Ma’ruf merupakan sosok paling representatif mewakili aspirasi umat Islam. Sebagai (seorang yang pernah menjabat) Rais Aam PBNU (saat ini Mustasyar PBNU), ia telah ikut mengawal paradigma berpikir (fikrah), beramal (amaliyah), dan bergerak (harakah), sehingga menjadi organisasi moderat terbesar di dunia.

Sebagai Ketua Umum MUI Pusat, ia telah terbukti mampu mengakomodasi tokoh-tokoh dari berbagai kelompok dan gerakan Islam di Indonesia.


(Tulisan di atas disarikan dari buku 'KH Ma'ruf Amin: Santri Kelana Ulama Paripurna' karya Iip D Yahya)

Sabtu, 16 Maret 2019

Gagasan Segar Caleg Muda, Wildan Fathurrahman


Wildan Fathurrahman (25 tahun)


Wildan Fathurrahman lahir di Bekasi, pada 3 November 1993. Di usianya yang masih cukup muda, saat ini ia memberanikan diri menjadi Calon Anggota Legislatif DPRD Kota Bekasi.

Di Daerah Pemilihan (Dapil) 1, Bekasi Timur-Bekasi Selatan, Wildan maju dengan kendaraan politik Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) nomor urut 2. 

Ia mengaku mendapat dorongan serta dukungan dari para kiai dan tokoh di kalangan Nahdlatul Ulama. Sebab, selama ini Wildan memang aktif di salah satu badan otonom Pengurus Cabang NU Kota Bekasi, yakni sebagai Wakil Sekretaris PC Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU).

Hadirnya Wildan di kontestasi Pileg 2019 ini menjadi angin segar bagi warga Nahdliyin dan santri di Kota Bekasi. Ia punya tagline yang tertulis di berbagai spanduk yang telah terpampang di setiap sudut jalan Bekasi Timur dan Bekasi Selatan; yakni Santri, Muda, Profesional.

Wildan Sebagai Santri

"Saya ini adalah santri NU alumni dari beberapa pondok pesantren. Yakni Pesantren Al-Hikamussalafiyah, Cipulus, Purwakarta; Manonjaya, Tasikmalaya; dan Az-Zainiyah Sukabumi," katanya, Sabtu (16/3).

Menurut Wildan, hal yang lebih penting dari seseorang yang berstatus santri adalah soal bagaimana nilai-nilai kesantrian di pesantren hadir untuk diterapkan ke dalam kehidupan masyarakat Kota Bekasi.

Artinya, santri yang terjun ke dalam dunia politik dituntut untuk senantiasa melakukan keberpihakan terhadap pendidikan keagamaan agar keberadaan lembaga pendidikan keagamaan menjadi lebih maksimal di Kota Bekasi.

"Kita suarakan aspirasi para santri dan kemudian menjadikan banyaknya terbit berbagai perda terkait pendidikan dan keagamaan," katanya.

Menurut Wildan, madrasah dan lembaga pendidikan keagamaan di Kota Bekasi ini cukup banyak tapi tidak menjadi daya tarik bagi para orang tua untuk menempatkan anak-anaknya ke sana.

"Istilahnya itu laa yamuutu wa laa yahya; tidak bermutu karena kurang biaya," jelas Wildan dengan nada guyon.

Tentu hal tersebut menjadi perhatian Wildan, sebagai seorang santri. Maka ia akan memulai dengan mengusulkan berbagai pembangunan infrastruktur pendidikan, sarana dan prasarana, kurikulum, serta menyoal kesejahteraan tenaga pengajar yang telah mengabdi untuk mencerdaskan anak bangsa.

"Termasuk mereka yang mengajar pengajian, dari majelis-majelis atau dari masjid ke masjid. Itu perlu juga kita perhatikan," tegasnya.

Bicara APBD Kota Bekasi, Wildan menyebut bahwa pada tahun 2019, anggaran daerah Kota Bekasi hampir mencapai jumlah Rp6 Triliyun. Baginya, hal itu merupakan sebuah kemajuan yang positif. Sementara anggaran untuk pendidikan digelontorkan sekitar 20 persen atau berkisar 1,6 Triliyun pada tahun ini.

"Tentu (anggaran) itu perlu dikawal. Kita pastikan bahwa tidak ada lagi masyarakat kita di Kota Bekasi, untuk bersekolah atau melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi menjadi bingung karena terbentur soal biaya," kata Wildan.

Representasi Pemuda

"Tagline saya yang kedua adalah muda. Sebab saya memang masih muda dan jomblo (belum menikah). Maka, ide-ide dan gagasan anak muda di Kota Bekasi akan kita maksimalkan," katanya.

Sebagai pemuda, dalam masa-masa kampanye, ia seringkali mengunjungi anak-anak muda untuk mendiskusikan berbagai persoalan yang sedang dialami. Jika disimpulkan, maka terdapat tiga hal yang menjadi keresahan anak muda saat ini.

Pertama, lowongan pekerjaan.

"Ini menjadi tantangan tersendiri buat anak muda. Bahkan, hingga hari ini angka pengangguran di Kota Bekasi juga masih cukup besar," katanya.

Wildan menegaskan, dirinya akan lebih memikirkan agar bagaimana lapangan pekerjaan untuk para pemuda dapat hadir lebih banyak di Kota Bekasi dengan salah satu diantaranya adalah peningkatan investasi.

Kedua, penyaluran minat dan bakat.

Potensi anak-anak muda dari berbagai bidang, kata Wildan, mesti didorong kemudian mampu benar-benar mengembangkan potensi dirinya masing-masing.

"Menjadi sangat miris ketika punya lapangan sepak bola berstandar nasional, misalnya, tapi yang lebih sering menggunakan justru tetangga: Persija Jakarta," kata Wildan, sebagaimana aspirasi yang dimunculkan dari anak-anak muda yang pernah diajak berdiskusi.

Maka, Wildan pun merasa sangat heran dan agak skeptis dengan persepakbolaan di Kota Bekasi. Kelak, ia akan mendorong berbagai pihak agar membuat regulasi untuk kemudian menghadirkan keberpihakan terhadap penyuluhan minat dan bakat anak muda.

Ketiga, jodoh.

Persoalan jodoh, menurut Wildan, memiliki keterkaitan dengan persoalan pertama yang dihadapi anak muda.

"Kalau nomor satu (soal pekerjaan) sudah selesai, anak muda pasti akan berani melamar gebetannya. Biasanya kurang lebih begitu," katanya.

Wildan Pekerja Profesional

Sosok muda ini adalah alumni Akper Universitas Islam Asy-Syafi'iyah, Jakarta. Kini, ia berprofesi sebagai perawat di salah satu rumah sakit yang terletak di Bekasi Selatan.

"Jadi saya dititipkan ilmu di bidang kesehatan dan itu menjadi modal untuk melayani masyarakat," kata Wildan.

Ia mengaku, ketika terpilih sebagai wakil rakyat nanti, akan memaksimalkan profesinya sebagai perawat untuk kemajuan Kota Bekasi di bidang kesehatan. 

"Secara umum kita hadirkan kota Bekasi yang pada kondisi kesehatannya adalah rumah sakitnya banyak, dokternya berkualitas, dan fasilitasnya lengkap tapi rumah sakitnya sepi," jelasnya.

Dengan begitu berarti, menurutnya, orang Bekasi akan menjadi masyarakat yang sehat. Fasilitas kesehatan di Kota Bekasi memang harus tetap maksimal untuk lebih baik dan bagus lagi.

"Kemudian sering-sering mengadakan penyuluhan kesehatan yang harus ditingkatkan agar kondisi masyarakat Kota Bekasi menjadi masyarakat yang sehat. Tidak sedikit-sedikit ke rumah sakit atau berobat," katanya.

Jadi, tiga hal itulah --Santri, Muda, Profesional-- yang menjadi perhatian Wildan sehingga melahirkan sebuah semangat untuk senantiasa bisa lebih mengabdikan diri ke masyarakat, khususnya di dalam momentum Pemilu 2019 ini.

Ia berharap, Allah menakdirkan dirinya agar terpilih menjadi Anggota DPRD Kota Bekasi 2019-2024. Di Dapil 1 sendiri, kata Wildan menjelaskan, terdapat sembilan kursi yang akan diperebutkan.

"Tapi dari jumlah sembilan itu, kita atur agar bagaimana ada satu kursi untuk anak muda, satu untuk santri," kata Wildan, berharap.

Tentu hal tersebut menjadi harapan bersama, terlebih bagi para pendukung setianya. Namun, Wildan ingin agar harapan jangan hanya sebatas harapan. Melainkan mesti dibuktikan pada 17 April 2019 mendatang supaya mencoblos --DPRD Kota Bekasi-- di surat suara berwarna hijau.

"Kodenya gampang. 1.2, yaitu 1 nomor partainya dan 2 nomor calegnya: Wildan Fathurrahman," tutup Wildan.

Kamis, 14 Maret 2019

Beda Kiai Kampung dan Ustadz Televisi


Ilustrasi: satelitpost.com

Kiai Hamdan.

Ia adalah pemuka agama yang sehari-hari bergelut dengan lumpur, pacul, kitab, ceramah, membersamai keluarga orang yang meninggal, hingga melayani tamu dengan hajat bermacam-macam.

Ia jauh dari media; baik koran, media sosial, apalagi televisi. Jauh dari kota dan pusat peradaban. Meski begitu, Kiai Hamdan memiliki kearifan yang kadang tidak dimiliki para pendakwah sekarang.

Suatu ketika, ia diminta mengisi ceramah tentang Isra’ Mi’raj Kanjeng Nabi Muhammad saw. Kiai Hamdan menyampaikan peristiwa yang 'tak masuk akal' itu secara perlahan, sesekali menyelinginya dengan syair dan shalawat. Diantara syair yang sering disenandungkan adalah sebagai berikut:

Isro’ Mi’roj Kanjeng Nabi (Isro’ Miraj Baginda Nabi Muhammad)
Tindake ing wayah bengi (Berangkatnya di waktu malam)
Di dereake moloekat loro (Diikuti dua malaikat)
Jibril Mikail Asmane (Jibril dan Mikail namanya)

Shalatullah salamullah – ‘ala thoha Rosulillah
Shalatullah salamullah – ‘ala yasiin habibillah

Tindak ipun wanci ndalu (berangkatnya di waktu malam)
Dumugi nginggil langit sap pitu (sampai di atas langit sap tujuh)
Akhiripun nampi wahyu (sampai akhirnya mendapat wahyu)
Shalat wajib limang wektu (salat wajib lima waktu)

Usai mendendangkan syair, Kiai Hamdan meminta seluruh hadirin menyanyikannya secara koor, beramai-ramai dan bersalawat bersama-sama. Kemudian secara perlahan, kiai kampung ini mengurai peristiwa 14 abad silam itu.

“Dalil Isra’ Mi’raj adalah bahwa Kanjeng Nabi semur hidupnya tidak pernah berbohong,” tuturnya.

Hadirin mendengarkan dan larut dalam ceramah, seakan mendapat kedamaian dari suatu pemahaman yang mudah.

Jika ditelisik lebih dalam, Kiai Hamdan adalah seorang pengembara ilmu. Semasa muda, ia pindah dari satu pesantren ke pesantren lain. Koleksi dalil Al-Quran dan haditsnya cukup banyak untuk dicekokkan ke jamaahnya. Namun, hal itu tidak dilakukan. Ia cukup menyampaikan beberapa potong dalil saja.

Selebihnya, ia sajikan dengan bahasa kaumnya; bahasa masyarakat Jawa yang lekat dengan syair, tembang, dan sedikit humor. Ia masuk ke jiwa-jiwa jamaah, menyelami keseharianya, masalahnya, pengalamannya dan kebutuhan riilnya. Ia membumi, tidak melangit.

Kiai kampung ini, berbeda dengan beberapa ustadz yang akhir-akhir ini marak di media, khususnya televisi. Berbekal terjemahan Al-Quran terbitan Kementerian Agama atau kitab terjemahan Hadits di toko-toko, mereka mengguyur penonton dengan hujan dalil dan banjir ayat yang memusingkan.

Terkadang malah ceramah sambil marah-marah, mencaci dan menyesatkan sesama muslim maupun nonmuslim; tanpa perasaan. Mereka enggan menyelami jiwa jamaah, seperti yang dilakukan Kiai Hamdan.

Sudah barang tentu, tak ada waktu untuk membungkus ajaran agama dengan kearifan lokal (local wisdom), membikin syair atau cerita. Mirisnya lagi, ceramah-ceramah mereka justru menyulut kebencian dan permusuhan.

Saya tidak ingin menyebut siapa orang-orang yang berdakwah dengan gaya marah-marah sehingga menyulut kebencian. Tapi setidaknya, masyarakat Indonesia sudah tahu sendiri, seperti misalnya Sugik Nur, Tengku Zulkarnaen, Haikal Hassan, Maher At-Tuwailibi, dan saudara-saudaranya. 

Barangkali, mereka terlalu bersemangat. Mungkin pula tidak tahu metodologi dakwah di nusantara. Atau bisa jadi, mereka mengimpor ajaran dari Timur Tengah dan Saudi Arabia secara mentah-mentah. 

Apapun itu, mereka masih hidup dan punya kesempatan untuk berubah, menuju semangat beragama yang lebih cerah.

Toh, masyarakat Indonesia kini sudah cerdas. Orang awam pun sudah bisa menilai, mana yang layak mereka teladani dan tidak. Orang sudah bisa membedakan mana dakwah yang arif dan cerdas, sehingga mereka berminat untuk mendengarnya.

Untungnya, masih ada Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, yang berdakwah dengan teduh: menjaga kesantunan Islam dengan wajah Indonesia.

KH Mustofa Bisri (Gus Mus) misalnya, ia kerapkali mengkritik cara dakwah yang cenderung menyesatkan.

“Ulama atau kiai itu adalah alladziina yandzhuruuna ummah bi 'aini rahmah (orang-orang yang melihat umat dengan pandangan kasih sayang),” kata sesepun NU itu, dalam suatu pengajian baru-baru ini.

Ada juga yang berdakwah dengan modern dan segar, yaitu Majelis Maiyah Kiai Muhammad Ainun Nadjib (Cak Nun) dan Kiai Kanjeng dengan jamaahnya yang tersebar di berbagai kota, juga pelosok Indonesia; bahkan mancanegara.

Cak Nun, begitu orang menyebutnya, menggabungkan unsur modern dengan konvensional dalam berdakwah, serta interaktif dan komunikatif dengan jamaah.

Ia seakan mencontoh dakwah para wali di bumi nusantara: dengan sentuhan seni dan budaya. Wajar saja jika dalam berbagai kesempatan, jamaahnya kuat duduk berjam-jam tanpa berpindah, bahkan ketika hujan turun sekalipun.

Akhirnya, kearifan Kiai Hamdan serta beberapa pendakwah yang santun dalam menyampaikan dakwah, tetaplah menjadi akar yang kuat, meski tidak muncul dalam dunia entertain yang gemerlap dan bertabur bunga.

Barangkali, orang seperti Kiai Hamdan ini ribuan jumlahnya, tersebar di seantero Nusantara. Kita saja yang tidak tahu, dan media yang enggan membesarkannya.


(Ahmad Naufa)

Selasa, 12 Maret 2019

Kisah Bos Partai dan Doa Kiai


Ilustrasi: kampunglucu.com

Belakangan ini lembaga antirasuah atau antikorupsi gencar melakukan penangkapan terhadap para politisi dan pejabat yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi.

Hal tersebut membuat salah satu bos partai di sebuah kota mendadak was-was bahkan kerap tidak bisa tidur karena diduga terlibat korupsi.

Hingga suatu malam, bos partai tersebut mengutus salah satu kadernya untuk sowan kepada seorang kiai pesantren di sebuah desa.

Sang kiai agak terheran malam sudah larut ada seorang tamu yang menghampirinya.

“Sampeyan dari mana, kok malam-malam ke pondok?” tanya sang kiai.

“Saya dari kota, Yai,” jawab utusan itu.

“Ada perlu apa jauh-jauh ke sini?”

“Minta didoakan Yai, untuk bos partai saya yang lagi kena musibah.”

“Musibah apa?” kiai tanya lagi.

“Diduga terlibat korupsi Yai,” jawab sang utusan bos partai.

“Loh, minta doa saja kok jauh banget. Apa di kota sampeyan sudah tidak ada sekelas kiai yang mau mendoakan si bos?”

“Bukan begitu Yai,” sergah si utusan.

“Lalu?” desak sang kiai.

“Habisnya, sulit cari kiai yang belum menerima sumbangan dari bos saya, jadi khawatir doanya kurang mempan,” seloroh si utusan.


(NU Online)

Senin, 11 Maret 2019

Abah, Bagaimana Kabarmu?



Abah...
Bagaimana kabarmu?

Silaturahmi dan kunjungan menjelang pilpres semakin padat, ya? Lelah pasti akan terasa, tapi kulihat setiap hari tidak putus terima tamu dan kunjungan sana-sini.

Abah...
Awal dirimu diumumkan akan mendampingi Pak Jokowi untuk Indonesia 5 tahun ke depan, banyak yang meragukan dan aku pun termasuk orang yang ragu.

Apakah sosokmu yang sudah cukup berusia, kuat memimpin bangsa ini? Tidak mudah untuk membangun bangsa ini lebih baik lagi. Semua butuh proses. Semua pasti banyak cobaan.

Abah...
Aku hidup dan besar di dunia pesantren. Aku tahu sosok kiai dan bagaimana cara menghormatinya. Aku tau di luar sana tidak semua orang paham dengan tatakrama terhadap kiai. Terlebih, orang awam yang tidak tahu apa itu berkah yang datang dari sosok orang alim.

Abah...
Bukan sudah lagi, tapi banyak yang kini mulai mencacimu, memfitnahmu, bahkan ada yang membencimu. Dulu di pesantren, jika aku dipanggil kiai, maka seketika itu langsung datang. Disuruh langsung manut. Kiai lewat aku nunduk. Kiai dihujat aku lawan tidak takut.

Di pesantren semua orang paham bagaimana memuliakan sosok kiai. Tapi ketika di luar sana, banyak yang tidak paham dan susah untuk menyamakan pikirannya. Aku tidak bisa memaksa mereka harus menghormati sosok kiai, karena itu semua hanya didapatkan di dunia pesantren.

Abah...
Ketika Gus Dur menjabat sebagai presiden, aku belum tahu apa-apa. Dan mungkin dulu ada orang yang posisinya persis seperti aku, cinta terhadap kiai tapi bingung harus apa yang dilakukan sebagai bentuk rasa cinta, dan bahkan ketika melihat orang lain mencemooh sosok dirimu.

Abah...
Aku hanya bisa berdoa, untuk kesehatanmu. Aku yakin, kau pasti mudah memaafkan orang yang memfitnah dan menjelek-jelekan namamu.

Aku yakin, kau sama sekali tidak terganggu dengan hujatan warganet yang merasa sok paling benar. Aku yakin, kau mampu memimpin bangsa ini, karena umur tidak bisa dijadikan patokan untuk mengidentifikasi mampu atau tidaknya seseorang.

Selamat ulang tahun, Bah. Semoga panjang umur. Sehat selalu.


(Hafas Alawy)

Minggu, 10 Maret 2019

[PUISI] Aku Bekasi


Logo HUT Kota Bekasi ke-22


Tampak urakan
berantakan
tak karuan
bicara tak sopan
pendidikan mungkin enggan
semuanya adalah ucapan
yang tak bertuan

Ah,
Mereka tentu belum menyusup
ke dalam lubang terdalam
di pengujung rasa
pada desah nafas terhela
menuju jiwa yang rela

Duhai para penggunjing
kalian tahu bagaimana maling?
mereka berani lalu sembunyi
berhadap tiada nyali
sesaat menghampiri
lalu berlari lagi

Walau aku pendatang
di Bekasi
tetap aku meradang menerjang
pada siapa yang terang menyerang

Sebab mati siapa yang tahu
kalau bukan Dia yang itu
aku entah kapan mati
namun yang pasti
aku ingin mati di sini
di Bekasi

Setiap bangsa pasti bertanda
semacam ciri yang berada
Bekasi juga begitu adanya
bicara tak sopan
berantakan
serta tampak tak berpendidikan
itu hanya tampak luar
luar tak berarti liar

Engkong sang pendidik
kenali agama agar hidup tak pelik
kurangi mata mendelik
indah dunia kian menilik

Agama sebagai pedoman
juga pegangan
agar tak tersungkur
ke dalam lubang penuh kufur

Bila sekilas tampak tak indah
belum tentu hati merana
sebab dengan ibadah
bahagia akan kami kelana

Sila kau mampir
ke Kota Jakarta lalu melipir
di Bekasi kau hadir
pahami budaya dan segala rupa
agar nanti tak sesat pikir
pulang ke rumah dengan tiada nestapa

Aku Bekasi
meski tak lahir di sini
jiwaku tetap bersih
membela bumi yang terpijak hari ini


[Selamat HUT Kota Bekasi ke-22]

Selasa, 05 Maret 2019

Boleh Ngritik NU Gak, Sih?


Bersama Katib 'Aam PBNU KH Yahya Cholil Staquf
Saya sebenarnya malas bahas kontroversi hasil bahtsul masail Munas Alim Ulama dan Konbes NU, di Pesantren Miftahulhuda Citangkolo, Kota Banjar, Jawa Barat, beberapa waktu lalu. 

Tapi melihat kegaduhan yang terjadi, gatal juga saya ingin mengomentari. Barangkali, memang seperti itulah karakter bangsa Indonesia kekinian: senang komentar, tapi tak senang dikomentari. Ya, begitulah.

Terkait Munas dan Konbes NU, saya hadir ketika itu. Berangkat Selasa, pulang Jumat. Kira-kira berapa hari tuh di sana? Hitung sendiri, ya. Jujur saja, saya baru pertamakali berkesempatan menghadiri acara NU, dalam skala nasional. 

Oke, langsung masuk ke inti saja ya. Tidak perlu cerita pengalaman saya di Kota Banjar, karena kerjaan saya di sana cuma sekadar tidur-makan-tidur-makan. Unfaedah banget, deh.

Malam Jumat, satu malam sebelum esok harinya agenda penutupan yang dihadiri Wapres RI H Jusuf Kalla, rapat pleno terbuka digelar di panggung utama. Di situ, dipresentasikan hasil rekomendasi dari masing-masing komisi. 

Nah, yang paling menarik adalah saat Kiai Abdul Moqsith Ghazali mempresentasikan hasil sidang komisi bahtsul masail (dengan sub-komisi) Maudluiyah

Salah satu yang disebutkan, yakni mengganti istilah 'kafir' dengan ungkapan 'nonmuslim'. Sebenarnya, di dalam forum sidang pleno ketika itu --saat pembahasan 'kafir' dan 'nonmuslim'-- tidak terlalu gaduh. Semuanya menyepakati dan bersedia menerima karena hasil rekomendasi itulah yang juga sudah melalui tahap diskusi panjang yang melelahkan.

Saya juga memperhatikan, dari awal hingga akhir, pernyataan-pernyataan yang keluar dari Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj. Katanya, Munas Alim Ulama dan Konbes NU ini hanya sebatas mengusulkan, menyatakan sikap, bukan serupa fatwa.

"Karena Indonesia ini bukan Darul Ifta (negara dengan hukum agama), yang ada mufti (sebutan untuk ulama yang boleh berfatwa). Di negara-bangsa seperti kita ini, yang boleh berfatwa hanya Mahkamah Agung," jelasnya.

Lebih lanjut Kiai Said mengatakan, "Tidak boleh ada lembaga fatwa di Indonesia, termasuk NU dan MUI, kecuali MA."

Nah, karena itulah kemudian saya merasa sejuk dan lega saat mendengar pernyataan tersebut. Betapa tidak, jujur, bahwa NU bagi saya serupa 'rumah' besar yang pernah saya 'tinggali' seumur hidup (hingga kini), yang mengajarkan tentang arti toleransi. Termasuk terhadap perbedaan pendapat dan pemikiran.

Maka konsekuensi logisnya adalah, jika segala sesuatu hal yang dikeluarkan dari hasil Munas dan Konbes NU 2019 di Kota Banjar itu tidak mendapat penerimaan (baca: ditolak), NU harus siap menanggungnya dengan besar hati.

Tidak lantas gumunan (kaget), bersikap reaksioner, dan tidak terima dengan orang-orang yang tidak menerima keputusan Munas. Karena toh, NU bukan lembaga fatwa. Sepakat?

(Dan) jangan juga meminta masyarakat untuk mengkaji kitab kuning secara mendalam, atau ikut debat di dalam forum bahtsul masail bersama para kiai: karena itu jelas sesat pikir namanya.

Bersyukur, dari pihak NU pun, terutama para kiai yang ada di Komisi Bahtsul Masail Maudluiyah terus-menerus memberikan kabar, pengertian, dan pemahaman di media sosial dengan baik dan tidak penuh amarah. 

Sebab, tidak semua masyarakat di Indonesia paham dan mengerti alur pemikiran para kiai yang sangat luar biasa cemerlang. Maka, tidak menghakimi orang-orang yang menghakimi keputusan Munas dan Konbes NU 2019 adalah sebuah keniscayaan. 

Toh, NU bukan lembaga fatwa. Lalu, kenapa mesti marah ketika 'fatwa'-nya ditolak oleh sebagian masyarakat di Indonesia?

Oh ya, sekadar mengingatkan saja, saya tidak sedang bahas politik, ya. Jangan dikait-kaitkan. 

Nah, sekarang mari kita bahas terma 'kafir' dan 'nonmuslim' yang ramai diperbincangkan. Bangsa Indonesia kok kampungan banget sih, ya? Ini kan sebenarnya bahasan lama.  Capek, deh.

Duh, maaf, saya jadi ikut menghakimi...

Lanjut.

Oleh sebab Indonesia merupakan negara-bangsa demokrasi, yang bukan teokrasi juga tidak sekuler, maka penyebutan 'nonmuslim' kepada orang-orang yang tidak memeluk agama Islam, dirasa sangat tepat. 

Konsep kebangsaan (muwathonah), yang setara dan berkedudukan sama --apa pun jabatan dan pangkatnya-- memang kerapkali menjadi sorotan NU. Terlebih ada banyak sekali kutipan para kiai pendahulu tentang kebangsaan, yang paling terkenal adalah: hubbul wathan minal iman.

Nah, penyebutan 'kafir' kepada yang tidak beragama Islam merupakan tindakan sangat kurang tepat untuk dilakukan, karena akan menyakiti hati sesama warga-bangsa. Sebab, terma 'kafir' itu dipakai sebagai identitas dari warga negara kelas dua. Sementara di negara-bangsa seperti Indonesia, semua berkedudukan setara dan sama.

Sila lihat (atau klik) tulisan saya tentang, 'Siapa Berhak Menyandang Status Kafir?' Di situ saya tulis beberapa tipe atau model kafir, dari mulai dzimmi hingga harbi. Kira-kira, adakah kafir di Indonesia ini? Tentu ada. Itulah diri sendiri yang tidak mensyukuri nikmat Allah.

Asli. Ini tuh pembahasan lama. Sejujurnya saya mager (baca: malas) bahas persoalan basi kayak gini. Tapi gregetan banget.

Nah kemudian, kenapa kok masyarakat kaget dan tidak bisa menerima hasil Munas NU (selain karena keputusan itu sifatnya bukan fatwa)?

Masyarakat kaget

Tingkat religiusitas-simbolik-tekstualik di negeri ini sedang meningkat. Namun berbanding terbalik dengan religiusitas-substansial-kontekstual. Istilah yang kedua itu, saat ini sudah sangat jarang ditemukan.

Fenomena hijrah di kalangan anak-anak muda memang luar biasa. Bisa menarik mereka untuk 'insyaf', dan belajar agama dengan cepat saji. Siapa lagi pelakunya kalau bukan PKS dan HTI, eh FPI juga deh. 

Ingat, ya, penulis adalah orang NU. Maka PKS, HTI, dan FPI tidak salah juga jika dijadikan bulan-bulanan untuk dihakimi karena telah membuat kurikulum agama atau basis massa Islam yang sistematis dan massif, tidak seperti NU yang amburadul. 

Mereka yang belajar agama dengan cepat saji itu, tidak mengenal warna (untuk tidak menyebut buta warna), karena bagi mereka hanyalah hitam dan putih.

Kenapa kok NU lebih memilih menyebut orang-orang yang tidak beragama Islam dengan sebutan nonmuslim bukan kafir, padahal di Al-Qur'an saja sudah jelas ada surat bermerk Al-Kafirun bukan Al-Ghair Al-Muslimin? Sesederhana itu kan logika mereka?

Kemudian, para kiai NU yang sudah bersusah-payah, mengeluarkan tenaga, pikiran, dan waktu untuk mendiskusikan banyak hal terkait urusan keagamaan dan kebangsaan, dilabeli 'sesat' karena tidak menyebut 'kafir' kepada umat beragama yang bukan Islam. Ini kan, aneh.

Barangkali labelisasi 'sesat' itu yang menyulut warga dan pengurus NU sehingga bersifat reaksioner. Semua turun gunung, saling baku-hantam, memukul dengan kata-kata, di belantara hutan bernama: media sosial. Gaduh? Banget. 

Wajar bila masyarakat kaget dengan keputusan NU. Sangat wajar. Terlebih bagi mereka yang tidak sama sekali tahu bagaimana forum bahtsul masail, dan tidak pernah merasakan dinamika intelektual atau khazanah keilmuan di pesantren.

Tapi saya berpesan kepada warga, pengurus, dan (mohon maaf) para kiai NU, mbok ya jangan lantas menghakimi mereka. Bukankah selama ini NU yang mengajarkan toleransi? Termasuk juga mengajarkan tentang pentingnya sikap legawa saat orang lain tak bisa menerima argumentasi pemikiran kita.

NU yang lahir sebagai antitesis dari gerakan wahabi-puritanisme yang memutlakkan kebenarannya sendiri, menganggap yang lain salah, kini justru sebagian warga (dan bahkan pengurus) bertindak merasa paling pintar dari orang lain yang dianggap tidak sependapat-sepemahaman.

Intinya, saya mengajak untuk tidak bersikap sebagaimana kelompok yang selama ini tidak disukai oleh NU. Eh boleh ngritik NU gak, sih? Kalau gak boleh, ya sudah cukup sampai di sini pembahasannya.

Sekian. Wallahul muwafiq ilaa aqwamith-thoriq. 

Bersambung...