Kamis, 17 September 2020

Sebuah Catatan: Idealisme yang Tak Pernah Usai

 

Berbincang soal idealisme

Pada sebuah pertemuan, beberapa waktu lalu, saya sengaja mengangkat tema idealisme sebagai bahan pembicaraan serius di tengah hiruk-pikuk bercandaan yang tak jelas arah. Bagi saya, idealisme ini sesuatu yang tak pernah usai untuk dibahas.

 

Kata Tan Malaka, Bapak Kemerdekaan Republik ini, idealisme adalah kekayaan terakhir yang dimiliki seorang pemuda. Karena merupakan kekayaan, maka tentu saja hanya sedikit yang benar-benar dapat memilikinya.

 

Idealisme bagi saya adalah prinsip, semacam sebuah kedaulatan untuk memerdekakan diri sendiri dari keterjajahan orang lain. Setiap manusia, menurut saya, memiliki idealisme masing-masing, yang dapat ditafsirkan berbeda-beda.

 

Namun, saya tegaskan dalam pertemuan itu, bahwa idealisme bukan anti-kemapanan. Bukan sebuah prinsip yang melatari keinginan untuk selalu hidup sengsara, jauh dari kekayaan materi-duniawi, dan bahkan memang tidak punya keinginan untuk kaya.

 

Bukan itu. Idealisme adalah benar-benar barang berharga, yang tidak oleh sembarang orang dimiliki. Ia suci. Tidak bisa ternodai oleh apa pun. Tetapi, idealisme hanya akan menjadi pura-pura jika digenggam oleh orang-orang munafik.

 

Di dalam suatu perkumpulan, tentu saja terdapat garis besar haluan agar perkumpulan itu tak keluar jalur. Saya rasa, semua perkumpulan memiliki koridor gerak masing-masing, sehingga saat keluar dari jalur yang semestinya, perkumpulan ini bisa dianggap sebagai perkumpulan yang tak menanamkan idealisme sebagai sesuatu yang suci.

 

Suatu perkumpulan ini bisa apa pun. Organisasi, komunitas, LSM, dan perkumpulan-perkumpulan masyarakat adat di pelosok-pelosok daerah. Masing-masing perkumpulan atau kelompok itu, pasti punya aturan main sendiri-sendiri yang wajib dijalani oleh orang-orang yang ada di dalamnya.

 

Ketika ada ideologi yang mengintervensi dari luar, yang kemudian mengotori kesucian idealisme di dalam perkumpulan, maka menjadi sangat wajar jika orang-orang yang ada di dalam perkumpulan itu mencoba melakukan perlawanan.

 

Setiap orang bisa memahami idealisme sesuai dengan kapasitas berpikirnya masing-masing. Oleh karena itu, idealisme bermakna sangat relatif. Tetapi idealisme yang saya maksud itu adalah tidak mencampuri urusan internal suatu perkumpulan dengan ideologi perkumpulan yang lain.

 

Kita boleh aktif di mana pun tempat, bahkan di partai politik sekalipun. Tapi keaktifan kita di mana-mana itu, jangan sampai menghancurkan bangunan idealisme suatu perkumpulan dengan ideologi yang kita bawa dari luar.

 

Saya akan memberikan contoh dan permisalan.

 

Ketika kuliah, di Universitas Islam “45” Bekasi, beberapa organisasi saya ikuti. Tidak hanya sebagai anggota, tetapi pengurus harian. Pertama, saya menjadi Ketua Himpunan Mahasiswa Ilmu Komunikasi (Himikom) Unisma Bekasi.

 

Kedua, saya menjabat sebagai Ketua Departemen Kajian dan Wawasan Kebangsaan UKM Pusat Kajian Pancasila. Ketiga, saya menjadi Ketua UKM Teater Korek. Dari ketiga organisasi ini, saya belajar banyak hal.

 

Saat di Himikom, misalnya, saya benar-benar menjaga keutuhan idealisme perkumpulan itu. Saya berupaya agar jangan sampai Himikom ini kemasukan ideologi-ideologi dari luar, yang berpotensi merusak dan menghancurkan idealisme Himikom.

 

Begitu pula saat di Pusat Kajian Pancasila. Saya hanya fokus untuk menjadi penyedia kajian setiap minggu, sesuai tugas pokok dan fungsi yang diberikan kepada saya. Kajian-kajian itu pun dilakukan agar para anggota tidak tergerus idealismenya dengan ideologi dari luar.

 

Lebih-lebih saat di Teater Korek. Idealisme kekaryaan, kesenian, dan kebudayaan sangat melekat di sana, sehingga sangat sulit untuk dimasuki atau diintervensi oleh kepentingan dari luar. Teater Korek adalah rumah bagi semua orang, tanpa harus menghancurkan satu sama lain.

 

Dari ketiga perkumpulan yang saya ikuti, saya sangat tidak rela jika perkumpulan itu dijadikan sebagai ‘lumbung kader’ untuk melakukan kaderisasi di luar, oleh pihak-pihak luar, di luar perkumpulan itu.

 

Di suatu perkumpulan yang lain, saya pernah diminta untuk menjaga marwah idealisme, saya patuhi karena yang meminta adalah seorang yang mengepalai perkumpulan itu. Tetapi di perjalanan, dia membelot, saya dituduh kaku. Akhirnya saya tinggalkan itu perkumpulan.

 

Lalu saya dipersalahkan karena meninggalkan perkumpulan itu. Sudah sejak lama, padahal, saya ingin membuat sebuah pertemuan akbar membahas soal ini, tapi orang yang meminta saya untuk menjaga idealisme itu, saya rasa kurang berpengalaman untuk adu argumentasi.

 

Kini, saya benar-benar merdeka karena sudah bisa berjalan di atas kesucian idealisme, tanpa intervensi ‘balas budi’ dan bayang-bayang senior. Sekarang, saya sudah dilamar NU Online untuk membantu pewartaan ke-NU-an di level nasional. Begitu pun, dilamar pula oleh Media IPNU untuk membantu mengedit artikel berita dari kontributor di daerah.

 

Selain itu, saya pun diminta untuk menjadi pengurus di Badan Kebudayaan Nasional (BKN) Dewan Pengurus Cabang (DPC) PDI Perjuangan Jakarta Timur. Di kendang banteng ini, saya mewakili unsur teater, yakni Laboratorium Teater Korek. Sebuah organisasi teater untuk para alumni Teater Korek Unisma Bekasi.

 

Tentu saja, saya tidak bodoh. Keaktifan saya di partai politik, tidak lantas menghancurkan idealisme saya sebagai pewarta NU Online dan Redaktur di Media IPNU. Saya juga tidak akan mencampuri urusan itu, sehingga menjadi bias antara ideologi partai dan idealisme perkumpulan.


Nah, sesuatu yang menjadi rancu itu adalah ketika, misalnya, saya saat di NU membincang partai, tapi ketika di partai justru membincang NU. Bahkan, bodohnya lagi apabila saya punya niat mencari kader untuk mengurus partai melalui perkumpulan NU, sementara mencari kader untuk mengurusi NU melalui perkumpulan partai.


Itulah yang disebut sebagai kehancuran idealisme. Idealisme itu, bergerak dan berpikir sesuai dengan porsinya, Tidak dihancurleburkan dari satu perkumpulan ke dalam sebuah perkumpulan yang lain. Saya menentang keras hal-hal yang demikian itu. Sebab, tentu saja akan menggerus nilai-nilai idealisme itu sendiri.


Apalagi kalau sudah uang yang berbicara.


Benar saja kata Tan Malaka, idealisme adalah kekayaan terakhir yang dimiliki pemuda. Sebab menjaganya butuh kearifan, ketelitian, kehati-hatian, dan kecerdasan. Jangan sampai bias. Jangan sampai rancu, seperti yang sudah-sudah.

 

Wallahua’lam…

Jumat, 11 September 2020

Pergulatan Iman Munir Said Thalib, Meninggalkan Ekstremitas Agama


Munir. Sumber gambar: www.urbanasia.com

Senin (7/9) lalu, kita kembali diingatkan oleh sejarah kelam Hak Asasi Manusia (HAM) di negeri ini. Ya, tepat pada 7 September 2004 Pejuang HAM Munir Said Thalib meninggal dunia saat dalam perjalanan menuju Belanda, untuk keperluan studi.

 

Munir, sebagaimana namanya yang bermakna penerang, semasa hidupnya memang ia abdikan untuk memberikan sinar kehangatan bagi orang-orang lemah dan dilemahkan. Munir selalu siap dan senantiasa berada di barisan rakyat, mereka yang diciduk dan dirampas haknya.

 

Di dalam kamus Munir, barangkali, tidak pernah ditemukan diksi ‘takut’. Ia tak pernah mundur selangkah pun untuk mengungkapkan kebenaran. Ia dengan gigih berani lantang menyuarakan kepentingan rakyat lemah, sekalipun Munir sendiri harus berhadapan dengan berbagai ancaman.

 

Tetapi Munir tak pernah takut.

 

Di balik sisi Munir yang seperti itu, ternyata ada sisi lain yang menarik untuk diulas. Yaitu soal pergulatan iman seorang Munir. Pergulatan ini jugalah yang menjadikan Munir selalu lantang dan pantang menyerah menyuarakan kebenaran, membela rakyat yang tertindas dan ditindas.

 

Pejuang HAM yang satu ini mengaku pernah mengikuti jalur keagamaan yang esktrem, atau katakanlah radikal. Fase tersebut dialami Munir sekitar lebih dari 5 hingga 6 tahun, yakni berkisar antara 1984 hingga 1989.

 

Gawatnya, ia mengaku bahwa isi tas yang selalu dibawa ke mana-mana itu, pada 1984-1989, tidak pernah kosong dari senjata tajam. Dikatakan Munir, hal itu dilakukan atas nama pertikaian agama. Namun di dalam ruang ektremitas keagamaan itu, ia seperti merasa kehilangan fungsi atas agama itu sendiri.

 

“Apakah benar Islam memerintahkan saya untuk menjadi sangat eksklusif dalam beragama dan menutup diri dari komunitas lain? Apakah Islam itu untuk Allah, untuk manusia, atau untuk membangun masyarakat secara umum? Mulai itu, ada pertentangan di dalam diri saya,” kata Munir.

 

Di saat pergolakan batin yang demikian itu, Munir kemudian menemukan pernyataan mutakhir yang mengungkapkan bahwa agama diturunkan untuk manusia. Ia sepakat dengan Gus Dur soal Tuhan yang tak perlu ajudan atau asisten untuk mengawal diri-Nya.

 

“Intinya agama harus menjadi maslahat bagi manusia,” kata Munir.

 

Akhirnya, Munir lantas meninggalkan cara beragama yang tertutup dan menyeramkan itu. Ia kemudian menilai bahwa Islam harus senantiasa mendukung peradaban. Karenanya, Munir bersedia untuk harus bekerja pada wilayah-wilayah yang bertujuan untuk perbaikan kehidupan manusia.

 

Setelah kembali ke ‘jalan yang benar’, Munir akhirnya tersadarkan bahwa agama harus dipergunakan untuk memperbaiki kehidupan, bukan justru sebaliknya, yang bisa menghancurkan peradaban manusia akibat dari gaya beragama yang ekstrem dan tertutup.

 

Menurut Munir, banyak orang yang mengklaim diri sedang beragama dengan cara membangun peradaban, tetapi sebenarnya yang dibangun justru simbol-simbol yang menghancurkan peradaban.

 

Munir menegaskan bahwa bentuk-bentuk perbedaan-perbedaan dalam hal apa pun, terkadang justru melahirkan ekstremitas. Hal ini bukan saja terjadi dalam agama, tetapi juga terjadi pada etnis atau suku. Ekstremitas itu, kata Munir, adalah sikap yang selalu memutlakkan diri sendiri seraya menafikan orang lain.

 

“Ini kadang-kadang terjadi tidak hanya antaragama, tetapi juga antar faksi-faksi berfikir dalam agama,” kata Munir.

 

Hal tersebut bisa dilihat dari sejarah Indonesia yang telah banyak peristiwa pertumpahan darah atas dasar perbedaan cara berpikir faksi-faksi agama. Misalnya seperti anti gerakan tarekat, pengasingan orang, dan pembunuhan, yang semuanya dilakukan atas nama ekstremitas.

 

Dari situ, menurut Munir, seolah-olah hidup hanya sekadar menjadi perang memperebutkan kapling surga yang berapa hektar luasnya pun belum bisa diukut sama sekali.

 

Titik perubahan cara beragama Munir yang ekstrem dan menjadi lebih lembut adalah ketika ia berhadapan dengan antitesa lain yang menurutnya juga cukup ekstrem. Suatu ketika, Munir pernah dilemparkan sebuah pertanyaan oleh dosennya di Universitas Brawijaya, H Abdul Malik Fadjar (Tokoh Muhammadiyah/Mantan Menteri Pendidikan Nasional).

 

Pertanyaan yang membuat Munir kemudian menjadi gelisah itu adalah, “apakah beragama itu kekuasaan?”

 

Malik Fadjar mengatakan, “Saya tidak pernah mengetahui seorang pemuda sebodoh anda yang ke mana-mana membawa semangat untuk berperang dengan instrument agama demi menguasai orang.” Kalimat yang disampaikan di hadapan Munir itu membuatnya lega. Ia bahkan menyebut sang dosen itu sebagai seorang yang sangat liberal.

 

Menurut Munir, Islam itu memang harus liberal dan dapat menerima perbedaan-perbedaan. Islam tidak punya kewenangan ketika tidak bisa memberikan tempat bagi yang lain. Ia baru sadar bahwa aliran ekstrem yang selama itu ia ikuti, ternyata sama sekali tidak memberikan ruang terhadap orang lain.

 

Atas pernyataan Malik Fadjar di atas, Munir mengaku merasa sangat kaget. Saat mendengar kalimat itu tadi, dengan sangat seketika Munir berkeringat, padahal Kota Malang adalah daerah yang dingin. Ia mengaku telah menemukan sesuatu, pernyataan Malik Fadjar itulah yang mengilhaminya.

 

Selanjutnya, saat Munir sedang aktif di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Malik Fadjar kembali mengeluarkan pernyataan sekaligus pertanyaan yang membuat Munir benar-benar kaget untuk kedua kalinya.

 

Kata Malik kepada Munir, “Kau pelajari Islam yang benar. Kalau kamu anak HMI, baca Nilai  Identitas Kader (Nilai-nilai Dasar Perjuangan atau NDP). Dari situ silakan dievaluiasi, apakah benar HMI untuk perang-perangan atau menjalankan misi sosial?”


Setelah sekian lama dipelajari, Munir akhirnya menemukan bahwa Islam memang mengakui bahwa dalam relasi sosial terdapat ketidakadilan. Ada yang menzalimi ada yang dizalimi. Nah, Munir menilai bahwa Islam harus memihak kepada pihak yang dizalimi.

 

Jadi menurutnya, Islam tidak memihak kepada Islam. Melainkan harus memihak kepada yang dizalimi demi menciptakan keadilan. Islam itu, disebut oleh Munir sebagai sebuah keadilan, bukan untuk menciptakan eksklusivisme yang sering terjadi di mana-mana.

 

Temuan bahwa Islam tidak seharusnya berlaku ektrem itu, membuat Munir harus terpisah dari komunitas yang membuat ia pertama kali tumbuh itu. Namun demikian, Munir kemudian menemukan komunitas baru yang bisa menerima perbedaan-perbedaan.

 

“Saya kira, normal saja kalau dalam kehidupan, kita menemukan antitesis-antitesis yang menawarkan Islam dengan watak sebenarnya,” kata Munir.

 

*Tulisan di atas disarikan dari wawancara Gus Ulil Abshar Abdalla dengan Munir Said Thalib di www.islamlib.com

Selasa, 08 September 2020

Soal Maslahat Rakyat, Bagaimana Pilkada di Tengah Pandemi Berlangsung?


Ilustrasi. Sumber: www.mistar.id


Pada 9 Desember mendatang, 270 daerah di seluruh Indonesia akan melaksanakan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara serentak. Sesuatu yang menjadi perhatian banyak pihak adalah Pilkada kali ini dihelat di tengah pandemi Covid-19 yang tak berkesudahan.

 

Virus mematikan itu masih aktif dan kian masif tersebar. Hal itu bukan murni karena virus yang, misalnya, hingga kini belum ditemukan vaksinnya, tetapi lantaran kesadaran masyarakat yang semakin berkurang. Ditambah pula dengan pemerintah setempat yang terkesan tidak serius mengatasi virus ini.

 

Tantangan kita hari ini ada dua. Bangkit dari ekonomi yang melemah dan berperilaku sehat sekaligus mematuhi protokol kesehatan agar terhindar dari bahaya pandemi yang mematikan ini. Memang peluang untuk sembuh saat terkena virus ini masih sangat besar, tapi jangan sampai kita justru menjadi penyebab terciptanya klaster baru Covid-19 di lingkungan kita.

 

Oleh karena itu, Pilkada serentak kali ini sangat berbeda dan penuh tantangan. Para politisi, baik yang mencalonkan maupun mesin kerja kampanye, harus berpikir ulang mengenai strategi baru yang harus dilakukan untuk memenangkan kontestasi perebutan kekuasaan. Inilah era baru politik kita.


Namun demikian, Pilkada serentak tahun ini benar-benar sangat rentan terjadi politik uang. Calon kepala daerah, bisa saja memanfaatkan kemiskinan atau kesengsaran rakyat akibat pandemi ini sebagai jalan masuk untuk memenangkan kontestasi. Caranya, tentu saja menyogok dengan uang dan mengiming-imingi hal-hal yang utopia.

 

Persoalan ekonomi memang sangat sensitif, sekaligus juga bisa dimanfaatkan oleh para pemain politik di dalam Pilkada serentak yang akan dilaksanakan sekitar tiga bulan mendatang. Ini yang harus diwaspadai oleh rakyat agar tidak mudah terbuai dengan rayuan gombal calon kepala daerah.

 

Rakyat harus benar-benar bisa tercerahkan supaya bisa memilih calon pemimpin berdasarkan kualifikasi dan kompetensi, bukan karena sogokan uang yang tidak seberapa. Rakyat harus bisa memilih pemimpin yang berorientasi kepada kemaslahatan umum, bukan pemimpin yang ketika jadi hanya memikirkan soal balik modal.

 

Ada kaidah ushul fiqh yang sangat populer soal pemimpin ini, yaitu tasharruful imam ala raiyyah manutun bil maslahah. Bahwa kebijakan seorang pemimpin haruslah berdasarkan pada kemaslahatan. Kuncinya adalah seorang pemimpin harus mengedepankan kemaslahatan orang banyak ketimbang kepentingan kelompok dan pribadi.

 

Mahmud Musthafa Salim Al-Shamady dalam bukunya al-Mashalih al-Mursalah wa Dauruha fi al-Qadhaya al-Thibbiyah al-Mu’ashirah mengungkapkan bahwa maslahat adalah apa saja yang berisi tindakan yang bisa membawa kepada kondisi baik. Jadi, rakyat harus benar-benar bisa melihat rekam jejak calon pemimpin daerah, punya kompetensi atau tidak dalam melakukan pemecahan masalah untuk menuju perubahan ke dalam kondisi yang lebih baik.

 

Lebih dalam, Imam Ghazali dalam buku Al-Mustashfa mengatakan bahwa maslahat berarti menarik kemanfaatan dan menolak kemudharatan atau sesuatu yang menimbulkan kerusakan. Secara hakikat, maslahat itu bermakna menarik kemanfaatan dan menolak segala bentuk kemudharatan atau kerusakan.

 

Nah di media sosial, saya banyak melihat para bakal calon pemimpin daerah itu tidak mengindahkan kemaslahatan. Belum terpilih saja sudah sangat terlihat bahwa sebagian dari mereka itu sebenarnya tidak mampu menciptakan maslahat.

 

Kita tahu bahwa anjuran paling mendasar untuk mencegah penularan penyebaran Covid-19 adalah dengan mematuhi protokol kesehatan. Beberapa diantaranya adalah memakai masker, menjaga jarak, menjauhi kerumunan, sering-sering cuci tangan, dan hindari kontak fisik dengan orang lain.

 

Tetapi yang terjadi, sungguh tidak demikian. Calon-calon pemimpin daerah itu, entah karena apa, seperti tidak mengindahkan anjuran pemerintah soal protokol kesehatan. Padahal mereka, kelak kalau terpilih dengan suara terbanyak, akan menjadi pemerintah juga. Bagaimana mungkin calon kepala pemerintahan tapi tidak mematuhi aturan yang dibuat oleh pemerintah?

 

Pagi tadi, saya mendapat kiriman berita yang mewartakan bahwa calon kepala daerah di salah satu kabupaten di Pulau Sulawesi, positif terpapar Covid-19. Walhasil seluruh orang yang pernah berinteraksi dengannya itu harus dilakukan tindakan swab test. Semua simpatisannya pun diimbau oleh KPU dan Bawaslu setempat untuk segera mengisolasi diri.

 

Tidak jauh dari daerah ini, ada bakal calon kepala daerah juga yang menggelar konser deklarasi. Kepolisian setempat mengungkapkan bahwa kegiatan konser itu sudah mendapat rekomendasi dari gugus tugas Covid-19 di sana. Tetapi tetap saja, dalam pelaksanaannya, si calon penguasa ini menyalahi aturan protokol kesehatan.


Dalam konser itu, tentu para peserta deklarasi di sana berdesakan. Tidak berjarak sama sekali. Bahkan, beberapa warga datang ke lokasi acara dengan tidak menggunakan masker.

 

Di Pulau Jawa pun sama. Di beberapa daerah, para calon pemimpin itu juga norak. Mengadakan arak-arakan dengan berkerumun dan berjalan menuju tempat pendaftaran di KPU setempat. Beberapa juga terlihat saling tidak berjaga jarak, berjabat tangan, dan tidak memakai masker. Bahkan, menurut saya, penggunaan masker itu pun hanya sekadar formalitas saja, sebagai gimmick di depan media.

 

Pertanyaan yang muncul kemudian, apakah tidak ada aturan yang mengatur soal itu? Tentu saja ada. Semalam saya mendapatkan draf Peraturan KPU RI Nomor 10 tahun 2020. Di dalamnya, secara tertulis ada aturan yang mengatur soal penyelanggaraan pesta demokrasi di tengah pandemi Covid-19. Misalnya, mari kita lihat pasal pasal 58 ayat 1. Aturannya berbunyi:

 

“Pertemuan terbatas serta pertemuan tatap muka dan dialog, sebagaimana dimaksud dalam pasal 57 huruf a dan huruf b, diselenggarakan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik, Pasangan Calon dan/atau Tim Kampanye dengan ketentuan sebagai berikut: (a) dilaksanakan dalam ruangan tertutup, (b) membatasi jumlah peserta yang hadir paling banyak 50 orang dan memperhitungkan jaga jarak paling kurang satu meter antarpeserta kampanye serta dapat diikuti peserta kampanye melalui media daring, (c) pengaturan ruangan dan tempat duduk harus menerapkan protokol kesehatan pencegahan dan pengendalian Covid-19, dan (d) wajib mematuhi ketentuan mengenai status penanganan Covid-19 pada daerah Pemilihan Serentak Lanjutan setempat.”

 

Kemudian, ditegaskan pula di dalam ayat 2, masih di pasal 58. Di situ tertulis, “Dalam hal metode kampanye sebagaimana dimaksud pada ayat satu tidak dapat dilakukan, pertemuan terbatas serta pertemuan tatap muka dan dialog dilakukan melalui media daring.”

 

Ketentuan peraturan setelah pasal 58 tersebut mengatur agar seluruh kegiatan kampanye dan semua acara tahapan penyelenggaraan pilkada harus dilakukan dengan minimal memperhatikan protokol kesehatan. Kalau tidak bisa demikian, maka dilakukan dengan tatap muka secara virtual.

 

Saya kemudian teringat dengan pesan Gus Dur yang sangat terkenal, bahwa sesuatu yang paling penting dari politik adalah kemanusiaan. Jadi, kepada para politisi yang menjadi kontestan pilkada serentak ini, saya sebagai rakyat meminta tolong untuk senantiasa berkomitmen dalam menjaga kemanusiaan kita.


Selain itu, saya berharap agar para calon kepala daerah beserta tim kampanye dapat mengedepankan akhlak dan etika, menaati aturan yang berlaku, dan menarik simpati para pemilih dengan cara-cara yang baik.

 

Sebab, kalau menciptakan kemaslahatan dengan menjaga protokol kesehatan saja tidak bisa, bagaimana nanti kalau sudah terpilih dan dituntut harus mampu melahirkan kemaslahatan yang lebih besar. Yakin bisa? Mari kita lihat tiga bulan ke depan. Bagaimana Pilkada di tengah pandemi berlangsung? Apakah para calon pemimpin itu dapat benar-benar menciptakan kemaslahatan? Wallahua’lam…

Rabu, 02 September 2020

Ilmu itu Mahal, Mari Kita Hargai

 

Menulis di depan Pesantren Motivasi Indonesia (PMI) Mart


Sudah lama saya tidak menulis di blog ini, karena satu dan lain hal. Di September ini, semoga saya kembali rutin menulis, melempar gagasan, sebagai bumbu penyedap pemikiran intelektual di dunia maya. Sebelumnya, mari kita berdoa agar terhindar dari marabahaya, diberikan kesehatan, dan dijauhkan dari virus mematikan bernama corona. Silakan, selamat membaca. Semoga anda suka.


Saya tak bosan-bosan, baik online maupun offline, saya sering mengungkapkan, kepada banyak kerabat, bahwa pentingnya kita menghargai ilmu. Terutama memberikan penghargaan setinggi-tingginya terhadap proses perjalanan ilmu yang tidak murah dan tidak sebentar. 


Ada banyak bidang keilmuan di dunia ini. Ilmu-ilmu itu, apabila diseriusi, dapat menjadi sebuah keahlian dan keterampilan untuk diri kita sendiri. Bahkan, bisa pula dijadikan sebagai media untuk memperoleh keuntungan materi, uang. Saya rasa, inilah yang disebut sebagai berkah atas ilmu yang kita seriusi dalam setiap proses perjalanannya. Ilmu apa saja. 


Saya, misalnya, sudah sejak lama menekuni keilmuan penulisan semacam ini. Baik penulisan berita; straight news, indept reporting, feature, dan investigasi; maupun menulis opini atau pemikiran dengan merincikan berbagai poin-poin yang akan disampaikan. Tentu saja, keahlian saya ini bukan ujug-ujug, bukan sesuatu yang datang tiba-tiba, tetapi mengalami proses yang panjang. 


Keahlian dalam menulis ini, baru saya sadari belakangan, ternyata berawal dari kegemaran saya membaca sejak kecil. Dulu, saat saya masih duduk di Taman Kanak-kanak, di TK Harapan Jaya, Semper Barat, Cilincing, Jakarta Utara, setiap hari saya tidak pernah absen untuk membeli komik serial bergambar. Saya lupa, judul komik itu apa. 


Saya merasa ada yang janggal, ketika itu, jika dalam sehari saja, saya tidak membeli komik dan tidak kemudian tidak membaca. Karena itu, ketika duduk di sekolah dasar, SDN Semper Barat 13 Jakarta Utara, saya gemar membaca-baca surat kabar yang ada di tetangga sebelah rumah.


Tetangga saya, persis berada di sebelah kiri rumah saya itu, berlangganan Koran Tempo setiap hari. Setelah surat kabar itu dibaca oleh pemiliknya, saya meminjam sebentar surat kabar itu untuk saya baca. Berbagai kabar, dari mulai pemberitaan politik internasional, nasional, sampai berita olahraga saya lahap. 


Oleh karena kesukaan saya membaca itu, maka saya sangat menyukai pelajaran bahasa Indonesia di sekolah. Nilai bahasa Indonesia saya—sejak SD, SMP (SMPN 121 Jakarta), sampai Aliyah (MANU Putra Buntet Pesantren Cirebon)—selalu memuaskan. Saya jadi memahami bagaimana cara membaca yang baik agar cepat dan mudah dipahami. 


Dari situlah kemudian, dari kesukaan saya membaca dan menyukai pelajaran bahasa Indonesia, saya jadi senang menulis. Saat di pondok, saya mulai iseng-iseng menulis puisi dan cerpen di buku yang hingga kini belum pernah saya publikasikan. Buku itu adalah buku yang sebenarnya menjadi media untuk belajar mata pelajaran ekonomi, entah saya lupa namanya. 


Ketika buku itu penuh oleh tulisan puisi dan cerpen, saya mulai membuat blog. Saya ke warnet yang berjarak—barangkali dua kilometer—dari pondok. Ya, blog ini mulanya adalah blogspot, www.aru-elgete.blogspot.com yang kemudian saya alihkan menjadi www.aruelgete.id seperti sekarang ini.


Di blog ini, pada masa-masa awal dibuat, saya sering mengunggah tulisan puisi dan cerpen. Pertamakali, saya menulis tentang cerita yang saya alami bersama dua sahabat saya di pondok, Helmy Faiz dan Muhammad Ammar. Ada banyak puisi yang sudah terunggah di blog saya ini. Puisi yang tercipta berangkat dari beragam peristiwa yang terjadi, ketika itu.


Walhasil, saya jadi menyukai dua hal sekaligus. Membaca dan menulis. Barangkali keduanya itu yang sering disebut oleh kebanyakan orang sebagai literasi. Entahlah, saya tidak paham. Tetapi bagi saya, kelihaian dalam menulis hampir sepenuhnya dipengaruhi oleh bagaimana kita membaca. Baik membaca teks di buku-buku, maupun teks di dalam peristiwa-peristiwa yang terjadi. 


Di dalam sebuah seminar literasi, Penulis Buku Keislaman kebanggaan saya, Makmun Rasyid mengatakan, penulis yang tidak pernah membaca adalah penulis yang sombong dan pembaca yang tidak pernah menulis adalah pembaca yang mengalami kerugian. Jadi, membaca dan menulis adalah dua kutub yang saling menguatkan satu sama lain. 


Pada setiap obrolan dengan teman-teman, saya pun sering memberi tips agar bisa punya keahlian menulis. Tips itu, hampir seperti nasihat. Yaitu apabila kita ingin pandai menulis cerpen, maka sering-seringlah membaca cerita atau buku-buku novel karya orang lain. Jika mau bisa menulis puisi, maka sering-seringlah membaca puisi karya orang lain. Kalau ingin pintar menulis berita dan opini, maka sering-seringlah membaca berita dan opini yang ditulis oleh orang lain.


Tapi, yang perlu dicatat dan digarisbawahi, membaca yang saya maksud itu bukan sekadar membaca, tetapi membaca yang juga memperhatikan struktur bacaan itu. Seperti logika bahasa, penempatan tanda baca, penggunaan diksi yang tepat, dan berbagai unsur lainnya yang menjadi pengaruh tulisan itu enak dibaca. Jadi, kita menulis tidak hanya asal-asalan. Proses membaca yang seperti itulah, lama-kelamaan dapat membentuk kita menjadi penulis yang andal. 


Kembali ke soal proses perjalanan saya. Ketika selesai mondok, budaya atau tradisi di keluarga saya tidak boleh langsung kuliah atau kerja. Kalaupun terpaksa harus kerja, silakan. Tetapi alangkah baiknya untuk diam di rumah dulu, selama setahun. Mengisi hari-hari dengan banyak membaca dan memperkaya intelektual.


Selama setahun di rumah itulah, saya diberi hidangan banyak buku oleh abang saya, Nisfu Syawaluddin Tsani, juga ditambah saya membeli buku lain yang sesuai dengan keinginan sendiri. Mulai dari buku keagamaan hingga sekuler, buku-buku politik kiri sampai kanan, novel hingga kumpulan cerpen dan puisi. Dari sinilah proses pembacaan saya berjalan dan membentuk saya untuk bisa menulis, sesuai dengan apa yang saya baca. 


Di blog inilah, berbagai pemikiran atas bacaan saya itu tertuangkan. Menjadi semacam portofolio perjalanan pemikiran saya dari dulu hingga kini. Sampai akhirnya, saya memutuskan, pada 2014—setahun setelah saya hanya nganggur di rumah—memutuskan untuk kuliah. Mulanya, saya ingin kuliah di jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia di perguruan tinggi negeri, tapi tidak kesampaian karena saya malas untuk mendaftar yang ribet-ribet. 


Karena itu, saya kemudian mencari lewat internet kampus yang ada jurusan soal tulis-menulis. Sebab saya sadar, Tuhan menganugerahi saya kecerdasan linguistik, maka cara saya mensyukuri nikmat itu adalah dengan mendalaminya. Akhirnya, saya putuskan untuk kuliah di Universitas Islam "45" (Unisma) Bekasi, Fakultas Komunikasi Sastra dan Bahasa (FKSB), jurusan Ilmu Komunikasi. 


Jurusan Ilmu Komunikasi di Unisma Bekasi itu terdapat dua konsentrasi. Jurnalistik dan Public Relation (Kehumasan). Oleh sebab sejak dulu, saya suka menulis dan menyadari bahwa saya dianugerahi kecerdasan linguistik, maka dengan gembira saya memutuskan untuk mengambil konsentrasi Jurnalistik di semester 5. 


Di kampus, saya merasa enjoy karena belajar soal tulis-menulis. Mulai dari Dasar-Dasar Jurnalistik, Penulisan Kreatif (Puisi dan Cerpen), Penulisan Berita dan Opini, Bahasa Jurnalistik, sampai Peliputan Investigasi. Ada banyak pengalaman keilmuan di kampus, yang saya dapati sehingga membentuk karakter dan gaya menulis saya seperti sekarang ini.


Pada 2016, saya ikut Kelas Menulis yang diadakan NU Online di Gedung PBNU lantai 5. Di situ, selain ilmu yang saya dapat dari dalam kelas di kampus, saya banyak belajar soal bagaimana media bekerja. Bukan hanya soal penulisan yang rapi, baik dan benar saja, tetapi juga mengenai ideologi yang harus dipertahankan di balik tulisan itu. 


Kini, saya menjadi bagian dari keredaksian NU Online. Menjadi salah satu pewarta di sana. Inilah jalan hidup saya, menjadi juru tulis yang tidak pernah mengandalkan 'orang dalam', nasab, atau senior untuk mendistribusikan saya ke tempat kerja. Ini semua berkat kepekaan saya atas anugerah yang Tuhan berikan dan menjemputnya dengan berproses yang sangat panjang. 


Jadi sudah sekitar hampir 10 tahun, saya berproses. Menulis, memperbaiki tulisan, mentranskrip naskah, dan kemudian terus belajar mempelajari Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI, dulu EYD). Sekarang, saya bisa menulis dan mengolah artikel sebanyak 300 hingga 600 kata dalam waktu kurang dari 30 menit. Sementara untuk artikel 1000 kata, sekitar satu jam. 


Nah pertanyaannya, berapa banyak biaya yang saya keluarkan untuk belajar menulis itu? Tentu saja sudah tidak bisa terhitung dengan jari atau angka-angka di dalam kalkulator. Selain itu, waktu yang saya jalani untuk berproses pun cukup panjang dan berliku. Sekitar 10 tahun. 


Kini, tulisan saya bukan sekadar tulisan. Tetapi tulisan yang bisa dibilang sebagai tulisan profesional. Tidak bisa hanya menulis cuma-cuma untuk orang lain, tanpa bernilai harga. Untuk tulisan yang cuma-cuma itu, yang tidak perlu diberi harga, adalah tulisan yang memang ingin saya tulis dengan tulus. Kemudian diunggah di sini, di blog pribadi saya. 


Itulah bentuk penghargaan atas anugerah Tuhan dan apresiasi terhadap proses perjalanan keilmuan. Maka, untuk menghargai itu semua, saya akan meninggalkan orang-orang atau kelompok yang saya rasa hanya memanfaatkan saya untuk menulis, tanpa dibayar. Lho, saya Sarjana Ilmu Komunikasi, nih. Hargailah proses saya dalam mencari ilmu. Dikira menulis agar enak dibaca itu gampang, bos?


Sebab, beberapa waktu ke belakang, saya pernah berada di lingkaran kelompok yang saya rasa memanfaatkan keterampilan saya ini untuk pencitraan. Kalau dibayar sih, oke-oke saja. Tapi kalau gratisan, lebih baik saya tinggalkan. Proses kehidupan yang saya anggap buruk ini, tidak akan pernah saya publikasikan terang-terangan di mana pun, karena khawatir akan dianggap sebagai pencemaran nama baik.


Oleh karena itu, saya akhirnya menyadari bahwa pengabdian terhadap ilmu jauh lebih bernilai dan mulia, daripada harus mengabdi kepada kelompok manusia yang tidak bisa menghargai proses perjalanan ilmu. Saya sudah kenyang dengan iming-iming pengabdian padahal bukan, dengan pujian-pujian, dengan tepuk tangan, dan dengan orang-orang yang hanya bisa memanfaatkan ilmu saya ini.


Walau demikian, karena saya berkomitmen untuk terus mengabdi pada ilmu, maka saya masih akan bisa menghargai orang-orang atau kelompok yang mau belajar menulis. Saya, dengan kerendahan hati dan kesadaran akal, akan siap membantu untuk itu. Sekalipun tidak dibayar dan saya memang tidak akan meminta bayaran kalau tujuannya untuk belajar agar bisa terampil menulis.


Sehingga, saya merasa bahwa salah satu penghargaan terhadap ilmu adalah dengan bersungguh-sungguh dan fokus untuk memperolehnya. Bukankah Tuhan pernah berucap janji untuk mengangkat derajat kemuliaan kita ketika mau bersungguh-sungguh secara total mencari ilmu? Maka, saya akan hargai siapa pun yang masih giat berproses untuk mendapat ilmu. 


Kesimpulannya adalah saya ingin membuat penegasan bahwa sesuatu yang mahal dari ilmu itu adalah proses perjalanannya. Karena itu, mari kita hargai siapa pun yang punya ilmu apa saja, untuk tidak memanfaatkan yang berujung pada kesakithatian semata. Saya pun demikian, akan membayar harga kepada teman-teman saya yang saya mintai tolong untuk membuat desain gambar atau mengedit video. Sebab itu adalah ilmu yang tentu melalui proses pembelajaran yang panjang.


Kemudian, saya bersyukur karena tidak pernah punya utang budi atau utang jasa kepada orang lain, kecuali kepada orangtua saya sendiri. Dalam perjalanan kehidupan saya ini, saya tidak pernah mengandalkan senior untuk memuluskan jalan menuju target yang saya idam-idamkan. Oleh karena itu, saya tentu saja akan mendedikasikan proses penghargaan ilmu ini kepada orangtua saya.


Tetapi kalau toh ada yang merasa saya punya utang budi, maka dengan sangat terbuka saya persilakan orang itu untuk mendatangi rumah saya. Insyaallah, dengan kerendahan hati dan kesadaran akal, saya akan langsung membayar kerugian karena merasa jasa dan budinya sudah saya utangi. Saya pastikan, saat itu juga, akan saya bayar. 


Terakhir, saya berpesan, mari kita sama-sama saling menghargai dan menghormati ilmu. Apa pun ilmu yang sedang kita raih atau yang sedang digeluti orang lain. Sebab, sekali lagi, yang mahal dari ilmu adalah proses perjalanannya. Waktu yang panjang dan biaya yang mahal. Sekian.