Rabu, 02 September 2020

Ilmu itu Mahal, Mari Kita Hargai

 

Menulis di depan Pesantren Motivasi Indonesia (PMI) Mart


Sudah lama saya tidak menulis di blog ini, karena satu dan lain hal. Di September ini, semoga saya kembali rutin menulis, melempar gagasan, sebagai bumbu penyedap pemikiran intelektual di dunia maya. Sebelumnya, mari kita berdoa agar terhindar dari marabahaya, diberikan kesehatan, dan dijauhkan dari virus mematikan bernama corona. Silakan, selamat membaca. Semoga anda suka.


Saya tak bosan-bosan, baik online maupun offline, saya sering mengungkapkan, kepada banyak kerabat, bahwa pentingnya kita menghargai ilmu. Terutama memberikan penghargaan setinggi-tingginya terhadap proses perjalanan ilmu yang tidak murah dan tidak sebentar. 


Ada banyak bidang keilmuan di dunia ini. Ilmu-ilmu itu, apabila diseriusi, dapat menjadi sebuah keahlian dan keterampilan untuk diri kita sendiri. Bahkan, bisa pula dijadikan sebagai media untuk memperoleh keuntungan materi, uang. Saya rasa, inilah yang disebut sebagai berkah atas ilmu yang kita seriusi dalam setiap proses perjalanannya. Ilmu apa saja. 


Saya, misalnya, sudah sejak lama menekuni keilmuan penulisan semacam ini. Baik penulisan berita; straight news, indept reporting, feature, dan investigasi; maupun menulis opini atau pemikiran dengan merincikan berbagai poin-poin yang akan disampaikan. Tentu saja, keahlian saya ini bukan ujug-ujug, bukan sesuatu yang datang tiba-tiba, tetapi mengalami proses yang panjang. 


Keahlian dalam menulis ini, baru saya sadari belakangan, ternyata berawal dari kegemaran saya membaca sejak kecil. Dulu, saat saya masih duduk di Taman Kanak-kanak, di TK Harapan Jaya, Semper Barat, Cilincing, Jakarta Utara, setiap hari saya tidak pernah absen untuk membeli komik serial bergambar. Saya lupa, judul komik itu apa. 


Saya merasa ada yang janggal, ketika itu, jika dalam sehari saja, saya tidak membeli komik dan tidak kemudian tidak membaca. Karena itu, ketika duduk di sekolah dasar, SDN Semper Barat 13 Jakarta Utara, saya gemar membaca-baca surat kabar yang ada di tetangga sebelah rumah.


Tetangga saya, persis berada di sebelah kiri rumah saya itu, berlangganan Koran Tempo setiap hari. Setelah surat kabar itu dibaca oleh pemiliknya, saya meminjam sebentar surat kabar itu untuk saya baca. Berbagai kabar, dari mulai pemberitaan politik internasional, nasional, sampai berita olahraga saya lahap. 


Oleh karena kesukaan saya membaca itu, maka saya sangat menyukai pelajaran bahasa Indonesia di sekolah. Nilai bahasa Indonesia saya—sejak SD, SMP (SMPN 121 Jakarta), sampai Aliyah (MANU Putra Buntet Pesantren Cirebon)—selalu memuaskan. Saya jadi memahami bagaimana cara membaca yang baik agar cepat dan mudah dipahami. 


Dari situlah kemudian, dari kesukaan saya membaca dan menyukai pelajaran bahasa Indonesia, saya jadi senang menulis. Saat di pondok, saya mulai iseng-iseng menulis puisi dan cerpen di buku yang hingga kini belum pernah saya publikasikan. Buku itu adalah buku yang sebenarnya menjadi media untuk belajar mata pelajaran ekonomi, entah saya lupa namanya. 


Ketika buku itu penuh oleh tulisan puisi dan cerpen, saya mulai membuat blog. Saya ke warnet yang berjarak—barangkali dua kilometer—dari pondok. Ya, blog ini mulanya adalah blogspot, www.aru-elgete.blogspot.com yang kemudian saya alihkan menjadi www.aruelgete.id seperti sekarang ini.


Di blog ini, pada masa-masa awal dibuat, saya sering mengunggah tulisan puisi dan cerpen. Pertamakali, saya menulis tentang cerita yang saya alami bersama dua sahabat saya di pondok, Helmy Faiz dan Muhammad Ammar. Ada banyak puisi yang sudah terunggah di blog saya ini. Puisi yang tercipta berangkat dari beragam peristiwa yang terjadi, ketika itu.


Walhasil, saya jadi menyukai dua hal sekaligus. Membaca dan menulis. Barangkali keduanya itu yang sering disebut oleh kebanyakan orang sebagai literasi. Entahlah, saya tidak paham. Tetapi bagi saya, kelihaian dalam menulis hampir sepenuhnya dipengaruhi oleh bagaimana kita membaca. Baik membaca teks di buku-buku, maupun teks di dalam peristiwa-peristiwa yang terjadi. 


Di dalam sebuah seminar literasi, Penulis Buku Keislaman kebanggaan saya, Makmun Rasyid mengatakan, penulis yang tidak pernah membaca adalah penulis yang sombong dan pembaca yang tidak pernah menulis adalah pembaca yang mengalami kerugian. Jadi, membaca dan menulis adalah dua kutub yang saling menguatkan satu sama lain. 


Pada setiap obrolan dengan teman-teman, saya pun sering memberi tips agar bisa punya keahlian menulis. Tips itu, hampir seperti nasihat. Yaitu apabila kita ingin pandai menulis cerpen, maka sering-seringlah membaca cerita atau buku-buku novel karya orang lain. Jika mau bisa menulis puisi, maka sering-seringlah membaca puisi karya orang lain. Kalau ingin pintar menulis berita dan opini, maka sering-seringlah membaca berita dan opini yang ditulis oleh orang lain.


Tapi, yang perlu dicatat dan digarisbawahi, membaca yang saya maksud itu bukan sekadar membaca, tetapi membaca yang juga memperhatikan struktur bacaan itu. Seperti logika bahasa, penempatan tanda baca, penggunaan diksi yang tepat, dan berbagai unsur lainnya yang menjadi pengaruh tulisan itu enak dibaca. Jadi, kita menulis tidak hanya asal-asalan. Proses membaca yang seperti itulah, lama-kelamaan dapat membentuk kita menjadi penulis yang andal. 


Kembali ke soal proses perjalanan saya. Ketika selesai mondok, budaya atau tradisi di keluarga saya tidak boleh langsung kuliah atau kerja. Kalaupun terpaksa harus kerja, silakan. Tetapi alangkah baiknya untuk diam di rumah dulu, selama setahun. Mengisi hari-hari dengan banyak membaca dan memperkaya intelektual.


Selama setahun di rumah itulah, saya diberi hidangan banyak buku oleh abang saya, Nisfu Syawaluddin Tsani, juga ditambah saya membeli buku lain yang sesuai dengan keinginan sendiri. Mulai dari buku keagamaan hingga sekuler, buku-buku politik kiri sampai kanan, novel hingga kumpulan cerpen dan puisi. Dari sinilah proses pembacaan saya berjalan dan membentuk saya untuk bisa menulis, sesuai dengan apa yang saya baca. 


Di blog inilah, berbagai pemikiran atas bacaan saya itu tertuangkan. Menjadi semacam portofolio perjalanan pemikiran saya dari dulu hingga kini. Sampai akhirnya, saya memutuskan, pada 2014—setahun setelah saya hanya nganggur di rumah—memutuskan untuk kuliah. Mulanya, saya ingin kuliah di jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia di perguruan tinggi negeri, tapi tidak kesampaian karena saya malas untuk mendaftar yang ribet-ribet. 


Karena itu, saya kemudian mencari lewat internet kampus yang ada jurusan soal tulis-menulis. Sebab saya sadar, Tuhan menganugerahi saya kecerdasan linguistik, maka cara saya mensyukuri nikmat itu adalah dengan mendalaminya. Akhirnya, saya putuskan untuk kuliah di Universitas Islam "45" (Unisma) Bekasi, Fakultas Komunikasi Sastra dan Bahasa (FKSB), jurusan Ilmu Komunikasi. 


Jurusan Ilmu Komunikasi di Unisma Bekasi itu terdapat dua konsentrasi. Jurnalistik dan Public Relation (Kehumasan). Oleh sebab sejak dulu, saya suka menulis dan menyadari bahwa saya dianugerahi kecerdasan linguistik, maka dengan gembira saya memutuskan untuk mengambil konsentrasi Jurnalistik di semester 5. 


Di kampus, saya merasa enjoy karena belajar soal tulis-menulis. Mulai dari Dasar-Dasar Jurnalistik, Penulisan Kreatif (Puisi dan Cerpen), Penulisan Berita dan Opini, Bahasa Jurnalistik, sampai Peliputan Investigasi. Ada banyak pengalaman keilmuan di kampus, yang saya dapati sehingga membentuk karakter dan gaya menulis saya seperti sekarang ini.


Pada 2016, saya ikut Kelas Menulis yang diadakan NU Online di Gedung PBNU lantai 5. Di situ, selain ilmu yang saya dapat dari dalam kelas di kampus, saya banyak belajar soal bagaimana media bekerja. Bukan hanya soal penulisan yang rapi, baik dan benar saja, tetapi juga mengenai ideologi yang harus dipertahankan di balik tulisan itu. 


Kini, saya menjadi bagian dari keredaksian NU Online. Menjadi salah satu pewarta di sana. Inilah jalan hidup saya, menjadi juru tulis yang tidak pernah mengandalkan 'orang dalam', nasab, atau senior untuk mendistribusikan saya ke tempat kerja. Ini semua berkat kepekaan saya atas anugerah yang Tuhan berikan dan menjemputnya dengan berproses yang sangat panjang. 


Jadi sudah sekitar hampir 10 tahun, saya berproses. Menulis, memperbaiki tulisan, mentranskrip naskah, dan kemudian terus belajar mempelajari Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI, dulu EYD). Sekarang, saya bisa menulis dan mengolah artikel sebanyak 300 hingga 600 kata dalam waktu kurang dari 30 menit. Sementara untuk artikel 1000 kata, sekitar satu jam. 


Nah pertanyaannya, berapa banyak biaya yang saya keluarkan untuk belajar menulis itu? Tentu saja sudah tidak bisa terhitung dengan jari atau angka-angka di dalam kalkulator. Selain itu, waktu yang saya jalani untuk berproses pun cukup panjang dan berliku. Sekitar 10 tahun. 


Kini, tulisan saya bukan sekadar tulisan. Tetapi tulisan yang bisa dibilang sebagai tulisan profesional. Tidak bisa hanya menulis cuma-cuma untuk orang lain, tanpa bernilai harga. Untuk tulisan yang cuma-cuma itu, yang tidak perlu diberi harga, adalah tulisan yang memang ingin saya tulis dengan tulus. Kemudian diunggah di sini, di blog pribadi saya. 


Itulah bentuk penghargaan atas anugerah Tuhan dan apresiasi terhadap proses perjalanan keilmuan. Maka, untuk menghargai itu semua, saya akan meninggalkan orang-orang atau kelompok yang saya rasa hanya memanfaatkan saya untuk menulis, tanpa dibayar. Lho, saya Sarjana Ilmu Komunikasi, nih. Hargailah proses saya dalam mencari ilmu. Dikira menulis agar enak dibaca itu gampang, bos?


Sebab, beberapa waktu ke belakang, saya pernah berada di lingkaran kelompok yang saya rasa memanfaatkan keterampilan saya ini untuk pencitraan. Kalau dibayar sih, oke-oke saja. Tapi kalau gratisan, lebih baik saya tinggalkan. Proses kehidupan yang saya anggap buruk ini, tidak akan pernah saya publikasikan terang-terangan di mana pun, karena khawatir akan dianggap sebagai pencemaran nama baik.


Oleh karena itu, saya akhirnya menyadari bahwa pengabdian terhadap ilmu jauh lebih bernilai dan mulia, daripada harus mengabdi kepada kelompok manusia yang tidak bisa menghargai proses perjalanan ilmu. Saya sudah kenyang dengan iming-iming pengabdian padahal bukan, dengan pujian-pujian, dengan tepuk tangan, dan dengan orang-orang yang hanya bisa memanfaatkan ilmu saya ini.


Walau demikian, karena saya berkomitmen untuk terus mengabdi pada ilmu, maka saya masih akan bisa menghargai orang-orang atau kelompok yang mau belajar menulis. Saya, dengan kerendahan hati dan kesadaran akal, akan siap membantu untuk itu. Sekalipun tidak dibayar dan saya memang tidak akan meminta bayaran kalau tujuannya untuk belajar agar bisa terampil menulis.


Sehingga, saya merasa bahwa salah satu penghargaan terhadap ilmu adalah dengan bersungguh-sungguh dan fokus untuk memperolehnya. Bukankah Tuhan pernah berucap janji untuk mengangkat derajat kemuliaan kita ketika mau bersungguh-sungguh secara total mencari ilmu? Maka, saya akan hargai siapa pun yang masih giat berproses untuk mendapat ilmu. 


Kesimpulannya adalah saya ingin membuat penegasan bahwa sesuatu yang mahal dari ilmu itu adalah proses perjalanannya. Karena itu, mari kita hargai siapa pun yang punya ilmu apa saja, untuk tidak memanfaatkan yang berujung pada kesakithatian semata. Saya pun demikian, akan membayar harga kepada teman-teman saya yang saya mintai tolong untuk membuat desain gambar atau mengedit video. Sebab itu adalah ilmu yang tentu melalui proses pembelajaran yang panjang.


Kemudian, saya bersyukur karena tidak pernah punya utang budi atau utang jasa kepada orang lain, kecuali kepada orangtua saya sendiri. Dalam perjalanan kehidupan saya ini, saya tidak pernah mengandalkan senior untuk memuluskan jalan menuju target yang saya idam-idamkan. Oleh karena itu, saya tentu saja akan mendedikasikan proses penghargaan ilmu ini kepada orangtua saya.


Tetapi kalau toh ada yang merasa saya punya utang budi, maka dengan sangat terbuka saya persilakan orang itu untuk mendatangi rumah saya. Insyaallah, dengan kerendahan hati dan kesadaran akal, saya akan langsung membayar kerugian karena merasa jasa dan budinya sudah saya utangi. Saya pastikan, saat itu juga, akan saya bayar. 


Terakhir, saya berpesan, mari kita sama-sama saling menghargai dan menghormati ilmu. Apa pun ilmu yang sedang kita raih atau yang sedang digeluti orang lain. Sebab, sekali lagi, yang mahal dari ilmu adalah proses perjalanannya. Waktu yang panjang dan biaya yang mahal. Sekian.

Previous Post
Next Post

0 komentar: