Selasa, 30 Juni 2020

Akhir Juni yang Melegakan




Jumat pagi, 26 Juni 2020 lalu, saat saya sedang berada di kamar, saya mendengar ibu bercerita dengan seorang temannya; di ruang TV yang jika saya membuka pintu kamar, maka ruang itu akan terlihat. Suara cerita ibu itu sangat mengharukan sekali. 

Kata ibu, Juni tahun ini penuh dengan kejutan dan drama. Di awal-awal Juni kemarin, keluarga kami diberi cobaan yang sangat berat. Bersyukur, cobaan itu bisa dilewati juga. Sebab, kata ibu, kami sekeluarga paham, bahwa Allah tidak akan memberikan cobaan di luar batas kemampuan hamba-Nya. 

Karunia atau anugerah itu datang, saat kelahiran Alenaya Cahaya Aksara, pada 13 Juni 2020. Sepekan setelah saya berulang tahun dan kepulangan bapak dari rumahsakit usai melakukan operasi prostat, 6 Juni 2020. Naya, panggilan si jabang bayi itu, adalah cucu pertama orangtua saya, anak pertama abang saya (Ale Nisfu Syawaluddin Tsani bersama Dwi Niar Damayanti), dan keponakan pertama saya. 


Kelahiran Naya disambut sukacita oleh seluruh anggota keluarga kami. Dia yang ditunggu-tunggu untuk segera menjadi pembeda, menjadi pemersatu, dan menjadi mediator kebahagiaan di keluarga kami. Naya adalah harapan perubahan di masa depan, baik bagi keluarganya, lingkungan sekitar, juga untuk peradaban dalam skala yang lebih luas. 

Setiap pagi, saya menyaksikan ibu (yang sekarang jadi nenek atau Mbah Uti—panggilan dalam tradisi Jawa), menjemur Naya dan kemudian memandikannya. Inilah aktivitas baru, yang walaupun melelahkan, tetapi sungguh menyenangkan. Ibu, tentu saja bahagia, karena Naya adalah cucu pertama. Saya pun turut bahagia karena seumur hidup, baru kali ini saya merasakan betapa bahagianya punya adik bayi di dalam rumah. 

Ya, saya anak bontot. Tidak punya adik. Maka wajar, kalau Naya menjadi 'pelampiasan' atas kerinduan terhadap ketiadaan selama ini. Singkatnya, Naya merupakan kebahagiaan bagi keluarga kami. Bahagia yang bukan hanya sebatas bahagia semata, tetapi entah—tak terdefinisi. Namun, wujud kebahagiaan itu nyata-nyata ada pada bapak, yang kemudian sembuh dari penyakitnya. 

Berkat kehadiran Naya pula, saya jadi semangat untuk segera menyelesaikan skripsi yang sudah 2 tahun terhenti, dan sudah 6 tahun saya berstatus sebagai mahasiswa. Naya—sebagaimana namanya juga (Cahaya)—menjadi penerang atas kebuntuan saya selama ini mengerjakan skripsi. Betul saja, tanggal 24 Juni, akhirnya saya sidang skripsi juga dan berhasil mendapatkan nilai yang cukup memuaskan.

Baca juga: Sebuah Catatan: Perjalanan Mempertahankan Idealisme

Di akhir Juni ini, semua cobaan itu sudah terlewati. Mungkin saja, di depan, akan ada cobaan-cobaan serupa yang lebih mengagetkan atau bahkan menakutkan. Tetapi, semoga saja mental kami sekeluarga sudah bisa tahan banting dan kuat menghadapi semuanya. Sebab, seperti kata pepatah, semakin tinggi pohon maka akan semakin besar embusan angin yang mencoba meruntuhkannya. Begitu pun hidup. 

Namun setidaknya, untuk jangka waktu yang hanya sebulan ini, kami sudah berhasil melewati cobaan yang hampir saja membuat drop. Berkat kekuatan doa, dan terutama kelahiran atau kehadiran bayi di rumah, membuat kebahagiaan menjadi topik utama perbincangan hangat di dalam rumah, belakangan ini. 

Ke depan, saya tentu menyadari akan ada banyak kerikil-kerikil tajam yang akan mengganggu perjalanan menuju masa depan. Tetapi, yang harus diperhatikan, bukan soal kesadaran tentang bahaya atas kerikil itu, melainkan soal bagaimana strategi melewati kerikil itu. Semua hal di dunia ini, memang harus dihadapi dengan serius dan sepenuh hati. 

Kita seperti sedang hidup di belantara hutan, yang tidak pernah tahu ada ancaman dari sisi sebelah mana. Kita hanya diwajibkan untuk selalu waspada dan tentu saja menjaga perilaku agar tidak mengganggu 'yang lain'. Sementara agar kita bisa terus menerabas belantara hutan itu, kita mesti menghadapi segala yang ada di hadapan; tetapi sekali lagi, harus dengan hati-hati dan kewaspadaan yang ekstra. 

Begitulah hidup. Kita harus hati-hati terhadap segala kemungkinan yang bakal terjadi. Kita dituntut pula untuk menghadapinya dengan serius dan tidak main-main. Kalau ternyata, di tengah perjalanan, ada hal-hal atau ada orang-orang yang menjadi pengganggu atau penghalang keberhasilan kita, maka kita harus sesegera mungkin menghadapi dan kemudian meninggalkannya. 

Selamat tinggal Juni 2020. Terima kasih sudah memberi banyak pelajaran berharga. Selamat datang Juli 2020. Kita lihat, apa yang akan terjadi di bulan depan? Mari kita menjadi peka terhadap segala yang terjadi di sekitar, agar kita mampu memiliki daya dan kuasa untuk menghadapi rintangan yang lebih besar berikutnya. Wallahua'lam...

Jumat, 26 Juni 2020

Sebuah Catatan: Perjalanan Mempertahankan Idealisme


Foto seusai sidang skripsi 

Rabu, 24 Juni 2020 adalah momentum bersejarah dalam hidup saya, karena akhirnya sidang skripsi juga, dan dinyatakan lulus (walau dengan syarat harus mengerjakan revisi sampai batas waktu yang ditentukan). Bahkan, nilai skripsi saya cukup memuaskan: yakni 88 atau dalam huruf adalah A.

Tetapi, saya lulus kuliah tidak tepat waktu. Lalu bagaimana? Bagi saya, itu bukan masalah. Sebab, masalah akan timbul ketika selesai kuliah tapi ilmu selama kuliah (yaitu ilmu komunikasi atau Jurnalistik, kalau saya), tidak dipergunakan dengan sebaik mungkin. Ya, meskipun saya tidak lulus tepat waktu tapi setidaknya saya lulus di waktu yang tepat. 

Saya lulus di saat skripsi saya benar-benar 'matang', di saat jam terbang saya di luar pun sudah lumayan memadai sehingga mampu menyampaikan presentasi hasil penelitian dengan tenang dan meyakinkan, dan di saat (saya merasa) harapan itu hampir hilang. Saya bersyukur, diberikan waktu untuk bisa merasakan nikmatnya mengerjakan skripsi sebagaimana yang dirasakan teman-teman seangkatan saya, dua atau setahun yang lalu. 

Sejak 2014 kuliah, jujur saja, saya tidak pernah sama sekali mengulang matakuliah. Indeks prestasi saya pun hampir selalu bagus. Hanya sekali saja saya mendapat indeks prestasi di bawah 3. Yaitu, kalau tidak salah, pada semester 4 atau 5. Selebihnya, di atas 3. Sebab saya punya prinsip, jangan sampai saya sekelas dengan adik kelas. 

Kemudian masalah timbul setelah saya menyelesaikan semua matakuliah. Menyelesaikan laporan kuliah kerja nyata dan praktik profesi, pada semester 7. Di semester 8, saya mulai acuh tak acuh terhadap perkuliahan. Ini yang tidak boleh ditiru oleh adik-adik kelas saya, biarlah menjadi catatan hitam saya sendiri agar bisa dijadikan pelajaran dan dipetik hikmah di balik peristiwa ini.

Lingkaran Setan

Ketika sudah seharusnya saya menyelesaikan studi, saya justru 'berselancar' di luar kampus. Mencari kesibukan yang lain. Bahkan, hingga saat ini, saya sendiri tidak tahu kenapa waktu itu lebih memilih 'keluar' dari kampus mencari kesibukan yang lain. Sesuatu yang dicari pun, tidak sama sekali ditemukan. Nihil. 

Di luar kampus, pada sekira 2018, saya menjadi relawan politik. Ini bodoh sekali. Baik menjadi relawan politik di tingkat daerah (Pilkada Kota Bekasi), maupun di tingkat nasional (Pilpres 2019). Hasilnya apa? Nihil. Pascapilpres semua berubah. Saya seperti disadarkan oleh banyak kejadian yang hampir saja meluluhlantakkan idealisme saya. 

Akhirnya, pertengahan 2019 saya mulai meninggalkan lingkaran yang politis itu. Sebuah lingkaran yang hanya berorientasi pada kepentingan diri sendiri. Perut kenyang, hati senang. Idealisme? Hancur-lebur. Bagi saya, orang-orang yang ada di lingkaran itu, terutama mereka yang semula sepakat menjaga kesucian idealisme tapi akhirnya tergoda juga dengan iming-iming 'duit haram', adalah orang-orang yang munafik. 

Saya tidak menemukan kebenaran di dalam lingkaran itu. Semua sudah bias, karena yang ada hanya pembenaran-pembenaran yang sifatnya politis. Bahkan, orang-orang di lingkaran itu sudah sangat diplomatis gaya bicaranya. Mirip politisi-politisi anyaran yang belagu karena baru jadi orang kaya, dari duit hasil pemalsuan dokumen-dokumen yang diserahkan ke negara. 

Bersyukur sekali saya tersadar bahwa lingkaran itu benar-benar tidak baik. Sehingga saya menarik diri, tetapi bukan menyerah. Saya lebih memilih untuk tetap menjaga idealisme agar tidak runtuh, sekalipun (misalnya, entah kapan) saya juga terjun ke dunia yang politis. Tetapi saya akan memilih tempat yang bisa benar-benar menampung idealisme saya ini. Tidak sembarangan. 

Gusdurian Bekasi Raya

Pertengahan 2019, saya mulai aktif bersama Gusdurian Bekasi Raya. Saya menjadi pelaku kebinekaan. Berkeliling membangun dialog ke lingkaran-lingkaran kecil untuk menyampaikan kebenaran Tuhan. Bahwa agama pasti mengajarkan kesucian dan kebaikan, tetapi dirusak oleh segelintir orang yang merasa paling suci dan paling baik. Di Gusdurian, saya kembali bertemu dengan orang banyak. 

Orang-orang yang saya temui dari perjalanan menjadi pelaku kebinekaan ini adalah mereka yang tulus. Tidak sama sekali ada unsur politis, apalagi memanfaatkan sebuah momentum pertemuan untuk misalnya demi kepentingan jabatan di Kota Bekasi. Saya tidak kepikiran soal itu. Sebab saya hanya ingin membangun dan mengimplementasikan ajaran luhur agama: yaitu cinta-kasih. 

Dari situlah kemudian saya berhasil menyelesaikan skripsi, karena di lingkaran bersama Gusdurian ini diisi oleh orang-orang yang selalu menyemangati. Bukan justru mereka menjadi racun apalagi penghalang saya untuk maju. Maka, judul skripsi saya adalah "Sinergi Komunikasi dalam Menjaga Kerukunan Umat Beragama di Kota Bekasi". Skripsi saya itu adalah idealisme saya sendiri. Saya lega rasanya, bisa menyampaikan sebuah hasil penelitian dari perwujudan gagasan dan pemikiran saya soal bagaimana menciptakan kerukunan itu. 

Namun, di saat saya sedang semangat-semangatnya berkeliling membangun relasi antaragama itu, saya kembali diserang rasa malas untuk mengerjakan skripsi. Padahal skripsi saya adalah semacam 'catatan' dari perjalanan yang sedang saya tempuh itu. Di momen ini, saya sempat hopeless (hilang harapan). Bahkan terbersit di pikiran saya untuk tidak menyelesaikan kuliah. 

Di saat-saat itu, wajah orangtua saya yang sudah mulai sepuh itu menyeruak di pikiran menjelang tidur. Bahkan ocehan ibu untuk saya agar menyelesaikan studi S1 itu, selalu terngiang di telinga. Seakan-akan suara itu kembali terdengar ketika saya 'jauh' berkelana. Saya hilang harapan karena untuk memulai garapan skripsi, butuh niat yang kuat dan tekad yang bulat. 

Kekuatan Doa

Setelah hampir putus-asa itulah, pada akhir 2019, saya mendatangi acara tabligh akbar yang diadakan oleh alumni Buntet Pesantren, di masjid Perumahan Prima Harapan, Bekasi Utara. Tabligh akbar itu mendatangkan Ustadz Yusuf Mansur. Saya datang dengan membawa harapan agar mampu menuntaskan masalah yang sedang dihadapi. Barangkali sang ustadz mampu memberikan solusi. Begitu pikir saya, ketika itu.

Di awal Januari 2020, saya kemudian teringat tips atau cara mengatasi masalah ala Ustadz Yusuf Mansur yang disampaikannya dalam acara tabligh akbar di pengujung tahun 2019 itu. Yaitu doa. Prinsipnya: Allah dulu, Allah lagi, Allah terus. Doa apa yang diajarkan oleh UYM ini? Yakni doa untuk orang lain yang sedang dilanda kesusahan sebagaimana kita.

Artinya, kalau kita sedang kesulitan karena kemiskinan maka kita harus mendoakan orang-orang di sekeliling kita yang miskin agar menjadi kaya. Atau kalau kita sedang kesulitan mencari jodoh, maka kita harus mendoakan orang lain di sekitar kita agar cepat dapat jodoh. Nah soal skripsi ini, saya menjalankan amalan yang sangat sederhana itu. 

Setiap selesai salat, saya mendoakan teman-teman dan adik-adik kelas saya agar dimudahkan dalam menggarap skripsi. Saya juga berdoa agar mereka tidak dipersulit dalam prosea kelulusan atau 'dibantai' ketika presentasi hasil penelitian di hadapan dosen penguji, di ruang sidang. Apakah doanya harus menggunakan bahasa arab? Tentu saja tidak. Allah paham semua bahasa, kok.

Doa yang baik, menurut UYM dan saya sepakat, adalah doa yang dirincikan serinci-rincinya. Kita harus mempreteli doa itu. Sebut nama siapa orang yang sedang kita doakan, sebut apa yang ingin kita doakan. Semuanya harus disebutkan dengan sangat rinci. Ya, Allah Mahateliti atas segala sesuatu yang tidak terlihat, terdengar, dan terdeteksi oleh hamba-Nya. 

Kenapa kok kita harus mendoakan orang lain untuk bisa menyelesaikan masalah kita sendiri? Jawabannya adalah karena kalau kita berdoa untuk diri sendiri, akan ada banyak penghalang: dosa yang terlalu banyak dan amal kebaikan yang sangat sedikit. Tetapi berbeda halnya kalau kita mendoakan orang lain. Berdoa untuk orang lain sama sekali tidak ada batas penghalangnya.

Bahkan, malaikat rahmat tidak segan-segan mendoakan si pendoa, yakni kita sendiri, untuk mendapatkan hal serupa dari yang kita doakan untuk orang lain. Itulah sebabnya kenapa para guru, ulama, dan kiai kita sering mengajak umat Islam untuk saling berdoa satu sama lain. Saya pikir, di agama lain, juga menerapkan hal yang sama. Ya, saling mendoakan. 

Sebenarnya, saya juga punya satu amalan lagi saat beberapa hari menjelang sidang skripsi. Artinya, saya juga menempuh 'jalur langit' untuk bisa tenang dan enjoy dalam menghadapi sidang akhir itu. Apakah amalan itu? Silakan langsung saja kita obrolin melalui jalur pribadi. Hahahahahahaa.

Terakhir, saya ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada semua yang telah terlibat dalam proses penggarapan skripsi yang merupakan idealisme saya itu. Terima kasih telah membantu saya dalam menyelesaikan skripsi, sekalipun hanya membantu lewat doa dan asupan motivasi untuk saya. Itu sangat berguna. 

Terkhusus, kepada keluarga saya dan orangtua saya yang tidak pernah lelah bertanya: kapan sidang? dan kakak-kakak saya yang sering mengatakan: buruan dikerjain skripsinya, jangan main mulu, ibu-bapak udah tua. Ini adalah salah satu penyemangat saya. Terima kasih atas segala hal. 


Alhamdulillah.Wallahua'lam...

Jumat, 12 Juni 2020

JUMATAN: Berdamai dengan Diri Sendiri


Senja Selat Sunda (2016)

Selamat Jumat. Semoga kita senantiasa diberi kuat dan sehat, agar selalu mampu menjalani hari-hari dengan penuh semangat, hingga segala yang dibutuhi segera didapat. Sesi Jumatan kali ini, saya ingin membahas soal bagaimana mampu berdamai dengan sendiri. Termasuk dan terutama juga, mengelola ego yang meluap-luap di dalam diri.

Kita, tentu saja, bukan malaikat yang memiliki semangat untuk selalu taat. Tetapi kita juga bukan iblis, pemeran tokoh antagonis, yang selalu berbuat bengis dan sadis. Bukan pula binatang yang hanya diberi nafsu tetapi tak punya daya akal untuk berpikir, sehingga ia selalu saja tergelincir tanpa akhir. Ya, kita adalah manusia yang diberikan 'peralatan' dengan sangat komplit, sehingga kita disebut-sebut sebagai makhluk yang benar-benar konkret. 

Namun karena peralatan yang diberikan Tuhan kepada kita begitu sangat lengkap, kita seringkali diperhadapkan dengan berbagai perangkap. Ditambah pula sifat Tuhan yang maha membolak-balikkan hati dengan sesuka dan sekuasa-Nya saja. Dia pemegang mutlak hati kita. Dia yang memiliki kuasa di atas segala daya dan upaya manusia. Tak bisa diganggu gugat, barang sesaat. 

Di dalam kitab suci pula, Tuhan menyatakan bahwa sekecil apa pun perbuatan baik yang kita lakukan pasti akan mendapatkan ganjaran yang setimpal. Begitu pula halnya sekecil apa pun kejahatan yang kita jalani, pasti akan mendapat balasan yang tak bisa dikurang-kurangi. Itulah manusia. Diciptakan dengan wujud paling sempurna ketimbang makhluk yang lainnya, yang kemudian akan terjerumus di tempat yang serendah-rendahnya. Tetapi bagi manusia yang mampu menyemai kebaikan kepada apa dan siapa saja, ia akan mendapat pahala yang tidak akan putus selama-lamanya.

Lalu bagaimana jika kita pernah dikecewakan atau mengecewakan? Pernah menyakiti atau disakiti? Pernah tidak menganggap keberadaan orang lain atau pernah tidak dianggap ada oleh orang lain? Ini menjadi dilema tersendiri, dan tentu saja kedua hal yang saling bertentangan (yang saya sebutkan tadi) itu pernah menjumpai atau tidak sengaja kita jumpai di dalam hidup ini.

Idealnya, kata para bijak bestari, kita mesti keras kepada diri sendiri sekaligus juga harus lembut kepada orang lain. Jadi, mari kita berkaca pada diri sendiri. Sebab apa yang menjadikan kita, saat ini, merasa sangat tidak berharga dan sama sekali tidak dihargai oleh yang lain? Atau jangan-jangan justru perbuatan kita sendirilah yang menjadikan diri kita ini menjadi tak berharga dan dihargai? Ini penting kita resapi untuk memperbaiki keadaan dan keberadaan kita di kemudian hari.

Hujan deras semalam yang berdurasi cukup lama, jujur saja, memberikan ruang bagi saya untuk berkaca. Mendalami diri sendiri. Memandang ke dalam. Memasuki setiap ruang dan sudut terkecil di dalam diri yang bisa jadi adalah penyebab dari ketidakberdayaan saat ini. Saya rasa, hujan memang kerap menjadi memonetum yang sangat tepat untuk melakukan kontemplasi mendalam. 

Di tengah gemuruh hujan itu, saya membatin. Saya pernah dikecewakan. Saya pernah tidak ingin memaafkan orang yang menaruh kecewa dan menggoreskan luka paling dalam pada lubang terkecil di hati. Saya juga meyakini, ada orang yang merasa sudah dikecewakan oleh saya karena sikap yang telah saya pertunjukkan di atas pentas kebencian. Sebagai manusia biasa, hal itu menjadi sangat lumrah, atau biasa kita sebut sebagai: manusiawi. 

Tetapi, entah ini pembelaan atau bukan, saya lebih memilih untuk tidak tampil di permukaan setelah kesakithatian itu menyeruak ke dalam sendi kehidupan. Saya lebih memilih untuk menghindar dari kerumunan, daripada tetap berada pada lingkaran yang selalu mengatasnamakan khidmat dan pelayanan; tetapi padahal sangat berbanding terbalik dengan yang terjadi di lapangan. Saya lebih memilih untuk tidak ikut campur tangan, daripada terus-menerus disesaki oleh teatrikal penuh intrik yang sangat menjijikkan. 

Seraya dengan sikap yang demikian, saya berpikir dalam-dalam dan meresapi diri penuh-sungguh. Inilah rupanya keangkuhan 'aku' yang sudah sangat dominan. Namun, kembali saya berpikir, urusan akan semakin kacau jika saya terus-menerus berada pada titik yang sama dalam waktu lama, di tengah kerumunan orang-orang yang kerap bermain dengan komitmen dan kesungguhan. Maka, pembelaan yang ada di dalam diri adalah agar mampu memilih jalan yang pahit sekalipun. Menyepi dari keramaian. Menghindari kerumunan. Memilih sunyi dari kegaduhan. 

Jujur, saya pernah merasa bodoh (atau mungkin dibodohi) karena dengan tulus-ikhlas memberikan segala kemampuan diri untuk keramaian yang sama sekali tak memberi makna secuilpun dalam hidup saya. Saya pernah mengumpat di dalam hati untuk tidak memberi maaf kepada siapa pun yang telah mengecewakan (tetapi dengan catatan) sebelum saya mampu memaafi diri yang sangat bodoh karena telah dibodohi (berkali-kali).

Hingga kini pun, saya belum bisa memberikan maaf, walau sedikit saja, untuk diri saya sendiri. Jika demikian yang terjadi, lalu pertanyaannya adalah: bagaimana mungkin saya bisa memaafkan orang-orang yang telah berkontribusi pada penciptaan kebodohan yang kemudian ditanam dalam-dalam di diri saya; sementara saya sendiri belum mampu berdamai dan memaafi diri sendiri?

Maka, saya meyimpulkan (walaupun entah ini simpulan yang baik atau tidak) bahwa berdamai dengan diri sendiri itu menjadi hal yang sangat penting sebelum kita mampu berdamai dengan orang lain. Kalau kita belum mampu berdamai dengan diri sendiri, lalu tetiba berkata telah mampu berdamai dengan orang lain yang telah mengecewakan kita, maka sebenarnya itu bukanlah kesungguhan; tetapi hanya serupa kemunafikan yang manis di bibir saja. 

Sekali lagi, mari kita berdamai dengan diri sendiri terlebih dulu sebelum mampu berdamai dengan orang lain. Mari kita memaafi diri sendiri, sebelum kita berbuat untuk memberi maaf kepada orang lain. Bisakah kita memberikan damai dan maaf pada diri sendiri dengan sungguh-sungguh? Jawabannya tentu saja bisa, tetapi harus melewati berbagai tahap dan proses yang tidak sebentar.

Kepada teman-teman pembaca yang mulia, sungguh tulisan ini dibuat bukan untuk menyindir siapa pun, kecuali diri sendiri. Syukur-syukur bisa dijadikan juga untuk permenungan, sehingga kita mampu sama-sama merenung dan berdampak pada tatanan kehidupan yang rendah hati. Mari meresapi dan memaafi diri. Wallahua'lam...

Kamis, 04 Juni 2020

Awal Juni yang Memilukan




Biasanya saat Juni datang, saya sangat gembira. Menyambut bulan yang banyak para cendekiawan bangsa Indonesia, dilahirkan. Terlebih, saya merasa bangga juga, karena dilahirkan tepat di hari ulang tahun Bung Karno: 6 Juni. Tetapi Juni tahun ini, saya rasa berbeda sama sekali. 

Saya seperti dihujani pilu. Ada kecemasan, ketakutan, dan kesedihan yang mendalam. Hujan ini adalah ujian. Terutama bagi keluarga. Saya semacam diuji untuk meningkatkan kadar cinta dan kepedulian terhadap keluarga. Tetapi ujian ini sungguh berat, walaupun saya paham bahwa Tuhan tidak pernah memberikan hujan ujian di luar batas kemampuan hamba-Nya. 

Memasuki Juni, bapak memutuskan untuk melakukan operasi prostatitis. Sebuah penyakit yang sudah diderita sejak lama. Penyakit ini sungguh menyedihkan. Setiap malam, bapak beser. Saat buang air kecil, hanya sedikit saja air seni yang keluar, dan itu terasa sangat menyakitkan. Semula bapak takut untuk dioperasi, tapi demi kebaikan akhirnya bapak mau juga untuk operasi prostatitis. 

Saya baru tahu prostatitis itu apa setelah membaca penjelasannya di internet. Di website atau portal yang kredibel membahas soal medis. Saat tahu bahwa prostatitis ini begitu sangat menyakitkan, hati saya terasa sangat pilu. Sedih sekali. Betapa saya meyakini bahwa bapak adalah lelaki paling kuat dan tangguh di dalam keluarga. Sejak muda, bapak banting-tulang bekerja mencari nafkah untuk memperkuat ketahanan pangan internal 'negara' kecilnya ini.

Namun lantaran bapak terlalu keras beraktivitas, menjadi salah satu penyebab ia diserang penyakit yang menyakitkan itu. Bapak akhirnya memutuskan untuk operasi prostatitis di RS Anna Medika, Bekasi Utara, pada Rabu lalu. Sejak selasa, bapak sudah dibawa ke rumahsakit untuk persiapan operasi. Ditunggui oleh ibu di sana. Sementara saya di rumah. 

Malam Rabu, saat di rumah, saya tidak sama sekali bisa tidur barang sekejap saja. Saya kepikiran soal bapak yang pasti merasakan sakit pasca-operasi nanti. Saya tahu bahwa pemulihan pasca-operasi itu menyakitkan karena membaca banyak artikel tentang prostatitis di internet. Saya menjadi was-was dan bertambah 'parno' saat di tengah malam menjelang subuh, mendengar kicauan burung yang sangat ramai. Sebuah pertanda, bagi manusia Jawa, bahwa akan ada musibah yang akan datang. Entah kepada diri sendiri, keluarga, atau tetangga di lingkungan sekitar rumah. 

Keesokan harinya, saya ke rumahsakit. Menemani ibu mengurusi administrasi dan berbagai keperluan yang harus dilengkapi sebelum bapak menjalani operasi. Hati saya menjadi sangat teriris, saat menandatangani lembar persetujuan operasi yang diberikan dari pihak rumah sakit.

Surat itu, yang harus ditandatangani oleh keluarga pasien (kurang-lebih) berbunyi:
"Saya (keluarga pasien maksudnya) menyadari bahwa dokter adalah manusia biasa yang bisa salah. Tetapi dokter telah memiliki ilmu medis yang sangat mumpuni. Saya juga menyadari bahwa yang memberikan kesembuhan bukanlah dokter, melainkan Tuhan Yang Maha Esa. Sementara dokter hanya sebagai perantara dan mediator atas kesembuhan saja."

Ya, saya pahami kalimat itu dalam-dalam. Maka, saya merasa bahwa diri ini sangat kecil sekali di dunia. Tidak ada daya dan kuasa, melainkan kemahadigdayaan Allah itu sendiri. Manusia hanya bisa berusaha dan berdoa, tetapi tetap keputusan sudah Allah gariskan. Sejak Rabu siang itu, saya tidak berhenti-berhenti menbacakan surat Al-fatihah buat bapak. Mengetuk pintu langit dan berharap dijawab oleh Allah agar membantu meringankan sakit bapak. 

Saya juga meminta kepada teman-teman, di media sosial, siapa saja, untuk mendoakan kesembuhan bapak. Hati sangat terpukul melihat bapak, usai menjalani operasi, merasakan sakit yang dirasakan di kantung kemih. Rasanya mau kencing tapi tidak bisa, demikian yang bapak rasakan. Bapak teriak-teriak, memohon ampun kepada Allah, dan bahkan menangis. Saya pasrah. Meminta bantuan kepada perawat di sana untuk segera mengambil tindakan agar bapak kembali tidak apa-apa. 

Sungguh, ini pengalaman saya yang paling menakutkan. Terhitung tiga kali bapak merasakan sakit yang sangat sakit pada Rabu malam pasca-operasi. Saya berjaga malam hari. Teman-teman yang pernah membaca atau tahu bagaimana proses pemulihan pasca-operasi prostatitis pasti paham. Si pasien tidak boleh bergerak sama sekali, walau sedikit saja, karena itu akan membahayakan pasien sendiri. Sementara bagi penunggu, tidak boleh tidur walau sekejap. Harus fokus menunggui pasien untuk mengganti air infusan yang masuk dan membuang air bercampur darah yang keluar, perduapuluh menit. 

Semalaman saya tidak bisa tidur. Saya ditemani Mas Nisfu yang datang untuk menemani begadang sekitar jam 11 malam. Begitu tiba, Mas Nisfu langsung mengambil tindakan nonmedis. Ia duduk bersila di hadapan botol air minum bapak dan membaca wirid yang sudah sejak lama diamalkan. Lalu, air itu ditiupkan. Berharap agar ketika bapak minum, rasa sakit akan berkurang. 

Sementara saya, hanya bisa membaca surat alfatihah berulangkali sembari memandang pilu bapak yang kadang tidur kadang terjaga. Saya juga meminta kepada teman-teman melalui chat atau melalui postingan di media sosial untuk membantu memberikan doa yang tulus-ikhlas buat bapak. Tidak sadar, berkali-kali saya menitikkan airmata. Sungguh, ini adalah Juni paling berat yang saya rasakan. Saya betul-betul ketakutan. Entah apa yang ditakuti. 

Selain bapak yang harus ditunggui karena sakit, ada pula yang harus dijaga. Yaitu Mbak Niar. Istri Mas Nisfu. Berdasarkan prediksi, Mbak Niar akan melahirkan anak pertamanya di awal-awal bulan ini. Di bawah tanggal 10. Oleh karenanya, rumah tidak boleh kosong. Harus ada orang untuk menjaga Mbak Niar kalau suatu waktu merasa mules karena si jabang bayi hendak keluar. Mbak Niar dan Mas Nisfu kini tinggal di samping rumah. Bekas kontrakan milik orangtua kami. 

Jujur saja, saat ini saya merasa sebagai orang yang paling pengecut dan penakut. Saya khawatir ada hal-hal yang tidak diinginkan. Tetapi sebagai manusia, tentu saja saya dan keluarga berharap agar semua baik-baik saja. Maka, segala macam ikhtiar harus diupayakan. Bagi saya, momentum memilukan ini menjadi awal kembali bagi kerekatan hubungan emosional keluarga. 

Mungkin, saya mencoba berprasangka baik, bahwa yang dialami sekarang merupakan ujian bagi saya, karena selama ini seperti acuh tak acuh kepada keluarga. Saya lebih mempedulikan orang lain, walaupun bukan berarti saya tidak peduli dengan keluarga. Hanya saja, porsi untuk keluarga lebih sedikit dari kepedulian saya terhadap yang lain. Dan inilah saat Allah menegur saya agar mampu 'menjaga' keluarga. 

Saat ini juga, saya bersama Gusdurian Bekasi Raya tengah menggalang dana untuk kesembuhan Dik Irna yang tinggal di Muaragembong: salah satu kecamatan terjauh di Kabupaten Bekasi yang jarang 'terjamah' oleh pemerintah daerah. Buktinya, ada Dik Irna yang sudah sejak 8 tahun lalu menderita Malnutrisi alias kurang gizi. Saya terketuk. Akhirnya memutuskan untuk menggalang dana di Kitabisa. Bagi teman-teman yang ingin berdonasi, bisa berdonasi dengan klik link www.kitabisa.com/bantuirnasembuh

Saya pun berkeinginan membantu donasi untuk Dik Irna. Oleh karenanya, saya mengikuti lomba puisi yang diadakan DPC PDI Perjuangan Kota Bekasi. Lomba puisi itu bertema Bung Karno dan Pancasila yang diunggah di akun instagram pribadi saya. Syukur-syukur mendapat juara 1, tetapi minimal masuk final (6 besar) yang nantinya akan membacakan puisi di hadapan dewan juri pada 7 Juni mendatang. Berapa pun hasilnya, jika menang, entah di juara 1 atau bahkan juara harapan 3, sebagian hadiahnya akan saya donasikan untuk Dik Irna. Sebagiannya lagi untuk menambahi biaya sidang akhir pada akhir Juni nanti. 

Di situasi yang sangat genting ini, saya juga harus merapikan kembali berkas-berkas skripsi yang sudah dikerjakan sejak 2 tahun lalu, tapi belum juga disidangkan. Lalu, saya akan mendaftar sidang saat nanti bapak sudah pulang dari rumahsakit. Semoga semua baik-baik saja dan tentu saja kebaikan akan datang tepat pada waktunya. 

Sekali lagi, saya mohon keikhlasan doa dari teman-teman semua yang baik hati, untuk kesembuhan bapak saya dan kelancaran persalinan Mbak Niar. Saya juga mohon doa agar penggalangan dana untuk Dik Irna berjalan sesuai harapan, saya pun bisa berdonasi karena menjadi juara lomba puisi tanggal 7 nanti, dan tentu saja bulan ini saya bisa lulus menjadi sarjana; yang sudah 2 tahun lamanya tertunda. Sungguh, ini adalah Juni yang sangat berkesan. Keluarga saya, dan terutama saya sendiri, dihujani bebatuan ujian yang sangat memilukan.

Ya Allaaaaaah....