Kamis, 04 Juni 2020

Awal Juni yang Memilukan




Biasanya saat Juni datang, saya sangat gembira. Menyambut bulan yang banyak para cendekiawan bangsa Indonesia, dilahirkan. Terlebih, saya merasa bangga juga, karena dilahirkan tepat di hari ulang tahun Bung Karno: 6 Juni. Tetapi Juni tahun ini, saya rasa berbeda sama sekali. 

Saya seperti dihujani pilu. Ada kecemasan, ketakutan, dan kesedihan yang mendalam. Hujan ini adalah ujian. Terutama bagi keluarga. Saya semacam diuji untuk meningkatkan kadar cinta dan kepedulian terhadap keluarga. Tetapi ujian ini sungguh berat, walaupun saya paham bahwa Tuhan tidak pernah memberikan hujan ujian di luar batas kemampuan hamba-Nya. 

Memasuki Juni, bapak memutuskan untuk melakukan operasi prostatitis. Sebuah penyakit yang sudah diderita sejak lama. Penyakit ini sungguh menyedihkan. Setiap malam, bapak beser. Saat buang air kecil, hanya sedikit saja air seni yang keluar, dan itu terasa sangat menyakitkan. Semula bapak takut untuk dioperasi, tapi demi kebaikan akhirnya bapak mau juga untuk operasi prostatitis. 

Saya baru tahu prostatitis itu apa setelah membaca penjelasannya di internet. Di website atau portal yang kredibel membahas soal medis. Saat tahu bahwa prostatitis ini begitu sangat menyakitkan, hati saya terasa sangat pilu. Sedih sekali. Betapa saya meyakini bahwa bapak adalah lelaki paling kuat dan tangguh di dalam keluarga. Sejak muda, bapak banting-tulang bekerja mencari nafkah untuk memperkuat ketahanan pangan internal 'negara' kecilnya ini.

Namun lantaran bapak terlalu keras beraktivitas, menjadi salah satu penyebab ia diserang penyakit yang menyakitkan itu. Bapak akhirnya memutuskan untuk operasi prostatitis di RS Anna Medika, Bekasi Utara, pada Rabu lalu. Sejak selasa, bapak sudah dibawa ke rumahsakit untuk persiapan operasi. Ditunggui oleh ibu di sana. Sementara saya di rumah. 

Malam Rabu, saat di rumah, saya tidak sama sekali bisa tidur barang sekejap saja. Saya kepikiran soal bapak yang pasti merasakan sakit pasca-operasi nanti. Saya tahu bahwa pemulihan pasca-operasi itu menyakitkan karena membaca banyak artikel tentang prostatitis di internet. Saya menjadi was-was dan bertambah 'parno' saat di tengah malam menjelang subuh, mendengar kicauan burung yang sangat ramai. Sebuah pertanda, bagi manusia Jawa, bahwa akan ada musibah yang akan datang. Entah kepada diri sendiri, keluarga, atau tetangga di lingkungan sekitar rumah. 

Keesokan harinya, saya ke rumahsakit. Menemani ibu mengurusi administrasi dan berbagai keperluan yang harus dilengkapi sebelum bapak menjalani operasi. Hati saya menjadi sangat teriris, saat menandatangani lembar persetujuan operasi yang diberikan dari pihak rumah sakit.

Surat itu, yang harus ditandatangani oleh keluarga pasien (kurang-lebih) berbunyi:
"Saya (keluarga pasien maksudnya) menyadari bahwa dokter adalah manusia biasa yang bisa salah. Tetapi dokter telah memiliki ilmu medis yang sangat mumpuni. Saya juga menyadari bahwa yang memberikan kesembuhan bukanlah dokter, melainkan Tuhan Yang Maha Esa. Sementara dokter hanya sebagai perantara dan mediator atas kesembuhan saja."

Ya, saya pahami kalimat itu dalam-dalam. Maka, saya merasa bahwa diri ini sangat kecil sekali di dunia. Tidak ada daya dan kuasa, melainkan kemahadigdayaan Allah itu sendiri. Manusia hanya bisa berusaha dan berdoa, tetapi tetap keputusan sudah Allah gariskan. Sejak Rabu siang itu, saya tidak berhenti-berhenti menbacakan surat Al-fatihah buat bapak. Mengetuk pintu langit dan berharap dijawab oleh Allah agar membantu meringankan sakit bapak. 

Saya juga meminta kepada teman-teman, di media sosial, siapa saja, untuk mendoakan kesembuhan bapak. Hati sangat terpukul melihat bapak, usai menjalani operasi, merasakan sakit yang dirasakan di kantung kemih. Rasanya mau kencing tapi tidak bisa, demikian yang bapak rasakan. Bapak teriak-teriak, memohon ampun kepada Allah, dan bahkan menangis. Saya pasrah. Meminta bantuan kepada perawat di sana untuk segera mengambil tindakan agar bapak kembali tidak apa-apa. 

Sungguh, ini pengalaman saya yang paling menakutkan. Terhitung tiga kali bapak merasakan sakit yang sangat sakit pada Rabu malam pasca-operasi. Saya berjaga malam hari. Teman-teman yang pernah membaca atau tahu bagaimana proses pemulihan pasca-operasi prostatitis pasti paham. Si pasien tidak boleh bergerak sama sekali, walau sedikit saja, karena itu akan membahayakan pasien sendiri. Sementara bagi penunggu, tidak boleh tidur walau sekejap. Harus fokus menunggui pasien untuk mengganti air infusan yang masuk dan membuang air bercampur darah yang keluar, perduapuluh menit. 

Semalaman saya tidak bisa tidur. Saya ditemani Mas Nisfu yang datang untuk menemani begadang sekitar jam 11 malam. Begitu tiba, Mas Nisfu langsung mengambil tindakan nonmedis. Ia duduk bersila di hadapan botol air minum bapak dan membaca wirid yang sudah sejak lama diamalkan. Lalu, air itu ditiupkan. Berharap agar ketika bapak minum, rasa sakit akan berkurang. 

Sementara saya, hanya bisa membaca surat alfatihah berulangkali sembari memandang pilu bapak yang kadang tidur kadang terjaga. Saya juga meminta kepada teman-teman melalui chat atau melalui postingan di media sosial untuk membantu memberikan doa yang tulus-ikhlas buat bapak. Tidak sadar, berkali-kali saya menitikkan airmata. Sungguh, ini adalah Juni paling berat yang saya rasakan. Saya betul-betul ketakutan. Entah apa yang ditakuti. 

Selain bapak yang harus ditunggui karena sakit, ada pula yang harus dijaga. Yaitu Mbak Niar. Istri Mas Nisfu. Berdasarkan prediksi, Mbak Niar akan melahirkan anak pertamanya di awal-awal bulan ini. Di bawah tanggal 10. Oleh karenanya, rumah tidak boleh kosong. Harus ada orang untuk menjaga Mbak Niar kalau suatu waktu merasa mules karena si jabang bayi hendak keluar. Mbak Niar dan Mas Nisfu kini tinggal di samping rumah. Bekas kontrakan milik orangtua kami. 

Jujur saja, saat ini saya merasa sebagai orang yang paling pengecut dan penakut. Saya khawatir ada hal-hal yang tidak diinginkan. Tetapi sebagai manusia, tentu saja saya dan keluarga berharap agar semua baik-baik saja. Maka, segala macam ikhtiar harus diupayakan. Bagi saya, momentum memilukan ini menjadi awal kembali bagi kerekatan hubungan emosional keluarga. 

Mungkin, saya mencoba berprasangka baik, bahwa yang dialami sekarang merupakan ujian bagi saya, karena selama ini seperti acuh tak acuh kepada keluarga. Saya lebih mempedulikan orang lain, walaupun bukan berarti saya tidak peduli dengan keluarga. Hanya saja, porsi untuk keluarga lebih sedikit dari kepedulian saya terhadap yang lain. Dan inilah saat Allah menegur saya agar mampu 'menjaga' keluarga. 

Saat ini juga, saya bersama Gusdurian Bekasi Raya tengah menggalang dana untuk kesembuhan Dik Irna yang tinggal di Muaragembong: salah satu kecamatan terjauh di Kabupaten Bekasi yang jarang 'terjamah' oleh pemerintah daerah. Buktinya, ada Dik Irna yang sudah sejak 8 tahun lalu menderita Malnutrisi alias kurang gizi. Saya terketuk. Akhirnya memutuskan untuk menggalang dana di Kitabisa. Bagi teman-teman yang ingin berdonasi, bisa berdonasi dengan klik link www.kitabisa.com/bantuirnasembuh

Saya pun berkeinginan membantu donasi untuk Dik Irna. Oleh karenanya, saya mengikuti lomba puisi yang diadakan DPC PDI Perjuangan Kota Bekasi. Lomba puisi itu bertema Bung Karno dan Pancasila yang diunggah di akun instagram pribadi saya. Syukur-syukur mendapat juara 1, tetapi minimal masuk final (6 besar) yang nantinya akan membacakan puisi di hadapan dewan juri pada 7 Juni mendatang. Berapa pun hasilnya, jika menang, entah di juara 1 atau bahkan juara harapan 3, sebagian hadiahnya akan saya donasikan untuk Dik Irna. Sebagiannya lagi untuk menambahi biaya sidang akhir pada akhir Juni nanti. 

Di situasi yang sangat genting ini, saya juga harus merapikan kembali berkas-berkas skripsi yang sudah dikerjakan sejak 2 tahun lalu, tapi belum juga disidangkan. Lalu, saya akan mendaftar sidang saat nanti bapak sudah pulang dari rumahsakit. Semoga semua baik-baik saja dan tentu saja kebaikan akan datang tepat pada waktunya. 

Sekali lagi, saya mohon keikhlasan doa dari teman-teman semua yang baik hati, untuk kesembuhan bapak saya dan kelancaran persalinan Mbak Niar. Saya juga mohon doa agar penggalangan dana untuk Dik Irna berjalan sesuai harapan, saya pun bisa berdonasi karena menjadi juara lomba puisi tanggal 7 nanti, dan tentu saja bulan ini saya bisa lulus menjadi sarjana; yang sudah 2 tahun lamanya tertunda. Sungguh, ini adalah Juni yang sangat berkesan. Keluarga saya, dan terutama saya sendiri, dihujani bebatuan ujian yang sangat memilukan.

Ya Allaaaaaah....
Previous Post
Next Post

0 komentar: