Minggu, 30 April 2017

Ketua NU Bekasi: Ihsan dan Kerukunan Menjadi Pondasi Utama


Foto bersama, usai bincang santai membahas NU dan Bekasi. Foto: Rizki Topananda

Kamis (27/4) sore, aku mendatangi narasumber di gedung Baznas Kota Bekasi. Hal tersebut bukan tanpa sebab, tetapi memang tugas yang harus diselesaikan. Dosen pengampu  matakuliah Peliputan Investigasi Zulkarnaen Alregar memberi tugas. Yakni, mewawancara tokoh-tokoh penting di Bekasi. Belajar berani, katanya.

Awalnya, aku ingin mewawancara Ketua Lembaga Anti Narkoba Pimpinan Wilayah Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama Jawa Barat (LAN PW IPNU Jabar) Rizki Topananda. Aku menemuinya di sebuah bangunan yang hampir tak memiliki tanda bahwa itu rumah Baznas Kota Bekasi. Gedung itu berseberangan atau berhadap-hadapan dengan Stadion Patriot Candrabhaga. 

Usai asar, aku tiba di lokasi. Bertemu dengan pria berkacamata yang sebelumnya menjabat sebagai Ketua PC IPNU Kota Bekasi itu. Berbicara terkait narkoba, pemuda, dan pelajar memang ngeri-ngeri sedap. Namun dengan santai, dia tetap memberiku pencerahan. Selorohnya selalu membuatku terkekeh-kekeh. Warga NU, memang begitu kalau diajak bicara. Bersahaja dan sangat menyenangkan. Jelas, tidak menakutkan.

Sekira hampir setengah jam membicarakan bahaya narkoba bagi pemuda dan pelajar, muncul seorang lelaki setengah baya. Tegur sapa terjadi. Aku melihat ada cahaya yang memancar dari senyum renyahnya. Sekilas aku mendengar, Rizki memanggilnya dengan sebutan, "Kiai". Dalam hati aku bertanya-tanya, "Siapa bapak itu?" Maklum, aku di Bekasi baru 4 tahun. Sejak 26 April 2013. Jadi, wajar saja kalau ada banyak tokoh di Kota Patriot ini yang belum kukenal. 

"Kang, wawancara Kiai aja tuh. Kan keren, beliau Ketua PCNU Kota Bekasi. Kiai Zamakhsyari Abdul Majid," kata Rizki kepadaku, saat lelaki setengah baya yang ternyata ulama pemimpin NU di Bekasi itu lewat.

"Oh, jadi itu Ketua PCNU, Kang. Boleh deh. Coba tanya, beliau di sini sampe jam berapa?" kataku.

"Kiai, santai kan? Ini mahasiswa Unisma Bekasi mau wawancara. Dia juga anak IPNU Bekasi, Kiai. Lembaga Pers dan Penerbitan. Dia yang kemaren naikin berita Kiai Asep Basuni (Katib NU Bekasi)," ucap Rizki memperkenalkanku.

"Yaudah, ayo sini. Saya di sini sampe jam setengah 6," ujar Kiai Zamakhsyari sembari masuk ke ruangan Ber-AC. 

Waktu masih menunjukkan pukul 16.10 WIB. Aku melanjutkan obrolan dengan Rizki. Salah satunya terkait metode dakwah NU yang harus massif, terstruktur, dan sistematis. Sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia, jangan sampai NU kalah dengan kelompok keagamaan yang mengatakan bahwa Walisanga hanya sebuah mitos. 

"Kalau bisa, kita napak tilas sejarah Walisanga, sebagai antitesis dari dakwah mereka di media sosial," katanya dengan penuh semangat, tapi tetap santai.

Dia bilang, pemuda NU harus giat bermedia-sosial. Tak lain dan tak bukan, yaitu untuk menangkal dakwah-dakwah dari tetangga sebelah yang mulai berani menyentuh hal-hal yang sentimentil. Bahkan, mereka berani menyakiti hati Nahdliyyin dengan menyerang amaliyah ke-NU-an yang sejak dulu sudah berkembang di masyarakat luas.

"Kapan-kapan kita garap film yuk, Kang. Film pendek aja. Film tentang ke-NU-an yang berangkat dari fenomena sosial-keagamaan. Kita bikin channel di YouTube atau bikin video yang durasinya cuma semenit buat Instagram," 

"Boleh tuh," kataku singkat.

Setelah bicara panjang lebar, yang semoga ada tindak lanjut dari pembahasan mengenai metode dakwah NU itu, aku izin. Masuk ke ruangan (sepertinya sih, ruang salat atau musala) tempat Ketua NU Bekasi merebahkan tubuhnya. Dari gerak tubuh yang kulihat, Kiai Zamakhsyari sedang lelah. Namun, dengan kebersahajaannya dia tetap menerimaku dengan sambutan yang hangat.

"Kiai, izin wawancara ya," kataku seraya bersimpuh dan mencium punggung tangannya sebagai tanda takzim seorang santri kepada kiai.

"Wawancara apa?" katanya, sembari rebah. 

"Ngobrol santai aja lah, Kiai. Terkait NU dan Kota Bekasi hari ini,"

"Boleh. Tapi saya sambil tiduran ya,"

"Silakan, Kiai."

Saat itu, bahagia bukan main kurasakan. Biasanya, untuk bertemu dengan kiai yang satu itu, butuh janjian terlebih dulu. Memang, Allah sudah menakdirkanku untuk bertemu. Bertatap muka langsung dengan bapak sendiri. Ya, bapakku secara ideologis.

Aku menanyakan soal kondisi masyarakat Kota Bekasi, khususnya mengenai kehidupan sosial-keagamaan dan kaitannya dengan peran NU untuk menciptakan suasana kota yang kondusif. Sebagai orang baru, aku rasa sangat wajar bertanya demikian. Aku ingin tahu kondisi di lapangan yang sebenarnya.

Dia menjelaskan, visi Kota Bekasi adalah maju, sejahtera, dan ihsan. Masyakarat diharapkan tidak hanya maju dan sejahtera, tetapi juga harus Ihsan. Dari segi keagamaan, ihsan berarti terdapat pengawasan langsung dari Allah, Sang Maha Pengawas. Ihsan harus menjadi pondasi utama. Kalau sudah begitu, masing-masing dari pribadi masyarakat Kota Bekasi akan senantiasa terdorong untuk selalu berbuat kebaikan.

"Bukan hanya masyarakatnya saja yang berihsan. Tetapi juga pemerintah. Kalau sudah begitu, harmonisasi kehidupan beragama dan suasana kota yang kondusif akan tercipta. Karena masyarakat dan pemerintah pasti terdorong untuk selalu berbuat kebaikan dan menghindari hal-hal yang tidak baik," katanya sembari merebahkan tubuh dan menggoyang-goyangkan kakinya.

Menurut Wakil Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kota Bekasi itu, NU merupakan organisasi terbesar. Besar pengaruh dan pengikutnya. Artinya, NU harus mampu mempengaruhi masyarakat untuk menciptakan suasana yang harmonis dan kehidupan yang toleran. 

"Karena NU memiliki karakter pemikiran yang moderat (tawassuth). Jadi, NU dalam semboyan menciptakan suasana yang kondusif bisa mengilhami semua masyarakat Kota Bekasi. Model dakwah ala Islam Rahmatan lil 'alamin benar-benar melekat di jiwa pendakwah NU," ucapnya.

Kemudian, setelah panjang lebar dia menjelaskan. Aku kembali bertanya. Kali ini mengenai langkah-langkah NU Kota Bekasi yang sifatnya merukunkan. Kemudian, apa saja kontribusi NU untuk Bumi Patriot ini? 

Pria yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Bekasi itu mengatakan bahwa kerukunan adalah pondasi utama. Tanpa kerukunan, kita tidak bisa berbuat apa-apa​. Tidak akan bisa membangun. Terlebih, dalam melakukan gerakan-gerakan Amar Ma'ruf Nahi Munkar. Dia menambahkan, untuk bisa mengajak kebaikan dan mencegah kemunkaran, maka dibutuhkan sebuah kerukunan terlebih dulu.

"Kita (NU Bekasi) sudah melangkah. Pertama, melakukan sosialisasi Islam Rahmatan lil 'alamin. Kedua, melakukan komunikasi lintas agama baik melalui FKUB maupun MUI. Termasuk mengadakan berbagai kegiatan, semacam seminar atau juga berkonsultasi dengan pihak pemerintah dan Polres Metro Bekasi, atau lembaga-lembaga lain yang terkait," ujar pria yang pernah nyantri di Ma'had Annida Al-Islamy Kota Bekasi itu.

Sehingga bagi NU, imbuhnya, kerukunan menjadi pondasi utama. Maka, NU memiliki jargon Islam Rahmatan lil 'alamin. Hal itu karena sesungguhnya NU sudah punya kontribusi besar. Sebab, karakter dakwah NU yang tawassuth (moderat), tasamuh (toleran), i'tidal (teguh pendirian), dan tawazzun (keseimbangan) memiliki dampak positif dan bisa diterima oleh semua kalangan masyarakat. 

"Itu bagian dari cara bagaimana NU menciptakan suasana kerukunan atau yang tadi disebut merukunkan. Apalagi ditambah dengan para ulama melalui ceramah atau khotbahnya dengan menyebarkan metode dakwah yang seperti itu merupakan langkah-langkah untuk merukunkan masyarakat," tutupnya sebelum beranjak ke pembahasan selanjutnya mengenai kasuistik terbaru, yakni terkait penebaran kebencian yang dilakukan melalui khotbah Jum'at atau ceramah keagamaan. Juga, mengenai pembangunan Gereja Santa Clara di Bekasi Utara.

Dua kasus itu, biar hanya menjadi konsumsi pribadiku saja. Harapannya, semoga tidak terjadi gesekan di antara kita. Sekalipun akan terpublikasi, tentu dengan kalimat yang membangun. Tidak untuk mencibir apalagi menjatuhkan kelompok lain. Karena dakwah NU itu santun. Merangkul, bukan memukul. Mendidik tanpa menghardik. Memberi pencerahan, bukan memaksakan pemikiran. Kurang-lebih demikian yang kutahu.

Usai mewawancara Kiai Zamakhsyari Abdul Majid, aku izin pulang. Maksudku, kembali ke kampus. Melanjutkan aktivitas. Latihan di Teater Korek. Sore itu, gerimis. Menambah kesejukan Kota Bekasi. Sementara kegembiraanku tak berbendung. Barangkali, gerimis sore itu menjadi penanda atau gambaran kegembiraanku.



Wallahu A'lam



Bekasi Utara, 30 April 2017



Aru Elgete 

Selasa, 25 April 2017

Aku dan Pembebas Kehidupan


Dari kiri ke kanan: Nisfu, Aru, Neya, Bapak Saryono, dan Ibu Wiani

Sejak kecil,  aku tak pernah berniat menjadi penulis. Aku lahir dari keluarga yang biasa. Dari sepasang kekasih yang saling cinta. Kemudian memiliki komitmen untuk bersama. Perjalanan romantika asmara keduanya, Wiani (58) dan Saryono (62) laksana pahlawan revolusi yang rela mati demi keutuhan negeri. Dengan tentu berharap perlindungan dari Pemilik Jiwa, perjuangan mereka tak menjadi percuma. Hingga lebih dari setengah abad, dipertaruhkannya seluruh kemampuan jiwa-raga agar cinta yang biasa itu, menjadi sebuah bingkisan teristimewa. Hal tersebut tetap terpelihara dalam bilik kecil keluarga. Hingga kini.

"Dulu, ibu pernah ngetes bapak. Kalau memang serius, beliin cincin emas, dateng ke rumah. Kita serius. Bangun komitmen," begitu penjelasan ibu kepadaku.

"Kebetulan, rumah kita berdekatan. Ibu di Cempaka Putih, bapak di Kemayoran. Alhamdulillah, karena keseriusan itu, kita bisa sampe sekarang ini," ucap bapak saat berbincang santai di ruang keluarga.

Aku punya dua saudara tua. Berasal dari ruang rahim yang sama. Karenanya, duniaku menjadi ramai. Kehidupanku selama lebih dari dua dasawarsa menjadi penuh dialektika harmoni yang membahagiakan. Wahdaniah Puji Hartami atau Neya (29) adalah kakakku yang paling tua. Sementara yang kedua, Nisfu Syawaluddin Tsani atau Ale Nisfu (26). Aku, anak terakhir dari tiga bersaudara. Selisih usia dari ketiganya terpaut tiga tahun. 

Mereka, kedua kakakku, merupakan teman diskusi yang asik. Tema atau pembahasannya beragam. Mulai dari obrolan mengenai cinta kepada sesama manusia, semesta, hingga perbincangan yang mengarah pada konsep "Manunggaling Kawulo lan Gusti" ala Syekh Siti Jenar. Tak jarang, aku mendebat mereka. Bahkan dari diskusi kecil-kecilan sebelum tidur, aku seringkali mendapat banyak ilmu. Darinya, aku paham. Bahwa makna pendewasaan adalah agar bijak dalam berargumentasi. Sehingga mentalku sudah terlatih pada saat berdebat di luar rumah. Entah di kampus, di kantor, atau di lingkungan masyarakat.

"Ibu sama bapak gak pernah mempermasalahkan kamu mau gimana-gimana. Hidup, hidup kamu. Terserah kamu. Cuma, ibu berpesan supaya kamu bertiga selalu jaga sikap dan omongan di luar sana. Inget tuh," kata ibu, memberi nasihat saat membuka pintu kamar dan melihat kami masih saja berdebat satu sama lain.

Soal pendidikan, orangtua tak banyak mengatur. Terlebih, melarang. Mereka justru membebaskan. Tak pernah ada larangan yang berdampak pada kenakalan putra-putrinya. Karena, mereka tahu, bahwa seorang anak kalau dilarang justru makin meradang. Perkenan mereka dimaksudkan agar keberkahan selalu mengiringi perjalanan keilmuan yang ditempuh ketiga anaknya. Kini, kami sudah sendiri menata hidup. Telah baligh dan tamyiz pula. Sehingga, arah masa depan sudah tidak melulu bergantung pada kehendak orangtua.

"Neya mau jadi apoteker, silakan. Nisfu mau jadi pemadam kebakaran, bapak sama ibu gak melarang. Nah, sekarang Aru punya cita-cita mau jadi penulis atau wartawan, ya dikembangin mulai dari sekarang. Jangan patah semangat. Ibu sama bapak mah cuma bisa berdoa dan nyemangatin, semoga anak-anaknya lebih baik dari orangtuanya yang cuma tamatan SMP," kata bapak sembari menyaksikan tayangan televisi, di ruang keluarga.

Neya, sebelum lulus sekolah tingkat menengah pertama meminta agar kedua orangtua mendaftarkannya di Sekolah Menengah Farmasi (SMF) Caraka Nusantara, Pulogebang, Jakarta Timur. Ia memiliki dasar argumentasi yang kuat. Kakak tertuaku itu memang ahli di bidang matematika dan fisika. Maka, izin pun didapatkan dengan sangat mudah. Pascalulus dari SMF, ia melanjutkan studi S1 Farmasi di Universitas Dr Hamka (Uhamka), Klender, Jakarta Timur. Lagi, ibu dan bapak tidak memberatkan. Alhasil, kini ia sudah mendapat gelar sebagai Apoteker. Meracik obat untuk pasien sekaligus dipercaya menjadi pegawai tetap di RS Hermina Grand Wisata, Tambun, Bekasi.

"Mbak Neya sudah berhasil. Dicontoh, tuh. Intinya, tekunin setiap bidang yang kita suka dan minati. Kuncinya giat dan jangan males. Udah, itu aja," kata ibu kepadaku.

Nisfu pun sama. Tak terlalu banyak mendapat larangan dan hambatan untuk mencapai cita-cita. Teman berkelahiku semasa kecil itu, merupakan sahabat satu tongkrongan. Ia bocah super nakal. Tak jarang, aku selalu melihat ibu mengelus dada sambil berucap, "Duh, Gusti, paringana sabar. Pangapunten saking kelepatan kula lan anak-anak kula." Saat mendengar reaksi dan kalimat seperti itu dari ibu, aku terdiam dan sembari mengumpat dalam hati, "Dasar Mas Nisfu tolol. Gak tau diuntung. Ibu dibikin nangis melulu."

Hal yang paling membuatku miris adalah kalau ibu marah, bapak pasti turun tangan. Aku melihat secara langsung, abangku disiksa macam tenaga kerja Indonesia di luar negeri. Ngeri. Syukurnya hanya sebatas pukulan dengan sapu ijuk atau selang yang keras. Bukan dengan setrikaan panas dan sundutan rokok. Sementara ibu, hanya terus-menerus berucap dengan sumpah serapah yang positif. Pikirku, mungkin sekaligus mendoa.

"Nisfu, kamu kok ya nakal banget sih. Nanti ibu masukin pesantren kamu! Ibu udah gak kuat ngurusin kenakalan kamu. Kalo minta apa-apa kok hari ini harus ada, emang duit tinggal metik macem daun, apa?" kata ibu, mengulang ucapannya tempo dulu.

Aku percaya, bahwa ucapan adalah doa. Terlebih ucapan ibu. Dawuhnya tak bersekat dengan Tuhan. Maka, cepat atau lambat ucapan ibu pasti terkabul.

Terbukti. Hal itu bukan mitos. 

Saat lulus dari Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) 114 Jakarta, dengan sedikit malu-malu, ia memohon restu kepada kedua orangtua untuk mengabulkan keinginannya. Yakni, melanjutkan perjalanan keilmuan di Pondok Buntet Pesantren Cirebon, Jawa Barat. Bangga dan sedih bercampur jadi satu, tertahan dalam wajah sendu ibu yang mulai sepuh. Sementara bapak, nampak memperlihatkan ketegarannya. Yakinku, ibu bangga karena atas kemauannya sendiri, Nisfu memilih untuk melanjutkan studi di pesantren. Sedih, karena harus berpisah dengan putra ternakal yang paling disayang itu. 

"Enggak, Aru jangan mondok. Mas Nisfu aja!" bentak Ibu beberapa tahun yang lalu kepadaku, lantaran ingin ikut jejak abangku bersekolah di pesantren.

Aku kaget bukan kepalang. Tumben, ibu melarang. Aku memang ingin sekali mondok. Jujur, bukan karena ikut-ikutan, tapi karena murni kemauan sendiri. Saat itu, aku baru saja lulus dari Sekolah Dasar Negeri (SDN) Semper Barat 13, Cilincing, Jakarta Utara. Jadi, abangku melanjutkan ke Madrasah Aliyah, sementara aku Madrasah Tsanawiyah. Begitu pikir singkatku.

Kala itu, aku meradang. Ngambek sejadi-jadinya. Nisfu adalah karibku sejak kecil, maka saat ia mondok nanti, siapa yang akan menemaniku berdiskusi di kamar? Sementara Neya sudah sibuk dengan pekerjaannya. Aku terus-menerus membatin.

"Ru, ibu gak mau kesepian. Begini, kalo kamu sama Mas Nisfu mondok, trus Mbak Neya pas kerja, bapak pas piket (berdinas sebagai pegawai pemadam kebakaran) atau narik (Pahala Kencana jurusan Blok M - Priuk), ibu di rumah sama siapa dong? Kamu tetep mondok, kok. Tapi nanti ya. Biar Aliyahnya aja nanti di sana, SMP tetep di Jakarta," terang ibu dengan suara yang sangat menyentuh hati. Tak tega rasanya hati ini kalau melihat atau mendengar kabar ibu sedang kesepian di rumah.

"Yaudah deh, Bu. Tapi nanti bener ya Aru boleh mondok?" tanyaku meyakinkan ibu.

"Iya Ru," jawabnya singkat.

Oke, aku terima. Jawaban ibu logis. Aku percaya, ibu membebaskan. Tidak pernah mengekang atau mengungkungku sekehendaknya saja. Ia laksana peri cantik di Telenovela Carita de Angel. Pilihan ibu, pasti terbaik. Aku ingat, pernyataan ibu tak bersekat dengan ketentuan Tuhan. Baiklah.

Saat ini, abangku yang seringkali menjadi bulan-bulanan ibu sewaktu kecil itu, tergabung dalam Barisan Sukarelawan Pemadam Kebakaran (Balakar). Ia memang bercita-cita menjadi pahlawan yang mampu melumpuhkan Si Jago Merah. Namun, takdir berkata lain. Ia belum diangkat menjadi Petugas Harian Lepas (PHL). Terlebih, ia baru saja menderita penyakit Tuberkulosis dan retak tulang di pergelangan tangan kanan. 

Ia sudah menamatkan status sebagai mahasiswa. Saat itu, setelah lulus dari Madrasah Aliyah NU Buntet Pesantren Cirebon, ia melanjutkan kuliah di Sekolah Tinggi Agama Islam NU (STAINU) Jakarta. Kini, ia aktif menanggapi isu sosial, politik, keagamaan, kemanusiaan, dan kebinekaan. Ia juga mulai menulis di Qureta.com sebagai langkah kreatif mengisi hari-hari. Di beberapa kesempatan, dengan ikhlas ia menjadi imam tahlil dan pengajian remaja di mana pun dan kapan pun. Prinsipnya, kalau diundang pasti datang.

Sempat dilarang, tak membuatku gentar. Usai menamatkan sekolah di SMPN 121 Jakarta, aku kembali meminta restu kepada kedua orangtua agar mengizinkanku menimba ilmu di Buntet. Walhasil, berkat pembebasan yang selama ini diterapkan, aku bisa merasakan udara keilmuan di pesantren. Persis seperti abangku, dulu. Namun, kami berdua memiliki jalan berbeda saat ini.

Aku yakin, pembebasan yang diterapkan kedua orangtuaku dalam mendidik adalah kristalisasi dari kehendak Tuhan. Karena menurut saya, Tuhan bukan pemaksa yang gemar merampas hak manusia. Bukan pula algojo yang giat melakukan pelonco. Simpulanku, bahwa anggota keluarga di rumah, tidak ada kesamaan satu pun. Aku menemukan keniscayaan atas pembebasan itu. Sebab pembebasan melahirkan perbedaan. Sementara perbedaan adalah sebuah niscaya yang diberikan Tuhan kepada setiap makhluk. Terkhusus untuk keluargaku.

Saat di pondok, aku menemukan keasikan dalam menulis. Segala macam peristiwa, pasti tertuang dalam bentuk puisi atau esai. Kamar tidur yang sederhana, ditambah suara merdu kipas angin yang memecah sunyi, membuat hati menjadi tenang. Damai. Hal-hal seperti itu selalu meracuni diri agar tak lelah menulis. Di setiap malam, seolah ada yang membisik, "Jangan letih berpuisi. Jangan lelah menulis."

Tulisan-tulisanku semasa di pondok, masih tersimpan rapi. Aku menulis di sebuah buku (aku selalu lupa namanya, buku itu yang seharusnya dipakai untuk pelajaran Ekonomi) tebal. Puisi dan tulisanku sudah mencapai ratusan. Belum terpublikasi. Aku ingin seperti Ahmad Wahib yang tak pernah memublikasikan puisi-puisinya semasa hidup. Ia simpan rapat-rapat tulisan romantika penuh cinta kepada Tuhan. Hingga pada akhirnya orang-orang terdekatnya memublikasi seluruh karyanya itu. Hal itu dimaksudkan sebagai kelanjutan hidup Ahmad Wahib. Ia menjadi abadi. Tak pernah mati.

Selain aktif menulis, saat di pondok, aku aktif sebagai penyiar Radio Komunitas Buntet Pesantren 107.7 Best FM. Di sana, aku rajin membaca buku. Apa saja dan karya siapa pun. Sebab, menjadi penyiar radio perlu wawasan yang luas dan pengetahuan yang lebih ketimbang pendengar setianya. Dari keahlianku menulis, membaca, dan berbicara itu, tertuntunlah aku untuk memilih program studi S1 Ilmu Komunikasi (Jurnalistik) di Universitas Islam 45 Bekasi. 

Tak jauh beda dengan abangku, Nisfu. Aku pun turut aktif dalam menanggapi isu soal sosial, politik, keagamaan, kebinekaan, kesetaraan, dan kemanusiaan. Namun, ada perbedaan yang kentara. Aku suka dengan gaya Nasionalisme ala Nurcholish Madjid (Cak Nur) yang menggunakan argumentasi keagamaan untuk melawan kelompok pemberontak atas nama agama macam Hizbut Tahrir, Majelis Mujahidin, dan ISIS. Selain itu, aku gemar menjemput bola. Mengunjungi orang-orang di akar rumput sembari menawarkan pemikiran moderat ala Islam Nusantara. 

Sementara abangku, sama sekali enggan berbuat demikian. Entahlah. Mungkin, takdir.

Kira-kira seperti itu alur pembebasan yang diterapkan dalam rumah. Untuk hasil yang didapat, sila nilai sendiri. Bagaimana aku dan keluargaku? Ya, bagiku, keluarga adalah Ruang Pembebas Kehidupan.



Wallahu A'lam



Bekasi Utara, 25 April 2017



Aru Elgete

Senin, 24 April 2017

Haul Buntet 2017, Meniti Hati Menata Jiwa (5)


Foto ini sempat menjadi viral di media sosial dengan caption: "kamu mau tahu perbedaan alumni dan santri? Kalau alumni pakai celana jeans. Sementara santri tetep sarungan." Direpost pula oleh akun Instagram, @buntetpesantren.


Sabtu (15/4) pagi, aku bangun lebih awal. Usai salat subuh berjama'ah di musala, aku berkesempatan membantu santri dapur. Menanak nasi dan berbagai persiapan lainnya di belakang kediaman Nyai Atun (Alm KH Salim Effendi Anas). Saban haul memang seperti itu. Santri yang memiliki kemampuan di dapur, dikerahkan. 

"Ru, tolong bantuin dong. Kipasin nasi yang baru mateng biar nanti gak bau," kata Rohman, Alumni Asrama K (Al-Hikmah K-1) kepadaku.

"Oke, siap. Kita mah tetep santri. Sejauh apa pun perkembangan kita di luar, begitu sampe di Buntet, identitas santri jangan dihilangkan," sahutku kepada Rohman, meniru dawuh salah seorang Kiai di Buntet.


Sekitar 15 menit mengipasi nasi, aku sempat berpikir untuk mengabadikan momen ini. Selain untuk pencitraan di media sosial, aku juga ingin menegur para alumni yang enggan mengenakan atribut santri (peci hitam dan sarung) saat berkunjung ke Buntet. Fenomena tersebut sudah lama menjadi perhatianku. 

"Eh, coba dong fotoin gue," kataku kepada Nurul Huda, alumni Asrama Al-Hikmah K-1 asal Desa Krandon, Tegal.

Benar saja. Beberapa saat setelah foto itu muncul di media sosial, beragam tanggapan juga turut bermunculan. Akun Instagram @buntetpesantren me-repost foto tersebut. Kemudian ditambah dengan keterangan yang tak kalah mencengangkan, "Segenap pondok dan warga Pondok Buntet Pesantren terus bersiap menyambut para tamu. Kamu termasuk tamu atau penyambut tamu?"

Harapanku, semoga pesan dan nilai yang terkandung dalam foto tersebut menjadi energi positif untuk para alumni yang mulai menghilangkan identitas kesantriannya. Sebab, idiom santri selalu melekat pada setiap diri yang pernah menimba ilmu di pondok pesantren. Karena itu, aku juga mohon dibukakan pintu maaf yang sangat lebar bagi siapa pun yang merasa tersakiti atas postinganku itu.

Iklab mengadakan temu kangen sekaligus persiapan pelaksanaan program beasiswa santri berprestasi di lapangan futsal milik H Anwar Asmali.

Anwar Asmali, selaku Wakil Ketua Umum Ikatan Keluarga Alumni Buntet (Iklab) Pesantren Cirebon mempersilakan kepada para alumni untuk menggunakan lapangan futsal miliknya sebagai titik kumpul. Selain difungsikan sebagai tempat untuk beristirahat, lapangan futsal tersebut juga digunakan untuk rapat persiapan pelaksanaan program beasiswa santri berprestasi.

Usai membantu santri dapur, aku beberes. Mandi. Kemudian bergegas ke timur. Menemui para alumni yang tergabung dalam organisasi legal-formal di bawah naungan Yayasan Lembaga Pendidikan Islam Buntet Pesantren Cirebon (YLPI-BPC). Aku senang berjalan kaki. Menikmati suasana keramaian Buntet. Melewati pedagang yang menjajakan produk kebudayaan ala Cirebon. Bermacam jenis dagangan, ada. Nikmat sekali.

Sekitar jam 11, pagi menjelang siang, aku tiba di lokasi. Di lapangan futsal itu. Tak menyia-nyiakan kesempatan, aku berkenalan dengan orang-orang yang belum sempat bertatap muka sebelumnya. Bersyukur, karena tenun silaturahmi lahir-batin​, dapat terajut berkat organisasi alumni itu. Bahagia, tentu. Lepas zuhur, acara dimulai.

Ketua Pelaksana, laporan kepanitiaan, sambutan Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal, dengan saksama diperhatikan oleh iklaber (sebutan bagi anggota Iklab) yang hadir ketika itu. Aku bertugas sebagai dokumentator. Mengabadikan setiap momen dan beragam peristiwa yang terjadi. Ada beberapa hal yang hingga kini masih terngiang dalam ingatanku.

"Santri harus bisa berkompetisi di bidang umum," kata Ketua Umum Iklab, Masrur Ainun Najih.

Aku mengamini. Pasalnya, sudah terlalu banyak santri yang berdakwah melalui mimbar-mimbar keagamaan. Menjadi ustadz kampung atau ulama kondang di lingkungannya. Walau demikian, santri juga harus mampu bersaing di bidang umum. Menjadi dokter, politisi, ekonom, pakar tata negara, dan jurnalis. Sebab, menurutku, dakwah tidak melulu melalui jalur mainstream, yakni seperti penceramah atau mubaligh yang bekerja melalui lisannya.

Berprofesi sebagai non-mubaligh, tidak menjadi masalah. Asal, tetap melabeli dirinya sebagai santri. Sehingga, karakter santun dan ramah dalam bekerja tetap mewarnai kehidupan di pekerjaannya masing-masing. Karena menjadi santri, pikirku, merupakan sebuah keberuntungan yang tidak sembarang orang dapat rasakan. Maka, bersyukurlah bagi setiap diri yang berlabel santri. Kebersyukuran itu diejawantahkan dalam kerangka substansial yang diperlihatkan pada kehidupan bermasyarakat, beragama, dan bernegara.

Panglima TNI Gatot Nurmantyo melakukan tabur bunga pada saat acara ziarah kubro di Makbaroh Gajah Ngambung, Buntet Pesantren Cirebon, Sabtu (15/4) sore.

Sekitar jam 4 sore. Aku bergegas. Kembali ke pondok. Memburu waktu agar sempat mengikuti ziarah kubro sebagai acara inti dari rangkaian Haul Buntet saban tahunnya. Aku berjalan dengan sangat cepat. Setengah berlari. Keringat sudah pasti bercucuran. Saat itu, aku berkeyakinan bahwa seluruh lelahku mengandung berkah dan bisa membuahkan hasil serta manfaat di kemudian hari.

Setibanya di pondok, aku mengambil air wudlu. Salat asar. Kemudian langsung berjalan ke Makbaroh Gajah Ngambung. Antusiasme peziarah luar biasa. Lokasi saat itu penuh sesak. Aku memutuskan untuk ke warung. Kebetulan terlihat ada rombongan rekan-rekan abangku. Di sana, sembari menikmati es kopi untuk melepas lelah dan dahaga, aku ikut menyuarakan tahlil serta ayat-ayat Al-Quran. Begitu pembacaan tahlil yang dipimpin KH Amiruddin Abkari usai, giliran Panglima TNI Gatot Nurmantyo diberi kesempatan memberikan sambutan.

Aku kaget bercampur bangga. Kaget karena Buntet bisa mendatangkan tokoh penting sekaliber panglima. Bangga karena setelah ini, nama Buntet pasti mengalami eskalasi yang cukup baik. Tak berlama-lama dalam lamunan, aku bersiap menuliskan segala hal yang dibicarakan Gatot Nurmantyo dalam sambutannya​. Sebagai berita untuk masyarakat bahwa Buntet jangan dipandang sebelah mata. Naskah berita saat itu juga kukirimkan ke Website resmi Buntet Pesantren Cirebon.


Inti dari sambutannya adalah bahwa tentara, ulama, dan santri memiliki sinergitas yang kuat dalam menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dulu, kata Gatot, para tentara itu banyak yang berasal dari kalangan santri. Jenderal Soedirman misalnya. Dia adalah seorang ulama atau kiai. Sehingga para prajuritnya senantiasa mengecup punggung tangannya sebelum perang dimulai.

Gatot juga bercerita mengenai kehebatan KH Abbas Abdul Jamil. Perang 10 November, tidak akan dimulai sebelum Ulama dari Buntet itu datang. Artinya, tonggak sejarah pergerakan perjuangan kemerdekaan itu berada pada kearifan dan kehebatan para ulama dan santri. Karenanya, panglima yang gandrung terhadap nilai-nilai toleransi itu merasa bangga telah berada di Buntet Pesantren Cirebon, yang memiliki nilai sejarah bagi kemerdekaan hidup berbangsa dan bernegara.

Setelah​ sambutan heroik dari Gatot Nurmantyo, ziarah kubro ditutup dengan pembacaan doa. Usai berdoa, para peziarah berhamburan berdesakkan untuk keluar. Entah, ada yang langsung pulang, menemui sahabat semasa di pondok, atau bersiap untuk hadir di malam puncak Haul Buntet 2017. Sementara aku dan rekan-rekan, merangsek masuk ke makbaroh untuk menziarahi makam KH Salim Effendi Anas bin Soleh Anas. Tahlil, tahmid, takbir, ayat-ayat suci Al-Quran, dan doa bersama dilakukan hingga menembus waktu maghrib. 

Setelahnya, aku kembali ke pondok. Membersihkan diri. Mandi. Bersiap untuk membantu terlaksananya program beasiswa santri berprestasi yang diadakan oleh Iklab. Usai waktu maghrib, hujan turun cukup deras. Batinku, Allah menurunkan keberkahan bagi seluruh santri, warga, ulama, dan tamu di Buntet.

"Kalau hujan reda, gue langsung berangkat," kataku pada rekan-rekan yang ada di hadapan, saat itu.



(Bersambung)



Bekasi Utara, 24 April 2017


Aru Elgete

Minggu, 23 April 2017

Haul Buntet 2017, Meniti Hati Menata Jiwa (4)


Di depan pintu masuk situs sejarah makam Mbah Muqoyyim, Cirebon, Sabtu (15/4) dinihari.


Abangku, Nisfu Syawaluddin Tsani, tiba di Buntet pada Jumat (14/4) petang. Dia bersama rekan-rekan semasa remaja. Yusuf dan Marchaipan (Epan) sudah tidak asing dengan Buntet. Beberapa tahun silam, Yusuf pernah berkunjung ke tanah penuh berkah ini. Sementara Epan, rekan abangku sewaktu mondok pada 2006 lalu. 

Syukurnya, mereka datang dengan mobil pribadi Epan. Aku berencana mengajak mereka untuk berziarah ke makam Mbah Muqoyyim. Seorang pendiri Buntet yang berpuasa selama 12 tahun tanpa putus. Niat puasa itu pun terbagi menjadi empat. Tiga tahun pertama untuk keselamatan Buntet Pesantren. Tiga tahun kedua untuk anak-cucunya. Tiga tahun ketiga dikhususkan kepada para santri dan pengikutnya yang setia. Tiga tahun terakhir untuk dirinya sendiri.


"Kita ziarah ke Mbah Muqoyyim nanti ya sekitar jam 11an (malem) aja. Gue mau rapat sama Iklab soal program beasiswa santri berprestasi," kataku pada Nisfu dan rekan-rekan yang lain. 

"Oke, kita tunggu," jawabnya singkat. 

Sudah jauh-jauh hari Ikatan Keluarga Alumni Buntet (Iklab) Pesantren Cirebon berencana mengadakan program beasiswa santri. Penyerahan beasiswa akan dilakukan pada malam puncak. Segala persiapan sudah dipikirkan dan direncanakan dengan sebaik-baiknya. Malam itu, sekitar pukul 19.30, aku diajak rapat oleh Ketua Umum Iklab KH Masrur Ainun Najih di kediaman Wakil Ketua Umum H Anwar Asmali.

Ada banyak pelajaran yang didapat saat berdiskusi dengan para petinggi organisasi alumni itu. Aku merasa terbimbing. Kapasitasku masih tahap mendengar, belum bicara. Maka, memperbanyak atau memperlebar pendengaran lebih baik daripada berbicara dengan tanpa nilai. Karena pengetahuanku pun masih sangat minim. Berkat Allah melalui perantara H Anwar Asmali, Iklab berbahagia. Program beasiswa santri berprestasi tetap berjalan tanpa kendala.

Usai rapat koordinasi tersebut, aku kembali ke pondok. Aku berjalan menembus keramaian untuk kembali menemui rekan-rekanku yang hampir 3 jam menunggu. Mereka sedang asik bercengkrama, membincang Pilkada DKI yang penuh kegaduhan. Kemudian sesekali membahas kehidupan semasa di pondok. Saat itu, ada dua orang senior yang juga turut melebur dalam kemesraan kata-kata. Mereka tertawa bersama, sesekali mengumpat dengan kata kasar tapi dengan maksud bercanda. Barangkali, ada perasaan rindu yang membuat kemesraan malam itu begitu rekat.

Tak menunggu lama. Sekitar 10 menit sejak kedatanganku, kami berenam berangkat menuju situs bersejarah kepunyaan warga Cirebon itu. Makam keramat Mbah Muqoyyim dan Mbah Muta'ad. Dua tokoh penting yang memiliki kaitan erat dengan sejarah lahirnya Pondok Buntet Pesantren. 

Di dalam mobil, di sepanjang jalan menuju Desa Karangsuwung, Lemahabang, pikiranku melayang-layang. Mengingat-ingat kenangan kenakalanku tempo dulu. Aku pernah ziarah ke makam Mbah Muqoyyim dengan berjalan kaki, mengikuti arah rel kereta api. Atau, menumpang mobil bak terbuka. Semuanya dilakukan pada waktu tengah malam. Saat kegiatan di pondok usai. Terkhusus, malam Jumat Kliwon.

"Ru, kayaknya kelewat deh," kata Epan memecah lamunanku.

Dengan melihat kiri-kanan jalan, aku mengiyakan. Putar-balik dan bertanya merupakan solusi agar cepat tiba di lokasi. Mengingat waktu sudah menunjukkan jam setengah 1 dinihari. 

"Itu lho, Mas. Gak jauh dari sini ada Masjid, trus belok kiri. Nah dari situ tinggal ikutin jalan aja. Ada terowongan ke kanan. Udah deh, sampe," terang ibu-ibu di pinggir jalan yang diminta untuk memberitahu dimana letak situs keramat makam Mbah Muqoyyim.

"Oke, Bu. Terimakasih, ya," jawabku seraya masuk ke mobil.

Terakhir berziarah sekitar 4 tahun yang lalu. Pertengahan 2013. Menjelang Ujian Nasional. Setelah itu, sudah tidak pernah lagi.

"Wajar, kalau lupa," kataku pada kelima rekanku di mobil sebagai bentuk pembelaan diri.

Mobil sudah melaju. Memasuki kawasan Makam Mbah Muqoyyim. Hal itu dapat diketahui dari alamat yang bertuliskan, "Jalan Mbah Muqoyyim, Desa Karangsuwung, Kecamatan Lemahabang, Kabupaten Cirebon." 

Setibanya di lokasi, suasana menjadi sangat berbeda. Sepi. Masing-masing dari kami mengambil wudlu. Kemudian bersiap masuk ke dalam. Makam pendiri Pondok Buntet pesantren itu, berada di tengah-tengah. Sehingga, kami harus melewati beberapa makam untuk bisa sampai ke sana. Malam itu, dingin. Sementara angin yang mengembus di kesunyian membuat kami terdiam, tak sedikit pun bicara. Entahlah, apa yang dirasa dari kelima rekanku itu.

"Wah, makamnya Mbah Muqoyyim dikunci. Kita ke Mbah Muta'ad aja," kata Nisfu.

"Yaudah, ayo cepetan," kataku memburu.

Jam 1 dinihari, melantunkan ayat-ayat suci Al-Quran, mengumandangkan tahlil, tahmid, takbir, dan doa bersama; memecah sunyi. Aku memimpin tahlil. Sengaja dipercepat, karena melihat rona kegelisahan pada masing-masing diri. Abangku, memimpin doa. Sama. Dipercepat juga. Rasanya, ada banyak hal yang mesti diceritakan setelah berziarah tengah malam ini.

"Jadi, makam Mbah Muqoyyim itu memang terkenal angker bagi kalangan santri. Tapi kalau santri yang udah sering ziarah sih biasa aja. Gak bakal nemuin atau ngerasain hal yang aneh-aneh," ucapku memecah kebekuan, saat sudah di mobil dan sudah keluar dari komplek makam Mbah Muqoyyim.

"Tadi gue liat ada putih-putih rada blur gitu," kata Yusuf menyahut.

"Gue denger suara musik disko, padahal itu kan sepi banget. Di tengah pemakaman kayak gitu, pasti jauh dari hiruk-pikuk keramaian. Jadi, di mana suara disko itu berasal?" Yahya urun bicara.

"Mikirnya positif aja coba. Barangkali penunggu yang ada di situ mau kenalan sama kita. Karena kita kan orang baru. Penunggunya kaget kali. Atau bahkan mereka kagum sama kita. Mau kenalan, tapi justru berasanya aneh buat kita, manusia biasa," sahut Epan dengan nada sedikit menasihati.

Malam itu, menjadi kenangan tersendiri bagi rekan-rekanku yang baru berkunjung ke makam Mbah Muqoyyim. Semoga keberkahan tercurah kepada masing-masing diri, yang sudah tulus mendatangi tempat peristirahatan terakhir pendiri Buntet Pesantren itu. Sementara doa-doa yang dipanjatkan, dikembalikan lagi ke diri pribadi. 

Sekira jam 3 dinihari. Aku istirahat. Tidur. Mengumpulkan energi untuk besok. Begitu pula rekan-rekanku yang lain. 


(Bersambung)



Bekasi Utara, 23 April 2017



Aru Elgete

Jumat, 21 April 2017

Haul Buntet 2017, Meniti Hati Menata Jiwa (3)


Di Masjid Komplek Makam Sunan Gunung Djati. Foto: Ahmad Nasrudin Yahya


"Nanti gue mau ke Guest House dulu. Terserah, kalian mau nunggu atau gimana. Atau, mau ke kamar gue silakan. Tapi kalau Uyay (Yahya) malem ini mau tidur di rumah Bang Fadhol, gak apa-apa," celotehku saat di motor menuju Buntet, sepulang dari ziarah Sunan Gunung Djati.

"Iya, santai. Lihat nanti aja, Ru," kata Yahya sembari fokus memperhatikan jalan yang gelap. Dia memang harus fokus. Selain kondisi jalanan yang minim lampu, dia juga membawa beban 2 orang yang dibonceng. Kalau abai dan lalai, peristiwa yang tidak diharapkan pasti terjadi.


Dingin kian menggigit. Gigil seperti mencabik kulit hingga menembus tulang. Malam itu, sehabis diguyur hujan, Cirebon sangat dingin. Ada dua hal yang mesti dilawan pada malam Jum'at (13/4) yang hampir habis itu. Pertama, kekhawatiran sebab jalanan yang sepi dan gelap. Kedua, hawa dingin yang semakin menjadi-jadi.

Perjalanan memakan waktu hampir satu jam. Waktu sudah menunjukkan pukul 23.15 WIB. Sementara aku harus menepati janjiku pada Syakir. Membuat berita untuk Website Buntet Pesantren Cirebon. Aku mendatanginya di Guest House dekat Pondok Al-Firdaus dan Masjid Agung Buntet. Di sana, pendekar dekor sedang bertarung melawan kantuk guna menyempurnakan malam puncak.

Aku menyalami satu per satu; setiap orang yang ada di sana. Baru kali ini aku melihat langsung proses dekorasi yang sedemikian rumit, bagiku. Sebab, belum tentu aku mampu memroses hal tersebut. Menguras tenaga sudah pasti. Kemudian juga memerlukan kreativitas dan keterampilan yang sangat baik. Dua hal itu, yang hampir mustahil aku mampu.

Setelah memperhatikan para pendekar dekor yang hebat itu, aku menghampiri Syakir. Dia memberikan rekaman sambutan KH Adib Rofiudin dan Presiden Jokowi Dodo. Aku mesti membuat berita dari bahan yang diberikan itu. Lantas, dia mengirimnya. Aku bilang, "Kalo lagi rame gini, gue susah bikin berita. Besok aja, yak." Tak menunggu lama, dia mengiyakan.

Tidak lama, Sri Mandah Syakiroh datang. Dia pribumi. Masih punya hubungan darah dengan tokoh atau para ulama di Buntet. Walau demikian, dia selalu marah kalau ada pembahasan soal keturunannya yang seperti itu. Aku mengenalnya baru beberapa bulan. Dari silaturahmi antar-komunitas. Dia dari Komunitas Ranggon Sastra Universitas Indraprasta PGRI, Jakarta. Sementara aku dari Teater Korek Universitas Islam 45 Bekasi.

Hal yang selalu mengundang tawa dari setiap perbincangan kami adalah, baru saling kenal beberapa bulan yang lalu. Sejujurnya, bukan Buntet yang mempertemukan kami, tapi justru dari organisasi kesenian. Lucu. Akhirnya, malam itu kami membicarakan segala sesuatu berkaitan dengan kesusastraan, kesenian, dan teater. Masing-masing diri bercerita soal perjalanannya di kesenian.

"Ru, gue malem ini tidur di rumah Fadhol aja, ya," Yahya membisik.

"Oh, oke. Maap ya. Tapi kalo lu mau ke kamar gue gak apa-apa, kok. Langsung aja masuk," sahutku.

"Enggak usah, Ru. Gue juga mau nulis naskah berita di tempat Fadhol," kata Yahya sembari bersalaman tanda bergegas pergi.

Malam itu, pembahasan dengan Mandah, sapaan akrab Sri Mandah Syakiroh, kian mendalam. Ada banyak hal yang diperbincangkan. Sampai tak sadar, hari sudah berganti. Aku harus segera istirahat. Merebahkan diri. Kalau tidak, besok pasti nge-drop. Sembari beberes dan memakai kembali jaket. Aku pamit. Mandah dan Syakir pun sama. Mereka akhirnya pulang juga.

Sesampainya di kamar. Aku tidak langsung tidur. Tapi mendengarkan rekaman audio yang Syakir kirim tadi. Akhirnya, aku berhasil memproduksi satu berita. Kemudian diunggah ke Website Buntet Pesantren, buntetpesantren.org pada Jum'at (14/4).

Usai merampungkan satu naskah berita, kurang lebih jam 2 dinihari, aku tidur.


Saat sowan ke ndalem KH Nahdudin Royandi Abbas bersama rekan-rekan Forsila BPC Jakarta Raya.

Suara adzan subuh menggema. Aku terbangun. Karena memang, jarak antara kamarku dengan musala sangat dekat. Usai salat berjama'ah, aku kembali ke kamar. Tubuhku masih sangat berat untuk digerakkan. Pegal-pegal, pasti. Maka, tidur menjadi jalan satu-satunya untuk memulihkan kembali daya tahan tubuh.

Tepat pukul 11.00 WIB, aku bangun. Mandi. Kemudian berangkat salat Jum'at di Masjid Agung Buntet. Satu hal yang sangat kurindukan adalah salat berjama'ah dengan sekaligus bertemu para ulama dan berkesempatan mengecup punggung tangannya. "Berkah," batinku. Aku melihat KH Hasan Kriyani yang kemudian kukecup tangannya. 


Pukulan bedug, juga merupakan hal yang kurindukan. Sebab di perkotaan, budaya yang ditularkan oleh Islam Nusantara ala Walisanga saat menyebarkan agama itu sudah hilang. Bedug menjadi ciri dari kebudayaan Islam di Indonesia. Ini bukan soal bid'ah yang dholalah dan kemudian masuk neraka. Akan tetapi mengenai sebuah penghormatan terhadap sejarah perkembangan Islam di Indonesia. Yakinku, Nabi Muhammad pasti bahagia melihat Islam Indonesia yang ramah-ramah, bukan yang hobinya marah-marah.


Usai salat Jum'at, Syakir menghubungiku. Dia mengajak sowan ke Sesepuh Pondok Buntet Pesantren, KH Nahdudin Royandi Abbas atau Mbah Din. Beliau tinggal di London, Inggris. Sekitar 2 minggu sebelum malam puncak Haul Almarhumin Sesepuh dan Warga Buntet Pesantren Cirebon, beliau kembali. Pulang ke kampung halaman. Rumahnya tak pernah sepi. Keluarga dan santrinya berdatangan. Mengharap sebuah keberkahan atau sekadar mendengar cerita dan petuahnya yang menyejukkan.


"Langsung aja ke rumah yang di belakang Pondok Darul Hijroh dan belakang MTs NU Putri 3," kata Syakir dalam pesan singkatnya.


Aku dan Yahya datang agak telat karena ada urusan terlebih dulu. Syukur, masih diterima. Di sana sudah ramai. Rekan-rekan Forum Silaturahim Buntet Pesantren Cirebon (Forsila BPC) Jakarta Raya sudah datang lebih awal. Masing-masing diri, ditanya asal dan kesibukannya. Setelah berkenalan satu per satu, Mbah Din membuka pembahasan.


Beliau bercerita soal sejarah perang dunia kedua. Kemudian sikap Indonesia yang netral. Tidak mendukung blok barat dan timur. Sebab pada saat itu, Indonesia juga sedang berada dalam lingkaran penjajah. Maka, hal yang menjadi fokus utama adalah bukan dengan terjun ke peperangan antar kedua poros yang berkepentingan, tapi bagaimana caranya agar lepas dari penjajah yang tidak manusiawi.

Politik ala Belanda, yakni Devide et Impera seperti sudah mendarah-daging. Hal itu disebabkan terlalu lama mereka menduduki dan mempengaruhi kehidupan manusia Indonesia. Hingga saat ini, perilaku adu-domba dan bertengkar karena berbeda pandangan masih terus terjadi. Sesama anak bangsa diributkan karena berbeda pilihan politik. Saling cibir tak terbantahkan. Bahkan, penolakan memandikan jenazah dan ancaman pembunuhan menjadi senjata utama untuk menyeragamkan keberagaman.

"Di negara kita yang kaya ini ada satu hal yang sangat disayangkan. Yaitu, orang yang jujur, tulus, dan ikhlas untuk memperbaiki keadaan bangsa, atau memberantas korupsi pasti dijauhkan. Dimusuhi. Bahkan, disingkirkan karena banyak kepentingan. Padahal, untuk memimpin sebuah negara yang berlandaskan Pancasila ini, yang dibutuhkan bukan semata-mata agama. Akan tetapi kejujuran dan ketulusannya. Kalau ada pemimpin yang seperti itu, sebentar saja Indonesia pasti makmur," kata Mbah Din di hadapan para santri yang mendengarkan secara saksama.


Sesi foto bersama dengan Mbah Din

Manggut-manggut sembari mengucap lirih kata "enggih" menandakan bahwa orang-orang yang berada di hadapan Mbah Din merespon dengan sangat baik. Kemudian, beliau berpesan kepada para santri agar giat membaca. Perpustakaan, toko buku, dan gramedia harus sering-sering didatangi. Jangan sampai terlena dengan perkembangan zaman yang serba instan ini.

"Bahkan, sekarang kita bisa unduh buku dari gadget. Jadi, tidak ada alasan untuk tidak membaca," ucap Mbah Din dengan menampilkan gaya bicara yang sangat menyejukkan.

Kurang-lebih satu setengah jam kami bertatap muka dengan tokoh yang paling dimuliakan itu. Beliau ingin melihat proses khitanan massal yang menjadi rangkaian kegiatan Haul Buntet 2017. Karena itu, dengan kerendahan hatinya, beliau memohon maaf dan kemudian pamit. Pertemuan ditutup dengan sesi foto. Kesahajaannya membuat kami, para santri, gembira bukan main. Walau sudah sepuh, beliau tidak segan-segan berseloroh.

"Seperti inilah, wajah Islam yang dibawa Rasulullah dan kemudian dikembangkan di Indonesia. Islam ala Nusantara. Penuh kesantunan, kasih sayang, memberi kesejukan. Bukan dengan menampilkan amarah yang berlebihan sehingga memantik api kebencian dalam diri," batinku saat berjalan menuju pondok.

Sementara Yahya kembali bertanya-tanya mengenai sosok yang mulia itu.



(Bersambung)




Bekasi Utara, 21 April 2017



Aru Elgete

Kamis, 20 April 2017

Haul Buntet 2017, Meniti Hati Menata Jiwa (2)


Saat tahlil berjama'ah di Sunan Gunung Djati.  Foto: Ahmad Fadhol Dikjaya

Ternyata, motor hanya ada satu. Terpaksa, kami Boti (bonceng tiga). Seru. Kecuali Fadhol, kami mengenakan kain sarung dan helm. Dia di tengah. Yahya sebagai pengemudi. Aku paling belakang.

Angin malam mengembus. Sementara gigil mulai menerpa saat melintas di Jalan Raya Pantura. Bahkan rasa takut menghantui, ketika tiba di jalan sebelum perbatasan kabupaten dan kota Cirebon. Gelap. Sepi. Begal, geng motor, penodongan, dan sekelompok orang jahat menghampiri. Itu yang terlintas di benakku.

"Insya Allah gak ada apa-apa, Ru. Niat kita baik," kata Yahya.

"Kalau pun ada apa-apa dan kita mati. Insya Allah mati di jalan Allah," saut Fadhol, membuatku dan Yahya terkekeh-kekeh. 

"Yaudah, buruan," ujarku.


Perjalanan memakan waktu sekira 60 menit. Cukup jauh memang. Tapi syukurnya tidak macet. Sangat berbeda dengan Bekasi atau Jakarta. Waktu habis hanya untuk bermacet-macetan. Di Cirebon, semuanya lancar. Hanya saja, sepi. Sepanjang jalan, kami semua dihinggapi rasa takut.

Setibanya di lokasi. Kami dibuat terkejut oleh perilaku orang-orang yang duduk di pintu masuk. Mereka memukul-mukul kotak amal. Seolah-olah, para peziarah dipaksa untuk beramal. Mereka teriak, "berkah, berkah, berkah, ayo masukin uangnya. Hey!" kata salah seorang pemegang kotak amal agak teriak.

Yahya, baru pertama ke sana. Dia kaget. Pikirnya, kotak amal itu diwajibkan. Atau, seperti tiket masuk. Reflek karena kaget bercampur takut dan tegang karena terus-menerus diteriaki, dia mengeluarkan hampir semua uang recehan. Banyak sekali. Aku jalan santai, sembari berpikir, "uang itu larinya kemana ya?"

"Salat isya dulu, yuk," Fadhol mengajakku dan Yahya. 

"Di mana masjidnya, Dhol?" tanya Yahya.

"Di belakang."

Ada satu pemandangan unik lagi. Di lorong menuju masjid, orang-orang duduk berjajar dengan masing-masing memegang mangkuk kecil plastik. Berharap ada yang meletakkan uangnya di sana. Miris. Memanfaatkan situs sejarah untuk mencari keuntungan. "Kenapa gak dagang aja, sih?" Pikirku singkat. Lucunya, mereka selalu menggerutu saat tidak diberi sedekah. 

Tanpa memberi sepeser pun, kami tiba di masjid. Wudlu dengan air payau. Aku tidak kaget. Selain karena sudah pernah berkunjung, aku tahu kalau daerah ini sangat dekat dengan laut. Usai wudlu, Ah, lagi-lagi ada pemaksaan dalam bersedekah. Gilak.

"Hey, kami cuma wudlu aja kok disuruh bayar? Kalau sedekah gak perlu maksa, kan?" umpatku dalam hati.

Aku tak menggubris. Biarkan saja. Kami bertiga masuk. Merapikan sandal agar tidak tertukar atau hilang. Saat memasuki masjid, kami dibuat takjub. Arsitekturnya keren. Tak biasanya. Seperti tidak ingin melupakan atau menghapus nilai-nilai luhur para pendahulu. 

Penampakan masjid di Situs Sejarah Makam Sunan Gunung Djati, Cirebon.

Kami salat berjama'ah. Di dekat mimbar masjid yang lagi-lagi unik. Sama sekali tidak meninggalkan tradisi dan kebudayaan lokal. Ornamen masjidnya mencirikan khas Cirebon. 

Usai salat, kami bergegas ke Makam Sunan Gunung Djati. Keluar masjid. Lagi, aku menemukan orang-orang yang memaksa. Maksudku memaksa orang lain untuk melakukan sedekah. "Pak ayo pak sedekah, berkah berkah berkah. Pak, hey ayo pak, sedekah, berkah," kata penjaga sandal mencecar salah satu rombongan peziarah yang ingin keluar masjid. 

Saat tiba di makam, saya merasa takjub. Penuh. Orang-orang berduyun untuk mencari berkah. Ketika itu malam Jum'at. Meski bukan Kliwon, tapi antusias dari para peziarah luar biasa. Aku, Yahya, dan Fadhol sampai kebingungan mencari tempat. "Ru, kita pisah aja. Gak usah gabung sama peziarah lain. Tahlilan bertiga aja," Yahya berbisik.

Peziarah yang ramai itu berdatangan dari mana-mana. Purwokerto, Solo, Bandung, bahkan Jakarta. Mereka tak lagi peduli soal bid'ah atau sesat sebagaimana yang dipikirkan sebagian orang di luar sana. Mereka khusyuk berdoa, membacakan tahlil, tahmid, takbir, dan kemudian bersyukur telah berkesempatan menziarahi Syarif Hidayatullah.


Akhirnya kami mendapat tempat setelah menembus ribuan manusia yang memadati makam yang dikeramatkan itu.

Usai tahlil, kami keluar. Lagi-lagi, sangat sulit melewati padatnya para peziarah yang hadir. Saya hampir menyerah. Sebab berkali-kali menginjak kaki orang lain yang sedang khusyuk melantunkan ayat-ayat suci Al-Quran. Berulangkali juga, aku meminta maaf. Untungnya, ziarah ke makam wali memancarkan energi positif. Damai, tenang, dan tidak ada kebencian yang menjalar.

Maka itu, dengan senang hati mereka memberi kami jalan. Walau terinjak kakinya, mereka memaafkan. Begitulah watak dan perilaku Islam sesungguhnya. Singkatnya, Yahya pernah bilang bahwa watak bangsa Indonesia yang sebenarnya adalah di tempat-tempat seperti ini. 


Sempat ingin belanja, tapi kami urungkan. Sebab, kami berpikir bahwa di Pondok Buntet Pesantren sendiri, dari timur hingga barat juga dipenuhi oleh dagangan yang sama persis dengan di Komplek Makam Sunan Gunung Djati. Dengan begitu, kami langsung pulang. Kembali ke Buntet.

"Eh, baru jam 9 ini. Jalan-jalan dulu lah. Gue mau nikmatin Kota Cirebon," kata Yahya kepada Fadhol.

"Nasi Jamblang, lah," lanjutnya.

"Yaelah, Yay. Nasi Jamblang mah begitu doang. Sama aja kayak warteg," kataku.

Fadhol mengiyakan Yahya, "Yaudah, yuk."

Kami bertiga kembali Boti. Tidak lama keluar dari Komplek Makam Sunan Gunung Djati, hujan turun dengan rintik kecil-kecil. Sementara pusat kota masih jauh. Soal dingin, tak perlu lagi dibicarakan. Menggigil.

Seperempat jam, kami tiba di kota. Di dekat Grage Mall, ada Nasi Jamblang Pak Yanto. Kami berhenti. Sementara hujan turun semakin deras. Perut yang sedari tadi sudah tarlingan, mulai hangat oleh Nasi Jamblang dan teh manis hangat. Kenikmatan seperti itu tiada dua. Ini adalah kali pertama kami bertiga, makan, dengan lokasi yang sangat jauh dari biasanya. 

"Oh, begini rasanya," kata Yahya sembari manggut-manggut.

Selesai makan. Aku langsung mengajak Yahya dan Fadhol untuk langsung bergegas ke Buntet. Aku dihubungi Syakir untuk membantunya memproduksi berita. Saat itu jam 10 malam, jalanan Mundu hingga perempatan Kanci kemudian sampai Mertapada nampak sepi, gelap, dan mengerikan.



(Bersambung)


Bekasi Utara, 20 April 2017


Aru Elgete