Minggu, 07 Februari 2016

Satukah jiwa-jiwa kita?


Satukan Jiwa-jiwa kita
Bangunlah dalam senasib serasa
Singkirkan luka hadirkan tawa
Menggapai semua cita
***

Barangkali masih ada dalam buah pikir kita selama ini, tentu rindu yang tak mampu terbantahkan. Ada suara tawa yang lepas; kala itu, canda menjadi kewajiban dalam setiap pembicararaan, serta tangis ketakutan malam itu buatku menjadi sosok yang pura-pura berani. Padahal kita sama, tak sedikit pun berbeda. Adalah waktu yang saat itu sudah lebih dulu menghuni ruang kecil jiwaku, yang menjadikanku terpaksa harus lebih besar dari lingkaran kebersamaan kita, dan dari lingkaran-lingkaran yang ada dalam lingkaran kebersamaan itu sendiri. Padahal kita sama, tak sedikit pun ada pembeda. Bahkan, pasti akan selalu teringat bahwa ketika itu, ada ikrar untuk mengokohkan keberadaan dan keberadaban kita, agar tak menjadi sembarang keesokan hari; Catur Prasetya namanya.

Adakah kegelisahan di kedalaman kalbu, bahwa bait-bait yang kita senandungkan malam itu merupakan sebuah jahitan agar jiwa-jiwa yang terlahir dari surga yang berbeda ini, akan tetap selalu rekat? Bahwa kita memang bergerak dalam langkah yang pasti tak sama diiringi dengan bersumpah bahwa kita akan berusaha mengindahkan langkah demi sebuah cita dan asa yang sama? Pernahkah kita gelisah untuk bersama membangun jiwa ini dalam perasaan yang sama; nasib dan rasa? Lalu bagaimana dengan janji kita untuk tetap berputar dalam kemilang warna dunia? Masihkah itu menjadi sesuatu yang patut digelisahkan, atau sekadar serpihan-serpihan serupa debu yang terpakai untuk tayammum; berguna hanya di saat kita membutuhkan? Apakah pose terbaik kita saat itu, sekadar menjadi penghias ruang tamu rumah kita saja? Ingatkah, ketika malam itu tangisku tumpah? Aku gelisah karena takut kebersamaan kita diracuni oleh perasaan yang tak pernah sesuai dengan bait-bait yang serupa wirid dalam ibadah itu. Bahwa kegelisahanku adalah yang pada hari ini sudah menjadi jawaban yang tepat dan mewujud dalam kenyataan, padahal sama sekali tak pernah ada harap dariku agar kegelisahanku itu mengemuka di depan mata.

Sudah hampir setengah dasawarsa momentum kebersamaan itu kita lewati, kini hanya menjadi sejarah laksana prasasti; ada bukti otentik, tapi hadirnya tiada. Bagaimana dengan jiwa-jiwa kita yang tak menyatu, yang berserak ditelan iblis bernama ego? Kupikir, kalau lingkaran kebersamaan itu kita beri nama keluarga, maka sudah tak perlu lagi ada amarah untuk seorang pemberi petuah. Sekalipun murka dalam keiblisan ego pada diri turut hadir, sangat mudah kita singkirkan; dengan kembali membuat lingkaran kebersamaan dari keberadaan dan keberadaban kita kala itu, dengan berdasar dan bersandar pada rindu yang tertanam indah di setiap tidur malam.

Kerinduanku kini menjadi cemeti yang pedih, saat kutahu kenyataan pahit mencambukkan dirinya dengan kekejaman yang sama sekali tidak pernah terpikir sebelumnya. Angan yang semula gandrung di pikiranku menjadi kandas, saat kemilang warna dunia sudah kelabu, tergerus oleh kedurjanaan yang pekat. Sadar pada dasar terbentuknya diri ini adalah karena kebersamaan yang diciptakan dengan keindahan estetika, bahkan gerimis pun bersaksi atas petikan gitar dan nyanyian yang melantur dari semestinya; kehangatan bukan saja tercipta karena ada api yang menyala-nyala di hadapan kita, tapi karena keberadaan kita yang dinaungi oleh maslahat rekat yang jauh dari muslihat jahat.

Aku tunggu di ruang kantung kebudayaan, untuk bersama menumpahkan rindu dalam gerak dan derap yang terterap. Kapan kita menjadi jiwa-jiwa yang satu, yang semula terpisah karena kita berasal dari surga yang berbeda?

Sekali lagi, masih kutunggu.

Selasa, 02 Februari 2016

LGBT dan Pemberitaan Indra Bekti

Beragam pendapat mengemuka ketika isu LGBT merambah masuk ke negeri tenteram nan damai ini. Banjir pakar laksana air bah di bumi pertiwi. Bicara ini-itu tanpa data yang dapat dipertanggungjawabkan. Tapi tak mengapa, freedom of speech sudah menjadi kesepakatan bersama asal tidak mengerucut kepada hatespeech atau ujaran kebencian. Agamawan dan rohaniwan berlomba-lomba mengeluarkan argumentasi keagamaan yang terdapat di kitab suci untuk menolak segala aktivitas LGBT di Indonesia. Aktivis HAM meradang dan menuntut negara agar segera memberi kebebasan untuk LGBT, minimal kebebasan untuk berkonsultasi agar hidupnya menjadi lebih baik.
Di kehidupan sosial, LGBT, yang dianggap mengalami penyimpangan seksual, menjadi momok yang sangat menakutkan dan menjijikan sehingga harus dijauhkan dari keseharian. Hal itu bisa saja membuat hidup kaum LGBT semakin terpuruk. Bagaimana tidak, jangankan mendapatkan solusi terbaik, untuk sekadar bergaul saja sudah tak diberi ruang gerak yang cukup. Pada akhirnya, LGBT tetap tidak memiliki daya untuk berkilah atas kemampuan yang dimiliki di tengah kondisi yang sulit, sebab sudah kadung diberi label yang negatif dan sangat menjijikan.
LGBT memang terasa asing di tanah khatulistiwa, akan menjadi pertentangan yang sulit dan perdebatan yang sangat panjang ketika LGBT dilegalkan oleh negara. Saya pun menolak kalau LGBT diberi pelegalan atas perbuatannya, namun saya berjuang untuk memberi kebebasan bagi LGBT menjadi pribadi yang lebih baik, tidak dikucilkan atau pun dianggap menjijikan, tapi diberi akses untuk berkonsultasi kepada siapa pun yang "normal", agar orientasi seksual yang berbeda dari dominasi mayoritas di Indonesia bahkan dunia, menjadi tidak terasa asing atau sangat menjijikan, bahkan menjadi orientasi seksual yang selazimnya.
Untuk menghadapi situasi seperti ini, masyarakat Indonesia seharusnya mampu bersikap dewasa. Menerima keberadaan kaum LGBT dengan lapang dada di kehidupan sosial, dengan maksud agar mengubah orientasi seksual yang dianggap menyimpang itu, bukan dengan maksud membiarkannya. Karena menurut hemat saya, semakin sesuatu itu dikekang, akan semakin kuatlah gerak untuk memberontak. Jadi bukan tidak mungkin, semakin LGBT tidak diberi kebebasan, mereka akan lebih kuat lagi dalam memberontak agar eksistensinya diakui oleh sosial.
Di tengah hiruk-pikuk soal LGBT, ada pemberitaan yang tidak kalah mengejutkan. Indra Bekti, seorang artis yang namanya sudah melambung tinggi, entah terjebak atau dijebak ke dalam persoalan LGBT, seakan membangun opini beragam di masyarakat. Pertama, opini yang terbangun dari pemberitaan tersebut adalah bahwa LGBT sudah di depan mata, dan harus segera diberangus karena tidak sesuai dengan norma susila atau pun norma sosial. Kedua, sebagai tuntutan kepada negara agar orientasi seksual yang dianggap menyimpang itu segera dilegalkan, sebab LGBT sudah di depan mata, dan lagipula banyak artis yang sudah masuk ke dalam kategori LGBT. Karena kalau tidak segera dilegalkan, "kaum penyimpang" itu akan selalu dianggap salah, dan anggapan-anggapan itu membuat mindset bahwa LGBT memang tidak bisa disembuhkan.
Walau begitu, saya tetap pada prinsip awal bahwa seburuk apa pun kaum LGBT, mereka tetap punya hak untuk berbuat kebaikan. Karena tidak mungkin selama hidupnya, seorang manusia selalu berada dalam keburukan, dan begitu juga sebaliknya. Orang-orang yang merasa lebih normal dari kaum LGBT juga punya hak atas kebaikan, mengubah sikap dan perilaku menjadi lebih baik atau memberi kesempatan kaum LGBT untuk bergaul dan bersosialiasi, bahkan berkonsultasi.
Saya tetap akan mengapresiasi perilaku LGBT yang baik di mata sosial, dan memberikan kesempatan untuk bergaul serta mencurahkan segala keluh kesahnya selama ini. Saya juga tetap meradang ketika kaum yang merasa lebih normal dari LGBT berbuat buruk di mata sosial. Asal tidak saling menganggu kenyamanan dan ketenteraman hidup yang lain, siapa pun berhak mendapatkan kemerdekaan dirinya di atas bumi.

Agenda Tahunan Orang Indonesia

Sudah menjadi rahasia umum, barangkali, bahwa umat manusia di Indonesia memiliki agenda tahunan untuk membicarakan sesuatu yang itu-itu saja. Umat manusia di Indonesia memang unik, apa pun bisa menjadi bahan obrolan yang kadang mengasyikkan, kadang menjengkelkan. Ada yang argumentatif, ada juga yang kalau bicara selalu "katanya-katanya", dan akhirnya terjadilah logical fallacy atau pikirannya menjadi buntu alias sesat.
Agenda rutin di akhir tahun lalu ada Hari Raya Natal Kanjeng Nabi Yesus yang berdekatan dengan Maulid Kanjeng Nabi Muhammad, dan Tahun Baru Masehi. Semua ramai mempermasalahkan ketiga hari besar itu. Ada yang merayakan dengan gembira, ada juga yang tidak merayakan dengan alasan tertentu sembari mencibir orang-orang yang merayakan. Tapi toh, merayakan atau tidak merayakan, dirayakan atau tidak dirayakan, kita pasti melewati hari besar itu dan sebagai manusia yang menjadi khalifah di bumi, kita tetap dituntut untuk senantiasa berbuat baik. Kasian, yang ngotot-ngototan berusaha melarang dan mencibir, barangkali pahalanya luntur atau dosanya tak terkikis, sia-sia.
Jadi, aku tidak terlalu mempermasalahkan hal itu. Bagiku, Tuhan tak pernah melarang selama perbuatan yang dilakukan adalah hal baik dan bermanfaat bagi segenap umat manusia, khususnya di Indonesia. Menjadi sesuatu yang sangat disesalkan ketika perdebatan itu justru menambah tebal kandungan racun kebodohan di otak kita, dan berdampak pada peradaban bangsa Indonesia yang justru mundur. Bahkan, bukan tidak mungkin, bangsa lain bisa tertawa melihat kelakuan bangsa kita yang selalu punya agenda tahunan hanya untuk berdebat yang itu-itu saja. Lucu deh negeri ini.
Di awal-awal tahun ini, seperti biasa, kita dipertemukan dengan tiga hal; Hujan, Imlek, dan Valentine. Hujan dengan Imlek memang menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan, hujan yang kian hari semakin deras justru membawa keberuntungan, bagi warga penganut ajaran Kanjeng Nabi Konfusius khususnya. Karena Nabi Konfusius tidak termaktub dalam kitab suci secara harfiyah, maka ajaran Konghucu dianggap mengada-ada dan mengucapkan selamat kepada hal yang kebenarannya diragukan, katanya sih haram. Mengucapkan selamat haram, menerima angpao sih tetep halal, menikmati libur Imlek ya Puji Tuhan.
Sedangkan Valentine yang diyakini sebagai hari kasih sayang bermuara pada cerita cinta yang oleh sebagian besar umat manusia dilabeli dengan cap perzinaan, jadi haramlah kalau dirayakan. Jangankan merayakan saudara, mengucapkan selamat saja sudah haram, merayakan dengan hal-hal positif pun diyakini sebagai tindakan yang haram.
Pengharaman itu menggunakan dalil dan argumentasi keagamaan. Menjadi asik ketika yang menyampaikan dalil itu argumentatif dalam penyampaiannya, menjadi geli ketika dalil itu justru untuk menyerang umat manusia yang dengan bahagia merayakan dengan hal-hal yang positif, dengan kata lain jauh dari perbuatan zina. Sama halnya ketika Imlek, dalil keagamaan menjadi alat untuk menyerang orang-orang yang ikut membantu dalam perayaan.
Padahal Imlek itu sama sekali bukan perayaan keagamaan, melainkan perayaan adat atau kebudayaan. Apa pun agamanya, asal ada keturunan Tiongkok dan percaya dengan ajaran Kanjeng Nabi Konfusius boleh merayakan. Karena Imlek itu serupa acara atau adat kebudayaan untuk mengusir jin, setan, atau hal-hal yang buruk. Silakan cari referensinya sendiri-sendiri ya.
Begitu pun Valentine, sama sekali bukan upacara keagamaan. Itu produk budaya. Kebetulan saja yang menjadi pelaku muasalnya adalah orang yang beragama, kemudian karena menurut sebagian besar orang, cintanya Si Valentino itu luar biasa dahsyat,  akhirnya hari dan tanggal kematiannya diperingati sebagai Hari Valentine atau Hari Kasih Sayang.
Jadi, ada yang beranggapan, termasuk diriku, kalau kita merayakan Hari Valentine dengan hal-hal yang positif dan jauh dari segala sesuatu yang mendekati zina, silakan. Tapi dengan catatan, merayakannya tidak dimaksudkan untuk melanggengkan perzinaan itu, melainkan diniatkan untuk mengubah keburukan (perzinaan) menjadi kebaikan. Namun, ada juga sebagian lagi yang beranggapan, haram untuk segala sesuatu yang berbau Valentine, baik mengucapkan selamat apalagi merayakannya.
Mengucapkan Selamat Hari Raya Imlek juga tidak menjadi masalah, karena dengan mengucapkan kata "selamat", kita berdoa atas nama kemanusiaan, semoga dalam perayaannya teman-teman Tionghoa diberi kelancaran tanpa suatu kendala apa pun. Kata "selamat" itu pun semoga membawa rezeki, mendapat angpao beserta isinya senilai lima puluh ribu, misalnya. Lumayan untuk membeli paket data. Hihihihhi.
Kira-kira itu, agenda tahunan orang Indonesia yang selalu menjadi perdebatan yang tidak jelas juntrungannya.

Senin, 01 Februari 2016

Begini caraku berpikir

Ada beberapa hal yang membuatku tergelitik, ini tentang dinamika kehidupan manusia. Silih berganti saling mengganti, apa pun itu. Menjadi benci karena dicaci, bertambah cinta karena puja-puji yang membabi-buta, atau menjadi buta karena menanti puja-puji. Sungguh, aku tak bermaksud menilai manusia, bukan juga maksudku bersesat pikir dalam sudut pandangku. Aku justru ingin mengajak pembaca berpikir kritis, bahwa segala penilaian yang didapat dari orang lain bukan hal yang bersifat abadi, itu hanya sementara, manusia selalu menjadi makhluk yang bimbang karena pola pikir dan sudut pandangnya.
Manusia -sebut saja kita- seringkali menilai manusia lain hanya berdasar satu sisi, padahal Gusti Pangeran Ingkang Mboten Sare itu memberi banyak kelebihan di dalam diri manusia, dan tak terkecuali pula, ada kekurangannya. Misteri soal pemberian-Nya untuk manusia itu, menurutku, karena Dia menginginkan manusia mempergunakan akal dan pikirannya, bahwa di dunia ini manusia tidak sama sekali selalu keliru, juga tidak sama sekali selalu tepat. Bahwa sekeliru apa pun manusia dalam kehidupannya, pasti teriringi oleh ketepatan, yang sadar atau tidak keduanya selalu ngintili dalam keseharian.
Seingatku, aku tidak pernah menilai seseorang dan sebuah kelompok sangat buruk dan tidak mungkin bisa menjadi baik, sekalipun mayoritas di sekelilingku menilai keduanya dengan penilaian yang sangat tidak baik dan tidak mungkin bisa menjadi baik. Aku juga tak pernah menilai sebuah kelompok atau seseorang sangat baik dan tidak mungkin bisa menjadi buruk, sekalipun mayoritas di sekelilingku menilai keduanya dengan penilaian yang sangat tidak buruk dan tidak mungkin bisa menjadi buruk.
Masih soal penilaianku, bahwa aku tak pernah menyatakan keburukan dengan seburuk-buruknya tanpa sebelumnya mendapati hal yang pasti dari yang menjadi objek penilaianku. Aku juga tak pernah menyatakan kebaikan dengan sebaik-baiknya tanpa sebelumnya mendapati hal yang pasti dari yang bersangkutan. Karena aku masih meyakini bahwa tiada yang tepat sama sekali dan tak pernah ada yang selalu keliru dalam hidupnya.
Bagiku, setiap hal yang berkesesuaian dengan hati dan pikiranku merupakan hal yang tepat, meskipun ketepatan itu kudapati dari seorang atau kelompok yang selama ini menurut penilaianku dan konco-koncoku adalah seorang atau kelompok yang banyak kelirunya. Aku tak pernah memiliki rasa gengsi untuk mengapresiasi ketepatan itu. Pun sebaliknya. Ketika hati dan pikiranku menemui suatu hal yang menurutku keliru, meskipun kekeliruan itu kudapati dari seorang atau kelompok yang selama ini menurut penilaianku dan kroni-kroniku adalah seorang atau kelompok yang banyak tepatnya. Aku tak segan-segan menegur dan memberinya tamparan, agar sadar bahwa ia sedang dalam kekeliruan.
Eling lan Waspodo adalah nasihat yang paling sering memekakkan telingaku. Kedua orang tuaku selalu mengingatkan kedua nasihat itu hampir acapkali langkah kakiku bergegas melakukan aktivitas. Bahwa kita harus selalu Eling atau mengingat Gusti Pangeran dalam setiap detak nafas dan derap langkah, bahwa Dia yang menciptakan segala sesuatu di dunia ini beserta segala dinamika yang dengan sistematika Mahadahsyat-Nya. Waspodo atau hati-hati juga harus ada dalam diri, sebab gerak manusia tak dapat diterka; yang baik bisa tiba-tiba menjadi buruk, yang buruk bisa seketika berubah baik. Menurut kedua orang tuaku, gunakan akal dan pikiran untuk menilai dan melihat manusia lain serta gunakan hati dan rasa serta segala penghayatan dalam menghamba pada Gusti Pangeran Ingkang Murbeng Dumadi.
Belakangan ini, aku sering mendengar pemberitaan klasik yang barangkali sampai kehidupan baru dimulai (katakanlah kiamat, karena kiamat sejatinya justru awal kebaikan dan kehidupan yang baru, bukan akhir dari segalanya dan kehidupan telah berakhir) masih akan terus terjadi. Dari tulisan ini, aku ingin mengusik akal dan pikiran pembaca agar tak melulu racun kepicikan terus berkembang dalam otak dan menyebabkan akal dan pikiran menjadi sakit.
Sebenarnya ada beberapa hal yang ingin kubahas, namun dalam kesempatan kali ini, satu hal yang menjadi pertanyaanku, apa yang terlintas dalam benak anda ketika LGBT kusebut? Jijik, menolak, takut, mencoba untuk memberi solusi, menjauhi, atau yang lainnya? Terserah anda.
Pendapatku soal LGBT begini: Pertama, aku sama sekali tidak takut akan terpengaruh atau bahkan menjadi serupa ketika temanku sendiri ternyata homoseksual (Lesbian atau Gay) atau Biseks dan bahkan yang mengubah jenis dan bentuk kelaminnya. Kedua, aku tetap memandang bahwa LGBT bukan sebuah ketersesatan atau penyimpangan, bahkan sebuah kenistaan, sebab mereka hanya memiliki orientasi seks yang berbeda. Ketiga, aku tidak pernah tahu bagaimana hati mereka sebenarnya, mungkin saja mereka menolak dengan keadaan seperti itu, namun hanya bisa membatin karena mereka tidak memiliki keberanian untuk mengungkapkannya kepada orang lain yang "normal" untuk mencari solusi, dan pada akhirnya mereka membuat komunitas sendiri. Keempat, kalau pun hal tersebut adalah sebuah ketersesatan, penyimpangan, bahkan kenistaan, bagiku mereka merupakan ladang dakwahku. Tak perlu dijauhi, dimusuhi, dibenci, bahkan diberangus karena ketersesatannya. Lha wong tersesat kok gak diberi tahu jalannya. Dan kelima, ketika mereka malu karena orientasi seksual yang berbeda dengan sebagaimana pada umumnya, barangkali mereka tidak sama sekali berpacaran, tapi justru mereka lebih mendekatkan diri kepada Sang Pencipta dan menghamba dengan rasa seutuhnya serta dibarengi dengan pengabdiannya pada kemanusiaan. Bukankah itu baik? Urusan diterima atau tidaknya amal kebaikan yang dikerjakan, dan segala penghambaan dengan Sang Pemilik Semesta, sama sekali bukan urusan kita sebagai manusia. Biar mereka sendiri yang mempertanggungjawabkannya di kehidupan yang baru nanti. Begitu pun ketika LGBT melakukan hal yang tidak baik dan abai terhadap Penciptanya, itu juga bukan urusan kita untuk menghakimi, peringatkan saja tapi jangan berlebihan, sisanya biar Tuhan yang menjadi hakim.
Bukankah Dia adalah hakim yang seadil-adilnya? Bukankah Dia tidak membeda-bedakan hamba-Nya kecuali hanya berdasar pada tingkat dan kadar ketaqwaan? Bukankah Dia memerintahkan kita untuk menjadi seorang yang selalu mengingatkan dalam ketepatan, bukan menjadi seorang diktator atau penguasa?
Namun dengan begitu, penilaianku terhadap LGBT tidak langsung tepat atau tidak pernah keliru. Perilaku LGBT yang menurutku keliru tetap membuatku meradang dan segera memberi peringatan, aku juga akan selalu mengapresiasi perilaku LGBT yang menurutku tepat. Seperti pernyataan sikapku terhadap LGBT yang sudah dijelaskan di atas, itu merupakan pandanganku terhadap LGBT yang selama ini dipandang dan dilihat buruk dan sama sekali tidak pernah ada baiknya. Sementara aku, tetap berpegang teguh bahwa di dunia ini tidak ada manusia yang bisa seumur hidupnya selalu tepat atau tidak pernah keliru, dan sebaliknya.
Keterkaitan LGBT saat ini dengan kisah kaumnya Nabi Luth tentu tidak bisa menjadi alasan anda menjadi seorang pembenci dan menjauhi LGBT. Kaum Shodom pada jaman Nabi Luth dikenai hukuman langsung dari Tuhan karena zaman sebelum Kanjeng Nabi Muhammad memang seperti itu adanya. Mari kita buka literatur tentang Kanjeng Nabi Muhammad yang sangat sayang kepada ummatnya sehingga beliau meminta keringanan hukuman dari Tuhan ketika ummatnya berbuat kekeliruan.
Untuk lebih lanjut membicarakan soal penilaian terhadap sesuatu dengan menggunakan akal dan pikiran yang sehat serta hati yang lapang, atau membicarakan hal mengenai LGBT, silakan agendakan waktu untuk kopdar.
Sekian.