Selasa, 30 Juli 2019

Dialog Toleransi (4-Habis): Hizbut Tahrir, Gusdurian, dan Gus Dur


Bersama Pendeta Suluh Sutia (tengah) dan Koordinator Gusdurian Bekasi Raya

Orang-orang Islam yang suka membawa-bawa bendera hitam atau putih bertuliskan arab itu adalah Hizbut Tahrir. Mereka yang punya agenda mendirikan khilafah Islamiyah. Sebuah kepemimpinan dunia bersifat politis, yang dikepalai oleh seorang khalifah.

Lalu siapa pemimpin dan bagaimana konsep kekhilafahan yang mereka maksud? Sampai sekarang belum jelas. Dan bersyukur, organisasi tersebut di negeri ini sudah dicabut izinnya lantaran tidak mengakui Pancasila sebagai dasar negara, keberadaan organisasi beserta seluruh perangkat dan simbolnya pun sudah dilarang.

Mereka itu sangat cerdas sekali menggunakan playing victim, atas nama Islam, mereka kemudian merasa tertindas dan terzalimi padahal sesungguhnya merekalah yang berbuat demikian kepada yang lain. Sungguh, keberadaan mereka itu tidak benar-benar mewakili kepentingan umat Islam secara keseluruhan.

Nah terkait bendera yang sering mereka bawa ke mana-mana, hitam dan putih warnanya, itu bukanlah bendera umat Islam, apalagi benderanya Nabi Muhammad Saw. Bendera itu merupakan salah satu kelengkapan organisasi yang dimiliki oleh mereka. 

Huruf arab di zaman Nabi Muhammad, pasti berbeda dengan huruf arab yang ada di bendera Hizbut Tahrir itu. Huruf arab di zaman Nabi jelas tidak ada syakal (tanda baca): fathah, kasrah, dlammah, bahkan titik.

Lebih jauh, kalau bendera yang mereka bawa-bawa itu dikibarkan di Arab Saudi; negara Islam-Monarki, si pembawa bendera pasti akan ditangkap, karena bendera itu adalah benderanya kelompok teroris. 

"Tulisan itu adalah laa ilaaha illallaah (tidak ada Tuhan kecuali Allah) muhammad rasulullah (Nabi Muhammad utusan Allah). Sebuah kalimat doktrin yang paling fundamental dalam Islam. Maka, sebagian besar ulama menghukumi makruh, bahkan ada yang haram, jika tulisan dua kalimat syahadat itu ditempatkan di benda-benda," kata saya menjelaskan kepada Jemaat GKP Seroja Bekasi Utara.

Saya melanjutkan, "Kalau sampai itu tulisan dituliskan di topi dan kemudian topi itu kena kotoran burung, kita akan terkena dosa. Kalau tulisan itu dituliskan di kaos atau baju, kemudian kita masuk ke dalam toilet, makruh hukumnya, bahkan bisa jadi kita terkena dosa, dan lain sebagainya."

Lantas di mana seharusnya dua kalimat syahadat itu ditempatkan? Jawabannya tentu saja di hati, bukan di simbol-simbol yang justru dapat mengurangi kadar kesakralan dua kalimat syahadat. Kemudian kalimat mulia itu diwujudkan dengan senantiasa beriman kepada Allah dan meneladani sifat Nabi Muhammad yang penuh cinta-kasih kepada sesama manusia.

Untuk itu, saya menjelaskan pula bahwa di dalam tradisi Nahdlatul Ulama terdapat tradisi tahlilan yang isinya adalah membesar-besarkan Allah tanpa ada rasa kebencian, dengki, dan amarah. Tetapi justru, tahlilan itu adalah wujud kecintaan kepada Allah yang terkristalisasi untuk mencintai dan menjaga hubungan kepada sesama makhluk Allah.

Terakhir, saya memberikan penjelasan tentang Jaringan Gusdurian, terutama Gusdurian Bekasi Raya ini. Saya katakan, Gusdurian adalah sebuah komunitas para pecinta Gus Dur yang mengedepankan rasa toleransi dan kasih sayang, serta menyebarkan nilai atau ajaran Islam ramah; bukan marah.

Di Bekasi, Gusdurian berdiri dan terbentuk baru beberapa bulan ke belakang, belum ada setahun. Berbagai hal tentu saja sudah dilakukan, seperti diskusi, kunjungan ke rumah-rumah ibadah, dan berbagai kegiatan sosial-kemasyarakatan lainnya. Satu hal yang mesti dicatat: Gusdurian adalah komunitas nonpolitis, nonpartisan.

Dalam tulisan ini saya ingin menjelaskan, bahwa Jaringan Gusdurian yang didirikan oleh Mbak Alissa Wahid, secara gerak dan kepentingan, tentu berbeda dengan Barikade (barisan kader) Gus Dur yang dibentuk oleh Mbak Yenny Wahid. Maka, kalau pecinta Gus Dur ingin terjun ke dunia politik praktis, bernaungnya bukan di Gusdurian tetapi di Barikade Gus Dur. Paham, ya?

Baca juga: Dialog Toleransi (Part 3): Sosok Nabi Muhammad dan Persaudaraan Kemanusiaan

Sembilan Nilai Utama Gus Dur

Memperkenalkan Gusdurian, terasa kurang jika tidak memberikan penjelasan tentang nilai atau keteladanan yang telah diwariskan Gus Dur. Oleh Komunitas Jaringan Gusdurian, nilai-nilai ini kemudian dijadikan sebuah landasan untuk bergerak, bertindak, dan berperilaku agar sesuai dengan garis perjuangan Gus Dur semasa hidupnya. Hal tersebut adalah yang disebut sebagai Sembilan Nilai Utama Gus Dur.

Pertama, ketauhidan. 

Kebertuhanan Gus Dur tidak bisa diragukan lagi. Dia terlahir dari keluarga kiai, lingkungan pesantren, dan mencari ilmu ke negara-negara Islam: Mesir dan Irak. Maka tentu saja sudah tidak bisa kita sangsikan lagi keberislaman, ketauhidan, atau kebertuhanan seorang Gus Dur.

Bahkan, Gus Dur itu selalu menolong orang lain yang membutuhkan uluran tangannya. Sebab, bagi Gus Dur, keimanan kepada Allah harus diwujudkan dengan membahagiakan sesama manusia atau bahkan seluruh makhluk di muka bumi.

Kedua, kemanusiaan.

Gus Dur adalah seorang yang mampu melihat manusia dari sudut pandang kemanusiaannya, bukan dari latar belakang, status sosial, dan kemelekatan yang ada pada manusia. 

Baginya, memuliakan manusia dengan menghargai kemanusiaannya, sama saja dengan memuliakan Allah dengan segala kebesaran-Nya. Sebaliknya, merendahkan dan menistakan eksistensi manusia sama dengan merendahkan dan menistakan penciptanya: Allah.

Ketiga, keadilan.

Adil itu berarti proporsional atau menempatkan sesuatu sesuai dengan kadar dan kebutuhannya. Maka seperti itulah Gus Dur yang selalu memandang martabat kemanusiaan hanya bisa dipenuhi dengan adanya keseimbangan, kelayakan, dan kepantasan dalam kehidupan masyarakat.

Gus Dur adalah sosok yang paling terdepan dalam membela kelompok yang diperlakukan secara tidak adil. Sebut saja misalnya Ahmadiyah yang tak henti-hentinya Gus Dur bela, sekalipun secara ajaran dan doktrin keagamaan berbeda dengannya. 

Kemudian kita lihat soal bagaimana Gus Dur menetapkan Konghucu sebagai agama resmi negara. Padahal pada zaman orde baru, hingga menjelang reformasi, saudara-saudara kita yang beragama Konghucu itu sangat sulit mengekspresikan keberagamaannya di Indonesia. 

Gus Dur pernah mengatakan, "Peace without justice is an illusion."

Keempat, kesetaraan.

Kesetaraan bersumber dari pandangan, yang juga menjadi perspektif Gus Dur, bahwa setiap manusia memiliki martabat dan derajat yang sama di hadapan Allah. Maka, setiap warga negara Indonesia punya hak dan kewajiban yang harus diterima dan wajib dilakukan. 

Tak heran jika dalam pandangan soal kesetaraan ini, Gus Dur seringkali memberikan pembelaan kepada kelompok-kelompok minoritas dan terpinggirkan yang lemah atau dilemahkan oleh tirani kekuasaan. 

Selain itu, Gus Dur juga meneladankan bahwa siapa saja orangnya dengan latar belakang apa pun adalah sama posisinya di hadapan hukum. Tak pandang anak pejabat, polisi, tentara, bahkan presiden; kalau salah, harus dihukum sesuai hukum yang berlaku di negeri ini.

Kelima, pembebasan.

Setiap manusia harus hidup merdeka, bebas, dan tanpa penindasan. Pandangan ini bermula dari kesadaran tentang mewujudkan dan menegakkan nilai keadilan dan kesetaraan.

Dalam kapasitasnya sebagai ulama, cendekiawan, aktivis, dan bahkan presiden, Gus Dur senantiasa memfasilitasi siapa saja untuk mendorong tumbuhnya jiwa-jiwa merdeka. Sehingga dengan demikian, jiwa-jiwa merdeka itu dapat membebaskan dirinya sendiri dan orang lain dari belenggu ketertindasan.

Keenam, kesederhaan. 

Selama hidupnya, Gus Dur dikenal sebagai sosok yang sangat sederhana. Sekalipun anak kiai, bahkan keturunan para wali dan nasabnya bersambung hingga ke Nabi Muhammad, dia tidak pernah berlebih-lebihan dalam ucapan, tindakan, atau pun pakaian. 

Ke mana-mana, Gus Dur selalu mengenakan pakaian khasnya; sarung, baju batik, dan peci hitam. Dalam berbagai kesempatan, ada kalimat unik sebagai tanda sebuah kesederhanaan berpikir penuh makna yang sering dilontarkan Gus Dur. Yakni, "Gitu aja kok repot!"

Menurut Gus Dur, sikap sederhana merupakan bentuk perlawanan atas sikap yang berlebihan, materialistis, dan koruptif. 

Ketujuh, persaudaraan.

Saudara itu berasal dari dua kata, yaitu "sa" dan "udara" atau satu udara. Pada mulanya, kata "saudara" dimaknai sebagai manusia yang sama-sama lahir dari rahim ibu yang sama. 

Namun, kata "saudara" mengalami perluasan makna bahwa sa-udara berarti kita sama-sama menghirup udara yang sama. Dengan demikian, seluruh manusia, yang menghirup udara di atas muka bumi ini adalah saudara, yang harus menjunjung tinggi nilai persaudaraan itu sendiri.

Nah, persaudaraan ini bersumber dari prinsip-prinsip penghargaan atas kemanusiaan, keadilan, kesetaraan, dan semangat pembebasan. Maka, persaudaraan merupakan sebuah dasar untuk memajukan sebuah peradaban bangsa. 

Gus Dur, sepanjang hidupnya, selalu memberikan teladan dan menekankan pentingnya menjunjung tinggi persaudaraan dalam masyarakat, bahkan terhadap orang-orang yang berbeda keyakinan dan pemikiran.

Kedelapan, keksatriaan.

Keksatriaan ini diwujudkan oleh Gus Dur, saat dirinya dimakzulkan dan dilengserkan dari kursi kepresidenan oleh Amien Rais. Dengan sangat antusias dan penuh keyakinan, ratusan ribu pembela Gus Dur siap mati untuk mempertahankan Gus Dur sebagai presiden. 

Tetapi apa yang dilakukan Gus Dur? Dia justru dengan legawa turun tahta dan melarang simpatisannya untuk datang ke Jakarta agar tidak terjadi huru-hara dan kekacauan. Gus Dur tidak ingin hanya karena persoalan kekuasaan lantas mengorbankan nyawa dan meneteskan darah sesama anak bangsa yang saling bersaudara.

Keksatriaan yang dimiliki Gus Dur senantiasa mengedepankan kesabaran dan keikhlasan untuk menjalani proses seberat apa pun, serta dalam menyikapi hasil yang dicapainya. 

Kesembilan, kearifan lokal.

Inilah yang dimiliki oleh kita, bangsa Indonesia, sebagai sebuah bangsa yang besar dan berperadaban. Ada banyak sekali kearifan lokal yang baik dan harus dilestarikan sebagai sebuah kekayaan. Bhinneka Tunggal Ika dan  gotong-royong merupakan contoh konkret dari kearifan lokal yang kita miliki. 

Gus Dur, menggerakkan kearifan lokal sehingga menjadikannya sebagai sumber gagasan dan pijakan sosial-budaya-politik dalam membumikan kesetaraan dan kemanusiaan. Namun demikian, Gus Dur tidak pernah menghilangkan sikap terbuka, progresif, dan adaptif terhadap perkembangan zaman.

Dalam NU kita mengenal dengan kaidah, "Rawatlah tradisi lama yang baik dan padukan dengan tradisi baru yang lebih baik."

Usai menyampaikan pembicaraan yang cukup panjang dan lebar, saya menyudahi serta menutup pembahasan dengan memberikan kenang-kenangan untuk GKP Seroja, yakni sebuah buku berjudul 41 Warisan Kebesaran Gus Dur karya Menteri Ketenagakerjaan sekaligus politisi Partai Kebangkitan Bangsa, M Hanif Dhakiri. 

Semoga bermanfaat! Wallahua'lam...

Senin, 29 Juli 2019

Dialog Toleransi (Part 3): Sosok Nabi Muhammad dan Persaudaraan Kemanusiaan


Foto bareng Gusdurian Bekasi Raya dan Jemaat GKP Seroja Bekasi Utara

Usai bercerita tentang Gus Dur yang mampu mengejawantahkan sikap ta'aruf itu, saya langsung masuk ke pembahasan inti. Yaitu mengenalkan konsep Islam ramah yang dibawa oleh Nabi Muhammad: sosok sentral bagi umat Islam.

"Nabi Muhammad itu adalah tokoh yang membawa Islam, yang mendapat wahyu dari Allah melalui malaikat Jibril. Tapi, Nabi Muhammadi ini lebih dekat dengan Tuhan ketimbang Yesus. Kalau Yesus itu disebut sebagai anak, Nabi Muhammad diberi gelar sebagai kekasih," ungkap saya memecah suasana, dan disambut tawa gemuruh dari Jemaat GKP Seroja Bekasi Utara.

Dalam perjalanan dakwahnya menyebarkan Islam, Nabi Muhammad mengalami masa hijrah dari Mekkah ke Madinah. Nah, di Madinah itu, Nabi telah berhasil menyatukan umat manusia yang berbeda-beda latar belakang, menjadi satu kesatuan atas dasar kemanusiaan.

Untuk mengikat masyarakat Yatsrib (nama sebelum Madinah), Nabi membuat sebuah perjanjian yang menjadi landasan konstitusional untuk hidup bersama-sama. Dasar hukum itu diberi nama Piagam Madinah. 

Hal menarik dari konsensus yang dibuat Nabi itu adalah tidak ada term kafir yang berimplikasi menjadikan umat agama selain Islam sebagai warga negara kelas dua. Artinya, jauh sebelum konsep demokrasi ada, Nabi telah menciptakan sebuah tatanan masyarakat dengan konsep kewargaan (citizenship) tanpa kelas dan sekat.

Nah, saya menjelaskan lagi, beberapa kiai-kiai dari kalangan Nahdlatul Ulama mengatakan bahwa Piagam Madinah itulah yang menjadi cikal-bakal dari dasar negara Indonesia Merdeka, yakni Pancasila, yang sebelumnya disebut sebagai Piagam Jakarta.

Sementara saya menjelaskan hal-hal yang serius itu, mata saya fokus menyapu pandangan dari anak didik dan Jemaat GKP Seroja lainnya yang rupanya tengah antusias mendengarkan penjelasan saya. 

Kemudian, saya mengalihkan pembicaraan dengan menganalogikan bahwa simbol salib yang berbentuk vertikal dipadukan dengan horizontal itu merupakan sebuah nilai yang terkandung dalam ajaran agama kita: Islam dan Kristen. 

Di Islam, akrab didengar dengan hablumminallah (hubungan kepada Allah) atau komunikasi vertikal, dan hablumminannas (hubungan kepada sesama manusia) atau komunikasi horizontal. Keduanya harus diseimbangkan agar hidup senantiasa mendapat ketenteraman. 

Sedangkan dalam Alkitab, ada hukum tertinggi yang pernah disabdakan oleh Yesus. Yakni: "Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu, dengan segenap jiwamu, dan dengan akal budimu (vertikal). Kemudian, kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri (horizontal)."

Mereka, anak didik Pendeta Suluh yang masih unyu-unyu itu mengangguk tanda paham. Saya bersyukur, alhamdulillah, seraya berharap bahwa keimanan kami semoga menjadi semakin dewasa dan lapang hati menerima perbedaan.

Maka itu, untuk menguatkan rasa persatuan kami dan memberikan stimulus soal semangat mengelola persaudaraan, saya menyampaikan konsep tri ukhuwah (tiga model persaudaraan) yang pernah dicetuskan oleh seorang kiai NU, KH Ahmad Shiddiq.

Baca juga: Dialog Toleransi (Part 2): Salam dan Ta'aruf

Pertama, tentu saja, sebagai muslim, Kiai Ahmad Shiddiq menekankan bahwa pentingnya memperkuat ukhuwah Islamiyah. Sebuah persaudaraan internal agar Islam mampu kokoh dan menjadi agama yang benar-benar rahmatan lil alamin, yang dimulai dari menjaga hubungan ke dalam. 

Kedua, ukhuwah wathoniyah. Yakni persaudaraan sesama warganegara. Bahwa dalam negara Indonesia, kita mesti meniadakan latar belakang atau kemelekatan kita, apa pun itu, selain sebagai sesama warganegara dan anak bangsa. Karenanya, persaudaraan ini mesti dilestarikan agar Indonesia tetap kokoh berdiri meski dengan ragam perbedaan.

Gus Dur pernah mengungkapkan, "Indonesia ada karena perbedaan." Bahkan, lebih tegas beliau juga mengatakan, "Tidak penting apa pun agama atau sukumu. Selama engkau bisa berbuat baik kepada siapa saja, orang lain tidak akan pernah bertanya apa agamamu dan apa sukumu."

Ketiga, ukhuwah insaniyah (persaudaraan kemanusiaan). Inilah konsep persaudaraan yang paling universal, yang ditawarkan oleh NU sebagai implementasi dari amanat UUD 1945, yakni menciptakan perdamaian dunia. Jangan sampai ada penjajahan di muka bumi ini, yang menghancurkan rasa kemanusiaan, sehingga kemerdekaan menjadi hak segala bangsa. 

Kemudian, saya bertanya kepada mereka yang sedari tadi tetap fokus memperhatikan tiap kata yang saya ucapkan. "Kalian pernah dengar sekelompok umat Islam yang suka teriak-teriak Allahuakbar dan tak jarang berbuat anarki?"

Mereka menjawab dan sekaligus bertanya, "Pernah. Memangnya mereka itu siapa?"

"Sebagai bagian dari umat Islam, saya mohon dibukakan pintu maaf yang sebesar-besarnya kalau kalian, umat Kristen, merasa terganggu lantaran sikap saudara saya itu yang dirasa meresahkan. Walau bagaimana pun juga, mereka adalah saudara seiman saya. Saya mohon maaf," kata saya dan mereka memaklumi.

Saya kemudian menjelaskan tentang pemaknaan kalimat Allahuakbar dalam Islam. Bagi saya, pengucapan itu seharusnya dibarengi rasa dengan rasa kecil di hadapan Allah. Bukan justru merasa besar.

"Itu keliru," kata saya, untuk tidak mengatakan yang dilakukan kelompok Islam itu sebagai perbuatan yang salah.

Saya bercerita, bahwa kiai saya di pondok pernah mencontohkan pelafalan Allahuakbar yang kemudian dibarengi rasa merasa kecil di hadapan Allah. Hal tersebut selalu dilakukan oleh kiai saya ketika ingin mendudukkan tubuh. Dengan sangat lirih dan bahkan hampir tak terdengar, beliau kerap mengucap Allahuakbar

Maka sesungguhnya, Allah tidak perlu dibela karena kemahakuasaan-Nya yang tak bisa tertandingi. Analoginya, seorang pembela jelas lebih punya kuasa ketimbang objek yang dibela. Kalau begitu, apakah kita merasa lebih besar dengan membela Allah? Mengapa menyebut diri sebagai pembela Allah tapi di waktu yang sama justru menghancurkan tatanan masyarakat yang ada?

Apakah Allah sebagai pencipta semesta ini tidak marah saat kebesaran-Nya dibawa-bawa dan sekaligus sesuatu yang Dia ciptakan itu dihancurkan? Saya memberi permisalan, jika kita memiliki sebuah karya; buku misalnya, apakah kita tidak marah saat buku karya kita itu disobek, dibakar, dan dihancurkan di depan mata kepala kita sendiri? Tentu saja kita marah, kan? Kalau demikian, bagaimana dengan Allah?

Oleh sebab itu, Gus Dur selalu mencintai manusia atas dasar kemanusiaannya, bukan dari latar belakang atau kemelekatan apa pun. Gus Dur akan merasa sangat berdosa jika menyakiti hati dan perasaan manusia, karena jika ada hati manusia yang tergores itu berarti sama saja dia sedang menyakiti Tuhan.

Maka dalam sebuah hadits, diungkapkan oleh Nabi Muhammad, Islam atau muslim itu adalah yang mampu menyelamatkan manusia lainnya dari bahaya tangan dan lidahnya. Memang, harus kita akui bahwa kedua bagian tubuh inilah yang seringkali digunakan untuk menyakiti hati sesama. Bukan begitu?

Kemudian saya bertanya lagi kepada Jemaat GKP Seroja yang sedang asyik mendengar penjelasan saya mengenai Islam. "Apakah kalian pernah melihat ada kibaran bendera hitam dan putih bertuliskan huruf arab?"

Serentak mereka langsung bertanya, "Memang itu apa sih?"

Bersambung...

Minggu, 28 Juli 2019

Dialog Toleransi (Part 2): Salam dan Ta'aruf


Suasana dialog di GKP Seroja Bekasi Utara
Usai salat magrib berjamaah di masjid yang berada di dalam SMP Negeri 5 Kota Bekasi, saya kembali ke tempat dialog itu. Setibanya kembali di ruangan, terlihat ada cukup banyak Jemaat GKP Seroja itu yang menunggu saya.

Rupanya, benar saja apa yang dikatakan oleh Pendeta Suluh tempo hari, jemaatnya antusias untuk menghadiri dialog lintas iman ini. Saya bahagia sekali, dan lagi-lagi, senyum mereka yang berseri-seri serta tatapan bahagia yang diberikan tak putus-putus saat pertemuan perdana itu.

Akhirnya, Pendeta Suluh memulai acara. Menyampaikan trigger terlebih dulu bahwa siapa atau untuk apa saya bersama Gusdurian Bekasi Raya diundang dan datang ke sana. Saat saya sedang salat tadi, ternyata Pendeta Suluh pun sudah banyak berbicara soal pertemuan kebahagiaan ini kepada anak didiknya.

Baca juga: Dialog Toleransi (Part 1): Pesan Cinta yang Saya Rasakan

Setelah kemudian dipersilakan, saya berbicara dan memulainya dengan salam. Betapa kaget bercampur haru, bangga, dan bahagia saat mengucap assalamualaikum wa rahmatullahi wa barakatuh; mereka semua membalasnya dengan sangat lantang dan benar; wa alaikum salam wa rahmatullahi wa barakatuh.

Saya lantas menjelaskan bahwa salam yang berbahasa arab itu sebenarnya sama dengan ucapan salam sejahtera, selamat pagi-siang-sore-malam, karena artinya adalah semoga keselamatan, rahmat, dan berkat Allah diberikan kepada kalian semua.


"Bahkan dari sononya (bahasa ibrani), itu hampir-hampir mirip dengan bahasa arab: Shalom Aleichem," sahut Pak Pram, saya mengamini.

Dengan demikian, kalimat assalamualaikum wa rahmatullahi wa barakatuh merupakan ucapan sosial yang tidak ada kaitannya dengan pengrusakan akidah seseorang. Bukankah selama ini kita seringkali terjebak pada diksi-diksi yang ditakuti oleh kita sendiri karena banyaknya prasangka-prasangka yang tidak baik? Maka, berdialog-lah agar hati menjadi lapang. 

Setelah membahas ucapan salam itu, saya beralih untuk memperkenalkan Islam: agama yang saya anut karena bapak dan ibu saya adalah muslim. 

Islam, saya katakan, secara terminologi saja sudah bermakna keselamatan dan kedamaian. Maka, menjadi aneh ketika wajah Islam tampil dengan sangat menakutkan; menghancurkan tatanan masyarakat, baik fisik maupun nonfisik.

Setelah itu, saya juga menjelaskan tentang Al-Quran. Bahwa Al-Quran merupakan kitab suci teragung dalam Islam, menjadi landasan paling utama. Nah, ayat-ayat di dalamnya itu bisa digunakan oleh siapa saja, kelompok mana saja, dan untuk kepentingan apa pun. 

"Bahkan ISIS juga menggunakan ayat Al-Quran untuk melegalkan perbuatannya yang dirasa mendapat restu dari Allah. Begitu pula HTI dan FPI, serta siapa saja, umat Islam, bisa memakai ayat Al-Quran. Gus Dur dan kami yang menawarkan konsep Islam ramah pun, menggunakan firman Allah," kata saya menjelaskan.

Karena itu, saya membacakan surat Al-Hujurat ayat 13. Bahwa Allah berfirman: wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari jenis laki-laki dan perempuan, dan Kami menjadikan kalian bersuku-suku berbangsa-bangsa, agar kalian bisa saling kenal-mengenal.

Saya katakan, ayat tersebut diungkapkan untuk seluruh umat, bukan hanya Islam saja. Bahkan, di dalam Al-Quran, Allah tidak pernah secara khusus memanggil umat Islam: Yaa-ayyuhal muslimuun. Tidak ada. Kebanyakan, Yaa-ayyuhannas (wahai manusia) atau panggilan yang lebih intim, Yaa-ayyuhal mukminun atau Yaa-ayyuhalladzina aamanuu (wahai orang yang beriman). 

Nah di dalam ayat tadi, ada kata-kata lita'arafu. Dengan spontan saya tanya kepada anak didiknya Pendeta Suluh, pernahkah mendengar istilah ta'aruf? Mereka menjawab dengan singkat dan tegas: "Pernah!"

Ta'aruf itu artinya sebuah upaya untuk saling mengenal satu sama lain. Tetapi bukan berkenalan yang sifatnya hanya sisi luar saja, melainkan lebih jauh dari itu. Termasuk melakukan diskusi atau dialog dengan tanpa baper. Gus Dur, semasa hidupnya, sering berbuat demikian. 

Saya kemudian bercerita tentang Gus Dur yang pernah mewakili agama Islam dalam sebuah dialog lintas iman dengan tema, "Agama apa yang paling dekat dengan Tuhan?"

Orang pertama, perwakilan dari Kristen, seorang pendeta, menjelaskan tentang agamanya yang sangat dekat dengan Tuhan. "Tidak ada agama yang lebih dekat dengan Tuhan, kecuali agama kami: Kristen. Karena kami senantiasa memanggil-Nya dengan sebutan, Bapak."

Dilanjut dengan orang kedua, perwakilan dari Hindu yang juga seorang pemuka agama, menjelaskan bahwa agama Hindu merupakan agama yang dekat dengan Tuhan. "Kami juga dekat, karena kami selalu memanggil Tuhan dengan sebutan, Om."

Kini giliran Gus Dur yang menjelaskan bagaimana kedekatan Islam dengan Tuhan. Tapi justru Gus Dur diam dan kemudian tertawa dengan sangat kencang sekali, hadirin pun dibuatnya bingung. Dia lantas ditanya, "Sampeyan harus menjelaskan, Gus, bagaimana hubungan Islam dengan Tuhan?"

Dengan santai Gus Dur akhirnya menjawab, "Bagaimana umat Islam bisa dekat dengan Tuhan, lha wong kalau memanggil saja harus dengan menggunakan toa (alat pengeras suara)."

Sontak, Jemaat GKP Seroja dan Gusdurian Bekasi Raya tertawa terbahak-bahak. Bukan kami menertawakan Islam, tetapi itulah bentuk kebahagiaan terhadap sikap Gus Dur yang mampu terbuka dan memiliki sikap yang lapang. Dia mampu berdialog dan melucu dengan bahasan yang sangat sensitif, tetapi justru itulah yang mampu merekatkan satu sama lain; sebuah pengejawantahan dari lita'arafu tadi.

Setelah itu, saya meminta izin untuk bercerita tentang Gus Dur sekali lagi, sebelum masuk ke dalam pembahasan inti. Pendeta Suluh dan yang lainnya memberikan izin untuk itu. 

Gus Dur bercerita bahwa suatu ketika, ada seorang kiai kampung yang sedang dilanda kesedihan dan kekalutan hati. Dia punya anak tiga dan salah satu diantaranya masuk agama Kristen. Ini tentu sebuah aib yang memalukan bagi kiai itu. Tiap malam dia berkeluh-kesah kepada Tuhan. 

Dia juga curhat kepada Gus Dur, menceritakan apa-apa yang telah dia lakukan agar anaknya mau kembali memeluk Islam lagi, termasuk keluh-kesah yang dia utarakan kepada Tuhan agar memberikan 'hidayah' untuk anaknya itu.

Gus Dur menjawab, "Kamu anak tiga dan hanya satu masuk Kristen saja sudah uring-uringan seperti itu. Coba lihat Tuhan, cuma punya anak satu-satunya (Yesus), masuk Kristen pula."

Kami, lagi-lagi tertawa bareng. Kehangatan dan keakraban diantara kami kian terasa. Saya merasa, ta'aruf yang saya lakukan sudah sedikit berhasil walau masih di awal-awal pertemuan. 

Bersambung...

Sabtu, 27 Juli 2019

Dialog Toleransi (Part 1): Pesan Cinta yang Saya Rasakan


Suasana dialog di GKP Seroja, Bekasi Utara

Jumat, 26 Juli 2019 saya berkesempatan melakukan sebuah pertemuan kebahagiaan, yakni Dialog Toleransi Generasi Milenial: Pesan Cinta untuk Kita di Gereja Kristen Pasundan (GKP) Seroja, Bekasi Utara. Kedatangan saya ke sana, tentu saja tidak tiba-tiba. Tetapi melalui tahap perencanaan terlebih dulu. 

Tepatnya, pada 5 Juli 2019 lalu, saya bersama teman-teman Gusdurian Bekasi Raya dipertemukan oleh seorang senior, saya menyebutnya, Mas Ghufron, dengan Jemaat GKP Seroja, Bekasi Utara itu. 

Ketika itu, Pendeta Suluh Sutia beserta tokoh gereja Bapak Pramono Hadi dan rombongannya melingkar bersama Gusdurian Bekasi Raya di alun-alun Kota Bekasi. Sementara yang kami perbincangkan adalah soal kegelisahan atas kejadian akhir-akhir ini yang dirasa sangat mengkhawatirkan. 

Polarisasi terjadi begitu sangat kentara sehingga menimbulkan dikotomi dan membuat kami memiliki keresahan yang sama. Maka, solusi (dan menjadi kesepakatan kami) dari ketersekatan diantara kami adalah mengadakan dialog lintas agama. Hal tersebut dilakukan dengan dilakukan agenda saling-kunjung ke rumah ibadah masing-masing. 

Di alun-alun ketika itu, Pendeta Suluh kemudian mengagendakan sebuah pertemuan, yang ini merupakan kali pertama Gusdurian Bekasi Raya (yang baru lahir belum lama ini) melaksanakan kerja-kerja perdamaian. Tak pikir panjang, seketika itu juga, dia menetapkan tanggal 26 Juli untuk kami berkunjung ke tempatnya. 

Saling-kunjung ini berarti bukanlah sebuah momentum seremonial yang hanya sekali dilakukan, tetapi terus-menerus; berkelanjutan; dan konsisten. Setelah pertemuan pada 26 Juli itu, nantinya akan bergantian; Jemaat GKP Seroja yang akan berkunjung ke masjid, rumah ibadah umat Islam; sebuah agama yang kami anut. 

Lantas, siapa pangsa pasarnya atau pendengarnya? Tentu saja anak-anak muda generasi milenial. Harapannya, agar kami, Gusdurian Bekasi Raya dan GKP Seroja Bekasi Utara, dapat memangkas pemikiran atau tindak radikalisme dan ekstremisme sejak dini. 

Upaya itu dilakukan dengan menanamkan gagasan tentang toleransi kepada anak-anak remaja, jauh-jauh hari sebelum mereka terpapar bibit-bibit terorisme. Atau setidaknya, Gusdurian Bekasi Raya menjelaskan tentang Islam yang begitu sangat kompleks dan penuh dengan banyaknya perbedaan.

Bahwa Islam bukanlah agama yang disajikan ke khalayak umum dengan wajah penuh amarah, teriak-teriak di jalan, dan bahkan merusak tatanan kehidupan masyarakat; baik fisik maupun nonfisik.

Nah, pada kesempatan yang berbahagia itu, di GKP Seroja Bekasi Utara, saya diminta untuk memaparkan dan mengenalkan tentang konsep Islam yang ramah. Terlebih soal Gusdurian, yang oleh kebanyakan dari mereka mengetahuinya bahwa Gusdurian adalah orang-orang pecinta buah Durian. Hahahahahaha.

Saya merasa senang sekali, saat pertama kali tiba di sana, mendapat sambutan yang hangat dari Jemaat GKP Seroja Bekasi Utara. Sebelumnya, Pendeta Suluh mengabarkan bahwa jemaatnya sangat antusias menyambut pertemuan perdana itu. Saya pun demikian. Terlebih saat dengan sangat ramah mereka menyambut kami dengan senyum yang tak henti-hentinya. 

Saya memasuki ruangan, tempat yang dipilih oleh Pendeta Suluh untuk kami berdialog. Tiba di ruangan itu, tepat ketika azan magrib baru saja berhenti kumandangnya, karena memang agenda dialog, sesuai kesepakatan, dimulai pada pukul 18.00 WIB. 

Dan jujur saja, saya sangat terenyuh ketika dengan santunnya, dia meminta maaf dan izin agar diberikan waktu sebentar untuk berdoa sebelum dialog dimulai. Saya memperhatikan mereka berdoa, sekaligus juga mendengar apa yang diucap oleh anak didiknya, yang dididik untuk berani memimpin doa. Dengan lirih dan hampir tak terdengar, saya pun ikut mengamininya karena doa-doa yang terlontar adalah kebaikan yang bersifat universal.

Bukan hanya itu, saya dibuat bangga dan sangat bahagia, saat Pendeta Suluh memberikan izin kepada saya (sebelum saya memintanya) untuk melaksanakan salat magrib terlebih dulu. Dengan hati yang lapang dan perasaan yang tulus, saya dan rombongan Gusdurian Bekasi Raya kemudian diantar oleh Pak Pramono Hadi ke masjid terdekat, yang berjarak hanya sekitar 100 meter.

Inilah sesungguhnya wajah toleransi yang saya rasakan. Beribadah, berdoa, dan menghadap Tuhan tanpa paksaan serta tidak ada sama sekali tindakan intimidatif yang saya (dan kami) dapatkan. Semua berjalan apa adanya, penuh sukacita serta limpahan kebahagiaan. Inilah, bagi saya, pesan cinta itu, yang sangat tersirat, substantif, dan penuh makna.

Bersambung...

Rabu, 24 Juli 2019

Kemben itu Menutup Aurat


Ilustrasi.

Pada suatu ketika, seorang aktivis lintas iman, perempuan tangguh yang saya kenal di ICRP Jakarta, namanya Gayatri Muthari, sedang berjalan-jalan di Tehran, Iran. Seperti biasa, dia tidak mengenakan kerudung, yang oleh sebagian muslim kekinian, dianggap sebagai bagian dari syariat Islam.

Dua orang perempuan, bercadar dan berkerudung, bertanya kepada Gayatri soal mengapa dirinya tidak mengenakan kerudung, sesuai peraturan di situ. 

"Bukankah perempuan itu auratnya adalah kecuali wajah dan telapak tangannya?"

Sedangkan yang lainnya berkata bahwa kemben yang ketika itu dipakai oleh Gayatri sebagai sesuatu yang tidak menutup aurat.

Namun, seorang temannya dari Sotoudeh dan Alinejad datang dan kemudian berkata kepada Gayatri: "Kemben adalah busana sesuai imannya. Bukankah Islam menjamin kebebasan seseorang menjalani imannya? Kemben adalah busana sakral bagi perempuan Jawa."

Tak lama, Gayatri pun menimpali dengan pernyataan retoris yang agak panjang. Sementara teman-temannya memerhatikan dengan saksama.

"Dulu, perempuan Jawa – dan sepertinya kebanyakan perempuan Nusantara – tidak diajarkan agar 'melindungi' para pria. Orang-orang dari sebelah Barat wilayah kepulauan kami telah mengklaim tata krama adat mereka sebagai hukum agama dan perintah Tuhan YME, dan mengajarkan agar para perempuan Nusantara 'melindungi' laki-laki dari mengumbar syahwatnya, sehingga kami harus menutupi kepala, rambut, leher, bahu, bahkan kemudian wajah, hampir terus-menerus. Ini karena di negeri-negeri mereka sana, para pendatang itu tidak biasa melihat bahu, belahan dada bahkan payudara perempuan yang menonjol. Bagi mereka itu jika dibuka berarti untuk memikat lelaki, untuk ditelanjangi dan ditiduri."

Lalu, perempuan bercadar tadi mengingatkannya, dengan kalimat yang bernada menasihati.

"Laki-laki begitu lemah, Ukhti, mereka tidak akan tahan melihatmu memperlihatkan rambut, leher dan telinga, apalagi bahu, betis, paha, dan bahkan belahan dada dan bentuk buah dadamu. Jadi, kita harus melindungi mereka agar mereka tidak melecehkan kita, memperkosa kita, atau melakukan masturbasi sambil mengingat tubuh kita. Maaf. Hanya sekadar mengingatkan."

Begitulah, Gayatri menyimpulkan, ajaran orang-orang dari sebelah Barat Nusantara. Kata mereka, memperlihatkan bahu dan rambut serta membiarkan dada tetap menonjol, merupakan cara berbusana amoral dan tidak berakhlak mulia. Tidak sesuai perintah Tuhan YME.

"Tetapi, kemudian, pria-pria tetap menyentuh payudaraku dan meremas-remasnya, di ruang publik, ketika aku mengenakan jilbab sangat panjang dan baju kurung labuh. Mereka bersiul-siul melakukan catcall padaku saat aku berjalan seorang diri di tengah mereka," kata Gayatri bercerita masa lalu.

Dia melanjutkan, "Aku pernah bertemu perempuan berpakaian serba tertutup seperti aku yang diperkosa saat duduk di kelas 1 SMA di tempat dia kos, oleh induk semangnya yang seharusnya menjadi orangtua penggantinya. Dia harus merantau dari desa untuk melanjutkan SMA, tetapi mengalami hal ini... Dan, dia dipukul oleh ibunya karena hal itu terjadi, karena ibunya begitu malu...."

Perempuan itu tetap salah, bagaimana pun juga, jika sampai dilecehkan atau diperkosa, entah karena busananya, caranya memandang pria, karena tersenyum, atau suaranya saat bicara.

Dan, adalah tugas para wanita untuk melindungi pria dari tidak melihat bagian-bagian tubuh mereka sendiri supaya kaum lelaki tidak melakukan pelecehan, perkosaan atau masturbasi setelah melihatnya, atau mendengar suaranya.

"Karena, jika sampai lelaki melakukannya, itu salah perempuan. Salah perempuan karena tidak melindungi laki-laki. Ya. Salah perempuan karena tidak melindungi laki-laki," kata Gayatri, dengan kalimat bermajas ironi.

Maka, berkemben itu menutup aurat. Begitulah menurut Gayatri yang mengimani kearifan Yesus, Maria, Muhammad, Ali dan Fatimah. Karena aurat adalah bagian kemaluan seorang manusia. Dan, perempuan-perempuan berkemben itu menutupi kemaluan mereka.

Kemben yang mereka kenakan, kata Gayatri, menyisakan setidaknya 20% bagian tubuh yang dapat terpapar matahari sekian waktu selama melakukan aktivitas di luar ruangan, cara berbusana di bawah sinar mentari pada jam-jam tertentu yang diperlukan untuk memperoleh vitamin D yang dibutuhkan tubuh.

Menurut Matthias Wacker dan Michael F Hollicks, demikian yang dikutip oleh Gayatri, bahwa mengenakan pakaian yang terbuka (lebih dari 20%) bertujuan agar tubuh dapat terpapar sinar matahari dan memperoleh UVB, dalam sekian waktu, dan pada jam-jam tertentu, supaya tercapai sampai 0,5 MED, setara dengan menelan 7000-10000 IU vitamin D2, yang diperlukan untuk terhasilkannya vitamin D3.

Tulisan di atas disadur dari Facebook Gayatri Muthari. klik di sini.

Kalau Musim Sudah Berganti


Selat Sunda di musim panas 2017


Musim berganti
segala-gala berubah menjadi yang dinanti
orang-orang lantas bergerombol mendekati
rupanya, ada sesuatu yang dapat melegakan hati

Kalau musim sudah berganti
dan tidak segera berbondong mendekat
percayalah, kau tidak akan mendapat selamat
lebih-lebih ada ancaman yang membuat detak jantung terhenti

"Kau tak dapat jatah," kata seorang pimpinan gerombolan.

"Ada apa gerangan?"

"Karena kau tak ikut kami bergerak bersama-sama."

Sejak itu
seorang pemuda pemberani itu
tak pernah menginjakkan kakinya ke tempat gerombolan itu
dia memisahkan diri karena tak ingin jadi babu
katanya begitu

Musim telah berganti
orang-orang bodoh tetap tak mau pergi
mereka tetap berada di dalam gerbong tadi
entah sampai kapan semuanya berhenti
barangkali hingga musim selanjutnya lagi

Musim depan jika berganti hari
pemuda itu rupanya terselamatkan dengan janji seorang pak haji
diajaknya dia memasuki ruang baru
bukan menjadi babu seperti mereka-mereka itu
tetapi mendapat keinginan yang dimau

Musim kalau berganti nanti
kita tak pernah tahu Tuhan jika memberi
semoga saja kita hidup tetap merdeka
tak menjadi babu kesana-kemari
tetapi mampu menentukan hajat hidupnya sendiri

Kalau demikian
jika musim berganti nanti
seperti Islam, yang dikatakan Gus Dur ketika itu
kita lihat perkembangannya di masa yang akan datang
benarkah demikian?


Bekasi, 2019.

Senin, 22 Juli 2019

Saya Tidak Suka FaceApp, Tapi Tidak Bawa-Bawa Agama


Ilustrasi. FaceApp.
Aplikasi FaceApp menarik juga rupanya. Menarik untuk digunakan karena kita bisa tahu wajah ketika nanti sudah tua, atau tampilan saat masih muda. Menarik untuk diulas, baik tulisan atau video, dan kemudian mendatangkan pundi-pundi keuntungan. 

Menarik juga ditarik ke ranah agama dan memenuhi konten media sosial berlabel 'Islam' yang, mohon maaf, beradmin bukan dari latar belakang pondok pesantren. Admin media sosial (sok) Islami itu kemudian menyerang orang-orang yang tidak suka dengan Aplikasi FaceApp dengan dalil-dalil keagamaan. 

Kenapa sih kalian belagu banget, padahal cuma pakai akun anonim? Norak deh. 

Ngeselinnya, akun-akun yang seperti itu digemari kalangan muda yang masih noob banget soal agama. Kemudian terpengaruh dan menganggap para pengguna FaceApp sebagai subjek yang tak paham agama. Allahuakbar. Beragama kok jadi hitam-putih begini di zaman yang serba canggih? Sedih akutu~

Apakah menggunakan Aplikasi FaceApp itu mendahului takdir? Ya enggak juga lah, bro and sis yang dirahmati alam semesta beserta isinya. Apakah Al-Hujurat ayat pertama itu adalah dalil yang pas untuk melarang penggunaan FaceApp? Norak banget cara beragama kalian. 

Kalau cuma ingin ada konten di akun media sosial kalian, bukan begitu caranya. Kalau begitu berarti kalian memanfaatkan sesuatu yang sedang viral demi mendapatkan keuntungan dari akun media sosial. Ya Allaaaaah, norak banget. 

Begini...

Saya memang tidak suka dengan Aplikasi FaceApp, tapi saya tidak bawa-bawa agama dan melarang penggunaannya.

Apakah dengan menggunakan dalil keagamaan dan menafsirkan sesuai akal pikiran berarti sesuai dengan apa yang Allah firmankan?

Paham, gak?

Maksudnya, apakah kalian yakin bahwa penafsiran kalian terhadap teks suci itu sudah sesuai dengan apa yang dikehendaki Allah? Jangan serampangan lah menafsirkan ayat Al-Quran. 

Sekali lagi, saya tidak suka dengan Aplikasi FaceApp tapi saya tidak bawa-bawa agama untuk melegitimasi ketidaksukaan saya. Cukup dengan argumentasi-argumentasi yang mewakili perasaan saya bahwa pengguna FaceApp itu adalah orang-orang yang menyebalkan. Itu saja.

Baca: FaceApp dan Hal-Hal yang Menyebalkan

Kalau mau menggunakan ayat Al-Quran, tetapi tidak sampai pada pemahaman ilmiah, maka hal itu masuk ke dalam wilayah tadabbur, bukan penafsiran. 

Tadabbur itu ke dalam, bukan ke luar; untuk diri sendiri, bukan untuk orang lain. Kalau ke luar namanya tafsir, dan kalau menafsirkan berarti harus paham ilmu alat. Bukan hanya sekadar arti leterlek yang ada di dalam Al-Quran terjemahan.

Sampai di sini paham? Paham atau tidak paham, saya akan lanjutkan...

Bro dan sis, negara kita ini bukan Darul Fatwa. Kalau Darul Fatwa berarti membutuhkan seorang Mufti yang benar-benar paham Al-Quran untuk menentukan halal dan haramnya penggunaan sesuatu.

Bahkan, MUI sendiri, kalau pun mengeluarkan penafsiran, itu bukan fatwa namanya. Hanya sebatas seruan yang fatwanya itu bisa kita debat kapan pun dan di mana saja. 

Jadi sudahlah, jangan terlalu serius menanggapi para pengguna FaceApp. Toh, mereka juga hanya untuk bersenang-senang. Terlepas dari selera humor mereka yang rendah, receh, dan tidak bermutu; itu sama sekali tidak ada kaitannya dengan agama. 

Terakhir, sekali lagi saya tanya, apakah menggunakan FaceApp berarti sama dengan mendahului takdir yang sudah Allah tentukan? Jawabannya tentu saja tidak. Justru kalian yang melarang penggunaan FaceApp dengan membawa dalil agama, yang sudah sok tahu bahwa Allah bermaksud sama dengan kalian. 

Btw, kok pembahasan tulisan di blog ini jadi serius banget ya? Udahlah~

Minggu, 21 Juli 2019

Empat Gaya Kepemimpinan yang Wajib Kalian Tahu


Ilustrasi.

Siapa yang tidak ingin menjadi pemimpin? Menjadi orang nomor satu --baik di instansi; lembaga; maupun yang bersifat kewilayahan-- terkadang membuat seseorang rela berbuat apa saja, asal dia jadi pemimpin. 

Saya tidak perlu berbicara teori kepemimpinan, karena ada banyak sekali bahan referensi yang bisa kalian cari sendiri. Itu pun kalau kalian memang rajin baca dan punya sifat skeptis terhadap sesuatu. Tapi sayangnya, tidak demikian. Dasar pemalas!

Ada banyak sekali, baik di Indonesia maupun dunia, tipe pemimpin yang harus kalian tahu. Gaya kepemimpinan seorang pemimpin tentu sangat mempengaruhi keberlangsungan sesuatu yang dipimpinnya. 

Setidaknya, saya punya empat tipe atau gaya kepemimpinan yang harus diketahui. Bahwa menjadi pemimpin memang tidak mudah, tetapi seorang pemimpin haruslah memiliki karakter yang khas, sehingga ada kemelekatan yang tak bisa dilupakan sampai kapan pun. 

Pertama, pemimpin revolusioner.

Kita punya Soekarno. Dalam pidato-pidatonya, dia selalu mengklaim dirinya seorang pemimpin revolusioner. Kemerdekaan republik yang baru seumur jagung ketika itu, memang harus terus dicekoki doktrin revolusi agar selalu bergerak menuju masa depan yang lebih baik. 

Soekarno bukan hanya seorang orator ulung, tetapi juga mampu memberikan sebuah pemikiran kebangsaan yang dewasa. Ideologi kerakyatan yang ditawarkan, mampu mendobrak sekat keberbedaan antar anak bangsa. 

Baginya, pemimpin revolusi berarti harus mampu mengarahkan kepemimpinannya menuju perubahan-perubahan yang diharapkan oleh rakyat. Kalau sampai keliru, rakyat bakal sengsara. Maka, pesan-pesan yang selalu disampaikan Soekarno selalu saja tentang persatuan dan pengetahuan tentang Indonesia yang harus dimiliki serta dikelola bersama-sama. 

Kedua, pemimpin totaliter.

Kekuasaan dan kebenaran penafsiran atas apa pun, ada di tangan pemimpin. Ini yang dilakukan oleh Soeharto. Tidak boleh ada yang mengkritik, menentang, apalagi mencaci kekuasaannya. Kalau ada yang berani berbuat seperti itu, maka akan menerima resikonya; hilang~

Namun, walau demikian kejam dan bengisnya seorang Soeharto, gaya kepemimpinannya ada bagusnya juga. Situasi negara ketika itu, cenderung stabil dan rakyat terjamin kehidupannya (asal tidak melawan). Siapa yang nurut, akan menerima kenikmatan dari penguasa. 

Gaya Soeharto ini mirip kerajaan atau kekaisaran. Siapa yang melawan pasti hilang, kalau diam dan patuh akan mendapat kenikmatan. Kira-kira seperti itulah gaya kepemimpinan totaliter. Kebenaran tunggal bukan lagi dimiliki Allah, tetapi juga Soeharto yang menggantikan peran Allah di dunia. wqwq~

Ketiga, pemimpin humoris. 

Siapa yang tidak kenal Gus Dur? Bapak bangsa yang satu ini punya jargon: Gitu Aja Kok Repot. Itu sebuah kalimat guyon atau humor tetapi punya makna filosofis yang dalam. Bahwa menghadapi persoalan sesulit apa pun, akan terasa sangat mudah dan ringan jika dibumbui dengan humor atau kelucuan-kelucuan yang membuat kita tidak stress. 

Humor-humor yang dimiliki seorang presiden bernama asli Abdurrahman Ad-Dakhil ini sering tidak diduga-duga. Bahkan saat situasi dan kegentingan sedang melanda. Namun demikian, kita akan mengetahui maksud Gus Dur yang seperti itu di kemudian hari. Eh, kalian paham kan?

Artinya, memahami Gus Dur yang suka bercanda ini bukan pada saat dia melempar humor itu. Tetapi di kemudian hari, akan dengan sendirinya kita jadi mengerti apa yang ketika itu dimaksud oleh Gus Dur. 

Tapi sayang, selucu-lucunya Gus Dur masih saja ada yang tidak suka dengannya. Apa buktinya? Ada tuh seorang yang menghina Gus Dur dengan sebutan; buta mata buta hati.

Mungkin saja saat ini dia kualat dengan Gus Dur, akhirnya sekarang hidupnya si penghina itu jadi lelucuan orang banyak. Apa kabar ya Habib Rizieq? Eh. 

Keempat, pemimpin omdo.

Anies Baswedan.

Jumat, 19 Juli 2019

Toleran kepada Kelompok Intoleran, Bisakah?


Sumber gambar: kbr.id

Salah seorang fasilitator bertanya, bisakah kita toleran kepada kelompok-kelompok intoleran?

Seorang peserta berdiri dan bercerita dengan sangat emosional. Ia jamaah Ahmadiyah. 

"Bagaimana saya bisa toleran kepada kelompok intoleran jika saudara saya mati karena mereka. Saya tidak diizinkan beribadah di masjid kami yang disegel lalu dibakar. Keluarga kami difitnah, kami kehilangan tempat tinggal. Saya tidak punya teman di kampus karena tidak berani membuka identitas. Ingatan kekerasan itu sangat traumatis di telinga, mata dan tubuh saya. Kenangan masa kecil saya begitu buruk..."

Toleransi adalah sesuatu yang diupayakan. Cara satu-satunya adalah memutuskan rantai dendam yang terus diwariskan dari satu ingatan buruk ke ingatan buruk lainnya... Sulit. Tapi tak ada pilihan lain.

Saya menunduk malu karena terisak.

*****

Tulisan di atas adalah status facebook Kalis Mardiasih. Dia seorang aktivis perempuan yang vokal menyuarakan tentang kesetaraan dan kemerdekaan perempuan atas tubuhnya. Tulisan-tulisannya selalu menarik untuk dibaca. Itulah kenapa dia "ditembak" oleh Agus Mulyadi (Pemred Mojok.co) dan kemudian dilamar beberapa waktu lalu. 

Tapi sesungguhnya, bukan itu yang ingin dibahas. Saya tidak ingin membicarakan (ghibah) orang lain. Kalau saya ghibah, kalian yang membaca tulisan ini pasti kena dosanya. Maka dari ini dan itu, saya tidak mau kita kena dosa bareng-bareng. Biar sendiri-sendiri saja. Maksudnya, saya dengan pahala dan kebaikan saya sendiri, kalian dengan dosa dan keburukan kalian sendiri. Adil, kan?

Oke. Kembali ke pembahasan.

Status Kalis di atas, menarik untuk dibahas. Ternyata, pertanyaan bisakah kita toleran kepada kelompok-kelompok intoleran itu selalu relevan untuk didiskusikan di sepanjang zaman. Tentu tidak hanya sebatas mewacanakan atau onani intelektual saja, tetapi juga mengglorifikasikannya kepada khalayak bebas, hingga ke akar rumput. 

Dulu, saya pun sering ditanya oleh beberapa kelompok dengan pertanyaan demikian. Tetapi, saya selalu menjawabnya normatif dan biasa-biasa saja. Mirip anggota DPR ketika bicara dan memberikan solusi yang sebenarnya bukan solusi. Karena hanya muter-muter nggak jelas. 

Bahkan, pernah juga ada yang bertanya: "Boleh atau tidak kita membenci FPI dan sejenisnya karena perilakunya yang tidak manusiawi tapi membawa label Islam, padahal Islam sendiri adalah agama yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan?"

Ada juga pertanyaan: "Apakah kita harus mengakomodir kelompok atau aliran sesat (yang dihukumi oleh MUI) dan tidak menerima mereka dalam pergaulan, karena khawatir akan berdampak pada terkikisnya iman kita sebagai muslim?"

Tak hanya itu, pertanyaan juga kerap muncul ke hadapan saya. "Apakah dengan tidak meladeni kelompok yang berseberangan dengan kelompok kita itu salah? Lalu apakah merasa lebih benar dari kelompok yang berseberangan dengan kelompok kita itu benar, atau salah? Bagaimana seharusnya kita?"

Lagi, saya katakan, jawaban-jawaban yang saya berikan atas pertanyaan-pertanyaan itu berbelit dan hampir tidak menemukan konklusi. Kenapa? Karena sesungguhnya, pertanyaan yang mereka ajukan itu sudah mengandung jawaban di otaknya. Pertanyaan itu diajukan, tak lebih, hanya untuk menyamakan persepsi saja. 

Maka ketika memberikan jawaban, saya melihat siapa lawan bicara yang ada di depan muka. Begitulah semestinya otak dan pemikiran kita bekerja; menyesuaikan kadar pembicaraan dengan siapa kita berbicara. Jangan memaksakan kehendak pemikiran kepada mereka yang tidak sebanding, baik di level yang lebih rendah; apalagi kepada orang yang levelnya sudah tingkat dewa. 

Kalau pertanyaan-pertanyaan itu, menurut saya, sudah mengandung jawaban sendiri dan hanya bertujuan untuk mencocokkan jawaban, maka saya selalu menjawab, "Menurut saya begini." Karena bagi saya, jawaban yang bersifat subjektif merupakan apple-to-apple dengan pertanyaan yang juga bersifat subjektif. 

Jadi, apakah kita harus toleran dengan kelompok intoleran? Jawabannya bisa iya dan bisa juga tidak. Tergantung dari sudut mana kita melihat, di posisi mana kita berdiri, dan berada di wilayah mana kita berpihak. Pertanyaan dan jawaban sangat menentukan itu. Begitu pula ketika pertanyaan kapan nikah ditujukan kepada kita. Paham ya, mblo?

Kelompok Ahmadiyah, yang akibat fatwa MUI, dianggap memiliki doktrin keagamaan sesat oleh sebagian besar umat Islam punya sudut pandangnya sendiri ketika menjawab pertanyaan di atas. Mereka punya rekam sejarah memilukan yang tak pernah terlupa. Maka, wajar saja ketika mereka hampir tidak bisa toleran kepada kelompok intoleran yang memporak-porandakan bangunan fisik maupun nonfisik yang mereka punya.

Jemaat Ahmadiyah tidak hanya disudutkan karena doktrin, tetapi juga diasingkan di kehidupan sosial. Sehingga (kita bisa melihat beberapa kejadian ke belakang) bukan tidak mungkin jika Ahmadiyah menaruh "dendam" kepada kelompok intoleran. Kita bisa mafhum dan memaklumi dalam kasus Ahmadiyah yang serba tidak bebas untuk hidup di negara demokrasi yang berbineka tunggal ika ini. 

Namun, wahai para pembaca yang dirahmati alam semesta berserta isinya, tentu saja akan berbeda dengan pernyataan saya dalam menjawab pertanyaan di atas itu. Saya tidak punya sejarah kelam dengan FPI dan kelompok intoleran lainnya yang berafiliasi secara pemikiran dengan FPI. Kareannya, saya akan menjawab dengan sangat mudah, bahkan terkesan menggampangkan. 

Misalnya, saya akan menyuruh mereka melihat dan membaca Al-Quran bahwa Allah berfirman: "Wa jazaa-u sayyiatin sayyiatun mitsluha, fa man ‘afaa wa ashlaha fa ajruhuu ‘alallah, Innallaha laa yuhibbu-dzh dzholimiin." (Asy-Syura: 40)

Tadabbur saya atas ayat ini agar kita tidak menaruh dendam; membalas kejahatan dengan kejahatan, sehingga rantai permusuhan tidak ada putusnya. Maka, ayat tersebut tentu saja harus kita maknai untuk memutus rantai permusuhan, kebencian, dan bahkan perilaku intoleransi itu sendiri. 

Bahwa sesungguhnya dalam Islam, dipersilakan untuk membalas kejahatan dengan kejahatan yang serupa. Tetapi toh, hal tersebut justru akan menambah keruh suasana. Maka, orang-orang yang melawan kejahatan dengan kebaikan (permaafan dan ajakan rekonsiliasi), akan mendapat banyak ganjaran kebaikan (katakanlah pahala) di sisi Allah. Kenapa demikian? Jawabannya karena Allah tidak suka dengan orang-orang yang zalim. 

Itulah cara agar rantai permusuhan diantara kita segera putus, sehingga berganti dengan tali silaturahmi yang kuat dan kekal. Mengajak untuk berkebaikan pada musuh atau lawan merupakan sesuatu yang mulia dan harus terus dilestarikan. Tidak boleh tidak. Harus dilakukan sesegera mungkin, meskipun betapa pedih dan sulitnya jika hal ini dilakukan oleh Jemaat Ahmadiyah.

Maka, yang dilakukan oleh Prabowo di MRT itu sudah tepat sekali. Bahwa narasi selama Pemilu 2019 kemarin adalah kecurangan TSM yang dilakukan oleh kubu Jokowi dan kemudian dibalas oleh Prabowo dengan mengajak rekonsiliasi perlu dan patut kita apresiasi. 

Tapi kok, btw, nyambungnya jadi ke Prabowo sih, ya? Udah, ah~

FaceApp dan Hal-Hal yang Menyebalkan


Sumber gambar: abcnews.go.com

Akhir-akhir ini kita lihat di media sosial, isinya penuh dengan wajah-wajah tua. Di instagram, facebook, twitter, dan bahkan sampai masuk ke grup-grup whatsapp, saya seperti dipaksa untuk melihat wajah yang menua. 

Tapi wajah-wajah itu tentu saja tidak sungguhan. Hanya untuk hiburan di media sosial. Maka, ada sebuah aplikasi di smartphone android bernama FaceApp. Dia bisa mengubah wajah kita menjadi berpuluh-puluh tahun lebih tua. 

Namanya saja media sosial. Sebuah wadah yang salah satu fungsinya adalah untuk mencari hiburan. Wajar saja, kehadiran FaceApp ini digemari banyak orang untuk menertawai dirinya sendiri jika kelak nanti benar-benar sudah tua. Minimal, kalau hidupnya tidak sampai tua, ada kenang-kenangan yang bisa dilihat keluarga, teman, saudara, dan kerabat bahwa seperti itulah wajah tua kita. 

Tapi jujur saja, wajah-wajah itu nyebelin. Bahkan, setelah saya perhatikan, ada beberapa hal yang menurut saya kehidupan orang Indonesia di media sosial itu nyebelin banget.

Pertama, mental ikut-ikutan. 

Mohon maaf nih, bro dan sis sekalian yang dirahmati alam semesta beserta isinya, saya tidak bermaksud menghina. Tapi memang seperti itulah mental bangsa kita. Perenungan saya selama ini ternyata ada benarnya juga. Bangsa ini tidak maju-maju karena mentalnya masih mental ikut-ikutan. Terus kalau saya bilang begitu, kalian marah? Hah? Tua!

Kehidupan orang Indonesia, diakui atau tidak, terlebih di media sosial, memang seperti itu. Mudah terbawa arus. Maka tak heran, membuat sesuatu menjadi viral di linimasa dunia maya sangat mudah. Ya begitu itu caranya. 

Maka sesungguhnya, saya mau bilang, bahwa mental ikut-ikutan seperti itu adalah tanda kalau bangsa Indonesia selalu menjadi terbelakang. Namanya saja ikut-ikutan, pasti posisinya bukan di depan. Iya, kan? Nah, kalian yang ikut-ikutan bikin muka yang jadi tua itu berarti manusia yang ... (isi sendiri)

Kedua, selera humor yang rendah.

Ini juga nyebelin. Kapan kita mau jadi bangsa yang kaya, kalau hiburan yang bisa membuat kita bangga dan tertawa adalah yang model receh begitu? Apakah baldatun tayyibatun wa rabbun ghafur itu adalah sebutan untuk negeri yang kebahagiaannya dapat diukur hanya dari hiburan yang receh-receh? 

Sependek yang saya tahu, bangsa yang berperadaban itu adalah kalau kelucuan-kelucuan atau hiburan-hiburan yang ditampilkan bisa memicu otak kita berpikir. Kita punya Gus Dur, Sujiwotejo, Cak Nun, dan lain-lain. Tapi sedih, ketika generasi penerus negeri ini dapat melampiaskan kebahagiaan hanya karena FaceApp. Rendah bin receh sekali, ashli. Pakai shod

Asal kalian tahu, selama selera humor kita rendah, selama itu pula bangsa Indonesia akan terus mengalami degradasi pemikiran. Mau? Bahkan, lebih parahnya, kita akan mengalami dekadensi intelektual. Lho iya, dong. Karena bercandaan yang tidak perlu mikir dan humor yang mengharuskan kita mikir, tentu saja sangat mempengaruhi kemajuan sebuah bangsa. 

Sampai di sini, paham? Baiklah, paham atau tidak paham, saya akan tetap lanjutkan.

Ketiga, sangat terbuka. 

Orang Indonesia memang sangat ramah-ramah kepribadiannya. Kalau dalam ilmu psikologi, sebagian besar dari kita memiliki karakter sanguinis. Bagi kalian yang tidak tahu sanguinis itu apa, silakan cari sendiri atau tanya ke mahasiswa psikologi semester 14. Insyaallah sudah lupa. Yang jelas, sanguinis dengan sinusitis sangat jauh berbeda. 

Nah, keterbukaan orang Indonesia itu sangat terlihat di media sosial. Kita bisa menambahkan dan ditambahkan, atau mengikuti dan diikuti seseorang, siapa pun orangnya, baik yang dikenal maupun yang benar-benar tidak dikenal. Kemudian dengan bangganya, kita mencantumkan seluruh identitas dan kemelekatan kita ke media sosial. Mulai dari jabatan di organisasi, hingga tanggal dan tempat lahir. Biar diucapin, ya? Lumayan, sih~

Maka dari ini dan itu, kita mesti hati-hati. Sifat yang sangat terbuka memang beda-beda tipis dengan narsis bin eksis. Karenanya, saya bisa mencirikan tipe orang narsis di media sosial. Bahwa semakin dia populer, kaya, punya pengaruh, banyak aktivitas, maka akan semakin banyak kenarsisan atau keterbukaan yang ditampilkan di media sosial. Begitu sebaliknya.

Oleh sebab itu, percayalah, tidak pun tidak apa-apa, bahwa sifat sebagian orang Indonesia yang sangat terbuka alias narsis bin eksis itu adalah hal yang menurut saya nyebelin banget. Nyepam juga sih. Apalagi di era FaceApp ini. Dari atas sampai ke ujung paling bawah, isinya cuma wajah orang-orang tua. Gumoh banget, ih. Tau gumoh? Cari tahu sendiri!

Oke, sampai di sini, paham? Baiklah, paham atau tidak paham, saya akan tetap lanjutkan.

Keempat, baperan.

Apalo?!

Minggu, 07 Juli 2019

Bahaya Radikalisme: Potensi dan Solusi





Pada Jumat, 5 Juli 2019 lalu, saya berkesempatan menjadi pemandu dari kegiatan diskusi rutin setiap pekan yang diselenggarakan oleh PC GP Ansor Kota Bekasi yang bertajuk Ansor Bertanya Tokoh Menjawab.

Tema diskusinya adalah Bahaya Radikalisme. Untuk itu, didatangkan dua narasumber untuk membincang soal potensi dan solusi menghadapi gerakan radikalisme yang kian marak terjadi di tengah kehidupan masyarakat.

Kedua narasumber tersebut adalah Wakil Kepala Satuan Intelijen Polres Metro Bekasi Kota Bapak Muhadi dan Praktisi Hukum YLBH Putih Indonesia Rury Arief Rianto.

Diskusi itu sangat menarik karena sudah sama-sama kita kerahui bahwa Kota Bekasi merupakan daerah penyangga Ibukota Jakarta yang kemudian berpotensi menjadi ruang singgah bagi para radikalis yang sudah tentu menjadi kekhawatiran tersendiri bagi kita. 

Radikalisme, jika dibiarkan akan merambah ke gerakan ekstremismi dan kemudian menjadi aksi-aksi terorisme yang sangat berpotensi melakukan pengrusakan terhadap tatanan masyarakat.

Bagaimana diskusi tersebut yang membedah soal potensi, bahkan ancaman, serta solusi untuk menangkal radikalisme? Simak tayangan videonya di bawah ini. Semoga bermanfaat.


Atau klik di sini.

Kamis, 04 Juli 2019

Kisah Pengemis dan Seekor Anjing



Amat, adalah seorang pengemis yang saban hari berkeliaran di jalanan Ibukota. Dia hidup dari belas kasihan orang lain. Suatu ketika, terbersit di benaknya yang ingin sekali memiliki uang Rp2 juta. Tentu, dia akan sangat bahagia.

Suatu hari, saat sedang mengemis, Amat tak sengaja melihat seekor anjing kecil yang lucu, jenis poodle. Dia lantas melihat di sekelilingnya tak ada seorang pun yang peduli kepada anjing itu. Kemudian, ia menggendong sang anjing dan dibawa pulang ke gubuk tempat tinggalnya. Tak lupa, Amat juga mengikat anjing tersebut.

Usut punya usut, pemilik anjing poodle yang lucu itu adalah orang terkaya dan terkemuka di Ibukota. Orang-orang biasa memanggilnya Bos Besar. Si bos panik lantaran anjing kesayangannya hilang. 

Lalu, dia membuat pengumuman sayembara di salah stasiun televisi nasional. Dia menyebut bahwa siapa yang menemukan anjingnya akan diberi hadiah Rp2 juta.

Keesokan harinya, Amat keluar untuk mengemis sebagaimana biasa. Tetiba, di salah satu warung, saat dia sedang istirahat, Amat melihat pengumuman sayembara itu. 

Tentu saja, hati Amat berkalang rasa bahagia bukan main. Lalu dengan sangat tergesa, ia pulang ke rumah untuk menukar anjing itu dengan uang yang didambakan.

Ia menggendong anjing ke kantor stasiun televisi yang menayangi pengumuman sayembara. 

Namun, saat Amat melewati warung tadi, ia melihat siaran televisi yang mengumumkan hadiah berubah menjadi Rp3juta. 

Langkah Amat terhenti. Setelah dipikir-pikir, akhirnya ia menyimpulkan bahwa semakin lama anjing di tangannya, tentu saja hadiah yang dijanjikan oleh Bos Besar pemilik anjing itu akan bertambah besar.

Tak berpikir terlalu panjang, Amat akhirnya menggendong sang anjing untuk kembali ke rumah.

Hari ketiga, benar saja dugaan Amat, hadiah sayembara bertambah lagi. Bahkan saat ditunggu sampai hari keempat, hadiah pun kian bertambah.

Sampai pada hari ketujuh, seminggu kemudian, hadiahnya sudah sangat mengagetkan seluruh penduduk kota, yakni Rp1 Miliyar. 

Ketika Amat mendengar informasi seperti itu di warung tempat biasa beristirahat, ia lantas mengambil anjing itu untuk ditukarkan menjadi uang yang luar biasa nominalnya. 

Namun, sungguh diluar dugaan, anjing kecil mungil yang lucu itu sudah mati kelaparan lantaran tak pernah diberi makan sejak seminggu lalu.

Hilang sudah kesempatan baik bagi Amat. Ia tetaplah seperti biasa, yakni berprofesi atau mengisi hari-harinya menjadi pengemis.

Lantas apa yang bisa kita petik sebagai hikmah dan pelajaran dari kisah Amat dan seekor anjing poodle yang ditemuinya? 

Bahwa sesungguhnya, di dalam kehidupan, terdapat banyak sekali kesempatan dan peluang emas. Namun terkadang, kesempatan itu terlewat begitu saja lantaran harus berpapasan dengan harapan yang terlalu tinggi; juga keinginan yang serakah.

Wallahua'lam...

Rabu, 03 Juli 2019

Seekor Anjing dan Mantra Pak Kiai


Sumber foto: akun instagram rumahguguk

Di sebuah pondok pesantren di Tanah Papua, digegerkan oleh seorang santri berusia 10 tahun bernama Ismail Pakage. 

Suatu hari, saat sedang bermain bersama teman-teman sebayanya usai mengaji, Ismail melihat seekor anjing sedang sekarat dan tergeletak di hutan. Sontak, dia lantas bergegas kembali ke pondok, mengabarkan hal tersebut kepada pak kiai.

Pengasuh pondok pesantren yang didiami Ismail itu adalah KH Asep Sukandar dari Garut. Kiai Asep memang sedang menjalani program dari salah satu kementerian untuk mengabdi di pedalaman.

Nah setibanya di pondok, Ismail meminta Kiai Asep untuk mengobati anjing yang tergeletak di hutan. Dengan memancarkan senyum penuh arti, Kiai Asep pergi ke hutan untuk melihat kondisi anjing yang dikabarkan sedang sekarat itu.

Melihat anjing yang sekarang tersebut, Kiai Asep yang asli Limbangan itu menempelkan telapak tangannya ke kening anjing dan berkata dalam bahasa Sunda:

"Njing, njing, lamun sia rek modar, gancang modar wae, mun rek hirup, gancang geura cageur, ulah ngahesekeun aing."

Ismail yang tak paham bahasa Sunda berpikir bahwa Kiai Asep sedang berdoa dengan menggunakan mantra-mantranya. Bocah kecil itu pun mengaminkan dengan penuh harap agar si anjing segera pulih.

Tapi ternyata, diam-diam Ismail menghafalkan kata-kata yang dia kira do'a. Setelah itu, Kiai Asep kembali ke pondok seraya berpesan kepada Ismail agar segera kembali untuk mengaji.

Seminggu kemudian, Ismail menyambangi rumah Kiai Asep dengan maksud untuk melapor bahwa anjing yang di hutan itu sudah sembuh.

Saat tiba di rumah Kiai Asep, Ismail terkejut. Sebab, guru ngajinya itu sedang sakit demam. Padahal selama ini, Kiai Asep tidak pernah terlihat sakit saat mengajar.

Karena kepeduliannya terhadap sang guru, Ismail mendekat ke tempat tidur Kiai Asep dan menempelkan telapak tangannya ke dahi gurunya itu.

Selanjutnya, Ismail membaca mantra, "Njing njing. Lamun sia rek modar, gancang modar wae, mun rek hirup, gancang geura cageur, ulah ngahesekeun aing."

Tentu saja, Kiai Asep kaget bukan main. Dia kemudian tertawa terpingkal-pingkal dan seketika itu juga langsung sembuh.

"Dasar gelooooo siah Ismail! Aing teu hayang seuri ge jadi seuri," kata Kiai Asep setengah teriak seraya tertawa, disambut Ismail yang juga tertawa terbahak-bahak padahal tak paham artinya.

Hahahahahahaha...