Selasa, 02 Juli 2019

Memetik Hikmah dari Peristiwa Perempuan Pembawa Anjing



Jujur, saya baru tahu peristiwa seorang perempuan membawa seekor anjing ke dalam masjid, dari channel youtube Deddy Corbuzier. Dia mengunggah video opini berjudul, "ANJING MASUK MASJID, GUE BANGGA SAMA ISLAM."

Mulanya, Deddy dikirimi link video dari Gus Miftah kemudian ditonton hingga tuntas. Setelah itu, dia membuat video opini di youtube dengan menggunakan kamera handphone. Video itu berdurasi 13 menit 10 detik.

Saya, usai menyaksikan monolog Deddy Corbuzier, kemudian langsung mencari video seorang perempuan membawa anjing ke masjid. Anjingnya lucu, kecil, dan menggemaskan. Jenis Cihuwa-huwa. 

Tetapi yang mengherankan, perempuan itu masuk ke dalam masjid dengan emosi dan tidak melepas alas kaki. Ini yang kemudian memancing reaksi tak senonoh dari orang-orang yang terlebih dulu ada di dalam masjid. 

Perempuan itu berkali-kali mengatakan, "Saya Katolik." Kalau saya tidak salah menangkap, perempuan pembawa anjing itu marah lantaran suaminya hendak kawin lagi (akad nikah) di masjid dengan perempuan lain. Tapi entah di masjid yang dia masuki atau bukan.

Barangkali, perempuan itu sedang stres berat karena, mungkin, suaminya mualaf (masuk ke dalam agama Islam) dan menikah lagi dengan perempuan lain. Atau bisa jadi, memang sejak awal, mereka adalah pasangan beda agama.  Entahlah.

Lalu apa yang harus kita ambil sebagai hikmah dan pelajaran?


Pertama, mencintai dengan wajar.

Kalau ternyata yang menjadi pemantik dari perempuan itu masuk ke dalam masjid dan membawa anjing adalah karena urusan cinta, maka kita, sejak saat ini, mulailah untuk mencintai dengan sewajarnya. 

Segala sesuatu harus proporsional, sesuai kadar dan porsinya masing-masing. Jika kurang, tambahkan. Apabila kelebihan, kurangi sedikit. Itulah yang diajarkan oleh guru-guru kita terdahulu, yakni agar senantiasa bersikap tawazzun (seimbang).

Maka, serahkan semua kepada Allah. Tetapi juga jangan hanya diserahkan tanpa ikhtiar dari diri kita sendiri. Karenanya, berseimbanglah dalam bersikap. Sesuaikan segala sesuatu berdasarkan fungsi. Begitu pula dalam hal mencintai. 

Kedua, hubungan agama-agama.

Perempuan pembawa anjing itu masuk tanpa melepas alas kaki, kemudian marah-marah. Apakah kemudian hal tersebut ada kaitannya dengan hubungan agama-agama, terutama Islam dan Katolik, menjadi rusak?

Saya rasa, dan saya sepakat dengan Deddy Corbuzier, bahwa orang beragama di Indonesia, sekalipun belum pernah masuk ke dalam rumah ibadah agama lain, pasti tahu bagaimana tata aturan yang harus dilakukan di rumah-rumah ibadah agama lain.

Bagi Islam, anjing adalah binatang najis. Terkena jilatannya pun harus dicuci dengan tidak sembarangan. Maka, wajar saja, umat Islam kaget ketika ada anjing masuk ke dalam rumah ibadahnya: rumah Allah. 

Dengan demikian, apakah kita hendak menghakimi agama Katolik? Tentu tidak, dan jangan sampai terjadi. Perempuan itu tadi, tidaklah mewakili umat Katolik secara keseluruhan atau bisa kita sebut sebagai oknum.

Maka, tentu saja keliru jika hanya karena ada perempuan membawa masuk anjing dengan tanpa melepas alas kaki, kemudian kita menyalahkan ajaran agama Katolik. 

Ketiga, teguran bagi umat Islam.

Segala sesuatu di dunia ini, tentu saja atas kehendak Allah. Semua telah dimaktubkan dalam lauhil mahfudz. Maka, bukan tidak mungkin, perempuan pembawa anjing itu digerakkan Allah untuk masuk ke masjid sebagai teguran bagi umat Islam.

Kenapa demikian?

Umat Islam, akhir-akhir ini, terpecah lantaran kubu-kubuan karena berbeda preferensi politik, selama hampir setahun ke belakang. Nah, usai pemilu, ditandai dengan putusan MK dan penetapan oleh KPU RI, Allah rupanya ingin umat Islam bersatu lagi. 

Barangkali, ini dugaan saya saja, Allah menyuruh umat Islam untuk segera menyucikan hati yang selama ini penuh najis. Najis-najis di dalam hati itu kemudian diwujudkan menjadi berita bohong, ujaran kebencian, dan permusuhan, bahkan pembunuhan hanya karena berbeda pilihan politik.

Karena itu, mari kita kembali ke masjid. Mengisi shaf-shaf yang tak terisi pasca-Ramadan pergi. Kemudian, isilah masjid dengan kalimat-kalimat kesucian yang penuh kebaikan. Najis-najis yang menempel di kalbu, segeralah disucikan. Sekali lagi, barangkali, kita sedang ditegur oleh Allah. 

Keempat, kebenaran dan kesabaran.

Kita memang tidak bisa mencontoh perilaku Kanjeng Nabi Muhammad yang disebut oleh Allah dalam Al-Quran, la'ala khuluqin adzim (Al-Qalam ayat 4). Bahwa perilaku nabi berada di atas budi pekerti yang agung. 

Suatu ketika, saat nabi sedang berkumpul dengan para sahabat di masjid, datang seorang Badui dan kemudian kencing di dalam masjid. Kita tahu, masjid adalah tempat suci sedangkan air kencing itu najis. 

Tapi apa yang dilakukan nabi? Dia menahan amarah para sahabatnya agar tidak berbuat hal-hal yang tidak diinginkan. Hal tersebut dilakukan nabi demi menjaga kesucian Islam dan rumah Allah.

Nabi membiarkan si Badui menuntaskan kencingnya, kemudian dia menyuruh seorang sahabat untuk membersihkan najis itu. Maka, selesailah perkara tanpa baku hantam, teriak-teriakan, dan bahkan provokasi yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak ada di lokasi kejadian. 

Sulit memang mencontoh perilaku nabi yang luar biasa penyabar itu. Tetapi inilah yang difirmankan Allah dalam Al-Quran, bahwa ciri orang yang tidak akan mendapat kerugian adalah yang mampu memberi nasihat dengan kebenaran dan kesabaran.

Kelima, bangga dengan Islam.

Sebenarnya apa yang kurang dari Islam? Agama ini mampu mengakomodir segala macam kebaikan. Inklusif dan tidak merasa paling benar sendiri.

Ajaran-ajaran yang dibawa oleh Islam bersifat universal (rahmatan lil alamin), sehingga rahmah atau kasih sayang Allah di dunia tidak hanya dapat dirasakan oleh umat Islam saja, tetapi juga bagi semua makhluk. 

Nah, tentu saja, perempuan pembawa anjing tanpa melepas alas kaki yang masuk ke masjid itu, merupakan salah satu ujian bagi umat Islam untuk tetap mampu mempertahankan ajaran para pendahulunya. 

Oleh karena Islam adalah agama universal, agama yang senantiasa menempatkan sesuatu sesuai kadar dan porsinya, maka seharusnya umat Islam mendorong pihak terkait untuk merehabilitasi kejiwaan perempuan pembawa anjing itu kepada psikolog atau psikiater. 

Saya yakin, karena gangguan kejiwaan, maka yang dilakukan oleh perempuan itu tadi bukan sebagai bentuk penistaan agama. Sama sekali tidak menyinggung SARA. Maka, tidak perlu hukum yang berbicara. Bawa saja dia ke tempat pemulihan jiwa. Insyaallah kejiwaan dia kembali normal setelah melewati tahap rehabilitasi.

Itulah lima hal yang harus menjadi bahan renungan sekaligus hikmah bagi kita, umat Islam. Jangan sampai terprovokasi atau bahkan memprovokasi. Tetap tenang, berpikir positif, dan lakukan yang terbaik.

Menurut saya seperti itu, entah menurutmu. Mau setuju ya syukur, enggak ya terserah.

Wallahua'lam...
Previous Post
Next Post

0 komentar: