Kamis, 30 Maret 2017

Risih, rusuh, resah


Selat Sunda, 12 Desember 2016. Foto: Didi Mulyawan

Risih, rusuh, resah.
Resah, rusuh, risih, resah.
Rusuh, risih, resah, rusuh, risih.
Risih, resah, rusuh, risih, resah, rusuh.

Kapan tersudahi semua?
Soal permainan adiksimu atas kuasa tuhan.
Ya, tuhan.
Sebuah objek yang kau jadikan candu.
Menjadi penenang.
Padahal, tak sekalipun kau senang.

Resah, rusuh, risih.
Risih, resah, rusuh, risih.
Rusuh, resah, risih, rusuh, resah.
Resah, risih, rusuh, resah, risih, rusuh.

Kabarkan pada tuhan yang terkonsep di otakmu, itu.
Bahwa keabadian bukanlah dia.
tuhan itu hanya memberi nikmat sesaat.
Mengutopiskan khayal hingga kau bisa terlelap malam ini.

Rusuh, resah, risih.
Resah, rusuh, risih, resah.
Risih, resah, rusuh, risih, resah.
Rusuh, risih, resah, rusuh, resah, risih.

Objek di otakmu yang kau beri nama tuhan itu sesungguhnya adalah penyiksa.
Tak beri solusi apa-apa kecuali mengikuti kehendak otakmu sendiri.
Paham, kan?
Kau tau bagaimana laut?
Menenangkan.
Suatu saat, ia akan menumpahkanmu pada imajinasi tumpul.


Belajarlah mendewasa!!!



Bekasi Utara, 30 Maret 2017


Aru Elgete

Rabu, 29 Maret 2017

Akankah Nafsu Kebencian Mewarnai Rajab?


Ilustrasi. Sumber: duajadisatu.com

Rajab sudah tiba. Salah satu bulan yang istimewa, selain Muharram, Sya'ban, dan Ramadhan. Sebagian besar ulama berpendapat bahwa ibadah di Bulan Rajab akan mendapat ganjaran yang besar. Pesan berantai pun bermunculan. Entah sekadar membagikan atau dilakukan, dikembalikan lagi ke diri masing-masing.

Di sisi lain, kondisi sosial-keagamaan masih terus bergejolak di negeri ini. Agama merambah ke permukaan. Bahkan, menjadi barang dagangan terlaris di semester pertama 2017. Politik kian menjadi-jadi. Agama pun terseret-seret. Masuk ke dalam. Menjadi retorika politik. Pelicin, sekaligus penghambat berpikir dan kedewasaan laku.

Dengar kabar,  di pengujung Maret akan ada aksi bela Islam. Atas nama Forum Umat Islam (FUI), mereka siap menyerbu kantor wakil rakyat. Tanggal dan harinya dibuat unik agar mudah diingat. Rencananya, 31 Maret. Disingkat menjadi 313. Inti tuntutannya hanya satu; penjarakan si penista agama; Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, yang disebut-sebut sebagai Fir'aun di zaman modern.

Berbagai isu telah lama dikembangkan. Mulai dari cina, komunis, hingga pelarangan mengurus jenazah pendukung Ahok, terus dikemukakan. Tujuannya agar DKI Jakarta memiliki pelayan baru. Maaf, maksudku penguasa baru. Ah, Aku sudah lama tak memperdulikan perseteruan murahan seperti itu. Siapa pun gubernurnya, tidak terlalu menjadi persoalan bagiku. Yang menjadi persoalan adalah saat orang-orang di akar rumput terbakar oleh nafsu kebencian hanya karena perbedaan pilihan. 

Oke, itu kan di Ibukota. Lalu, bagaimana dengan Jawa Barat (Jabar)? Setahun lagi, akan diselenggarakan pesta demokrasi. Muhammad Ridwan Kamil (MRK) dan Dedi Mulyadi (DM) sudah digadang-gadang menjadi pemimpin selanjutnya. Isu yang dikembangkan, lagi-lagi itu; agama, yang disebut oleh Ki Ageng Suryomentaram sebagai "Ageming Aji". Walikota Bandung itu, MRK, dianggap sebagai penganut Syi'ah. Sementara DM, Bupati Purwakarta, diklaim pengikut ajaran Sunda Wiwitan.

Kasihan, orang awam. Mereka diberi asupan kebencian setiap hari. Terdoktrinasi oleh amarah atas perbedaan. Memangnya siapa sih yang awalnya menyebar isu kalau MRK Syi'ah dan DM Sunda Wiwitan? Pasti kan, menurutku, pelakunya itu-itu lagi. Memangnya sudah tahu secara pasti kalau mereka berdua seperti itu? Atau, memangnya ada masalah kalau calon gubernur Jabar itu penganut Syi'ah dan Sunda Wiwitan? Ada masalah dengan agama? 

Sepertinya, fitnah dan ujaran kebencian sudah mendarah-daging bagi pelaku politik di negeri ini. Barangkali itu, yang dikhawatirkan oleh Hatta jauh-jauh hari. Bahwa Liberalisasi politik akan memecah-belah anak bangsa. Dulu, pendamping Soekarno itu sudah memiliki gagasan, sistem demokrasi kita ini memiliki khas tersendiri. Mengadopsi konsensus Piagam Madinah, Sosialisme Barat, dan kearifan lokal yang terus dipertahankan. Itu yang disebut sebagai Demokrasi Kerakyatan.

Kembali ke Rajab. Akankah bulan istimewa dalam sejarah Islam ini akan ternoda oleh nafsu kebencian? Mungkinkah amarah yang membabi-buta kembali mengemuka? Atas nama agama, segalanya pasti tercipta. Agama sudah menjadi candu, rupanya. Lho? Mau marah? Bukankah dalam agama dan keyakinan kita pasti memiliki candu? Kadar adiksi yang berlebihan, tentu akan membuat seorang tak sadar diri. Kurang lebih hampir sama dengan garam, gula, rokok, dan kopi. Kalau berlebihan tak baik. Secukupnya saja.

Tuhan tidak suka dengan orang yang berlebihan, kan? Lalu, kenapa selalu berlaku lebih atas nama agama? Kalau mau dilebihkan, kenapa tidak komunikasi kepada Tuhan saja yang ditonjolkan? Kemudian dari situ akan terkristal menjadi sebuah kebaikan pada sesama makhluk. Sudah lupa bagaimana Muhammad Putra Abdullah menyusun konstitusi di negeri madani? Di negeri yang berkeadaban. Di negeri yang ketenteraman tercipta.

Mari lakukan introspeksi. Perbanyaklah ibadah ritual, tapi jangan meninggalkan ibadah sosial. Lebih giatlah mendekat pada Pemilik Jiwa, tapi juga jangan lupa bahwa ada jiwa-jiwa yang masih perlu dididik, bukan dihardik. Masih banyak jiwa yang mesti diayomi, bukan dihakimi. "Apakah kamu tidak berpikir?" Begitu firman Tuhan dalam kitab suci.

Pemaksaan kehendak menjadi gaya baru dalam beragama, kini. Semua orang, mungkin lupa, bahwa Tuhan pernah mewanti-wanti Nabi, "fadzakkir, innamaa anta mudzakkir, lasta 'alaihim bi mushoitir." Bahkan, dia sendiri pernah mengatakan, "innamaa bu'itstu li utammima makarima-l-akhlaq." Sudah jelas kan? 

Dalam kitab suci pun sudah terkonfirmasi bahwa perilaku Kanjeng Muhammad di atas kemuliaan. Tidakkah, kita mencontohnya? Sebagai umatnya, bukankah sangat mulia jika kita meneladani perilaku kerasulannya? Tidak secara keseluruhan. Minimal, santun dalam bertutur, sopan saat berlaku, dan menawarkan wajah yang berseri-seri. Meninggalkan kebencian sekaligus meniscayakan kebahagiaan karena membawa cinta-kasih pada sesama.

Yuk, kita sama-sama songsong Ramadhan yang terhitung tinggal 2 bulan lagi dengan ibadah ritual dan sosial yang seiring-sejalan. Melakukan muhasabah, dialog pada diri sendiri. Sudahkah menjadi seorang manusia, hamba, dan umat yang mampu menebar kebaikan dan manfaat di muka bumi? Sehingga kebaikan itu akan mengantarkan pada keridhoan Tuhan agar berkenan menemui kita di hari kemudian.

Sudahlah. Jangan terlalu banyak membenci. Bersikap kritis, silakan. TapI dengan membangun, bukan menjatuhkan. Silakan laksanakan ibadah sesuai kepercayaan. Semoga menjadi niscaya kekristalan yang berbuah keistimewaan bagi kehidupan peradaban anak manusia. Cukupkan kebencian di Rajab. Maafkan lahir batin. Semoga diterima segala amal ibadah hingga Ramadhan nanti.

Allahumma baarik lanaa fii rajaba, wa sya'bana, wa balighna ramadhaaan.

Wallahu A'lam.


Bekasi Utara, 29 Maret 2017



Aru Elgete

Selasa, 28 Maret 2017

MRHTD, Teater Korek Merekatkan Bukan Meretakkan



Menyanyikan Mars Teater Korek usai MRHTD

Malam Renungan Hari Teater Dunia (MRHTD) menjadi langkah awal. Teater Korek sebagai perekat, bukan peretak. Jalinan silaturahmi dan tenun kebudayaan tercipta. Civitas akademika Unisma Bekasi, turut hadir. Tak terkecuali komunitas atau sanggar teater yang diundang.

Di Laboratorium Teater Korek Unisma Bekasi, 26 Maret 2017, semua menjadi saksi. Bersalam-salaman sembari lempar senyum merupakan kebahagiaan yang utuh. Tujuan diadakan Malam Riung memang seperti itu. Setiap bulan, mudah-mudahan lancar dan terlaksana. Intinya, semoga mendapat ketenangan lahir-batin.

Baca: Hari Teater Dunia, Korek Unisma Gelar Malam Riung

Senat Mahasiswa (Sema) Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisip), Himpunan Mahasiswa Manajemen (Himma), Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Pusat Kajian Pancasila, Fakultas Teknik, Teater Camuss Universitas Islam Asy-syafiiyyah, Sanggar Teater Biru Jakarta Timur, dan Komunitas Ranggon Sastra Universitas Indraprasta PGRI (Unindra), hadir secara perwakilan.

Sebagai organisasi kemahasiswaan yang bergerak di bidang seni dan kebudayaan, Teater Korek masih sangat minim kajian. Maka, MRHTD itu adalah sebuah pergerakan yang nyata agar gerak dan otak menjadi stabil. Seimbang. Kaum terpelajar tak melulu gerak, juga tidak terus-menerus melakukan kajian. Kira-kira itu wejangan sehari-hari dari orangtuaku.

Namun, Teater Korek mesti punya tujuan yang jelas. Agar tak terombang-ambing oleh ketidakpastian. Harus segera berproses agar punya karya kembali. Setidaknya membungkam mulut yang mengatakan, "Teater Korek tak berkarya." Lucu. Padahal di Sekretariat Teater Korek, ada banyak sekali arsip sebagai bukti sejarah bahwa Teater Korek memang punya karya.

"Bicaralah sesuai apa yang dilihat, didengar, dan dirasakan," begitu kata ulama kampung di lingkungan rumahku. 

Teater Korek sedang bangun. Kembali bangkit. Semoga mendapat ketenangan. Mencuci piring bekas pesta kemarin. Mempertanggungjawabkan segala hal yang sengaja dibebankan. Sejalan dengan itu, Teater Korek tidak menaruh dendam kepada siapa pun. Juga tak lagi menggantungkan harapan pada orang lain, kalau akhirnya justru diperkosa oleh keserakahan diri.

Kembali ke MRHTD. Malam itu, semua berbahagia. Masing-masing diri dan komunitas memberi apresiasi di panggung yang telah tersedia. Pembacaan dan dramatikal puisi, tarian, performance art, serta dramatical reading membawa keceriaan tersendiri. Tata ruang yang diatur sedemikian rupa, membuat tamu terkesima. Disediakan tempat berfoto dengan kumpulan foto aktivis yang dihilangkan pada masa orde baru.

Alat musik tradisional dikeluarkan. Dihidupkan kembali. Difungsikan lagi. Menjadi daya tarik untuk difoto oleh juru kamera salah satu media massa di Bekasi. Pencahayaan yang unik, merekatkan jiwa. Malam itu, di luar sedang turun hujan. Namun, kehangatan tetap tercipta. Sebab Teater Korek merekatkan, bukan meretakkan.

Kekurangan dalam hal penyambutan dan penyajian pasti ada. Tidak ada gading yang tak retak bukan? Maka, dengan segala kerendahan hati dan penyadaran diri, Teater Korek mengucapkan maaf yang paling tulus. Semoga ke depannya lebih baik lagi. Juga mengucapkan rasa terimakasih yang tak berhingga kepada seluruh diri dan komunitas yang telah membantu kelancaran kegiatan tersebut. 

Selamat Hari Teater Se-Dunia, 27 Maret 2017. Majulah Teater Indonesia. Jayalah Teater Bekasi. Teater adalah kehidupan, selamat menikmati hidup dan selamat berteater.



Wallahu A'lam



Bekasi Utara, 28 Maret 2017


Aru Elgete

Minggu, 26 Maret 2017

Masihkah Buku Menjadi Jendela Dunia?


Ilustrasi. Sumber: andikafm.com


"Masihkah buku menjadi jendela dunia?" kira-kira itu pertanyaan yang akhir-akhir ini terlintas dalam benak. Sejak dulu, orangtua seringkali memberi wejangan kepadaku agar giat membaca buku. Ibuku bilang, "Dari buku kamu akan melihat dunia."

Digitalisasi peradaban nampaknya berkata lain. Perlahan, buku ditinggalkan. Beralih ke digital. Bahkan, buku digital pun tidak lagi diindahkan. Keberadaan media sosial menambah runyam segalanya. Pemuda-pemudi lebih sibuk berselancar di media sosial ketimbang membaca buku.

Gramedia, toko, dan penerbit buku berlomba mendiskonkan buku. Bahkan, gratis. Taman Baca sepi pengunjung. Di titik strategis Car Free Day (CFD) setiap minggu, komunitas pecinta buku menjamur. Namun, hasilnya tetap tak memuaskan. Sepi. 

Hal yang menarik dari hadirnya media sosial, barangkali, menjadi wadah eksistensi yang sama sekali tak bernilai. Buku-buku yang terbeli hanya dipotret, tanpa dibaca. Hanya berharap mendapat like dan komentar yang baik. Pencitraan. Semua dilakukan agar mendapat pengakuan diri. Seperti yang dikatakan Abraham Maslow jauh-jauh hari. Bahwa kebutuhan manusia paling utama adalah pengakuan diri dan eksistensi.

Kembali ke buku. Perkembangan intelektualitas seseorang terbangun karena bacaannya. Dengan membaca, ia dapat memberi pengaruh positif bagi lingkungan sekitar. Selain itu, buku dapat membantu manusia dalam berpikir, bertutur, dan berperilaku. Ia akan menjadikan seseorang rapi, runut dalam berbicara, serta dapat memperhalus rasa.

Orang-orang terdahulu acapkali berdebat melalui buku. Imam Ghazali misalnya. Ia menulis buku yang memaparkan kesalahan-kesalahan pada filsafat Ibnu Rusyd. Tetapi Imam Ghazali juga menulis bahwa kritik itu ia layangkan setelah membaca dan mengkaji.

Kemudian, ada juga buku yang berjudul "Sidogiri Menolak Pemikiran KH Sa'id Aqil Siradj." Bermacam referensi dimaktubkan. Berdasar. Tulisannya pun rapi, runut, dan cenderung objektif. Aku pernah pula membaca buku "menolak madzhab wahabi" yang lagi-lagi terpaparkan fakta dan data. Tidak sembarang.

Mendebat atau mengekspresikan ketidaksukaan terhadap sesuatu dengan cara menulis menjadi sangat indah. Logika sederhananya, seorang penulis yang baik adalah pembaca yang baik pula. Buku menjadi jendela dunia. Membuka tabir kejumudan. Menyingkap sekat kebodohan dan ketertinggalan.

Kini, budaya semacam itu hampir tak terlihat. Orang-orang sibuk berkomentar dan melakukan ekspresi ketidaksukaan dengan seenaknya di media sosial. Tanpa dasar, data, dan fakta. Isu terakhir yang berkembang adalah kontroversi KH Ahmad Ishomuddin yang menjadi saksi ahli atas perkara penistaan agama. 

Semua orang berbondong melakukan cercaan terhadapnya. Pencerca itu pun belum tentu tahu secara keseluruhan, siapa KH Ishomuddin itu. Bagaimana kehidupan dan pengalamannya sampai ia mendapat gelar sosial dari masyarakat; Kiai Haji. Aku teringat pesan Tuhan dalam kitab suci, "Tidakkah kamu berpikir?"

Maka itu, seorang penulis kenamaan, Zen RS dalam cuitannya berkata, "Yang berbahaya dari menurunnya minat baca adalah meningkatnya minat berkomentar." Lalu, aku berpikir bahwa dampak negatif dari media sosial adalah menurunkan minat baca. Kemudian secara tidak langsung, media sosial pun mengajak penggunanya untuk giat dalam berkomentar. Gilak!

Akhir 2016, Mega Bekasi Hypermall bekerjasama dengan penerbit Kompas Gramedia mengadakan Mega Big Sale. Menjual buku dengan harga murah. Mulai Rp5000 hingga Rp10000. Semua orang bergegas menghampiri. Memborong buku sebanyak yang disuka. Pikirku, harus seperti itukah agar buku dibaca? Bagaimana perasaan buku? Dibandrol dengan harga murah, supaya cepat habis dan terbeli. 

Berbagai kalangan, dari anak muda hingga orangtua tak mau ketinggalan. Mereka menyerbu. Setelahnya, entahlah. Hanya menjadi eksistensi belaka atau buku yang dibeli dengan harga murah itu benar-benar dimanfaatkan untuk mendobrak dinding ketidaktahuan. Semuanya tergantung pada individu. 

Jadi, masihkah buku menjadi jendela dunia setelah ada istilah baru, "dunia dalam genggaman?" Orang-orang gaduh. Menyombongkan kebodohan dan kejumudan dalam berpikir. Lagi-lagi tanpa dasar. Berkomentar sesukanya. Jempol menjadi harimau, tidak lagi mulut.

Aku bisa menilai seseorang dari komentar di media sosial dan ucapannya dalam keseharian. Orang yang giat membaca buku, ia akan sangat berhati-hati. Menuliskan dan berkata-kata dengan tidak menggebu. Rapi, runut, dan tertata. Kasarnya, aku bisa melihat laku orang lain dan kemudian mengetahui buku macam apa yang dibaca. Kira-kira seperti itu.

Hingga detik ini, aku masih mencintai buku. Bukan yang sudah terdigitalisasi. Aku membaca buku agar mampu meruntuhkan kesombongan yang menuntunku pada jurang kedurjanaan. Aku membacanya demi menghaluskan rasa dan mempertajam pemikiran. Semakin banyak bahan bacaan, kian merunduklah ia. Tak lagi mengumbar omong-kosong layaknya pembual politik akhir-akhir ini. 

Sebab bagiku, buku adalah sahabat setiaku. Tak pernah membenci saat diperlakukan tidak wajar. Tetapi selalu menerima kapan pun saat ia dijadikan sahabat, bahkan ia sangat legowo ketika huruf demi huruf yang tertera di tubuhnya hanya dijadikan pengantar tidur oleh pembacanya.

Dunia tidak perlu digenggam. Buka bukumu sekarang juga, niscaya dunia akan terlihat jelas. Berapa jam dalam sehari waktumu dihabiskan untuk membaca? Semoga terjawab dengan laku, tidak hanya retorika belaka. Apalagi dalih yang menempel sesaat pada lidah. Yuk, baca buku.



Wallahu A'lam



Sekretariat Teater Korek, 26 Maret 2017



Aru Elgete

Selasa, 21 Maret 2017

Teater Korek Adalah Cinta, Bukan Kebencian


Pengurus Teater Korek 2017-2019 berfoto bersama saat banjir melanda Kampus Unisma, Jumat (17/3/2017).

Bagiku, Teater Korek adalah jalan sunyi. Menjadi alternatif ruang dakwah. Sebab, berdakwah secara verbal dengan teks, dari mimbar ke mimbar, sudah penuh. Bahkan tak jarang, dakwah semacam itu telah terdistorsi oleh kepentingan bisnis dan politis.

Sejak pertama kali menginjakkan kaki di Universitas Islam 45 (Unisma) Bekasi pada 1 September 2014, aku tertarik dengan organisasi kesenian dan kebudayaan itu. Bagiku, hanya dengan berteater-lah, keseimbangan diri dapat tercipta. Suci. Menjernihkan sudut dan cara pandang terhadap sesuatu.

Meski pada Maret hingga November 2016 aku sempat menghilang, tapi Teater Korek menjadi tujuan akhir. Selama hampir 2 tahun sebelum kehilanganku itu, aku mendapatkan kabar bahwa Teater Korek sering mendapat cibiran keji nan kotor. Bagiku, itu biasa. Sebab substansi lebih penting daripada terus-menerus berdebat soal definisi.

Akhir 2016, aku kembali. Awal 2017, aku diamanahi untuk memegang kendali roda organisasi. Menurutku, kepercayaan dan harapan yang diberikan itu adalah sebuah keniscayaan. Aku dapat belajar, bekerja, sekaligus berkarya. Menabur cinta dan menebar pesan-pesan damai adalah misi utamaku.

Membalas cibiran dan kebencian dengan permusuhan adalah hal bodoh, bagiku. Sebab Tuhan menyukai dan akan memberi apresiasi bagi sesiapa yang dapat membalas kebencian dengan cinta kasih. Dalam kamus hidupku, tidak ada kebencian. Sekalipun harus marah, itu bukan karena benci yang tertumpah; tetapi karena cintaku dilukai.

Namun, cinta akan semakin kuat saat luka datang bertubi-tubi. Maka, benci dan lukai-lah Teater Korek sepuasnya, niscaya teman-teman Teater Korek akan semakin gigih menebar cinta. Kira-kira itu doktrinasi yang bisa kuberikan di setiap diskusi dan rapat rumah tangga. Berteater adalah soal kesadaran, bukan karena paksaan.

Di dalam Teater Korek, tidak ada pencucian otak agar membenci organisasi atau komunitas lain. Semua adalah saudara. Tinggal bagaimana sesama saudara saling mengintensifkan silaturrahmi lahir dan batin. Sebab dengan hal itu, tabir kegelapan akan mencahaya. Sementara kebencian pasti pudar dengan sendirinya.

Teater Korek tak pernah menutup diri dengan siapa pun. Tidak eksklusif. Apalagi menganggap bahwa Teater Korek lebih unggul daripada organisasi atau komunitas lain. Itulah sebabnya kenapa Tuhan menciptakan perbedaan. Untuk saling melengkapi. Masing-masing pasti memiliki kelebihan dan kekurangan. Sedangkan kebencian akan membutakan segalanya.

Silakan datang langsung ke Laboratorium Teater Korek. Kita lakukan diskusi secara terbuka. Maka, yang akan ditemukan adalah cinta; bukan kebencian apalagi permusuhan. Parahnya, penyekatan diri dalam hal silaturrahmi. Karena memutus rantai persaudaraan, bukanlah sesuatu yang disukai; baik oleh sesama makhluk, maupun oleh Pemilik Makhluk.

Di kepemimpinanku yang baru berjalan sebulan ini; aku akan mempertahankan tradisi lama Teater Korek dan melakukan pembaruan dengan mengikuti pola kehidupan yang terus berkembang. Menghidupkan kembali ritual 19-an dengan metode tadarus puisi dan diskusi rutin di setiap akhir bulan.

Dimulai dari akhir bulan ini. Pada 26 Maret 2017 akan diadakan malam riung antar-organisasi kampus, maupun antar-komunitas teater di Bekasi dan sekitarnya. Selain untuk memperingati Hari Teater Dunia yang jatuh setiap 27 Maret, juga sebagai momentum untuk memperkaya pengetahuan dan menjalin silaturahmi batin.

Maka dengan ini, aku mengundang kepada siapa pun untuk dapat meramaikan kegiatan tersebut di atas. Silakan ekspresikan diri karena disiapkan panggung apresiasi. Mari membangun cinta dari hal-hal yang sederhana; menyatukan jiwa-jiwa yang berpencar dengan ketenangan batin tanpa kebencian dan permusuhan.

Penyakit hati yang sangat berbahaya adalah ketika menganggap diri paling unggul, sementara tanpa disadari ia telah memperlebar jurang kebencian dan perlahan menghilangkan kepekaan cinta yang sebenarnya terpelihara di setiap jiwa anak manusia.

Bagiku, Teater Korek adalah cinta. Bukan tempat untuk menebar kebencian. Karena dalam Kitab Ketentuan Dasar dan Rumah Tangga dimaktubkan bahwa tujuan ditetaskannya Teater Korek ke dunia untuk membuat diri bermartabat dan bertanggungjawab serta meningkatkan derajat di hadapan Tuhan Yang Maha Berbudaya.

Tuhan selalu bersama orang-orang yang berbudaya.



Wallahu A'lam



Perwirasari, Bekasi Utara, 21 Maret 2017



Aru Elgete

Minggu, 19 Maret 2017

Pertanyaan Itu Sudah Mulai Terjawab...


Teater Korek usai menjadi pengisi acara di pagelaran Mesin Bersatu XIII Unisma Bekasi.


Sabtu (18/3/2017) pagi, hujan lebat kembali mengguyur Kota Bekasi. Sementara di hari yang sama, Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Teater Korek Universitas Islam "45" (Unisma) Bekasi akan melakukan pertunjukkan dengan tema "Menolak Lupa".

Padahal sebelumnya, Jumat (17/3/2017), Unisma banjir. Mulai dari gedung Fakultas Ekonomi (FE) hingga gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa tergenang air. Kampus hijau yang kian gersang ini, memang sudah langganan disapa Tuhan dengan cara demikian.

Syukurnya, hujan Sabtu tak lama. Kurang lebih hanya satu jam saja. Jam 5-6 pagi. Hanya menyisa rintik gerimis sampai langit tak lagi terlihat pekat. Banjir di kampus, semoga sudah surut; batinku. Sebab, Teater Korek akan mempersembahkan sebuah penampilan di pelataran gedung pertemuan kampus.

Jujur, menampilkan sebuah pertunjukkan tersebut bukan hanya sekadar persoalan eksistensi, tetapi juga ada beberapa maksud dan tujuan yang ingin tersampaikan. Salah satunya adalah soal refleksi ingatan bagi mahasiswa terhadap perjuangan yang dilakukan Wiji Thukul dan Munir Said Thalib. 


Selain itu, kalimat tanya yang menjadi tema Mukhtamar Keluarga Luar Biasa Teater Korek (Mukelu Biasa Tekor), tepat sebulan lalu, sedikit demi sedikit sudah mulai terjawab. Pertanyaannya adalah Satukah Jiwa-Jiwa Kita? Hal tersebut terlihat dari intensitas teman-teman Teater Korek berlatih, berkumpul, berproses, dan akhirnya berkarya.

Pembenahan organisasi dan kekaryaan pun dimulai. Teater Korek seperti terlahir kembali. "Kita harus memberi sekat dengan jelas tanpa memutus jaringan dan silaturrahmi kepada yang lain," demikian kata seorang pelopor. "Sepakat," jawabku seketika saat rapat internal, semalam.

Sementara keorganisasian teater itu, lanjut pelopor, adalah soal perpaduan antara logika dan estetika. Keduanya seiring sejalan. Kita tidak bisa terus-terusan menggunakan logika dengan meninggalkan estetika. Atau, sebaliknya. 

Setidaknya dengan pembenahan organisasi yang dilakukan, Teater Korek dapat kembali ke khittah. Memiliki "dapur" sendiri sehingga roda pergerakan terus berjalan. Tidak bercampur-baur sehingga seperti bergelap-gelap dalam terang. Hal itu menyebabkan harta benda terhanyut oleh gelombang keegoisan.

Dalam kebudayaan memang tak mengenal sekat. Soal kekaryaan pun demikian. Namun, organisasi tetap memiliki alurnya sendiri. Teater Korek tidak pernah menutup diri dengan siapa pun; soal kebudayaan dan kekaryaan. Bahwa di usia yang sudah menginjak remaja ini, pikirku, ia harus terus mencari pengetahuan lebih mengenai kedua hal itu. Agar mendewasa dan mengetahui siapa diri.

"Siapa mengenal diri, ia akan mengenal Diri," begitu kalimat yang pernah kudengar dari seorang ulama tasawwuf. Lagipula, dalam Kitab Ketentuan Dasar dan Kitab Ketentuan Rumah Tangga Teater Korek termaktub, tujuan utama organisasi teater kampus ini didirikan adalah untuk menjadikan diri bermartabat di hadapan sesama dan Tuhan Yang Maha Berbudaya.

Fungsi kebudayaan adalah memperhalus rasa, menurutku. Bukan membekukan hati, sehingga anti-kritik, seolah paling benar, dan bicaranya tak bisa diganggu gugat, sekalipun berkali-kali orang lain diminta untuk menggugat dan memberi kritik kepadanya; membuat kebudayaan menjadi yatim-piatu.

Kemudian, seorang teman mengatakan bahwa kebudayaan adalah jalan sunyi nan suci. Ia tak bisa terkotori oleh apa pun. Dengan keangkuhan dan bahkan permusuhan. Kalau ada suatu hal yang perlu didiskusikan, silakan datang. Pintu Teater Korek tidak pernah ditutup.

Sebab, ruang yang semula adalah masjid ini merupakan titik pertemuan lintas komunitas, baik kampus maupun non-kampus. Teater Korek tak pernah mempermasalahkan apa pun selama dirasa tidak merugikan. Tahu kan bagaimana segerombol lebah jika sarangnya dihancurkan?

Angkatan 13 Teater Korek yang kemarin memainkan aksi teatrikal mengenang Wiji Thukul dan Munir Said Thalib sudah memberi sedikit jawaban. Setelah, secara keorganisasian sekira 3 tahun vakum. Hari ini, semoga melecut semangat untuk kembali berkarya, melalui organisasi yang kuat dan matang.

Sekali lagi, Teater Korek sedang melakukan pembenahan organisasi. Membentengi diri agar "dapur" bersih. Namun, soal keilmuan, jaringan, kebudayaan, silaturrahmi, dan kekaryaan; Teater Korek tidak pernah menutup diri. Organisasi yang secara keorganisasian dipegang oleh mahasiswa aktif Unisma Bekasi ini, masih menjunjung tinggi nilai luhur bangsa, yakni sikap dan karakter kekeluargaan.

Jadi, bagaimana? Satukah Jiwa-Jiwa Kita? Syukur, sudah mulai terjawab. Semoga lebah dapat tidur dan beraktivitas dengan tenang.


Wallahu A'lam


Laboratorium Teater Korek, 19 Maret 2017


Aru Elgete

Sabtu, 18 Maret 2017

Bekasi Smart City dan Preparing The Future?


Di Halaman Laboratorium Teater Korek Unisma Bekasi. Foto: Dheni Maulana Saputra

Saat sedang mendengar khutbah Jum'at (17/3/2017), sesekali aku memandang ke luar. Langit pekat. Rintik hujan sudah mulai turun perlahan. Masjid Al-Fatah Unisma Bekasi, menjadi gelap. Khatib kala itu, tak cukup jelas wajahnya terlihat.

Aku berada di barisan kedua. Menyaksikan petuah keagamaan dengan kegelisahan. Sebentar lagi turun hujan deras; dengan durasi yang lama; kemudian banjir. "Lalu, apa yang akan terjadi setelahnya?" Batinku.

Iqamah dikumandangkan. Tanda salat Jum'at dimulai. Aku maju. Berada di shaf pertama. Belakang agak ke kiri dari posisi imam. Entahlah, pikirku, urusan banjir biar nanti. Aku mau memasrahkan diri kepada Pemilik Semesta.

Usai salat berjama'ah, aku bergegas ke bagian belakang kampus. Student Centre. Aku ke Sekretariat Himpunan Mahasiswa Ilmu Komunikasi (Himikom), mengambil sesuatu. Seorang teman mengingatkan, "jangan lupa jam 1 ada kuliah, Jurnalisme Radio."

"Oke," jawabku singat. Kemudian aku ke Laboratorium Teater Korek. Latihan. Hujan masih rintik. Namun, pertanda akan turun deras. Sembari menunggu anggota Teater Korek selesai kuliah. Aku duduk di samping jendela Ruang Kebudayaan itu; yang langsung menghadap ke kali dan proyek pembangunan gedung perkuliahan Fakultas Ilmu Keguruan dan Pendidikan (FKIP).

Tak lama berselang, sekira pukul 13.00 WIB, hujan turun. Deras. Membasahi Bumi Patriot. Mengguyur kota yang memiliki visi Maju, Sejahtera, Ihsan. Memberi kesejukan bagi kampus hijau yang kian lama tak hijau.

Tepat di belakang rumah keduaku itu, ada Kobelco sedang mengeruk tanah. Entah sedang apa. Ia seperti membuat kubangan besar. Hujan turun sangat deras, sehingga kerukan tanah itu, terisi air. Seperti waduk. Pikir liarku, kampus terbesar di Bekasi ini kok seperti COC (Clash of Clans). Entahlah.

Sekitar pukul 13.45, hujan masih tetap sama. Deras dan stabil. Teman-teman sekelasku sudah memberi kabar; perkuliahan Jurnalisme Radio telah dimulai. Dosen pengampu matakuliah sudah di kelas. Bersamaan dengan itu, sebagian temanku yang berada di kantin mengirim gambar di grup WhatsApp.

Di kantin, yang juga sedang ada proyek tempat parkir, banjir. Hujan baru setengah jam. Air coklat kepekatan sudah menggenang di sana. Semua terjebak hujan dan banjir. Tanpa pikir panjang, aku katakan, "tolong sampaikan ke dosen, saya ijin. Rumahku (Lab Teater Korek) banjir." Kurasa, hanya sedikit saja yang masuk kuliah. 

Sudah pukul 14.00 WIB. Hujan masih sama. Deras dan stabil. Aku bergerak. Memakai jas hujan, kemudian ke warung depan kampus. Beli kopi, sebagai teman di kala hujan. Kampus mulai banjir. Mulai dari gedung FKIP hingga FE (Fakultas Ekonomi). Lucu juga, batinku, hujan sebentar banjir.

Aku kembali. Motor kuparkir di jembatan penghubung antara FKIP dengan Student Centre. Ngopi hangat. Setidaknya cukup menetralisasi pikiranku. Tak lama, saat seruputan kopi kedua, aku mulai melihat air mengucur dari bawah lantai Laboratorium Teater Korek. Rembes. Sementara kali di samping, airnya semakin meninggi. Hampir tumpah.

Waspada banjir. Semua barang berharga dinaikkan ke atas. Ke tempat lebih tinggi. Seperti ini gambaran kampusku. Mirip Kp Pulo beberapa tahun lalu. Selalu was-was saat hujan turun. Sudah biasa. Seruputan kopi kian hangat sambil melihat kuli bangunan gedung FKIP dan Kobelco yang tetap bekerja. Mereka pejihad tangguh. Demi anak dan istri. Menantang maut.

Sekira 14.45 WIB, ruangan tempatku itu sudah mulai menggenang. Di depan air sudah seukuran betis orang dewasa. Hujan mulai reda, tapi belum selesai. Masih merintikkan sisa-sisa air yang semula tak sempat turun. Aku langsung mendapat kabar, kali di belakang Student Centre meluap. Airnya masuk ke dalam kampus dengan sangat mudah.

Hujan berhenti. Dua jam sudah, kampusku terguyur. Di media sosial, kemacetan terjadi. Bahkan hingga berjam-jam dan berkilo-kilo meter. Bekasi keren. Kampusku tak kalah keren. Tiap hujan banjir. Pembangunan tetap berjalan. Mahasiswa terus bertambah. Kapasitas air juga demikian.

Proyek gedung perkuliahan FKIP dan samping gedung H, juga area parkir di kantin. Ah, rasanya masih banyak yang harus ditulis. Kakiku sudah gatal. Ingin segera ke kampus. Cerita, berita, dan derita pada Jum'at kemarin, belum selesai. Nanti digabung dengan sepenglihatanku hari ini. 

Masihkah Bekasi Smart City; dengan Maju, Sejahtera, Ihsan, dan Unisma Bekasi Preparing The Future menjadi visi paling mutakhir? Atau hanya retorik semu. Bahkan, cita-cita yang utopis? Bagaimana menurutmu?



Wallahu A'lam


Perwirasari, Bekasi Utara, 18 Maret 2017


Aru Elgete

Selasa, 14 Maret 2017

Mahasiswa dan Degradasi Eksistensi


Ilustrasi. Sumber: nusantaranews.co

Senin (13/3/2017), udara di Bekasi sangat panas. Dahaga dan cucur keringat, mengiringi derap langkah anak manusia. Semesta memang sedang menampakkan keceriaannya. Pemandangan senja dan rembulan yang menawan cukup mengabarkan bahwa ia sedang gembira.

Usai latihan di Laboratorium Teater Korek Universitas Islam 45 Bekasi, seorang teman mengajak diskusi. Ahmad Nasrudin Yahya, namanya. Alun-alun Bekasi menjadi titik tengah dari keberadaan kami. Sekitar pukul 21.30, kami bertemu. Mendiskusi perihal mahasiswa yang seperti mengalami penurunan eksistensi.

Aku membuka obrolan. Bagiku, marwah mahasiswa perlu dihidupkan kembali. Kini, sudah jarang terlihat mahasiswa yang dikenal sebagai pendobrak peradaban. Kalau pun ada, tentu sangat sedikit sekali. Mereka, lanjutku, hanya senang menyibukkan dirinya di media sosial sembari abai terhadap Tri Dharma Perguruan Tinggi.

Sambil menikmati tiga bungkus nasi kucing dan es teh manis, aku mengimbuh keluh. Apa penyebab mahasiswa yang seolah menjauh dari perannya? Membaca enggan. Meneliti sesuatu hal pun, mungkin tidak. Menulis? Apalagi. Pendidikan, Penelitian, dan Pengabdian; mereka acuh.

Yahya berseloroh, "Mereka lebih suka jalan-jalan, unggah foto, dan bikin video yang cenderung tanpa nilai. Itu sangat tidak mengedukasi masyarakat."

Aku sepakat. Di selasar Kota Bekasi itu, perbincangan kian hangat. Aku memesan es teh tarik, agar diskusi tidak ejakulasi dini. Bagiku, media sosial merupakan sebuah masalah yang mesti diurai. Ia memberikan banyak kemudahan untuk mencapai eksistensi. "Mahasiswa memang harus eksis. Tapi eksis yang seperti apa?" celetuk Yahya, sesaat setelah menyeruput es teh tarik yang baru kupesan.

Mahasiswa zaman dulu, menurutku, mampu mengeksistensikan dirinya dengan buku-buku tebal yang kemudian dijadikan sebagai karya tulis, dengan kritik membangun, dengan pemikiran cemerlang yang mampu membuat perubahan di masyarakat; baik masyarakat kampus maupun masyarakat di sekitar rumahnya. Namun, kini berbanding terbalik. Hal itu semacam barang usang yang harus secepatnya ditinggalkan.

Mahasiswa saat ini, imbuh Yahya, sangat minim karya. Mereka hanya eksis tanpa meninggalkan pesan. Tak memberi kesan apa-apa kecuali hedonisme; senang-senang dan hura-hura. Memenuhi restoran dan rumah makan cepat saji sepulang kuliah. Sementara diskusi, perpustakaan, taman baca, dan tempat-tempat yang seharusnya menjadi langkah gerak perjuangan mahasiswa ramai-ramai ditinggalkan.

Pengabdian kepada masyarakat hanya dilakukan sebulan, saat Kuliah Kerja Nyata (KKN). Mereka rela berbaur dengan masyarakat yang kurang mampu; demi capaian nilai akademik dan lulus tepat waktu. Padahal, menurutku, menjadi abdi masyarakat tidak tersekat oleh ruang dan waktu. Di lokasi KKN, yang dilakukan tak lebih dari sekadar unggah foto dan membuat video. Sekali lagi, demi kepentingan eksistensi tanpa pesan dan kesan.

Lucu. Mahasiswa jadi kaku. Terkungkung oleh gerak yang dibuat sendiri. Berwisata di akhir pekan seolah kewajiban. Setelahnya, media sosial penuh dengan gambar dirinya yang sedang berpose di tempat wisata. Status mahasiswa kurang dimanfaatkan. Bagi mereka, barangkali, menjadi mahasiswa berarti belajar di ruang kelas. Mengerjakan tugas dari dosen. Kemudian berpikir agar ketika lulus langsung menjadi pekerja profesional. 

Padahal saat pertama masuk kuliah, aku pernah mendengar kalimat nasihat dari seorang dosen, "Kalian sudah menjadi maha dari siswa. Maka, jangan bersikap sebagaimana siswa, jangan hanya belajar di ruang kelas, tetapi juga mampu mempelajari berbagai hal di luar sana. Kalian, mahasiswa, menjadi tulang punggung masyarakat. Manfaatkan status mahasiswa, sebelum menyesal di kemudian hari."

Di akhir diskusiku dengan Yahya, ia mencetuskan sebuah ide. Sekitar dua minggu atau sebulan ke depan akan tereksekusi dengan matang. Yakni, sebuah gagasan berupa pengabaran dan penyadaran bahwa mahasiswa jangan sampai mengalami degradasi eksistensi. Ia gelisah. Aku pun merasakan hal serupa. Maka, sebelum penyakit eksistensi tanpa nilai itu menjalar-liar, pengabaran dan penyadaran harus segera diberikan.

Sambil beranjak meninggalkan alun-alun, Yahya menggumam, "Sebelum masyarakat melabeli mahasiswa sebagai pelaku utama hedonisme dan gemar hura-hura seperti Raja Salman dan rombongannya itu, kita mesti ambil langkah konkret. Masyarakat harus kembali disegarkan ingatannya bahwa mahasiswa adalah tonggak utama peradaban dan perubahan. Mahasiswa juga menjadi tulang punggung masyarakat."

Bersamaan dengan seruputan terakhirku, diskusi usai. Esok atau lusa, kami kembali mengagendakan pertemuan. Di depan Masjid Al-Barkah, kami berpisah. Kembali ke kediaman masing-masing. Istirahat. Kembali mengumpulkan energi, agar hari esok menjadi lebih baik dari kemarin. Kunci seorang mahasiswa hanya dua; kalau lapar, makan; kalau ngantuk, tidur. Makan dan tidur bisa disesuaikan dengan melihat situasi dan kondisi; waktu, ruang, dan tempat.



Wallahu A'lam



Bekasi, 14 Maret 2017


Aru Elgete

Minggu, 05 Maret 2017

Doa di Sudut Cahaya dan Kegelapan




Di awal pagi dan awal malam
atau pada sudut-sudut cahaya dan kegelapan
aku sunyi
melangitkan doa 
berpasrah diri
semoga nanti kita sama-sama berdiri

Bukankah kau sendiri yang pernah bilang?
perjuangan tak pernah mengenal waktu dan ruang
kau juga sama inginkan kita satu, bukan?
tentu dengan langkah dan derap yang menerabas ruang kekhawatiran

"Jangan ragu," begitu katamu
"Sebab kalau ragu," lanjutmu "hilang sudah alasan untuk bersatu."

Lalu, kekasih, tunggu aku di sana
di tempatmu kini berada
sampai kita bersama dalam perjuangan yang, katamu, tidak meruang-waktu.



Bekasi Utara, 5 Maret 2017


Aru Elgete

Jumat, 03 Maret 2017

Diskusi Tanpa Kesimpulan


Diskusi di beranda minimarket, Jatirahayu, Pondokgede, Bekasi. Foto: Mamet El-Gadiri

Usai menghadiri kegiatan Silaturrahim Alumni yang diadakan oleh Ikatan Keluarga Alumni Buntet (Iklab) Pesantren Cirebon, Minggu (26/2/2017), saya dan teman-teman menyempatkan diri untuk berdiskusi sebentar. Isu sosial-keagamaan masih menjadi pembahasan yang menarik. Soal bagaimana kami harus menempatkan diri di tengah kehidupan masyarakat, tak larut dari perbincangan. Dari diskusi yang kurang-lebih berdurasi satu setengah jam, menjadi langkah awal untuk bersikap di hari kemudian.

Saya, Muhammad Ammar (Ammar Elt-Batawie), Abdussami' Makarim (Sami Sam), dan Ahmad Mustofa Al-Qodiri (Mamet El-Gadiri) menjadi bagian dalam satu komunitas; yakni yang diberi sebutan #GerakanAyoZiarah. Dalam diskusi sore itu, kami membahas berbagai hal yang mungkin sensitif. Yakni, terkait pengabaian terhadap segala macam teori yang pernah dipelajari. Bahwa teori yang dipelajari, terkadang sangat bertolak-belakang dengan beragam peristiwa yang terjadi di lapangan.

Teori soal sabar, qona'ah, tawadlu', dan tawakkal merupakan hal yang seksi dalam perbincangan kala itu. Keempat hal itu harus segera ditinggalkan demi mencapai posisi dan tempat yang baik. Sabar tidak identik dengan sebuah kepasrahan diri. Begitu pula dengan qona'ah. Penerimaan kita terhadap sesuatu tidak diartikan sebagai bentuk kebersudahan dalam mencapai derajat dan martabat yang lebih tinggi. 

Bersikap tawadlu' pun mesti paham konteksnya. Sebagai pemuda, menurut saya, yang terpenting adalah sombong. Hal itu dimaksudkan agar potensi dan bakat tidak terpendam. Jangan dulu merendahkan hati saat ada ketidaksesuaian di hadapan mata. Kita harus tunjukkan bahwa kemampuan yang ada di dalam diri, bisa memberikan kematangan saat bertindak dan berpikir. Demikian juga halnya dengan Tawakkal. Sikap itu memang berarti memasrahkan segala sesuatu pada kehendak Ilahi. Tapi, bagaimana caranya? 

Kami mencoba untuk menelaah keempat hal itu. Pertama, sabar. Perbuatan tersebut, menurut Mamet, bukan berarti pasrah pada keadaan, sehingga membuat kita mundur. Dalam setiap proses pencapaian, sabar harus selalu menyertai. Misal, seseorang berhak marah. Namun, bukan berarti dengan tidak marah, seseorang telah dikategorikan sabar. Maka, bersikap sabarlah dalam amarah itu. Iringi amarah dengan sabar; agar tidak sampai pada hal-hal yang menjurus pada keburukan.

Kedua qona'ah. Ammar menuturkan, jangan melulu diartikan sebagai laku yang nerimo apa adanya. Hal tersebutlah yang membuat agama seperti candu. Seseorang menjadi selalu bersyukur. Sementara kebersyukuran itu seolah mematikan gerak untuk kembali berproses. Dikatakan candu dan bersyukur seolah mematikan gerak, karena sifat manusia yang cenderung cepat puas. Maka, Ketua Pengurus Cabang Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (PC IPNU) Jakarta Pusat itu menambahkan, jangan terlalu sering bersyukur. Teruslah berproses. Bergerak.

Selanjutnya, Tawadlu'. Saya selalu menekankan kepada teman-teman muda untuk bersikap sombong. Namun, sombonglah dengan elegan; dengan posisi yang tepat agar menggapai martabat yang tinggi. Sombong juga disebut takabbur. Membesar-besarkan, menunjukkan kehebatan dan kemampuan diri. Namun, sombong yang saya maksud adalah dengan menyesuaikan dengan potensi diri. Merasa besar dari yang lain, tidak masalah, asal tidak melampaui kapasitas diri.

Karenanya, bagi seorang pemuda, bersikap tawadlu' jangan berlebih. Sebab ketika dilakukan dengan intensitas yang berlebihan, keberadaan diri menjadi samar; bahkan tidak terlihat. Anak muda, kalau terlalu sering tawadlu' akan tergeser pergerakannya karena dianggap belum mumpuni. Selalu dianggap kecil; dianggap tidak memiliki kemampuan untuk hal-hal yang besar. Dengan bersikap sombong, kita akan menemukan cahaya keberhasilan.

Terakhir, tawakkal. Kata Sami, manusia harus terus melakukan upaya untuk menggapai hal yang sedang dituju. Proses bergerak harus terus dilakukan. Capaian atas segala sesuatu yang diinginkan, membutuhkan sikap tawakkal sebagai pengiringnya. Tawakkal berarti menyerahkan buah hasil dari setiap proses. Namun, mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta itu tidak berpikir demikian. Dia menempatkan tawakkal sejajar dengan proses.

Karena jika tidak begitu, seseorang akan terus merasa bahwa dirinya sudah berproses dan kemudian tawakkal. Muncullah ungkapan bahwa agama seperti candu. Sehingga orang akan dengan seenaknya menaruh tawakkal dan tidak melanjutkan proses menuju pencapaian yang sesungguhnya. Mulai sekarang, menurut Sami, berproseslah sembari ber-tawakkal. Jangan tempatkan proses di awal dan  tawakkal di akhir. Keduanya beriringan, jangan terpisah dan dipisah.

Dari diskusi renyah itu, kami tidak mendapatkan kesimpulan apa-apa. Hal itu memang disepakati demikian. Tujuannya agar obrolan dan pembahasan terkait posisi kami di masyarakat, selalu dilakukan secara terus-menerus. Tanpa akhir. Tak berkesudahan. Sebab diskusi tanpa kesimpulan berarti memperpanjang pendewasaan berpikir. Tidak statis, jumud, dan kaku; dalam melakukan olah pikir dan laku.



Wallahu A'lam


Aru Elgete


RSUD Kota Bekasi, 3 Maret 2017