Selasa, 14 Maret 2017

Mahasiswa dan Degradasi Eksistensi


Ilustrasi. Sumber: nusantaranews.co

Senin (13/3/2017), udara di Bekasi sangat panas. Dahaga dan cucur keringat, mengiringi derap langkah anak manusia. Semesta memang sedang menampakkan keceriaannya. Pemandangan senja dan rembulan yang menawan cukup mengabarkan bahwa ia sedang gembira.

Usai latihan di Laboratorium Teater Korek Universitas Islam 45 Bekasi, seorang teman mengajak diskusi. Ahmad Nasrudin Yahya, namanya. Alun-alun Bekasi menjadi titik tengah dari keberadaan kami. Sekitar pukul 21.30, kami bertemu. Mendiskusi perihal mahasiswa yang seperti mengalami penurunan eksistensi.

Aku membuka obrolan. Bagiku, marwah mahasiswa perlu dihidupkan kembali. Kini, sudah jarang terlihat mahasiswa yang dikenal sebagai pendobrak peradaban. Kalau pun ada, tentu sangat sedikit sekali. Mereka, lanjutku, hanya senang menyibukkan dirinya di media sosial sembari abai terhadap Tri Dharma Perguruan Tinggi.

Sambil menikmati tiga bungkus nasi kucing dan es teh manis, aku mengimbuh keluh. Apa penyebab mahasiswa yang seolah menjauh dari perannya? Membaca enggan. Meneliti sesuatu hal pun, mungkin tidak. Menulis? Apalagi. Pendidikan, Penelitian, dan Pengabdian; mereka acuh.

Yahya berseloroh, "Mereka lebih suka jalan-jalan, unggah foto, dan bikin video yang cenderung tanpa nilai. Itu sangat tidak mengedukasi masyarakat."

Aku sepakat. Di selasar Kota Bekasi itu, perbincangan kian hangat. Aku memesan es teh tarik, agar diskusi tidak ejakulasi dini. Bagiku, media sosial merupakan sebuah masalah yang mesti diurai. Ia memberikan banyak kemudahan untuk mencapai eksistensi. "Mahasiswa memang harus eksis. Tapi eksis yang seperti apa?" celetuk Yahya, sesaat setelah menyeruput es teh tarik yang baru kupesan.

Mahasiswa zaman dulu, menurutku, mampu mengeksistensikan dirinya dengan buku-buku tebal yang kemudian dijadikan sebagai karya tulis, dengan kritik membangun, dengan pemikiran cemerlang yang mampu membuat perubahan di masyarakat; baik masyarakat kampus maupun masyarakat di sekitar rumahnya. Namun, kini berbanding terbalik. Hal itu semacam barang usang yang harus secepatnya ditinggalkan.

Mahasiswa saat ini, imbuh Yahya, sangat minim karya. Mereka hanya eksis tanpa meninggalkan pesan. Tak memberi kesan apa-apa kecuali hedonisme; senang-senang dan hura-hura. Memenuhi restoran dan rumah makan cepat saji sepulang kuliah. Sementara diskusi, perpustakaan, taman baca, dan tempat-tempat yang seharusnya menjadi langkah gerak perjuangan mahasiswa ramai-ramai ditinggalkan.

Pengabdian kepada masyarakat hanya dilakukan sebulan, saat Kuliah Kerja Nyata (KKN). Mereka rela berbaur dengan masyarakat yang kurang mampu; demi capaian nilai akademik dan lulus tepat waktu. Padahal, menurutku, menjadi abdi masyarakat tidak tersekat oleh ruang dan waktu. Di lokasi KKN, yang dilakukan tak lebih dari sekadar unggah foto dan membuat video. Sekali lagi, demi kepentingan eksistensi tanpa pesan dan kesan.

Lucu. Mahasiswa jadi kaku. Terkungkung oleh gerak yang dibuat sendiri. Berwisata di akhir pekan seolah kewajiban. Setelahnya, media sosial penuh dengan gambar dirinya yang sedang berpose di tempat wisata. Status mahasiswa kurang dimanfaatkan. Bagi mereka, barangkali, menjadi mahasiswa berarti belajar di ruang kelas. Mengerjakan tugas dari dosen. Kemudian berpikir agar ketika lulus langsung menjadi pekerja profesional. 

Padahal saat pertama masuk kuliah, aku pernah mendengar kalimat nasihat dari seorang dosen, "Kalian sudah menjadi maha dari siswa. Maka, jangan bersikap sebagaimana siswa, jangan hanya belajar di ruang kelas, tetapi juga mampu mempelajari berbagai hal di luar sana. Kalian, mahasiswa, menjadi tulang punggung masyarakat. Manfaatkan status mahasiswa, sebelum menyesal di kemudian hari."

Di akhir diskusiku dengan Yahya, ia mencetuskan sebuah ide. Sekitar dua minggu atau sebulan ke depan akan tereksekusi dengan matang. Yakni, sebuah gagasan berupa pengabaran dan penyadaran bahwa mahasiswa jangan sampai mengalami degradasi eksistensi. Ia gelisah. Aku pun merasakan hal serupa. Maka, sebelum penyakit eksistensi tanpa nilai itu menjalar-liar, pengabaran dan penyadaran harus segera diberikan.

Sambil beranjak meninggalkan alun-alun, Yahya menggumam, "Sebelum masyarakat melabeli mahasiswa sebagai pelaku utama hedonisme dan gemar hura-hura seperti Raja Salman dan rombongannya itu, kita mesti ambil langkah konkret. Masyarakat harus kembali disegarkan ingatannya bahwa mahasiswa adalah tonggak utama peradaban dan perubahan. Mahasiswa juga menjadi tulang punggung masyarakat."

Bersamaan dengan seruputan terakhirku, diskusi usai. Esok atau lusa, kami kembali mengagendakan pertemuan. Di depan Masjid Al-Barkah, kami berpisah. Kembali ke kediaman masing-masing. Istirahat. Kembali mengumpulkan energi, agar hari esok menjadi lebih baik dari kemarin. Kunci seorang mahasiswa hanya dua; kalau lapar, makan; kalau ngantuk, tidur. Makan dan tidur bisa disesuaikan dengan melihat situasi dan kondisi; waktu, ruang, dan tempat.



Wallahu A'lam



Bekasi, 14 Maret 2017


Aru Elgete
Previous Post
Next Post

0 komentar: