Jumat, 03 Maret 2017

Diskusi Tanpa Kesimpulan


Diskusi di beranda minimarket, Jatirahayu, Pondokgede, Bekasi. Foto: Mamet El-Gadiri

Usai menghadiri kegiatan Silaturrahim Alumni yang diadakan oleh Ikatan Keluarga Alumni Buntet (Iklab) Pesantren Cirebon, Minggu (26/2/2017), saya dan teman-teman menyempatkan diri untuk berdiskusi sebentar. Isu sosial-keagamaan masih menjadi pembahasan yang menarik. Soal bagaimana kami harus menempatkan diri di tengah kehidupan masyarakat, tak larut dari perbincangan. Dari diskusi yang kurang-lebih berdurasi satu setengah jam, menjadi langkah awal untuk bersikap di hari kemudian.

Saya, Muhammad Ammar (Ammar Elt-Batawie), Abdussami' Makarim (Sami Sam), dan Ahmad Mustofa Al-Qodiri (Mamet El-Gadiri) menjadi bagian dalam satu komunitas; yakni yang diberi sebutan #GerakanAyoZiarah. Dalam diskusi sore itu, kami membahas berbagai hal yang mungkin sensitif. Yakni, terkait pengabaian terhadap segala macam teori yang pernah dipelajari. Bahwa teori yang dipelajari, terkadang sangat bertolak-belakang dengan beragam peristiwa yang terjadi di lapangan.

Teori soal sabar, qona'ah, tawadlu', dan tawakkal merupakan hal yang seksi dalam perbincangan kala itu. Keempat hal itu harus segera ditinggalkan demi mencapai posisi dan tempat yang baik. Sabar tidak identik dengan sebuah kepasrahan diri. Begitu pula dengan qona'ah. Penerimaan kita terhadap sesuatu tidak diartikan sebagai bentuk kebersudahan dalam mencapai derajat dan martabat yang lebih tinggi. 

Bersikap tawadlu' pun mesti paham konteksnya. Sebagai pemuda, menurut saya, yang terpenting adalah sombong. Hal itu dimaksudkan agar potensi dan bakat tidak terpendam. Jangan dulu merendahkan hati saat ada ketidaksesuaian di hadapan mata. Kita harus tunjukkan bahwa kemampuan yang ada di dalam diri, bisa memberikan kematangan saat bertindak dan berpikir. Demikian juga halnya dengan Tawakkal. Sikap itu memang berarti memasrahkan segala sesuatu pada kehendak Ilahi. Tapi, bagaimana caranya? 

Kami mencoba untuk menelaah keempat hal itu. Pertama, sabar. Perbuatan tersebut, menurut Mamet, bukan berarti pasrah pada keadaan, sehingga membuat kita mundur. Dalam setiap proses pencapaian, sabar harus selalu menyertai. Misal, seseorang berhak marah. Namun, bukan berarti dengan tidak marah, seseorang telah dikategorikan sabar. Maka, bersikap sabarlah dalam amarah itu. Iringi amarah dengan sabar; agar tidak sampai pada hal-hal yang menjurus pada keburukan.

Kedua qona'ah. Ammar menuturkan, jangan melulu diartikan sebagai laku yang nerimo apa adanya. Hal tersebutlah yang membuat agama seperti candu. Seseorang menjadi selalu bersyukur. Sementara kebersyukuran itu seolah mematikan gerak untuk kembali berproses. Dikatakan candu dan bersyukur seolah mematikan gerak, karena sifat manusia yang cenderung cepat puas. Maka, Ketua Pengurus Cabang Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (PC IPNU) Jakarta Pusat itu menambahkan, jangan terlalu sering bersyukur. Teruslah berproses. Bergerak.

Selanjutnya, Tawadlu'. Saya selalu menekankan kepada teman-teman muda untuk bersikap sombong. Namun, sombonglah dengan elegan; dengan posisi yang tepat agar menggapai martabat yang tinggi. Sombong juga disebut takabbur. Membesar-besarkan, menunjukkan kehebatan dan kemampuan diri. Namun, sombong yang saya maksud adalah dengan menyesuaikan dengan potensi diri. Merasa besar dari yang lain, tidak masalah, asal tidak melampaui kapasitas diri.

Karenanya, bagi seorang pemuda, bersikap tawadlu' jangan berlebih. Sebab ketika dilakukan dengan intensitas yang berlebihan, keberadaan diri menjadi samar; bahkan tidak terlihat. Anak muda, kalau terlalu sering tawadlu' akan tergeser pergerakannya karena dianggap belum mumpuni. Selalu dianggap kecil; dianggap tidak memiliki kemampuan untuk hal-hal yang besar. Dengan bersikap sombong, kita akan menemukan cahaya keberhasilan.

Terakhir, tawakkal. Kata Sami, manusia harus terus melakukan upaya untuk menggapai hal yang sedang dituju. Proses bergerak harus terus dilakukan. Capaian atas segala sesuatu yang diinginkan, membutuhkan sikap tawakkal sebagai pengiringnya. Tawakkal berarti menyerahkan buah hasil dari setiap proses. Namun, mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta itu tidak berpikir demikian. Dia menempatkan tawakkal sejajar dengan proses.

Karena jika tidak begitu, seseorang akan terus merasa bahwa dirinya sudah berproses dan kemudian tawakkal. Muncullah ungkapan bahwa agama seperti candu. Sehingga orang akan dengan seenaknya menaruh tawakkal dan tidak melanjutkan proses menuju pencapaian yang sesungguhnya. Mulai sekarang, menurut Sami, berproseslah sembari ber-tawakkal. Jangan tempatkan proses di awal dan  tawakkal di akhir. Keduanya beriringan, jangan terpisah dan dipisah.

Dari diskusi renyah itu, kami tidak mendapatkan kesimpulan apa-apa. Hal itu memang disepakati demikian. Tujuannya agar obrolan dan pembahasan terkait posisi kami di masyarakat, selalu dilakukan secara terus-menerus. Tanpa akhir. Tak berkesudahan. Sebab diskusi tanpa kesimpulan berarti memperpanjang pendewasaan berpikir. Tidak statis, jumud, dan kaku; dalam melakukan olah pikir dan laku.



Wallahu A'lam


Aru Elgete


RSUD Kota Bekasi, 3 Maret 2017
Previous Post
Next Post

0 komentar: