Rabu, 31 Mei 2017

Argumentum Ad Hominem


Ilustrasi. Sumber: seword.com

Sesat pikir (logical fallacy) masih menjadi pekerjaan rumah bagi sebagian besar manusia Indonesia. Hal itu mesti segera terselesaikan, agar kita bisa menjadi bangsa yang lebih bermartabat. Menyatakan sesuatu atau mengeluarkan pendapat, tidak boleh sembarang. Karena dengan itu, sesungguhnya orang lain dapat memahami kualitas diri kita. Terlebih, soal kemampuan daya berpikir dan tata logika yang kita miliki.



Jangan sampai, kita menjadi bahan olok-olok karena bicara yang tak sesuai dengan konteks persoalan. Di lingkungan sekitar, anda akan sering menemukan orang-orang yang memiliki daya nalar sangat rendah. Sehingga, terkadang tidak nyambung saat diajak debat atau diskusi. Sebenarnya hal itu bukan hanya disebabkan oleh tingkat pendidikan formal yang rendah, tetapi juga mungkin karena racun indoktrinasi sudah tertanam kuat di dalam otak. 




Kita sering sekali melihat fenomena bahwa hampir sebagian besar masyarakat Ibu Pertiwi ini memiliki sifat kagetan. Kemudian responsif. Karena kaget dan langsung merespon, maka hasilnya pun sangat jauh dari nilai kebaikan dan estetika. Segala sesuatu yang instan, dadakan, dan tiba-tiba sangat berpotensi menimbulkan penyakit. Nah, instan dalam bersikap dan berpikir, akan menjadikan akal tak sehat. Kalau akal atau tata logika sudah sakit, seluruh laku dan gerak akan rusak. Sila buktikan sendiri.




Amat, pemuda kampung yang gandrung terhadap agama dan penikmat religiusitas di internet, menemukan hal yang menurutnya aneh saat sedang berselancar di media sosial. Sebagai penganut Islam tanpa embel-embel, dia cukup kaget saat melihat pernyataan Ketua Tanfidziah PBNU Said Aqil Siroj beberapa waktu lalu. Amat sama sekali belum pernah bertatap muka langsung dengan Pengasuh Pondok Pesantren Ats-Tsaqofah, Jakarta, itu. Dalam pandangannya, Amat mesti takzim kepada Kiai Said, karena walau bagaimana pun, beliau adalah seorang ulama.


"Melihat film porno lebih baik daripada menonton video ceramah dari teroris. Karena kalau nonton porno, pasti sambil beristighfar," kata kiai asal Cirebon itu, yang sempat viral dengan meme yang bertuliskan, 'kata Said Aqil saat berkelakar dalam pidatonya di Kantor NU, Jakarta Pusat, 22 Mei 2017. (TEMPO)'.

Sebagai seorang yang memiliki cita-cita menjadi tokoh masyarakat, Amat berusaha memaknai pernyataan itu. Dia juga melihat kegaduhan warga sekitar terkait perkataan kontroversial itu. Kebetulan, orang-orang yang tinggal satu komplek dengan Amat merupakan orang NU secara amaliyah, bukan secara organisasi.

Maka, karena merasa sudah menjalankan amaliyah Ahlussunnah wa al-Jama'ah an-Nahdliyah, sekalipun tidak masuk ke dalam organisasi NU, mereka sudah merasa memiliki NU. Dan, menganggap bahwa Kiai Said sudah menyimpang. Tidak lagi pantas menjabat sebagai Ketua Umum PBNU.

Amat sempat mendengar sebuah umpatan yang sangat menyentak dada, dari seorang warga Nadhliyin untuk Kiai Said, "Saya mah gak heran. Dia itu Ulama Su', liberal, sesat, JIL. Makanya wajar dia ngomong begitu. Semoga dia kena azab, nanti. Macem-macem sama NU dia, kualat sama Mbah Hasyim Asy'ari. Coba aja nanti lihat."

Karena merasa tidak punya kapasitas untuk mengomentari atau menanggapi pernyataan tokoh sekaliber Kiai Said, Amat berkunjung ke salah seorang ustadz atau tokoh agama di lingkungannya. Dia meminta pencerahan terkait asumsi bahwa menonton film porno ternyata lebih baik daripada melihat video ceramah dari teroris. Di sana, seorang ustadz dianggap sebagai bijak bestari. Memberi teladan dan panutan kepada segenap masyarakat. Sementara itu, Amat nampak manggut-manggut dan lirih terdengar kata 'iya', sebagai tanda kalau pesan komunikasi dari ustadz cukup efektif.

"Sebenarnya, kejadian begini tuh udah sering banget. Jauh sebelum Kiai Said, ada Gus Dur yang gak kalah kontroversinya. Ada juga Kiai Sahal Mahfudz yang pernah juga mengeluarkan pendapat yang oleh sebagian orang dinilai nyeleneh. Padahal, kamu harus tahu nih, seorang ulama itu tidak akan mengeluarkan pendapat secara serampangan. Dia sudah melalui tahap pematangan hati dan pendewasaan akal. Nah, kita-kita orang nih yang sebenernya belum maqomnya. Makanya, kalo komentar jangan asal. Bahaya."

"Iya, tadz. Makanya saya ke sini. Mau minta pencerahan. Trus saya harus gimana ya dalam menghadapi situasi seperti ini? Dikit-dikit gaduh. Rakyat kok lama-lama kayak balon. Isinya kosong, gampang meninggi, digesek sedikit, meledak. Heran saya, tadz."

"Nah, itu tugas kamu sebagai mahasiswa. Jangan diem saja melihat kegaduhan itu. Kamu harus banyak belajar. Banyak baca buku. Buku apa aja, dibaca. Kalau bisa sih, jangan anti sama filsafat. Biar gak sesat pikir. Main medsos gak apa-apa, asal ada efek yang baik."

"Siap, tadz. Ngomong-ngomong, Gus Dur dan Kiai Sahal, dulu itu pernah ngomong gimana? Maksud saya, pernyataan beliau-beliau itu yang bikin orang-orang gaduh."

"Secara garis besar sih, Gus Dur pernah menyatakan kalau al-Quran adalah kitab suci paling porno sedunia. Semua orang marah seketika. Bahkan, ada yang mengatakan bahwa Gus Dur itu buta mata buta hati. Kalau Kiai Sahal itu pernah bilang, prostitusi tidak mengapa didirikan. Asalkan terpusat. Supaya kemaksiatan tidak bercecer ke mana-mana. Karena menurut beliau, lebih baik meminimalisir kemudharatan daripada berbuat kebaikan yang justru akan melahirkan kemudharatan yang lebih besar."

"Memang sih, maqom kita belum sampe. Perlu dikaji terus-terusan supaya gak salah paham atau paham yang salah," kelakar Amat sembari pamit untuk pulang. Dia mau mencari sesuatu di internet. Syukur, Amat masih punya kemauan untuk terus belajar. Sekalipun dia tidak mondok, tapi dia sangat suka mencari referensi atau ilmu keagamaan.

Tiba di rumah, Amat membuka layar smartphone-nya. Kemudian dia googling dengan kata kunci 'sesat pikir'. Tidak lama, muncul banyak sekali artikel yang membahas soal sesat pikir. Secara acak, Amat meng-klik salah satu tautan yang ada. Dia membaca dengan sangat hati-hati dan saksama. Amat ingin belajar lebih dalam lagi agar mampu bersikap bijak dan dewasa dalam menghadapi pernyataan kontroversi serta kegaduhan yang menyertainya.

Amat baru tahu, ternyata ada 5 kategori sesat pikir yang seringkali digunakan orang Indonesia dalam mengomentari pernyataan orang lain. Pertama, Appeal to belief. Yaitu, sesat pikir mengenai argumentasi yang digunakan untuk mendukung atau menolak sesuatu didasarkan pada kepercayaan personalnya; pernyataannya subjektif.

Kedua, Argument from Adverse Consequences. Yakni, ketika seseorang merasa bahwa dirinya harus benar dalam perdebatan. Karena kalau dia tidak benar, maka hal-hal (yang ia percaya) tidak baik akan menjadi konsekwensinya. Karena itu, lawan debat harus berada di posisi salah menurut standar yang dia pakai.

Ketiga, Bandwagon fallacy. Yaitu, saat seseorang mendasarkan argumen pada arus mayoritas pendapat yang ada. Hal ini, seringkali terjadi, karena terkadang suatu fenomena telah mendapatkan label kebenaran secara luas, meskipun kebenarannya belum terverifikasi. Dalam hal ini, media juga berperan penting dalam membentuk opini publik sehingga masyarakat menjadi sesat pikir ketika menganalisa peristiwa.

Keempat, Genetic Fallacy. Yakni, saat argumetasi didasarkan pada asal-usul dari hal yang diperdebatkan. Titik kesalahan dari cara berfikir ini adalah, mengambil generalisasi dari satu hal dan menggunakannya untuk menganalisa hal lain yang tidak memiliki korelasi.

Kelima, Ad Hominem. Yakni, lebih kepada menyerang individu daripada argumentasi yang harusnya diperdebatkan. Karena di Indonesia, budaya men-judge dan memberi stigma kepada lawan debat masih sangat sering terjadi. Dan, seringkali poin dari sebuah perdebatan tidak berakar pada argumentasi yang empiris, melainkan serangan terhadap individu.

Setelah tahu kelima jenis sesat pikir. Amat tertarik mempelajari poin terakhir. Karena selama ini, orang-orang masih sangat senang untuk menyerang pribadi seseorang daripada melawan dengan argumentasi yang lebih masuk akal. Kemudian Amat kembali menelusuri mesin pencari. Dia mencari dengan kata kunci Ad Hominem. Alhasil, dia menemukan tiga kategori dari salah satu jenis sesat pikir itu.

Pertama, Abusive ad Hominem. Sebuah bentuk argumentasi yang dikemukakan bukan untuk menyerang pernyataan lawan debat, tapi argumentasi itu justru ditujukan pada pribadi lawan debat yang mengemukakan pernyataan. 

Kedua, Circumstantial ad Hominem. Argumentasi yang dikemukakan bukan untuk menyerang pernyataan lawan debat, tapi argumentasi itu justru ditujukan kepada hubungan antara pribadi lawan debat yang mengemukakan pernyataan dengan situasinya.

Ketiga, Tu Quoque ad Hominem. Sebuah argumentasi untuk menyerang lawan debat yang ditujukan kepada persoalan bahwa, orang tersebut tidak menjalankan apa-apa yang telah disampaikan.

Usai belajar dari Mbah Google, Amat mulai pusing. Namun, dia yakin, bahwa sudah ada ilmu yang mengisi ruang kosong di otaknya. Menurut Amat, Argumentum Ad Hominem jenis ketiga masih sering kita jumpai di tengah-tengah masyarakat. 

Keesokan harinya, di kampus, Amat menerangkan secara gamblang kepada teman-temannya mengenai kesesatan dalam berpikir. Kemudian, masing-masing orang atau lawan bicaranya dia tanya, "Coba yuk, kita introspeksi. Kira-kira jenis kesesatan berpikir yang mana yang sering kita lakukan?"


Sekian.


Wallahu A'lam.


Rabu, 5 Ramadhan 1438


Aru Elgete
Bilal di Musala Al-Manaar, Perwirasari, Bekasi Utara.

Senin, 29 Mei 2017

Seteru 2 Kubu


Ilustrasi. Sumber: merdeka.com

Negeri ini sempat heboh karena gelombang massa yang cukup besar dari Umat Islam. Isu penista agama membikin tujuh juta manusia bergerombol di pusat kota. Orang-orang di akar rumput merasa tersakiti hatinya oleh ucapan 'si mulut rusak' itu. Tapi, entah para elite. Barangkali, ada permainan. Sepertinya, pasti. Politik selalu begitu. Tak ada kawan dan lawan abadi, yang ada hanyalah kepentingan sejati.

Pasca 2 Desember 2016 atau aksi 212, kemudian peserta aksi dilabeli sebagai alumni dan telah diadakan reuni berkali-kali. Agenda reuni tidak berbeda dari 212, yakni aksi. Menuntut Ahok agar segera dipenjara. Hikmahnya, ukhuwah Islamiyah tercipta karena peristiwa tersebut. Kekuatan Islam dan harmoni internal agama bontot ini mulai terajut. Bahkan, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) pun dirangkul sekalipun makar dan khilafah tetap menjadi agenda besar mereka.

"Secara keimanan, HTI itu saudara kita. Tapi, jangan mimpi mereka mau menerima NKRI dan Pancasila sebagai asas tunggal. Secara agama, mereka taat. Secara konstitusi mereka kafir. Sementara konstitusi negara ini juga berasal dari sumber primer masing-masing agama. Terlebih, Al-Quran," kata Amat dalam status facebooknya.

Terlepas dari Ukhuwah Islamiyah yang tercipta berkat aksi 212 itu. Rupanya Amat mencium ada seteru tersembunyi di musala tempat dia beribadah. Awalnya Amat cuek. Tak peduli. Dia tidak ingin terjebak pada perseteruan yang memecah-belah. Amat tidak berada di kubu mana pun. Dia tetap berpegang teguh pada prinsip. Yaitu, sebagai Muslim tanpa embel-embel. Islam, titik!

Di musala itu, terdapat dua kubu. Dia baru ngeh setelah 3 malam berturut-turut salat tarawih di sana. Kubu pertama adalah kelompok yang menjalankan amaliyah Islam Ahlussunnah wa al-Jama'ah ala Nahdliyyah. Sementara kubu yang lain adalah kelompok yang mendaku diri sebagai pecinta sunnah dan penegak tauhid; Allah dan Rasul, kembali ke al-Quran dan Hadits adalah harga mati.

Kubu pertama, salat tarawih 20 rakaat. Sedangkan yang kedua, tarawih 8 rakaat. Mulanya, Amat tidak pernah sedikit pun mempersoalkan jumlah rakaat tarawih. Sebab, dia sudah tahu. Meski hanya tahu dari hasil ngaji kuping dengan ustadz di dekat rumahnya. Masing-masing kubu punya dasar argumentasi yang kuat untuk menjalankan segala sesuatu yang diyakini benar. Soal tarawih, Amat sangat paham sejarahnya.

Amat tidak turut campur dalam seteru dua kubu itu. Dia tidak memihak. Berada di tengah. Sebab baginya Islam itu tidak pernah berpihak pada perpecahan. Islam itu menyatukan. Sebagai pemersatu. Islam itu Islam. Titik.

Usai tarawih malam keempat, Amat ikut melingkar bersama pengurus DKM dan takmir musala setempat. Makanan ringan dan teh manis hangat menjadi bunga dari percakapan para tetua itu. Kapasitas Amat masih sebagai pendengar. Dengan saksama dan sangat serius, dia mencoba menelaah persoalan yang sedang dibicarakan. Walau sedang memperhatikan dengan sungguh-sungguh, Amat tetap harus terlihat santai. Mulutnya terlihat mengunyah gorengan; tahu isi ala ibu-ibu PKK.

"Kita harus rapatkan barisan. Dalam artian, harus tetap solid untuk melawan salafi-wahabi yang bercelana cingkrang, berjenggot, dan berjidat hitam itu. Jangan sampai musala ini dikuasai mereka. Hati-hati. Salat tarawih harus 20 rakaat dan witir 3 rakaat. Jangan sampe diubah jadi 8 rakaat. Sekali lagi, kita harus hati-hati," kata Ketua DKM musala setempat.

Amat masih menyimak. Semakin serius.

"Betul, Pak. Sebenernya mah kita gak pernah rese. Tapi, mereka-mereka itu yang rusuh. Ngaji baru kemaren aja udah belagu. Udah berani nge-judge orang lain kafir, sesat, bid'ah, neraka. Kan, lucu. Cuma menang jenggot sama celana cingkrang aja, berasa paling Islam banget mereka itu. Heran," sahut salah seorang ustadz yang sebelumnya tidak pernah bertatap muka dengan Amat.

Teh manis hangat sudah tak lagi hangat. Justru, hati Amat yang terbakar. Panas. Dia bertanya-tanya, apakah Islam harus terpecah belah sejak dalam pikiran? Karena penasaran, dia harus melakukan tabayyun ke pihak yang disebut-sebut sebagai kaum yang merasa paling islami. Dia pamit pulang. Karena obrolan sudah tidak sehat. 

Bagi Amat, yang mencoreng kemuliaan Ramadhan bukanlah orang-orang yang makan dan minum di siang bolong, tetapi mereka yang memantik api permusuhan sesama Muslim. Sepanjang perjalanan pulang, dia terus mengolah pikir. Melakukan analisa dan prediksi. Salah satunya adalah mengenai ukhuwah Islamiyah yang digaungkan pada 12 Desember 2016 lalu. Amat gelisah. Bertanya-tanya, "Jangan-jangan, aksi 212 itu benar-benar ditunggangi oleh kepentingan politik?"

Baru saja tiba di depan gerbang rumahnya, Amat dipanggil seseorang. Tetangga. Dikenal dengan sebutan Abdurrahman. Dipanggil Habib. Karena memiliki wajah kearab-araban, tapi orangtuanya bukan asli Arab. Dia pria Jawa. Berperawakan tinggi, gemuk, dan berbadan gelap. Dia punya jenggot yang tidak begitu lebat. Sehari-hari memakai baju koko yang panjangnya hingga betis. Celana cingkrang. 

"Pulang, Mat? Ane mau ngobrol, nih. Masih sore, nih."

"Boleh, Bib. Dimari aja deh."

Mereka berdua membincang soal keumatan di halaman rumah Amat. Malam itu terasa hangat karena obrolan yang ringan dan bersahabat. Bahwa, menurut Habib, umat saat ini sudah banyak yang menyeleweng dari al-Quran dan Hadits. Banyak melakukan bid'ah. Salah satunya soal salat tarawih 20 rakaat.

Amat pusing. 

Dia izin masuk rumah. Selain karena waktu sudah tengah malam, Amat juga sudah tidak sanggup mendengarnya. Mendengar kalimat-kalimat permusuhan sesama saudara seiman. Benar dugaan dia selama ini, perseteruan dua kubu itu akan selalu ada. Sementara ukhuwah Islamiyah hanya sebatas retorika elite politik demi memuluskan tujuan dan kepentingannya.

Amat justru berpikir bahwa seteru itu menjadi bumbu penghangat. Sebagai perekat bukan peretak. Sebagai penyadaran diri kalau Allah memang sangat kuasa; menciptakan manusia beragam; termasuk beragam pemikirannya. Dia sudah tidak percaya dengan omongan-omongan busuk para politisi. Intinya, ukhuwah Islamiyah tidak terletak pada kerja kata-kata alias retorik. Melainkan akan tercipta saat perbincangan mengenai perbedaan terus dilestarikan.

Singkatnya, Amat menyimpulkan, seteru tak apa asal bangsa dan negara tetap kokoh. Perdebatan biar menjadi anugerah, asal sering-sering duduk bareng. Membahas perbedaan dengan cinta dan kasih sayang.

Dengan niat tulus, Amat berencana akan mengumpulkan dua kubu itu. Duduk bareng dan mencipta perdamaian. Minimal, damai untuk lingkungannya terlebih dulu.


Sekian.


Wallahu A'lam


Senin, 3 Ramadhan 1438


Aru Elgete
Bilal di Musala al-Manaar, Perwirasari, Bekasi Utara.

Minggu, 28 Mei 2017

Saleh Tahunan


Ilustrasi. Sumber: sains.kompas.com

Ada yang unik saban Ramadhan. Dalil dan argumentasi keagamaan diulang-ulang setiap tahun. Seolah-olah umat pelupa. Disuguhi berbagai petuah yang itu-itu saja. Lucunya, sebagian besar umat di musala dan masjid, baik di perkampungan maupun di perkotaan, manggut-manggut seakan mengerti. Sementara sebagian yang lain, selalu menebak tema ceramah para ustadz di atas mimbar. Dan, tebakannya selalu tepat.

Di hari kedua puasa, Amat mulai memperlihatkan kepongahannya. Melalui akun Facebook milik pribadi, dia menyinyir para ustadz yang setiap tahun seperti kaset kusut. Mengulang-ulang omongan yang sama. Amat selalu menempati shaf pertama saat salat Isya di musala dekat rumahnya. Tepat di belakang imam. Atau setidaknya rada ke kanan, berhadap-hadapan dengan mimbar. Dia gandrung soal agama. Kegigihannya mencari ilmu agama luar biasa. Sayangnya, dia enggan mondok. 

"Dari tahun ke tahun, tema ceramah gak pernah ganti. Padahal kondisi masyarakat selalu berubah-ubah. Tapi, penceramah di mimbar-mimbar itu selalu membahas hal-hal yang sifatnya ngawang-ngawang. Seperti puasa mendatangkan pahala, mendapat surga, bla-bla-bla," tulis Amat dalam status Facebooknya, usai sahur tadi pagi.

Amat menyayangkan sikap para mubaligh yang seperti meninabobokan umat. Lebih-lebih, dia kecewa karena umat seperti dicekoki zat adiktif yang menenangkan sehingga tidak ada kritik yang bisa dilancarkan. Secara tidak langsung, orator keagamaan di atas mimbar itu selalu menganggap umat sebagai objek yang pasif. Bahkan, dianggap sebagai bagian pelengkap saja. Parahnya, dianggap sebagai alat komoditas supaya ceramah-ceramahnya didengar dan para penceramah itu mendapat keuntungan.

Begitu pikir Amat.

Lebih jauh, Amat pernah menyatakan bahwa Ramadhan sesungguhnya adalah ajang untuk mengubah diri menjadi seorang yang saleh. Tapi musiman. Disebutnya, saleh tahunan. Mungkin, menurutnya, karena suguhan adiksi yang menenangkan itu. Sehingga umat menjadi giat beribadah di bulan Ramadhan. Rumah ibadah jadi ramai. Kitab suci dibuka. Setiap hari selalu menyisihkan uang untuk bersedekah. Silaturrahim jalan terus. 

Mungkin semua itu karena pengaruh dari pemuka agama setempat. Masyarakat jadi mendadak saleh. Santunan anak yatim berjalan lancar. Hampir seluruh masyarakat Muslim Indonesia gandrung terhadap sesuatu yang sifatnya ritual-formalistik dan seremonial keagamaan. Lagi-lagi, kuat dugaan Amat bahwa ustadz, kiai, dan para tetua di kampung, berhasil mempengaruhi orang-orang awam. Tapi, ada hal yang sangat disayangkan Amat.

Dia pernah mengomentari status Kiai Mudzakkar Rembang yang membahas terkait pahala dan keistimewaan Ramadhan.

"Pak Kiai, alangkah lebih baiknya orang-orang seperti pak Kiai ini gak hanya berkoar mempedulikan masyarakat pada saat Ramadhan saja. Tapi, juga melakukan terus-menerus melakukan pendampingan agar orang-orang di akar rumput gak terjangkit virus Saleh Tahunan. Saya mohon kiai, komentar saya ini jangan dianggap hatespeech. Tapi tolong dipertimbangkan demi kemaslahatan umat."

Usai salat tarawih malam ketiga, Pak Kiai membuka layar smartphone-nya. Aplikasi Facebook dibuka. Penuh notifikasi. Ada yang mengirim tulisan ke dindingnya. Ada juga yang menyukai status yang baru diposting. Dan, yang tak luput dari perhatian Pak Kiai adalah komentar Amat. Spontan, Pak Kiai tersenyum. Dia bahagia melihat Amat yang sudah mulai peduli dan memperhatikan kehidupan masyarakat. Dia tidak membalas komentar Amat, tapi hanya menyukai. Pertanda bahwa Pak Kiai setuju dengan pernyataan dan masukan dari Amat.

"Saleh Tahunan," kata itu yang membuat Kiai Mudzakkar berpikir. Berulangkali. Bahkan bertanya-tanya, "Benarkah selama ini, masyarakat Muslim Indonesia terjangkit virus Saleh Tahunan?" Kiai Mudzakkar termenung. Merenung. Apa yang salah dengan para pemuka agama sehingga tercetuslah istilah saleh tahunan?

Tak lama, dia tersadar.

Usai ngaji pasaran, pengasuh salah satu pondok pesantren di Rembang itu mengumpulkan seluruh santrinya untuk membincang 'Saleh Tahunan'. Di aula utama, baik santri laki-laki maupun santri perempuan dengan sangat saksama memperhatikan tokoh yang menjadi panutan mereka yang sedang berbicara. Sebagian ada manggut-manggut. Tapi, ada juga yang bisik-bisik, seperti membicarakan sesuatu terkait yang sedang dibicarakan. Sebagian lagi, tertidur sambil duduk. Sebab, waktu sudah tengah malam.

Apa hasil? Sepertinya, nihil. 

Sebab, para santri masih disibukkan dengan berbagai kegiatan dan aktivitas yang membuat mereka enggan memperhatikan kehidupan masyarakat. Lagi pula, masyarakat di sekitar pondok pesantren pun seragam. Semuanya manut-manut saja apa kata Kiai. Masyarakat setempat pun tidak saleh tahunan karena hidup di lingkungan yang islami.

Sementara di lingkungan yang tidak berada dalam lingkaran keagamaan, penyakit saleh tahunan masih terjadi saban tahun. Tapi, Amat optimistis bahwa 11 bulan pasca-Ramadhan tahun ini, orang-orang di sekitarnya akan melanggengkan kesalehan, baik saleh secara ritual atau pun saleh sosial. Kalau saleh tahunan masih saja berlangsung, maka ada hal yang mesti dikritisi dari cara penyampaian dan penjagaan yang dilakukan para pemuka agama terhadap umat. 

Demikian, Amat berpikir.


Wallahu A'lam...


Ahad, 2 Ramadhan 1438


Tabik, 


Aru Elgete
Bilal di Musala Al-Manaar, Perwirasari, Bekasi Utara.

Sabtu, 27 Mei 2017

Ibadah Kesungguhan


Ilustrasi. Sumber: spiritualcapital.id

"Durhaka kepada Tuhan yang mewariskan rasa sesal dan rasa membutuhkan Dia, jauh lebih baik daripada ketaatan yang menimbulkan kesombongan diri."

Demikian pernyataan Syaikh Ibnu Atha'illah atau Ahmad ibnu Muhammad Ibnu Atha’illah As-Sakandari. Seorang ulama kenamaan yang lahir di Kota Iskandariah, Mesir, pada tahun 1250 dan wafat di Kairo sekitar tahun 1309. Dia merupakan salah seorang tokoh tarekat Syadziliyah. Tarekat ini dipelopori oleh Abul Hasan Asy-Syadzili (1197 - 1258).

Syadziliyah di Indonesia adalah salah satu aliran tarekat yang diakui melalui Badan Otonom NU, yakni Jam’iyyah Ahli al-Thariqah al-Mu’tabarah al-Nahdliyah atau Jatman. KH Abdul Jalil Mustaqim dari Tulungagung adalah salah satu mursyid tarekat Syadziliyah.

***

Umat Islam seluruh dunia sedang merasa bahagia. Sebab kedatangan tamu agung yang sejak lama dinanti. Persiapan dimulai sudah dari jauh-jauh hari. Di Indonesia, tiket kereta sudah habis sejak beberapa minggu sebelum puasa dimulai. Masing-masing perusahaan dan organisasi masyarakat (ormas) berbondong mengadakan mudik bersama.

Puasa dimulai. Tepat 27 Mei 2017. Syukur, ormas Islam terbesar, NU dan Muhammadiyah, tidak memiliki perbedaan dalam mengawali bulan suci. Bahkan, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), organisasi Islam transnasional itu, memulai puasa dengan berdasar pada keputusan sidang istbat yang diadakan Kementerian Agama Republik Indonesia. Namun, agenda makar dan khilafah tetap menjadi tujuan utama HTI dalam berdemokrasi.

Baiklah. Secara agama dan keimanan, HTI adalah saudara. Akan tetapi, soal politik dan kebangsaan, mereka musuh bersama yang mesti dilawan. Bahkan, harus segera diusir dari Bumi Pertiwi sebelum menjadi benalu; sebagaimana tanaman bunga berwarna ungu di Oro-Oro Ombo, Semeru, yang menghabiskan Edelweis. Sampai tak tersisa sedikit pun. 

Tapi sesungguhnya, bukan ini yang ingin saya bahas.

Pernahkah kita durhaka kepada Tuhan? Merasa bersalah? Merasa berdosa? Sehingga melahirkan rasa penyesalan dan akhirnya kita merasa bahwa Dia-lah yang sebenarnya menjadi kebutuhan selama ini. Dia-lah yang kita butuhkan setelah lama tak dihiraukan. Peristiwa semacam itu kerap terjadi. Menurut Syaikh Ibnu Atha'illah, kedurhakaan yang akhirnya menimbulkan pertobatan diri, lebih baik daripada ketaatan yang menciptakan kesombongan.

Momentum Ramadhan merupakan saat tepat untuk merenung. Melakukan kontemplasi. Berdialog pada diri sendiri. Berkaca. Selama 11 bulan kemarin, perilaku macam apa yang sudah dilakukan, sehingga menimbulkan kedurhakaan yang belum sempat dipertobatkan kepada Tuhan? Dan kini, saatnya mendialogkan tubuh, jiwa, dan hati, kepada pemiliknya. Sebab Ramadhan menyediakan ruang untuk menyeimbangkan raga dan memperhalus rasa.

Hari ini, seluruh Umat Islam di Indonesia, khususnya, sedang bergembira. Ibu-ibu di rumah mulai sibuk menata dapur agar tetap ngebul. Para mubaligh mencari bahan referensi untuk dijadikan materi ceramah dari atas mimbar. Anak-anak karangtaruna mulai menyusun rencana untuk mengadakan event besar-besaran. Teman lama semasa sekolah mulai dihubungi dan menghubungi, merencanakan waktu untuk reuni. Remaja alay punya segudang pilihan tempat yang dapat direkomendasikan untuk menjadi lokasi ngabuburit. Semuanya sibuk. Tak bisa diganggu.

Di antara kesibukan dari masing-masing lakon itu, rupanya ada yang lebih sibuk. Kesibukannya tak terjadwal, apalagi terencana. Dia senantiasa berbahagia kalau aktivitasnya dikomentari orang lain. Apalagi kalau mendapat pujian. Pasti besar kepala. Orang yang melayangkan kritik disebut sebagai hater. Sementara yang memuji dan mengapresiasi diklaim sebagai lover. Sikapnya melebihi dari remaja alay yang mengendarai motor tanpa tujuan sehingga bikin macet tiap sore jelang azan magrib.

Amat, namanya.

Sedari kecil, dia berambisi menjadi pendakwah. Pernah mengikuti audisi Da'i Cilik di salah satu stasiun televisi swasta tanah air. Namun sayang, gagal. Amat lemah di hapalan. Kadang, dia suka membuat contekan di telapak tangan kalau mau ceramah. Bahkan, ketika ikut audisi. Dinyatakan tidak lulus, karena ketahuan berkali-kali melihat contekan di telapak tangan kiri.

Kompetisi Da'i Cilik itu salah satu bentuk agenda kaum kapitalis dalam meraup keuntungan. Melalui agama, Islam, sebagai mayoritas di Indonesia, kemudian di bulan Ramadhan, sangat tepat sekali. Namun, Amat masa bodo. Persetan dengan hal itu. Dia masih kecil. Tidak tahu apa-apa. Sesuatu hal yang dia inginkan hanyalah, cita-cita dan ambisi besarnya terwujud di kemudian hari. Yakni, menjadi Juru Bicara Tuhan.

Amat bersyukur karena lahir di era milenial. Di zaman yang segala sesuatunya menjadi simpel. Di sebuah tatanan dunia yang bisa digenggam. Singkatnya, kita dapat melihat dan mengetahui apa pun dengan sangat mudah. Bahkan, tanpa menggeser tubuh sedikit pun. Hanya menggerakkan jempol dan kekuatan otot tangan saja. Karena terdapat kemudahan yang sangat nikmat ini, Amat enggan nyantri. Katanya, pesantren itu kolot. Prosesnya lama. Bla, bla, bla.

Amat beranjak dewasa.

Di hampir setiap media sosial, ada nama Amat di sana. Sengaja, Amat membuat akun di media sosial. Katanya, biar dakwah dan penyampaian kebenaran kepada umat menjadi lebih mudah dan praktis. Dia bermodal Al-Quran dan Hadits. Itu pun terjemahan. Amat tidak punya simpanan kitab kuning karya ulama terdahulu. Alasannya karena dia tidak bisa bahasa Arab. Sementara untuk belajar diperlukan proses yang sangat panjang. Amat tidak suka.

Berselancar di media sosial membuat dia semakin yakin bahwa kebenaran yang disampaikannya adalah kebenaran Tuhan. Mutlak. Absolut. Tidak bisa digugat dan dikritik. Kalau ada yang mengkritik, langsung diblokir. Maka, hampir tidak ada diskusi penyamaan pendapat yang dilakukan Amat.

Perilaku seperti itu, mirip seperti Felix Siauw dan Jonru. Siapa yang tidak suka dan mengkritiknya, bersiaplah diblokir dari pertemanan. Barangkali ada kesamaan dari ketiganya; Amat, Felix, dan Jonru. Kesamaannya apa dan bagaimana, entahlah.

Walau nama Amat di media sosial sudah terkenal. Dia tetap tidak ingin dikata sombong. Di Facebook dan Twitter, dia berteman dengan ulama atau kiai Indonesia. Salah satunya, sebut saja, Kiai Haji Mudzakkar dari Rembang, Jawa Tengah. Tapi, rupanya Amat tidak terlalu suka dengan Kiai itu. Katanya, Kiai Mudzakkar itu kafir, sesat, liberal, dan lain sebagainya.

Amat sering berkomentar atau mention Pak Kiai dengan umpatan yang cenderung ke arah permusuhan. Dengan sangat penyayang, Pak Kiai membalas komentar Amat dengan sangat santun dan hati-hati. Pengasuh salah satu pondok pesantren di daerah Jawa ini, menganggap wajar perilaku Amat yang seperti itu. Amat masih muda. Masih berapi-api.

Hampir setiap hari, Amat menyerang Kiai Mudzakkar dengan umpatan kasar. Sekalipun bulan Ramadhan, dia tak peduli. Menurutnya, kebenaran harus ditegakkan. Segala yang hak adalah hak, yang bathil adalah bathil. Harus tegas dalam beragama. Sementara Kiai Mudzakkar, menurut Amat, terlalu liberal pemikirannya. Bahkan cenderung mendekati munafik. Kira-kira seperti itu, gambaran status Amat di Facebook, setiap hari.

Amat Insyaf

Demi menciptakan suasana yang kondusif. Kiai Mudzakkar tak mudah terprovokasi. Dia justru menggunakan strategi lain. Sehari tiga kali, dia bikin status. Kesemuanya tentang diri yang tak punya daya dan kekuatan apa-apa kalau jauh dari Tuhan. Bahkan, dia memosting Syi'ir I'tiraf. Tentang keberpasrahan diri kepada yang Maha Memiliki.

Kiai Mudzakkar dalam setiap postingannya menitipkan sebuah pesan bahwa, jangan jemawa atas ilmu yang dimiliki. Ilmu Tuhan begitu luas. Seluas samudera dan tak berbatas seperti langit. Kemungkinan salah dan benar, itu sudah biasa. Lumrah. Hal yang terpenting adalah menginsyafi diri. Tahu diri. 

Sebagaimana konsep manusia menurut Imam Ghozali yang pernah diposting Kiai Mudzakkar:

"Ada empat golongan manusia menurut Imam Ghozali. Pertama, rajulun yadri wa yadri annahu yadri. Yakni, seorang yang tahu (berilmu), dan dia tahu kalau dirinya tahu. Kedua, rajulun yadri wa laa yadri annahu yadri. Yaitu, seorang yang tahu (berilmu), tapi dia tidak tahu kalau dirinya tahu. 

Ketiga, rajulun laa yadri wa yadri annahu laa yadri. Yakni, seorang yang tidak tahu (tidak atau belum berilmu), tapi dia tahu (sadar) atas ketidaktahuannya. Keempat, rajulun laa yadri wa laa yadri annahu laa yadri. Yaitu, seorang yang tidak tahu (tidak atau  belum berilmu) dan dia tidak tahu kalau dirinya tidak tahu. 

Jadi, kamu termasuk golongan yang mana?"

Begitu postingan Kiai Mudzakkar.

Sementara Amat terenyuh membacanya. Dia mencoba merasuki diri. Merenung. Hingga akhirnya, dia berusaha dengan sekuat tenaga untuk menjalankan ibadah kesungguhan di Ramadhan tahun ini. Dia menyadari bahwa selama ini,  d ketaatannya hanya mencipta sebuah kesombongan. Kini, Amat bertobat. Dia merasa sudah melakukan kedurhakaan kepada Tuhan karena ketaatannya.

Amat tersadar, bahwa Tuhan adalah satu-satunya Dzat yang dia butuhkan. Kesombongan tak berlaku bagi manusia yang sesungguhnya tak miliki apa-apa. Dia berharap, Ramadhan tahun ini bisa membawanya pada ibadah kesungguhan yang memberi nilai positif di 11 bulan setelahnya. Semoga, Amat kembali berharap, perasaannya menjadi halus dan jiwanya menjadi lembut kepada segenap makhluk.


Wallahu A'lam...

Sabat, 1 Ramadhan 1438

Tabik,

Aru Elgete

Jumat, 26 Mei 2017

Selamat Datang Bulan Penuh Kepura-puraan


Ilustrasi. Sumber inspirasi.co

Ramadhan tiba. Semua orang sibuk berbenah. Berlomba mencitrakan diri dengan kebaikan. Mempertontonkan amal perbuatan ke publik. Tak lupa juga, "wisata iba" ke rumah anak yatim. Panti asuhan penuh tamu. Mendapat rezeki melalui perantara orang kaya. Ada pula, orang kaya yang berpura miskin. Gelandangan menjamur. Mengais rezeki dengan berperan sebagai kaum miskin kota. Mengharap nasi dari anak remaja yang senang mengadakan Sahur On The Road. Kemudian bertamasya ke masjid terdekat, untuk mendapat ta’jil berbuka puasa.

Sementara tayangan di layar kaca berubah drastis. Semuanya menjadi religi. Para artis mengubah diri. Menutup seluruh tubuh dengan pakaian keagamaan. Masing-masing berperan menjadi seorang yang saleh dan salehah. Menampilkan diri yang rajin beribadah, bersedekah, dan bersilaturrahim. Kapitalisasi media televisi sudah merasuk ke sendi-sendi agama. Kaum kapital tetap akan meraup keuntungan. Mereka tak mau merugi. Meski dengan kepura-puraan, yang terpenting adalah mendapat keuntungan yang lebih.

Nun jauh di sebuah kota dari negeri sengkarut, saat tiba Ramadhan, warung makan tetap saja buka. Membuka setengah pintu. Atau, menutup bagian depan dengan papan setengah badan. Sehingga terlihat sepasang kaki dari luar. Para pelawak mengatakan, menu terbaru di warung nasi saat bulan puasa adalah sup kaki gantung. Orang-orang yang tidak kuat berpuasa harus bersembunyi. Bahkan, terkesan dipaksa untuk makan dan minum secara sembunyi-sembunyi. Menjadi minoritas di negeri ini masih sangat rentan siksaan; baik fisik maupun psikis. 

Bagi siapa pun yang tidak puasa pada bulan Ramadhan, bersiaplah untuk menerima siksaan duniawi. Sementara solusi untuk terhindar dari siksaan yang menyakitkan itu adalah berlaku pura-pura dan melestarikan kebohongan selama satu bulan penuh. 

Mengapa harus ada kepura-puraan di bulan penuh cinta? Padahal cinta tak pernah berkenan pada kebohongan. Benarkah kepura-puraan itu merupakan bentuk penghormatan pada Ramadhan? Betulkah kemuliaan Ramadhan akan luntur jika tidak dihormati?

Sesungguhnya menghormati sesuatu dengan sebuah kepura-puraan adalah penghinaan yang sangat keji.

Maka, timbul pertanyaan dalam benak. Siapa sesungguhnya yang gila hormat? Ramadhan, kah? Atau justru orang-orang yang beribadah di dalamnya? Sebenarnya apa yang kita dapat dari Ramadhan? Kepura-puraan, kemuliaan, atau justru kesombongan yang berdampak pada sifat gila hormat?


Memaknai Ramadhan

Bulan yang mulia ini merupakan wadah untuk berlomba dalam kebaikan. Tempat untuk meningkatkan kadar intelektualitas. Juga sebagai ajang untuk memperhalus rasa, menyeimbangkan raga, dan melatih kejujuran pada diri sendiri. Ramadhan adalah bulan pendidikan. Setiap yang beriman dididik agar menjadi pribadi bertakwa. Takwa berarti patuh terhadap ketentuan yang telah Allah perintahkan. Salah satu perintah Allah adalah soal menebar cinta dan kasih sayang kepada sesama manusia.

Maka, Ramadhan adalah cinta. Segala hal yang dilakukan di dalamnya sebagai perwujudan dari cinta. Kesempatan emas tercipta untuk lebih mengejawantahkan cinta kepada Pemilik Jiwa. Namun, sesungguhnya cinta tak butuh eksistensi. Cinta akan menempati ruang paling tersembunyi dalam sanubari. Sebab cinta yang sejati tidak butuh pengakuan dari orang lain. Tidak butuh penghormatan yang justru membuat cinta jemawa. Angkuh. Lebih jauh, cinta bukanlah sesuatu yang dibangun dari pondasi kepura-puraan.

Kalau ternyata Ramadhan memberi ruang bagi kepura-puraan, sungguh menyedihkan. Atau sebagian besar manusia justru memanfaatkan kesucian bulan ini untuk meraup keuntungan. Ada banyak ragam keuntungan. Salah satunya adalah soal citra diri. Semua orang berlomba untuk tampil di muka dengan baju dan perilaku keagamaan. Para penceramah mulai mencari bahan untuk diorasikan di atas mimbar. Tak jarang, mereka menggunakan agama dan memanfaatkan momentum Ramadhan demi mendapat keuntungan semata. Walau mulut sudah berbusa karena berkali-kali mengucapkan, “Lillahi ta’ala”.

Lebih ironi, ketika media sosial turut campur untuk mempermudah kesombongan. Atas nama dakwah, citra diri mengenai ibadah yang bersifat privasi dipublikasi dengan kata-kata yang seolah mengajak pada kebaikan. Padahal sesungguhnya demi sebuah pengabaran diri; dengan kata lain, pencitraaan. Ramadhan menjadi wadah dan ajang untuk berpura-pura serta menyombongkan diri. 

Di era digital ini, ibadah di Bulan Suci tidak hanya sekadar menahan hawa nafsu dari lapar dan dahaga saja. Melainkan seluruh laku dan gerak kita mesti ditahan. Sesuatu yang kalau tidak ditahan justru berdampak pada penurunan kadar cinta pada Allah. Sebab Ramadhan adalah penyatu jiwa kepada Pemiliknya. Lucu, ketika pada saat Ramadhan, hati kita justru menjauh dari-Nya. Sombong, angkuh, dan kepura-puraan dalam beribadah merupakan penyebab dari menjauhnya kita dari rahmat Allah. Semuanya perlu dibatasi. Termasuk dalam penggunaan media sosial.

Dakwah Ramadhan di Media Sosial

Hati-hati. Setan selalu masuk dari arah yang tidak pernah diketahui. Ia selalu menggoda anak manusia hingga akhir zaman. Tak terkecuali pada Bulan Suci. Cerita masa kecil yang mengatakan bahwa setan dikerangkeng dan manusia bisa bebas dari godaan adalah mitos. Setan selalu menjelma menjadi apa pun. Bahkan, kini setan sudah berubah bentuk menjadi digital. Sesungguhnya, media sosial adalah tempat baru bagi setan kekinian bersemayam. Menggoda manusia untuk menampilkan segala citra. Menggoda agar bermalas-malasan dalam beribadah, padahal tiap kali memosting perihal ibadah. Kemunafikan kerapkali muncul di sana.

Lalu, bagaimana seharusnya kita bersikap?

Ramadhan adalah momentum pendekatan diri kepada Allah. Menjadi bekal untuk sebelas bulan setelahnya. Ramadhan tidak seperti event tahunan. Ia serupa batu loncatan agar diri tidak terjerembab ke lembah kemunafikan dan pemunafikan. Juga, agar jiwa dapat terselematkan dari jurang kesombongan dan keangkuhan. Ramadhan merupakan tempat untuk saling berlomba, tapi bukan kompetisi yang berujung pada kalah dan menang. Usai Ramadhan nanti, siapa yang kalah dan menang, jawabannya tersimpan di lubuk hati terdalam. Sementara itu, media sosial menjadi ruang dakwah baru.

Bersihkan hati dan luruskan niat sebelum memosting sesuatu ke salah satu akun media sosial milik pribadi. Karena bisa jadi, setan dalam wujud kesombongan sedang menyelimuti tubuh. Sekalipun hati sudah bersih dan niat telah lurus, setan beralih ke orang lain. Timbul ujaran yang tidak mengenakkan dari orang lain terhadap kita. Maka, berhati-hatilah dalam memublikasikan hal-hal ke media sosial saat Ramadhan walaupun dengan niat yang baik.

Media sosial, kalau kita tidak hati-hati, akan senantiasa membunuh gerak. Ramadhan menjadi percuma karena hanya diisi dengan kesibukan dalam media sosial yang hampir tidak memiliki manfaat. Sila isi Ramadhan dengan berbagai ibadah, tapi jangan sampai ibadah-ibadah itu terpublikasi melalui media sosial yang justru akan berdampak pada kesombongan. Sebab, Ramadhan adalah proses untuk menuju sebelas bulan setelahnya. Jangan cepat merasa suci, hilang rasa nanti.

Ramadhan adalah bulan yang penuh dengan kepura-puraan. Maka, masihkah kita akan senantiasa membohongi diri? Sungguh, hal tersebut justru mencoreng kemuliaan Ramadhan, sekalipun Ramadhan tak pernah merasa tercoreng.

Selamat menjalani ibadah kesungguhan di Bulan Suci. Semoga kita tidak merasa (sok) suci. 


Tabik,

Aru Elgete
Pengelola Media NU Kota Bekasi

Jumat, 05 Mei 2017

Ragam Peristiwa Lahir dari Ruang Kebudayaan itu


Ruang dalam Laboratorium Teater Korek 

Sejak awal September 2014, aku mulai menyetubuhi segala ruang dan waktu. Menjadi mahasiswa tentu berbeda dengan murid semasa di sekolah. Pendeknya, aku sudah dewasa. Kini, waktunya mandiri untuk menentukan hidup. Tentu dengan kedewasaan itu, penentuan hidup yang kulakukan tak sama seperti masa kanak-kanak. Aku mulai memberanikan diri mengeksplor diri dan kemampuan. Atau, sekadar memenuhi rasa penasaranku.

Aku menempuh pendidikan secara akademik di Universitas Islam "45" (Unisma) Bekasi. Kampus terbesar di Bumi Patriot itu memiliki daya tarik tersendiri bagiku. Setelah tamat dari Madrasah Aliyah NU Buntet Pesantren Cirebon, aku sempat menganggur setahun. Kemudian, mulai mencari kampus yang dekat dengan rumah. Pilihanku jatuh pada perguruan tinggi itu. Sebab di sana, pepohonan masih rindang. Selain itu, yang membuatku tertarik adalah karena di sana terdapat fasilitas untuk mengembangkan bakat menjadi penyiar radio. Di jurusan Ilmu Komunikasi, aku belajar.

Setelah bercengkerama dengan tubuh universitas itu. Aku tertarik dengan seni teater. Ternyata ada wadah. Korek, namanya. Sebenarnya sudah sejak lama aku ingin menempa kemampuan di seni teater. Sekalipun aku sama sekali tidak memiliki latar belakang sebagai pekerja seni atau pelaku teater. Kurang lebih, aku penasaran dengan kesenian yang satu itu. Sekali waktu, aku berkunjung ke Laboratorium Teater Korek. Lokasinya tepat di depan gedung Pusat Mahasiswa. 

Kesan pertamaku adalah, ruangan tersebut cukup luas untuk melakukan proses kreatif. Saat itu, aku baru tahu bahwa teater merupakan induk dari segala seni. Di dalamnya terdapat unsur sastra, musik, dan juga penelitian untuk kemudian ditampilkan menjadi sebuah pertunjukkan. Karenanya, aku memutuskan untuk menjadi anggota Teater Korek Unisma Bekasi. Menurutku, belajar sembari mengembangkan bakat, merupakan aktivitas yang baru. Hal itu sama dengan ekstrakurikuler di sekolah-sekolah. Perbedaannya, aku juga belajar soal manajemen administrasi keorganisasian.

Seiring berjalannya waktu, aku disemat secara resmi menjadi anggota. Yakni dengan mengikuti Latihan Alam Orientasi Dasar Pemain Teater (LAODPT) di Bumi Perkemahan Cibubur pada pengujung 2015. Usai LAODPT, setiap anggota baru diwajibkan untuk melakukan tanggung jawab kepada civitas akademika kampus Unisma Bekasi dan masyarakat secara umum. Yaitu, melakukan pementasan yang dinamakan persembahan akhir tahun: November 2015. Pementasan saat itu diberi judul "Srek-Srek-Bret" karya salah seorang dewan pelopor Teater Korek, Haryanto atau yang akrab disapa Pa'e Togel.

Saat sudah berhasil melakukan senggama dengan salah satu Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) di Unisma Bekasi itu, aku menjadi tahu bahwa ruang Teater Korek adalah titik lintasan berbagai komunitas seni dan teater. Maka, Laboratorium itu dilabeli sebagai ruang kebudayaan. Bangunan yang sering dijadikan pementasan itu awalnya adalah rumah ibadah. Barangkali, alasan ruang itu tidak lagi dipergunakan sebagai masjid karena lokasinya seringkali terendam banjir saat hujan lebat dengan durasi yang lama. Maka, masjid dipindah di bagian tengah kampus.

Teater Korek kusetubuhi. Dari sana, aku tahu bahwa teater pada mulanya adalah pertunjukkan suci yang dilakukan sebagai tanda kebersyukuran atau peribadatan pada dewa-dewa. Karenanya, aku berpikir, sangat sesuai jika tempat itu dijadikan sebagai ruang teater. Terlebih, di Bekasi sama sekali tidak memiliki gedung kesenian yang representatif sebagaimana di Jakarta. Sementara Laboratorium Teater Korek merupakan gedung yang semi-representatif untuk melakukan proses kreatif dan bahkan pertunjukkan teater.

Walau demikian, Teater Korek tidak egois. Tidak merasa diri. Ia membuka diri pada siapa saja. Ruang itu menjadi milik bersama. Karena menyadari bahwa bangunan itu milik kampus, maka siapa pun, boleh menggunakannya. Sementara itu, komunitas atau kelompok teater tentu tidak bisa berdiri sendiri. Ia harus melakukan silaturahmi dan kerjasama lahir batin antar-komunitas. Maka, hilir mudik kesenian sangat kentara. Derap kebudayaan dan kekeluargaan terlahir darinya. Banyak hal yang tercipta dari gedung eks-masjid yang kini disebut sebagai ruang kebudayaan itu. 

Komunitas teater kampus di Bekasi dan sekitarnya, seringkali meminjam ruangan itu untuk melakukan pertunjukkan teater. Teater Korek mempersilakan. Sebab, kebudayaan memang tanpa sekat. Tak boleh menyekat, apalagi melakukan permusuhan dan menabur benih kebencian pada sesama. Sebagian besar komunitas teater di luar mengapresiasi Teater Korek karena memiliki ruangan sebesar itu. Tentu juga memberikan pujian kepada Unisma Bekasi yang bersedia memfasilitasi gerak teater. Karena perlu diketahui, geliat teater di Bekasi cukup besar, tapi tidak ada ruang atau gedung pertunjukkan yang memadai. Syukurnya, Teater Korek Unisma Bekasi memiliki itu.

Saat ini, aku menjadi nahkoda Teater Korek. Memanfaatkan ruang yang besar itu dengan kegiatan positif dan proses kreatif menjadi salah satu bukti kebersyukuranku. Selain itu juga kujadikan pembuktian kepada orang-orang di luar kampus bahwa dengan ketersediaan ruang itu adalah wujud dari keberhasilan Unisma Bekasi dalam mengelola dan menaungi laku teater. Bangga, tentu. Sebab karena ruangan itu, aku jadi punya banyak keluarga. Ruang itu adalah tempat pendewasaanku. Kemudian menjadi pusat pergerakan kesenian. 

Soal pengimplementasian terhadap Tri Dharma Perguruan Tinggi, yakni Pengabdian Pada Masyarakat, Teater Korek sudah melakukan. Diantaranya memberikan pembinaan bagi komunitas teater sekolah dan kampanye budaya ke desa-desa. Membina dan memanusiakan manusia adalah misi utama organisasi kebudayaan itu. Teater Sekolah yang pernah berproses di ruang tersebut diantaranya Teater Bengkel Seni Kartini, Bengkel Teater Attaqwa, Teater Rasa, dan Teater Kipas.

Akhir-akhir ini, ada beberapa komunitas yang melakukan kerjasama dalam hal ruang. Pertama, Yayasan Hope Pandora Bekasi yang digawangi oleh aktivis Teater Cassanova Isntitut Seni dan Budaya Indonesia (ISBI) Bandung. Kedua, Komunitas Artery Performa dari Bekasi. Kemudian, Komunitas Karawitan (Kokar) dari Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) Unisma Bekasi.

Ketiganya melakukan proses kreatif dengan gembira. Memanfaatkan ruang demi hal yang positif. Misalnya, Yayasan Hope Pandora. Target mereka adalah ingin melakukan pertunjukkan teater dengan tema anti-narkoba. Karena memang yayasan tersebut bergerak di bidang rehabilitasi pengguna narkoba dan pengidap HIV-Aids. Pertunjukkan tersebut dilakukan dengan maksud mengkampanyekan bahaya narkoba dan mengajak masyarakat untuk tidak menilai buruk kepada orang-orang yang terkena virus HIV/Aids.

Pertanyaannya, maka nikmat Tuhan mana lagi yang masih kau dustakan? Sebab ruang itu milik bersama. Kebahagiaan tentu dirasakan secara kekeluargaan. Siapa pun boleh menggunakan, asal dengan kegiatan positif dan proses kreatif. Meski saban hujan tergenang banjir, aku tetap bersyukur. Sebab darinya tercipta beragam peristiwa. Salah satunya adalah membersihkan ruang pasca-banjir. Hal itu sangat memiliki kesan mendalam, menurutku. 

Menjadi bagian dari Teater Korek berarti menjadi setubuh bagi semua orang.



Wallahu A'lam



Di Kaki Gunung Gede Pangrango, 5 Mei 2017




Aru Elgete 

Senin, 01 Mei 2017

Mei 2017: Maafkan, Aku Murtad!


Ilustrasi. Sumber: kochiefrog.com

Mei (May), ada yang ganjal dari kisah yang terajut saban tahun. Setiap bulan kelima dalam kalender Gregorian ini, terdapat banyak makna yang selalu berbeda. Pikirku, bulan yang namanya merujuk pada Dewi Maia ini, memiliki kesan mendalam dalam setiap perjalanan kehidupanku. Siapa pun, menurutku, pasti merasakan.

Tahun ini, tentu berharap agar lebih baik dari sebelumnya. Terlebih, Mei 2017 bertepatan dengan Sya'ban 1438. Menurut Kanjeng Nabi, bulan kedelapan dalam hitungan kalender hijriyah ini merupakan bulannya. "Rajab adalah bulan Allah. Sya'ban itu bulanku. Sementara Ramadhan, bulan umatku." Begitu dawuh Putra Abdullah. Maka terdapat doa, "Allahumma baarik lana fii rajaba, wa sya'bana, wa balighna ramadhan."

Namun sesungguhnya bukan itu yang ingin kubahas. Kalau tulisanku mengulas seputar keislaman, akan menjadi bahan tertawaan bagi mubaligh yang berdiri di balik mimbar. Menjadi buah bibir para ustadz yang dengan sampiran surban di pundak, karena merasa jatah ceramahnya direbut olehku. Sungguh, aku tidak ingin merebut hak orang lain.

Begini, tulisanku ini adalah bentuk refleksi diri dari setiap Mei yang telah kulewati. Tahun lalu, aku gegap gempita menyambutnya. Saat itu, aku berada dalam barisan pergerakan untuk memperjuangkan hak-hak buruh. Sebab, berbagai kajian yang kulahap tidak jauh dari gerakan yang cenderung ke arah pemberontakan. Kala itu.

Baiklah, secara bahasa buruh berarti pekerja. Tapi, mari maknai kata "buruh" dengan menggunakan majas totem pro parte. Keseluruhan untuk sebagian. Saat aku menyebut "buruh" jangan lantas dimaknai sebagai pekerja secara keseluruhan. Akan tetapi, untuk sebagian. Dalam hal ini, barangkali, sebagian besar.

Aku mencermati saban tahun. Membaca gerak. Mencoba menafsirkan teks verbal. Beragam peristiwa juga tak luput dari perhatianku. Setiap 1 Mei, buruh turun ke jalan. Tentu tidak seluruh pekerja kan yang turun? Hanya sebagian saja. Oke, mereka yang turun mungkin (menurutmu) mewakili buruh yang lainnya. Tidak masalah. Dulu, ibuku juga buruh pabrik. Bapakku pun demikian; buruh pemerintah.

Lantas, apa yang membedakan?

Kini, aku sedang menekuni pekerjaan menjadi buruh tinta. Atau, jika kau tak keberatan, aku disebut-sebut sebagai buruh kesenian. Kakak perempuanku, Neya, juga seorang buruh racik di salah satu rumah sakit di Bekasi. Singkatnya, gawat juga kalau seluruh idiom dimaknai secara keseluruhan, universal, atau general. Beruntunglah bahasa Indonesia memiliki majas sinekdok dua rupa; totem pro parte dan pars prototo.

Aku melihat buruh yang turun ke jalan, sebagian besar memiliki kendaraan bagus. Bapakku yang pensiunan pegawai negeri saja kalah. Neya, yang sudah sentosa hidup sebagai apoteker pun kalah mewah dengan para buruh yang turun ke jalan itu. Kalau diajak hitung-hitungan kekayaaan di KPK, dengan gembira aku mau. Mereka pasti lebih kaya, lebih mewah, lebih punya segalanya. Tapi kenapa setiap tahun gaji minta dinaikkan?

Sesungguhnya aku tidak paham soal Upah Minimum Regional, Kota/Kabupaten, dan Provinsi (UMR, UMK, dan UMP). Namun, dapat kupastikan bahwa gaji buruh di Kota Jakarta dan penyangganya lebih besar daripada daerah yang lain. Terlebih, yang berada jauh dari Ibukota dan bahkan di luar pulau Jawa. Parahnya, buruh di kota-kota besar selalu minta dinaikkan gajinya. Tuntutannya pun macam-macam. Oke, buruh juga manusia. Butuh ini dan itu. Bahkan, kosmetik dan kredit kendaraan masuk dalam daftar tuntutan.

Kaum buruh yang selama ini disebut sebagai proletariat, kenapa tidak tinggalkan saja pekerjaan sebagai buruh itu? Kalian anti-kapitalisme kan? Kapitalis menyedot tenaga dan jasamu, ya? Sementara kamu masih betah berada di ketiak kapitalis. Tinggalkan, dong. Buka usaha. Ah, kapitalis juga ujung-ujungnya. Tapi, tak apa. Minimal, jadi kapitalis yang humanis. Kapitalis-sosialis juga keren, tuh.

Karena yang kutahu, sistem kapitalisme itu berdasarkan pada reward and punishment. Kalau malas, tidak dapat. Sekalipun dapat hanya beberapa saja. Sedangkan yang rajin, pasti akan dapat lebih. Bahkan jauh melampaui dari seorang buruh yang malas. Allah saja begitu. Siapa yang rajin salat, mengaji, mengerjakan amal kebaikan, akan mendapat kebahagiaan di dunia dan akhirat. Tapi, barangsiapa yang tidak taat kepada Allah, bersiaplah. Karena hukuman pasti akan menimpanya.

Jujur, aku bingung. Sebenarnya siapa yang gagal paham? Aku atau dirimu? Kau teriak-teriak di bawah terik matahari meminta hak yang tidak kira-kira. Namanya juga kapitalis, pasti dituruti kemauanmu itu. Syaratnya, kerja yang lebih giat dan rajin lagi. Silakan beli dan nikmati produk hasil karya kaum kapitalis, yang penting kamu kerja. Begitu, kan? Kamu kerja untuk siapa? Kapitalis. Kemudian, siapa yang kau kutuk setiap tahun? Kapitalis juga. Ah, aku yakin, hidupmu penuh kebimbangan.

Kalau mau menghilangkan kelas, silakan pindah ke Kuba atau Venezuela saja. Mereka sosialis banget loh. Tapi setiap hari, makan dijatah. Mau? Kamu tidak akan pernah bisa jadi kaya. Semua sama. Kerja keras banting tulang, hasilnya sama dengan yang kerja tanpa membanting tulang. Bukankah konsep adil sudah diajarkan sejak dalam pikiran?

Ibumu punya anak tiga. Kelas 3 SMA, 2 SMP, dan 5 SD. Misal, kamu sebagai anak yang kebetulan duduk di bangku kelas 3 SMA. Lalu, uang sakumu sama dengan adik-adikmu. Mau? Lho, katanya menghilangkan kelas? Sekolahmu saja sudah ada kelas-kelasnya begitu, kok. Bagaimana? 

Kawanku, maaf aku murtad. Aku keluar dari jalur perjuangan. Untuk kali ini saja. Pergerakanku hanya untuk membela kaum lemah dan yang dilemahkan. Bukan menjadi pembela untuk kaum yang berpura-pura lemah. Tanpa kau ketahui, aku punya teman (sekalipun tidak banyak), seperti nelayan, petani, pekerja rumah tangga, pekerja rumah tinta, bahkan para pekerja seni dan budaya yang dilemahkan penguasa. Oh iya, kalau memperjuangkan dan menyuarakan kebenaran atas ketidakadilan yang dirasakan Munir Sa'id Thalib dan Wiji Thukul, aku mau. Ayo!

Tapi, aku enggan membela buruh yang kerjanya kredit kendaraan mewah, belanja bulanan di supermarket milik pemodal asing, atau yang suka menghamburkan duit ke tempat makan ala Amerika dan Eropa. Perjuanganku akan terasa sia-sia kalau membela buruh macam itu. Aku ingatkan lagi, ya. Buruh yang kumaksud dimaknai dengan menggunakan majas sinekdok totem pro parte. Paham?

Eh, diskusi yuk. Kapan?




Kaliabang Nangka, Bekasi Utara, 1 Mei 2017



Aru Elgete