Sabtu, 27 Mei 2017

Ibadah Kesungguhan


Ilustrasi. Sumber: spiritualcapital.id

"Durhaka kepada Tuhan yang mewariskan rasa sesal dan rasa membutuhkan Dia, jauh lebih baik daripada ketaatan yang menimbulkan kesombongan diri."

Demikian pernyataan Syaikh Ibnu Atha'illah atau Ahmad ibnu Muhammad Ibnu Atha’illah As-Sakandari. Seorang ulama kenamaan yang lahir di Kota Iskandariah, Mesir, pada tahun 1250 dan wafat di Kairo sekitar tahun 1309. Dia merupakan salah seorang tokoh tarekat Syadziliyah. Tarekat ini dipelopori oleh Abul Hasan Asy-Syadzili (1197 - 1258).

Syadziliyah di Indonesia adalah salah satu aliran tarekat yang diakui melalui Badan Otonom NU, yakni Jam’iyyah Ahli al-Thariqah al-Mu’tabarah al-Nahdliyah atau Jatman. KH Abdul Jalil Mustaqim dari Tulungagung adalah salah satu mursyid tarekat Syadziliyah.

***

Umat Islam seluruh dunia sedang merasa bahagia. Sebab kedatangan tamu agung yang sejak lama dinanti. Persiapan dimulai sudah dari jauh-jauh hari. Di Indonesia, tiket kereta sudah habis sejak beberapa minggu sebelum puasa dimulai. Masing-masing perusahaan dan organisasi masyarakat (ormas) berbondong mengadakan mudik bersama.

Puasa dimulai. Tepat 27 Mei 2017. Syukur, ormas Islam terbesar, NU dan Muhammadiyah, tidak memiliki perbedaan dalam mengawali bulan suci. Bahkan, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), organisasi Islam transnasional itu, memulai puasa dengan berdasar pada keputusan sidang istbat yang diadakan Kementerian Agama Republik Indonesia. Namun, agenda makar dan khilafah tetap menjadi tujuan utama HTI dalam berdemokrasi.

Baiklah. Secara agama dan keimanan, HTI adalah saudara. Akan tetapi, soal politik dan kebangsaan, mereka musuh bersama yang mesti dilawan. Bahkan, harus segera diusir dari Bumi Pertiwi sebelum menjadi benalu; sebagaimana tanaman bunga berwarna ungu di Oro-Oro Ombo, Semeru, yang menghabiskan Edelweis. Sampai tak tersisa sedikit pun. 

Tapi sesungguhnya, bukan ini yang ingin saya bahas.

Pernahkah kita durhaka kepada Tuhan? Merasa bersalah? Merasa berdosa? Sehingga melahirkan rasa penyesalan dan akhirnya kita merasa bahwa Dia-lah yang sebenarnya menjadi kebutuhan selama ini. Dia-lah yang kita butuhkan setelah lama tak dihiraukan. Peristiwa semacam itu kerap terjadi. Menurut Syaikh Ibnu Atha'illah, kedurhakaan yang akhirnya menimbulkan pertobatan diri, lebih baik daripada ketaatan yang menciptakan kesombongan.

Momentum Ramadhan merupakan saat tepat untuk merenung. Melakukan kontemplasi. Berdialog pada diri sendiri. Berkaca. Selama 11 bulan kemarin, perilaku macam apa yang sudah dilakukan, sehingga menimbulkan kedurhakaan yang belum sempat dipertobatkan kepada Tuhan? Dan kini, saatnya mendialogkan tubuh, jiwa, dan hati, kepada pemiliknya. Sebab Ramadhan menyediakan ruang untuk menyeimbangkan raga dan memperhalus rasa.

Hari ini, seluruh Umat Islam di Indonesia, khususnya, sedang bergembira. Ibu-ibu di rumah mulai sibuk menata dapur agar tetap ngebul. Para mubaligh mencari bahan referensi untuk dijadikan materi ceramah dari atas mimbar. Anak-anak karangtaruna mulai menyusun rencana untuk mengadakan event besar-besaran. Teman lama semasa sekolah mulai dihubungi dan menghubungi, merencanakan waktu untuk reuni. Remaja alay punya segudang pilihan tempat yang dapat direkomendasikan untuk menjadi lokasi ngabuburit. Semuanya sibuk. Tak bisa diganggu.

Di antara kesibukan dari masing-masing lakon itu, rupanya ada yang lebih sibuk. Kesibukannya tak terjadwal, apalagi terencana. Dia senantiasa berbahagia kalau aktivitasnya dikomentari orang lain. Apalagi kalau mendapat pujian. Pasti besar kepala. Orang yang melayangkan kritik disebut sebagai hater. Sementara yang memuji dan mengapresiasi diklaim sebagai lover. Sikapnya melebihi dari remaja alay yang mengendarai motor tanpa tujuan sehingga bikin macet tiap sore jelang azan magrib.

Amat, namanya.

Sedari kecil, dia berambisi menjadi pendakwah. Pernah mengikuti audisi Da'i Cilik di salah satu stasiun televisi swasta tanah air. Namun sayang, gagal. Amat lemah di hapalan. Kadang, dia suka membuat contekan di telapak tangan kalau mau ceramah. Bahkan, ketika ikut audisi. Dinyatakan tidak lulus, karena ketahuan berkali-kali melihat contekan di telapak tangan kiri.

Kompetisi Da'i Cilik itu salah satu bentuk agenda kaum kapitalis dalam meraup keuntungan. Melalui agama, Islam, sebagai mayoritas di Indonesia, kemudian di bulan Ramadhan, sangat tepat sekali. Namun, Amat masa bodo. Persetan dengan hal itu. Dia masih kecil. Tidak tahu apa-apa. Sesuatu hal yang dia inginkan hanyalah, cita-cita dan ambisi besarnya terwujud di kemudian hari. Yakni, menjadi Juru Bicara Tuhan.

Amat bersyukur karena lahir di era milenial. Di zaman yang segala sesuatunya menjadi simpel. Di sebuah tatanan dunia yang bisa digenggam. Singkatnya, kita dapat melihat dan mengetahui apa pun dengan sangat mudah. Bahkan, tanpa menggeser tubuh sedikit pun. Hanya menggerakkan jempol dan kekuatan otot tangan saja. Karena terdapat kemudahan yang sangat nikmat ini, Amat enggan nyantri. Katanya, pesantren itu kolot. Prosesnya lama. Bla, bla, bla.

Amat beranjak dewasa.

Di hampir setiap media sosial, ada nama Amat di sana. Sengaja, Amat membuat akun di media sosial. Katanya, biar dakwah dan penyampaian kebenaran kepada umat menjadi lebih mudah dan praktis. Dia bermodal Al-Quran dan Hadits. Itu pun terjemahan. Amat tidak punya simpanan kitab kuning karya ulama terdahulu. Alasannya karena dia tidak bisa bahasa Arab. Sementara untuk belajar diperlukan proses yang sangat panjang. Amat tidak suka.

Berselancar di media sosial membuat dia semakin yakin bahwa kebenaran yang disampaikannya adalah kebenaran Tuhan. Mutlak. Absolut. Tidak bisa digugat dan dikritik. Kalau ada yang mengkritik, langsung diblokir. Maka, hampir tidak ada diskusi penyamaan pendapat yang dilakukan Amat.

Perilaku seperti itu, mirip seperti Felix Siauw dan Jonru. Siapa yang tidak suka dan mengkritiknya, bersiaplah diblokir dari pertemanan. Barangkali ada kesamaan dari ketiganya; Amat, Felix, dan Jonru. Kesamaannya apa dan bagaimana, entahlah.

Walau nama Amat di media sosial sudah terkenal. Dia tetap tidak ingin dikata sombong. Di Facebook dan Twitter, dia berteman dengan ulama atau kiai Indonesia. Salah satunya, sebut saja, Kiai Haji Mudzakkar dari Rembang, Jawa Tengah. Tapi, rupanya Amat tidak terlalu suka dengan Kiai itu. Katanya, Kiai Mudzakkar itu kafir, sesat, liberal, dan lain sebagainya.

Amat sering berkomentar atau mention Pak Kiai dengan umpatan yang cenderung ke arah permusuhan. Dengan sangat penyayang, Pak Kiai membalas komentar Amat dengan sangat santun dan hati-hati. Pengasuh salah satu pondok pesantren di daerah Jawa ini, menganggap wajar perilaku Amat yang seperti itu. Amat masih muda. Masih berapi-api.

Hampir setiap hari, Amat menyerang Kiai Mudzakkar dengan umpatan kasar. Sekalipun bulan Ramadhan, dia tak peduli. Menurutnya, kebenaran harus ditegakkan. Segala yang hak adalah hak, yang bathil adalah bathil. Harus tegas dalam beragama. Sementara Kiai Mudzakkar, menurut Amat, terlalu liberal pemikirannya. Bahkan cenderung mendekati munafik. Kira-kira seperti itu, gambaran status Amat di Facebook, setiap hari.

Amat Insyaf

Demi menciptakan suasana yang kondusif. Kiai Mudzakkar tak mudah terprovokasi. Dia justru menggunakan strategi lain. Sehari tiga kali, dia bikin status. Kesemuanya tentang diri yang tak punya daya dan kekuatan apa-apa kalau jauh dari Tuhan. Bahkan, dia memosting Syi'ir I'tiraf. Tentang keberpasrahan diri kepada yang Maha Memiliki.

Kiai Mudzakkar dalam setiap postingannya menitipkan sebuah pesan bahwa, jangan jemawa atas ilmu yang dimiliki. Ilmu Tuhan begitu luas. Seluas samudera dan tak berbatas seperti langit. Kemungkinan salah dan benar, itu sudah biasa. Lumrah. Hal yang terpenting adalah menginsyafi diri. Tahu diri. 

Sebagaimana konsep manusia menurut Imam Ghozali yang pernah diposting Kiai Mudzakkar:

"Ada empat golongan manusia menurut Imam Ghozali. Pertama, rajulun yadri wa yadri annahu yadri. Yakni, seorang yang tahu (berilmu), dan dia tahu kalau dirinya tahu. Kedua, rajulun yadri wa laa yadri annahu yadri. Yaitu, seorang yang tahu (berilmu), tapi dia tidak tahu kalau dirinya tahu. 

Ketiga, rajulun laa yadri wa yadri annahu laa yadri. Yakni, seorang yang tidak tahu (tidak atau belum berilmu), tapi dia tahu (sadar) atas ketidaktahuannya. Keempat, rajulun laa yadri wa laa yadri annahu laa yadri. Yaitu, seorang yang tidak tahu (tidak atau  belum berilmu) dan dia tidak tahu kalau dirinya tidak tahu. 

Jadi, kamu termasuk golongan yang mana?"

Begitu postingan Kiai Mudzakkar.

Sementara Amat terenyuh membacanya. Dia mencoba merasuki diri. Merenung. Hingga akhirnya, dia berusaha dengan sekuat tenaga untuk menjalankan ibadah kesungguhan di Ramadhan tahun ini. Dia menyadari bahwa selama ini,  d ketaatannya hanya mencipta sebuah kesombongan. Kini, Amat bertobat. Dia merasa sudah melakukan kedurhakaan kepada Tuhan karena ketaatannya.

Amat tersadar, bahwa Tuhan adalah satu-satunya Dzat yang dia butuhkan. Kesombongan tak berlaku bagi manusia yang sesungguhnya tak miliki apa-apa. Dia berharap, Ramadhan tahun ini bisa membawanya pada ibadah kesungguhan yang memberi nilai positif di 11 bulan setelahnya. Semoga, Amat kembali berharap, perasaannya menjadi halus dan jiwanya menjadi lembut kepada segenap makhluk.


Wallahu A'lam...

Sabat, 1 Ramadhan 1438

Tabik,

Aru Elgete
Previous Post
Next Post

0 komentar: