Senin, 01 Mei 2017

Mei 2017: Maafkan, Aku Murtad!


Ilustrasi. Sumber: kochiefrog.com

Mei (May), ada yang ganjal dari kisah yang terajut saban tahun. Setiap bulan kelima dalam kalender Gregorian ini, terdapat banyak makna yang selalu berbeda. Pikirku, bulan yang namanya merujuk pada Dewi Maia ini, memiliki kesan mendalam dalam setiap perjalanan kehidupanku. Siapa pun, menurutku, pasti merasakan.

Tahun ini, tentu berharap agar lebih baik dari sebelumnya. Terlebih, Mei 2017 bertepatan dengan Sya'ban 1438. Menurut Kanjeng Nabi, bulan kedelapan dalam hitungan kalender hijriyah ini merupakan bulannya. "Rajab adalah bulan Allah. Sya'ban itu bulanku. Sementara Ramadhan, bulan umatku." Begitu dawuh Putra Abdullah. Maka terdapat doa, "Allahumma baarik lana fii rajaba, wa sya'bana, wa balighna ramadhan."

Namun sesungguhnya bukan itu yang ingin kubahas. Kalau tulisanku mengulas seputar keislaman, akan menjadi bahan tertawaan bagi mubaligh yang berdiri di balik mimbar. Menjadi buah bibir para ustadz yang dengan sampiran surban di pundak, karena merasa jatah ceramahnya direbut olehku. Sungguh, aku tidak ingin merebut hak orang lain.

Begini, tulisanku ini adalah bentuk refleksi diri dari setiap Mei yang telah kulewati. Tahun lalu, aku gegap gempita menyambutnya. Saat itu, aku berada dalam barisan pergerakan untuk memperjuangkan hak-hak buruh. Sebab, berbagai kajian yang kulahap tidak jauh dari gerakan yang cenderung ke arah pemberontakan. Kala itu.

Baiklah, secara bahasa buruh berarti pekerja. Tapi, mari maknai kata "buruh" dengan menggunakan majas totem pro parte. Keseluruhan untuk sebagian. Saat aku menyebut "buruh" jangan lantas dimaknai sebagai pekerja secara keseluruhan. Akan tetapi, untuk sebagian. Dalam hal ini, barangkali, sebagian besar.

Aku mencermati saban tahun. Membaca gerak. Mencoba menafsirkan teks verbal. Beragam peristiwa juga tak luput dari perhatianku. Setiap 1 Mei, buruh turun ke jalan. Tentu tidak seluruh pekerja kan yang turun? Hanya sebagian saja. Oke, mereka yang turun mungkin (menurutmu) mewakili buruh yang lainnya. Tidak masalah. Dulu, ibuku juga buruh pabrik. Bapakku pun demikian; buruh pemerintah.

Lantas, apa yang membedakan?

Kini, aku sedang menekuni pekerjaan menjadi buruh tinta. Atau, jika kau tak keberatan, aku disebut-sebut sebagai buruh kesenian. Kakak perempuanku, Neya, juga seorang buruh racik di salah satu rumah sakit di Bekasi. Singkatnya, gawat juga kalau seluruh idiom dimaknai secara keseluruhan, universal, atau general. Beruntunglah bahasa Indonesia memiliki majas sinekdok dua rupa; totem pro parte dan pars prototo.

Aku melihat buruh yang turun ke jalan, sebagian besar memiliki kendaraan bagus. Bapakku yang pensiunan pegawai negeri saja kalah. Neya, yang sudah sentosa hidup sebagai apoteker pun kalah mewah dengan para buruh yang turun ke jalan itu. Kalau diajak hitung-hitungan kekayaaan di KPK, dengan gembira aku mau. Mereka pasti lebih kaya, lebih mewah, lebih punya segalanya. Tapi kenapa setiap tahun gaji minta dinaikkan?

Sesungguhnya aku tidak paham soal Upah Minimum Regional, Kota/Kabupaten, dan Provinsi (UMR, UMK, dan UMP). Namun, dapat kupastikan bahwa gaji buruh di Kota Jakarta dan penyangganya lebih besar daripada daerah yang lain. Terlebih, yang berada jauh dari Ibukota dan bahkan di luar pulau Jawa. Parahnya, buruh di kota-kota besar selalu minta dinaikkan gajinya. Tuntutannya pun macam-macam. Oke, buruh juga manusia. Butuh ini dan itu. Bahkan, kosmetik dan kredit kendaraan masuk dalam daftar tuntutan.

Kaum buruh yang selama ini disebut sebagai proletariat, kenapa tidak tinggalkan saja pekerjaan sebagai buruh itu? Kalian anti-kapitalisme kan? Kapitalis menyedot tenaga dan jasamu, ya? Sementara kamu masih betah berada di ketiak kapitalis. Tinggalkan, dong. Buka usaha. Ah, kapitalis juga ujung-ujungnya. Tapi, tak apa. Minimal, jadi kapitalis yang humanis. Kapitalis-sosialis juga keren, tuh.

Karena yang kutahu, sistem kapitalisme itu berdasarkan pada reward and punishment. Kalau malas, tidak dapat. Sekalipun dapat hanya beberapa saja. Sedangkan yang rajin, pasti akan dapat lebih. Bahkan jauh melampaui dari seorang buruh yang malas. Allah saja begitu. Siapa yang rajin salat, mengaji, mengerjakan amal kebaikan, akan mendapat kebahagiaan di dunia dan akhirat. Tapi, barangsiapa yang tidak taat kepada Allah, bersiaplah. Karena hukuman pasti akan menimpanya.

Jujur, aku bingung. Sebenarnya siapa yang gagal paham? Aku atau dirimu? Kau teriak-teriak di bawah terik matahari meminta hak yang tidak kira-kira. Namanya juga kapitalis, pasti dituruti kemauanmu itu. Syaratnya, kerja yang lebih giat dan rajin lagi. Silakan beli dan nikmati produk hasil karya kaum kapitalis, yang penting kamu kerja. Begitu, kan? Kamu kerja untuk siapa? Kapitalis. Kemudian, siapa yang kau kutuk setiap tahun? Kapitalis juga. Ah, aku yakin, hidupmu penuh kebimbangan.

Kalau mau menghilangkan kelas, silakan pindah ke Kuba atau Venezuela saja. Mereka sosialis banget loh. Tapi setiap hari, makan dijatah. Mau? Kamu tidak akan pernah bisa jadi kaya. Semua sama. Kerja keras banting tulang, hasilnya sama dengan yang kerja tanpa membanting tulang. Bukankah konsep adil sudah diajarkan sejak dalam pikiran?

Ibumu punya anak tiga. Kelas 3 SMA, 2 SMP, dan 5 SD. Misal, kamu sebagai anak yang kebetulan duduk di bangku kelas 3 SMA. Lalu, uang sakumu sama dengan adik-adikmu. Mau? Lho, katanya menghilangkan kelas? Sekolahmu saja sudah ada kelas-kelasnya begitu, kok. Bagaimana? 

Kawanku, maaf aku murtad. Aku keluar dari jalur perjuangan. Untuk kali ini saja. Pergerakanku hanya untuk membela kaum lemah dan yang dilemahkan. Bukan menjadi pembela untuk kaum yang berpura-pura lemah. Tanpa kau ketahui, aku punya teman (sekalipun tidak banyak), seperti nelayan, petani, pekerja rumah tangga, pekerja rumah tinta, bahkan para pekerja seni dan budaya yang dilemahkan penguasa. Oh iya, kalau memperjuangkan dan menyuarakan kebenaran atas ketidakadilan yang dirasakan Munir Sa'id Thalib dan Wiji Thukul, aku mau. Ayo!

Tapi, aku enggan membela buruh yang kerjanya kredit kendaraan mewah, belanja bulanan di supermarket milik pemodal asing, atau yang suka menghamburkan duit ke tempat makan ala Amerika dan Eropa. Perjuanganku akan terasa sia-sia kalau membela buruh macam itu. Aku ingatkan lagi, ya. Buruh yang kumaksud dimaknai dengan menggunakan majas sinekdok totem pro parte. Paham?

Eh, diskusi yuk. Kapan?




Kaliabang Nangka, Bekasi Utara, 1 Mei 2017



Aru Elgete
Previous Post
Next Post

0 komentar: