Selasa, 31 Desember 2019

Sebuah Refleksi Diri di Pengujung 2019


Sumber: jmf.com

Tahun segera berganti. Orang-orang saling sibuk mempersiapkan diri. Bersiap merayakan pergantian tahun dengan berbagai cara, juga bersiap-siaga menghadapi hari-hari baru di tahun berikutnya. Terlepas dari berisiknya sebagian kaum beragama mengenai hukum merayakan malam pergantian tahun, saya ingin mengajak kita semua untuk merefleksikan diri. 

Tahun 2019 adalah jalan panjang yang sangat melelahkan. Kita sempat bersitegang, saling sikut lawan, menghakimi yang lain, menolak berbeda, dan mengancam atau mengiming-imingi. Semua dilakukan dengan kucuran keringat yang tak sedikit, dengan fisik yang sangat melelahkan, dan bahkan dengan emosi yang meletup-letup. Persaudaraan yang semula rekat menjadi retak karena lidah-lidah yang saling berdalih untuk membela dan membelot. 

Tahun 2019 adalah labirin penghakiman tiada henti. Kita diadu-domba oleh pihak-pihak yang menginginkan keterpecahan berlangsung di Bumi Pertiwi dan celakanya kita menikmati itu. Kita menikmati permusuhan yang dibumbui oleh nada-nada kebencian. Kita menikmati perselisihan yang sengaja diselisihkan oleh sebagian oknum yang menghendaki perselisihan. Kita saling bersitegang, tak saling tegur, dan bahkan memutus silaturahmi hanya karena berbeda. 

Tahun 2019 merupakan koridor gelap yang sudah seharusnya menjadi pelajaran berharga bagi hidup dan kehidupan kita sebagai manusia. Kita dibuat seolah saling tak kenal, padahal semula adalah saudara yang sangat memiliki ikatan yang kuat. Kita menjadi tercerai lantaran wawasan kita yang masih seujung kuku. Kita menjadi musuh yang saling mencederai. Budaya ketimuran yang ramah, toleran, dan penuh penghormatan kepada orang lain menjadi hancur-lebur karena ketidakmengertian kita tentang sesuatu bernama politik.

Tahun 2019 adalah masa lalu yang harus ditutup rapat-rapat, yang boleh saja dibuka kalau di depan nanti ada peristiwa serupa yang sengaja ingin dibuat oleh kelompok yang menghendaki perpecahan. Masa lalu harus dijadikan spionase diri untuk mengubah diri, memperindah laku, dan memperluas cakrawala pemikiran agar tidak terjerembab pada lubang yang sama. Masa lalu menjadi pembelajaran penting supaya kita tak lagi masuk ke dalam kubang-kabung yang membawa luka-duka pada persahabatan yang telah terjalin.

Sepanjang tahun 2019, kita dihadap-hadapkan dengan pertengkaran yang seolah-olah kehidupan di dunia adalah segalanya. Kita dipertontonkan dengan kejadian-kejadian yang diperankan oleh kita sendiri yang selalu bicara tentang kehidupan kekal di akhirat, tetapi pada kenyataannya kita takut kehilangan segala sesuatu yang bersifat kebendaan. Kita diperlihatkan secara gamblang, wajah-wajah penuh kebencian yang menempati ruang-ruang media massa. Kita merasa terancam, jika berada dalam lingkaran yang berbeda.

Kawanku, pergantian tahun ini mari kita jadikan sebagai momentum penginsyafan diri. Mari tanyakan kepada diri, sudah melakukan hal baik apa sepanjang tahun? Segala yang baik, mari kita lanjutkan dengan penambahan nilai-nilai kebaikan itu. Namun semua yang kurang baik, hendaknya juga ditambal dengan perbuatan kebaikan di masa mendatang. Kita mengenal ungkapan pepatah, 'Tak ada gading yang tak retak'. Bahwa manusia adalah tempatnya salah dan lupa. 

Sudahkah memaafkan dan berdamai dengan sendiri, sehingga mampu memberi maaf atau bahkan meminta maaf kepada orang-orang yang selama ini--mungkin saja--tersakiti oleh perbuatan-perbuatan kita? Sudahkah kita mendoakan orang-orang terdekat kita agar terhindar dari segala macam kebahayaan yang sewaktu-waktu menghampiri? Sudahkah kita menjadi pelita bagi kegelapan hidup dan kehidupan? Sudahkah kita menjadi cahaya bagi keputus-asaan yang sempat hinggap di dalam diri?

Sudahkah kita bersyukur dengan tanpa melihat orang lain yang hidup lebih payah dari kita sebagai objek kebersyukuran diri? Sudahkah kita memberikan apresiasi atas kinerja diri yang selama ini telah dilakukan? Sudahkah kita mengungkapkan kebahagiaan terhadap pemberian orang lain, walau secara nominal tidak seberapa, tapi memiliki nilai yang sangat berharga? Sudahkah dan seberapa banyak kita bersedekah, walau hanya sesungging senyum dari bibir yang melebar ke kiri dan kanan?

Sudahkah kita tak merasa lebih besar dari yang lebih akbar, yang menciptakan hidup dan kehidupan kita di dunia? Sudahkah kita membela kehidupan demi kemanusiaan? Sudahkah kita membela kemanusiaan sebagai wujud penghambaan kepada yang berkuasa atas manusia? Sudahkah kita berkontribusi dalam mewujudkan peradaban yang rukun, sekalipun hanya dalam lingkaran paling kecil? Sudahkah kita melakukan upaya pencegahan dan bahkan penanggulangan atas segala hal yang mencederai nilai kemanusiaan?

Sudahkah kita bertanya pada diri sendiri, lalu berniat untuk menjadi pribadi yang lebih baik dari kini? Sudahkah? Kalau belum, segera dipersiapkan. Kalau sudah, segera ditingkatkan. Mari sama-sama kita songsong tahun 2020 dengan kegemilangan, dengan terang-benderang, dan dengan kemeriahan suka-cita yang membahagiakan kehidupan semesta. 

Sudahkah dipersiapkan?

Kamis, 26 Desember 2019

Menjadi Muslim Tanpa Emosi (2): Penyebaran Islam di Jawa Bagian Barat


Sumber gambar: islami.co

Saat mendengar kabar bahwa Islam telah masuk ke wilayah kekuasaannya, Raja Pajajaran Prabu Siliwangi marah bukan main. Ketika itu, Islam mulai disebarkan atau disyiarkan pada tahun 1410 oleh seorang ulama dari Tiongkok, Syaikh Hasanuddin yang terkenal dengan bacaan Al-Quran yang indah dan merdu, sehingga ia akrab disapa Syaikh Quro. Sehari-hari, ia tinggal di Rengasdengklok, Karawang, mengajari orang-orang sekitar yang baru masuk Islam untuk belajar Al-Quran.

Prabu Siliwangi, marah. Ia tak terima atas masuknya Islam di Pajajaran, lalu ia lantas berangkat dari daerah Bogor menuju utara untuk membunuh Syaikh Quro yang dianggap membawa agama baru. Setibanya di sana, ia melihat seorang perempuan cantik yang merupakan murid dari Syaikh Quro bernama Subanglarang yang sedang membaca Al-Quran.

Subanglarang, perempuan yang punya paras cantik dan tubuh yang menarik. Dalam ceramahnya di Universitas Mitra Karya, Bekasi, Jawa Barat, Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj menggambarkan tubuh Subanglarang, kutilang (kuning, tinggi, langsing). Subanglarang adalah putri dari Ki Gede Tapa Cirebon.

Tak dinyana, Prabu Siliwangi yang awalnya ingin marah-marah dan bahkan membunuh Syaikh Quro karena telah menyebarkan agama baru itu, seketika klepek-klepek saat melihat Subanglarang yang cantik itu sedang membaca Al-Quran dengan suara merdu. 

Tanpa pikir panjang, Prabu Siliwangi langsung melamar Subanglarang. Pada saat itu pula, Syaikh Quro sebagai guru pun memberi izin. Namun dengan syarat, yakni Prabu Siliwangi agar terlebih dulu memeluk agama Islam. Prabu Siliwangi menyanggupi.

Usai baca syahadat, tanda masuk Islam, Prabu Siliwangi diminta untuk memberikan maskawin berupa lintangkerti atau tasbih yang hanya ada di Arab. Kemudian dengan kesaktiannya, Prabu Siliwangi terbang ke Arab dan dengan sangat cepat sudah kembali lagi di kediaman Syaikh Quro untuk memberikan maskawin itu. 

*****

Hal yang terpenting dari kejadian di atas adalah telah terjadi perkawinan antara Prabu Siliwangi dengan perempuan Muslimah murid Syaikh Quro bernama Subanglarang. Kelak, pasangan itu memiliki keturunan yang akan mengislamkan seluruh Jawa bagian barat. 

Putra pertama adalah Syaikh Rohmatullah yang punya gelar Prabu Kiansantang. Ia akan mengislamkan Jawa bagian barat (kecuali Patih Pucuk Umun yang tidak mau masuk Islam dengan pengikutnya Suku Baduy di Malimping, Banten, yang tetap memilih untuk beragama Sunda Wiwitan Karuhunan).

Lalu putra kedua dari pasangan Prabu Siliwangi dan Subanglarang adalah Syaikh Shomadullah yang menjadi kuwu atau kepala desa di Cirebon sehingga mendapat gelar Ki Kuwu Cirebon. .

Ketiga, anak Prabu Siliwangi-Subanglarang adalah perempuan yang diberi bernama Syarifah Muda’im atau yang dikenal Rarasantang, kemudian dinikahi oleh Habib Abdullah Azmatkhon dari India. Dari pernikahan itu lahirlah seorang putra bernama Syaikh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunungjati. 

Dengan adanya Prabu Kiansantang dan Ki Kuwu Cirebon bersama keponakannya Syaikh Syarif Hidayatullah, seluruh wilayah Jawa bagian barat, semuanya masuk Islam.  Masuknya Islam di wilayah Jawa bagian barat tidak sama sekali menggunakan kekerasan, tidak dengan kalimat takbir seraya melakukan sweeping membawa pentungan. Bahkan bisa dibilang, bahwa Islam di Tanah Jawa bagian barat tersebar lantaran pemicu awalnya adalah perempuan cantik bersuara merdu yang membuat Prabu Siliwangi jatuh hati.

Walaupun semangat keislaman Prabu Siliwangi tidak terlalu terlihat, tapi anak-anak dan cucunyalah yang memiliki keislaman kuat. Sehingga, mereka mampu melakukan syiar Islam dengan damai di Tanah Jawa bagian barat. Mereka itulah Syaikh Rohmatullah atau Prabu Kiansantang, Syaikh Shomadullah atau Ki Kuwu Cirebon, dan Rarasantang yang dinikahi oleh Habib Abdullah Azmatkhon yang memiliki anak Syaikh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunungjati.

Syaikh Syarif Hidayatullah kemudian punya anak, yakni Maulana Hasanuddin yang mengislamkan seluruh Banten dan sekitarnya. Islam kemudian menyebar hingga ke arah Timur dari Banten, yang ketika itu masih menjadi wilayah yang sangat menyeramkan dan mengerikan. Daerah itu kemudian diberi nama Jayakarta atau Jakarta.

(Tulisan ini disarikan dari Ceramah KH Said Aqil Siroj di Universitas Mitra Karya, beberapa waktu lalu)

Rabu, 25 Desember 2019

Surat Cinta untuk Gus Dur


Sumber gambar: viva.co.id

Gus Durku, bagaimana kabarmu? Tak terasa sudah satu dekade kita tak jumpa. Orang-orang di sini berkali-kali meneriakkan kata rindu, menuliskan kalimat sepi, tetapi juga seraya melangitkan doa. Doa-doa itu, bukan hanya sekadar permintaan agar kau senantiasa damai bersama Dzat yang Mahaagung. Tetapi doa-doa itu dilangitkan, agar spirit dan ruh perjuanganmu senantiasa membumi.

Gus Durku, sedang apa kau di sana? Kuharap, dan kita semua di sini berharap, engkau bahagia, tertawa cekikikan dan melucu di hadapan para malaikat seperti yang sering kau lakukan, dulu, kepada kami. Ya, humormu itu selalu segar untuk dibawakan di sepanjang zaman, mungkin saja para jin dan malaikat di sana juga terhibur karena humor-humormu itu. Jangan lupa juga, sering-sering sampaikanlah kepada mereka itu kalimat andalanmu yang sakti: "Gitu saja kok repot".

Gus Durku, kini kami yang ada di bumi selalu dibuat repot. Sejak kepulanganmu ke negeri akhirat sepuluh tahun lalu, kalimat "Gitu saja kok repot" itu, justru repot sekali dilakukan. Tapi kami tahu maksudmu, dan kami akan selalu belajar memahami itu.

Kalimat saktimu itu adalah pemaknaan dari doa: Allahumma yassiru wa laa tuassiru, Ya Allah mudahkan dan jangan disulitkan. Selain itu juga bermakna sama seperti kalimat simplex veri sigillum atau simplicity is the sign of truth, bahwa kesederhanaan itu sangat dekat dengan kebenaran. Laku-lampahmu selama hidup menjadi gambaran betapa kebenaran itu sebenarnya simpel, mudah, sederhana, tetapi justru kami yang kerapkali mempersulit.

Gus Durku, anak-anak dan keluargamu di bumi selalu rindu kepadamu. Namun, saat rindu itu datang, yang dilakukan oleh anak-anak dan keluargamu bukan justru merenung yang menjadikannya justru tidak produktif, tetapi terus-menerus melakukan kerja-kerja kemanusiaan yang dulu telah kau teladankan. 

Maksudku, anak-anakmu itu bukan Alissa, Yenny, Anita, dan Inaya. Ya, mereka anak-anak biologismu. Tetapi anak-anakmu yang kumaksud itu adalah anak-anak bangsa yang dalam semangat hidupnya tersisip nilai-nilai yang telah kau tanamkan sejak dulu. Anak-anak itu yang kini tergabung dalam sebuah jaringan komunitas bernama GUSDURian. Sebuah komunitas yang lahir demi untuk melestarikan nilai-nilai utama perjuanganmu, mereka meramunya ke dalam 9 nilai utama. 

Juga yang kumaksud keluargamu adalah mereka yang menjadi fokus utama dari penyebaran nilai-nilai yang telah kau teladankan itu. Keluargamu adalah umat Islam yang senantiasa menyebar salam, kedamaian, dan keselamatan. Keluargamu adalah seluruh warga negara Indonesia yang tidak main-main dengan Pancasila dan konstitusi negara. Keluargamu adalah seluruh umat manusia di muka bumi. Ya, kami semua adalah keluargamu yang selalu rindu dan menjadikan doa sebagai pertemuan spiritual kita. 

Gus Durku, apakah kau juga rindu dengan kami di sini?

Hari Natal dan Umat Islam yang Berisik


Sumber gambar: tjangkir.com

Setiap tahun, terutama menjelang Hari Raya Natal, pasti menjadi polemik. Tentu saja, yang berisik itu adalah umat Islam di Indonesia, negeri +62. Suara-suara mereka di media sosial cukup bising dan berisik. Kubu satu menghantam kubu yang lain, begitu pula sebaliknya.

Polemik itu mengenai perdebatan soal hukum mengucapkan "Selamat Natal". Umat Islam terpecah dalam persoalan ini, karena masing-masing punya pandangan yang berbeda. Ada yang membolehkan, tetapi ada juga yang melarang. Ada yang mengharamkan, tetapi ada juga yang mempersilakan. 

Tapi bagi saya, kedua kubu umat Islam, terutama di Indonesia itu, sangat kampungan sekali. Berisik. Merasa paling benar dengan pendapatnya, tetapi justru seperti ketakutan terhadap kebenarannya ketika argumentasinya itu dilawan. Sehingga timbul upaya untuk menyerang, menjatuhkan, dan menghina orang lain yang punya pandangan berbeda.

Orang-orang atau umat Islam yang membolehkan ucapan "Selamat Natal" itu adalah mereka yang merasa paling toleran. Bersamaan dengan itu, mereka menganggap orang-orang yang menghukumi haram ucapan "Selamat Natal" itu sebagai umat yang intoleran.

Bahkan bukan hanya itu, orang-orang yang "sok toleran" tersebut juga merasa diri sudah tercerahkan, tercerdaskan, dan berwawasan luas. Sehingga, orang-orang atau umat Islam yang tak sepaham dengannya disebut sebagai fundamentalis, konservatif,  radikal, dan istilah-istilah lain yang bernada merendahkan. 

Sementara umat Islam yang melarang atau menghukumi haram ucapan "Selamat Natal" akan menganggap umat Islam yang lain, yang membolehkan ucapan itu untuk diungkapkan, sebagai umat Islam yang telah luntur keislamannya. Sehingga, karena keislaman itu sudah luntur, dan bahkan bisa saja dihukumi sebagai kafir, maka harus diperbarui syahadatnya. 

Sebutan kafir itu menyakitkan sekali. Kita bisa berdiskusi kapan saja soal makna kafir yang seringkali disalahpahami. Namun terlepas dari itu, umat Islam yang menghukumi haram mengucapkan "Selamat Natal" tersebut, tentu saja merasa diri paling islami, merasa diri paling dekat dengan Allah, dan merasa diri paling punya banyak pahala serta dekat dengan surga.

Oleh karenanya, mereka menempatkan umat Islam yang tak sependapat itu di tempat yang paling rendah. Disebutlah liberal (dimaknai sebagai paham yang sesat dan melenceng dari ajaran agama), munafik, kafir, sesat, rusak akidah, fasik, dan istilah-istilah lain yang dimaksudkan untuk merendahkan.

Kenapa sih kalian berisik banget? 

Merasa paling benar boleh-boleh saja, kok. Hal itu justru diperlukan dalam hal beragama, tapi jangan lantas menganggap pendapat, argumentasi, dan pandangan orang lain sebagai sebuah kesalahan yang mutlak. Kapan mau majunya umat Islam kalau begitu terus? Malu-maluin. 

Kalian itu selalu sok toleran dan merasa paling toleran, tapi disaat yang bersamaan kalian justru memberisiki orang-orang yang tidak mengikuti laku-lampah atau jalan yang kalian tempuh. Kalian juga selalu saja merasa paling islami dan disaat yang sama, kalian justru merecoki orang lain yang tidak sepaham-sepemikiran dengan kalian. 

Aneh, beragama kok jadi berisik sekali. Lagipula, umat Kristen juga nggak butuh diucapkan kok. Kita nggak perlu caper juga lah. Mereka hanya butuh ketenangan lahir-batin untuk beribadah, itu saja. Berisiknya umat Islam, saya khawatir justru akan menganggu kekhidmatan umat Kristen dalam menjalani peribadatan di hari --yang menurut mereka sebagai hari-- yang istimewa ini. Tapi semoga saja tidak.

Namun sebagai manusia ruang (meminjam istilah Emha Ainun Najib), saya akan menerima semua perbedaan yang saling silang pendapat dengan gembira. Itulah sebuah keniscayaan yang harus disyukuri. Bahwa keragaman itu bukan hanya dalam bentuk fisik saja, tetapi juga pemikiran yang setiap tahunnya membuat saya bertambah wawasan pengetahuannya. 

Karenanya, saya ingin mengucapkan begini:

Kepada saudara-saudara saya, umat Kristen dan Katolik, saya ucapkan, "Selamat merayakan Hari Raya Natal".

Kepada saudara-saudaraku, umat Islam yang membolehkan untuk memberikan ucapan kepada umat Kristen dan Katolik, saya ucapkan, "Selamat mengucapkan Selamat Natal".

Dan kepada saudara-saudaraku, umat Islam yang melarang ucapan dan mengharamkan untuk memberikan ucapan kepada umat Kristen dan Katolik, saya ucapkan, "Selamat tidak mengucapkan Selamat Natal".

Plis ya, jangan jadi umat Islam yang berisik.

Sabtu, 07 Desember 2019

Menjadi Muslim Tanpa Emosi (1): Umar bin Khattab Masuk Islam


Ilustrasi. Sumber: moondoggiesmusic.com

Nabi Muhammad lahir di tengah-tengah masyarakat Arab yang ketika itu punya dua ciri. Pertama, dari sisi peradaban, masyarakatnya buta huruf. Kedua, dari sisi teologi, masyarakatnya masih banyak yang dalam keadaan sesat. 

Sebagaimana yang termaktub dalam QS 62 ayat 2, bahwa Nabi diutus di tengah-tengah bangsa yang ummiyyin (buta huruf) dan dholalim mubin (sesat). Kemudian, ia diperintah agar membangun masyarakat yang seperti itu menjadi masyarakat yang tercerahkan. Maka, digunakanlah beberapa metode.

Metode pertama adalah yatlu ‘alaihim aayaatih. Nabi memperkenalkan Al-Quran kepada orang-orang Arab yang jahiliyah itu. Sebagai pembawa 'agama baru', Nabi mendapatkan reaksi yang macam-macam dari masyarakat Arab kala itu. 

Ada yang mengatakan, bahwa Muhammad putra Abdullah telah beralih-profesi menjadi seorang pembaca mantra atau dukun, pembaca puisi atau sastrawan, penyanyi, dan penyihir. Sebab, bagi masyarakat Arab yang belum mendapat pencerahan ketika itu, Muhammad dirasa aneh, karena dirinya merupakan seorang yang buta-huruf.

Namun demikian, ada saja orang yang mendapat hidayah saat mendengar ayat-ayat Al-Quran dilantunkan. Salah satunya adalah seorang jawara, preman, pemabuk, dan pezina bernama Umar bin Khattab.

Suatu hari, Umar mendengar kabar tentang adiknya yang bernama Fatimah binti Khattab dengan suaminya Sa'id bin Zaid bin Nufail yang telah masuk Islam. Seketika itu pula, Umar marah. Ia lantas mendatangi kediaman sang adik. 

Setibanya di sana, tanpa ba-bi-bu Umar langsung mendobrak pintu rumah adiknya. Saat pintu terbuka, ia melihat Fatimah sedang membaca Al-Quran (surat Toha). Umar yang semula ingin marah dengan adiknya itu, seketika itu juga langsung lemas dan ambruk.

"Al-Quran diturunkan untuk menyelamatkan umat manusia. Al-Quran diturunkan tidak membuat celaka kamu sekalian. Diturunkan dari Tuhan yang menciptakan bumi dan langit. Dia adalah arrahman, yang menguasai arasy dan seluruh jagat raya," demikian awal surat Toha, yang dibaca Fatimah, jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

Kemudian, Umar malah bertanya: aina Muhammad? (Di mana Muhammad?)

Dijawab oleh adiknya: Di sana, di rumahnya Al-Arqam bin Abil Arqam.

Umar langsung lari untuk mendatangi Nabi Muhammad.

Setibanya di kediaman Arqam, Umar kemudian mengetuk pintu. Di dalam rumah itu ada Nabi dengan para sahabatnya yang sedang berdiskusi. Saat melihat Umar datang, para sahabat yang ada di dalam ketakutan, mengira Umar akan marah-marah. 

Namun, Nabi dengan tenang membuka pintu dan mengatakan, “Saya semalam berdoa: Allahumma a-izzal Islam bi ahadi umarayn (Ya Allah kuatkanlah Islam dengan salah satu Umar).”

Kalau bukan Umar bin Khattab, maka ‘Amr bin Hisyam atau Abu Jahal. Tapi rupanya hidayah jatuh kepada Umar bin Khattab bukan kepada ‘Amr bin Hisyam. Umar lalu dipersilakan masuk dan membaca syahadat dengan dibimbing langsung oleh Nabi Muhammad. Ia telah masuk Islam, semua sahabat gembira menyambut keislaman Sayyidina Umar bin Khattab.


(Tulisan ini disarikan dari Ceramah KH Said Aqil Siroj di Universitas Mitra Karya, beberapa waktu lalu)

Senin, 02 Desember 2019

Kiai Enha Bertutur (2): Islam, Dari Rahim Menuju Rahmat


Foto: Kang Opi Lengket Suraden

Kumandang azan magrib, sesaat lagi akan menggema. Kiai Enha tampak masuk ke dalam rumah, bersiap untuk mengimami salat magrib di Masjid Nurul Anwar, yang berada persis di samping rumahnya, di komplek Pesantren Motivasi Indonesia, Burangkeng, Setu, Bekasi. 

Usai salat magrib, berdzikir dan berdoa serta salat bakdiyah magrib, Kiai Enha lantas berbalik badan menghadap ke jamaah yang mayoritas adalah santri. Proses pengislaman, pembacaan ikrar dua kalimat syahadat untuk Handreas, seorang nonmuslim dari Cikarang Barat, akan segera dilakukan. 

Namun sebelum itu, Kiai Enha tampak bahagia sekali. Sehingga terlebih dulu memaparkan berbagai pandangannya tentang konsep Islam yang penuh dengan kasih sayang. Di awal bicaranya, dia mengungkapkan makna silaturahmi –atau dalam bahasa arab disebut silaturrahim

"Karena Islam turun di Arab, maka banyak istilah yang menggunakan bahasa Arab. Banyak bahasa Arab yang diindonesiakan, sekaligus membuktikan bahwa di Indonesia ini memberikan dampak yang luar biasa sampai ke urusan bahasa," kata Kiai Enha, di awal penjelasannya mengenai silaturahmi.

Bahasa arab itu, yang diserap ke dalam bahasa Indonesia, salah satunya adalah silaturrahim (yang menjadi silaturahmi, dalam bahasa Indonesia) yang sering diucapkan dalam keseharian. Silaturrahim berasal dari dua kata. Silah, artinya keterhubungan atau koneksi dan arrahim yang berarti kasih sayang.

"Jadi, silaturrahim adalah hubungan yang didasari dengan rasa kasih sayang. Sehingga setiap saat, sebenarnya kita ini sedang membangun hubungan kasih sayang," jelas Kiai Enha yang jebolan Pondok Pesantren Ploso, Kediri, Jawa Timur ini.

Menurutnya, membangun hubungan yang didasari dengan rasa kasih sayang menjadi sesuatu hal yang sangat penting. Sebab, Islam hadir sebagai rahmat, yang juga berarti adalah kasih sayang. Sehingga hubungan yang dibangun di atas dasar kasih sayang adalah hubungan yang diperkenalkan Islam.

"Kita itu sebelum lahir, berada di dalam ruang yang bernama kantung rahim dan ketika berpulang nanti, dapat predikat bahwa kita ini berpulang ke rahmatullah: kasih sayang juga. Jadi, hidup kita ini berasal dari rahim menuju rahmat. Bisa dibayangkan, muslim itu kalau dia mengkhianati keislamannya, maka berarti dia sudah merusak pola yang sudah dibuat oleh Tuhan," kata Kiai Enha. 

Dikatakan, manusia adalah alumni kantung rahim. Maka kalau hidupnya tidak membawa kerahmatan, kedamaian, dan kasih-sayang, itu berarti telah mengkhianati Tuhan. Pertanyaannya kemudian, kenapa Islam berarti kedamaian? 

Jawabannya tak lain lantaran hidup seorang muslim, sejak lahir hingga meninggal, membawa misi. Yakni misi kerahmatan atau kasih-sayang yang telah ada, sejak berada di dalam kantung rahim hingga nanti pulang ke rahmatullah

Kalau ada seorang muslim yang dalam hidupnya, kerap mengkhianati misi kerahmatan, hidupnya akan dipenuhi oleh ketegangan dan penuh dengan kemarahan. Sehingga yang dibawa adalah rasa berbeda dengan orang lain, dan orang yang berbeda itu, harus dihabisi. 

"Jadi kita tidak boleh mengkhianati misi yang telah dititipkan Allah itu," pesan Kiai Enha.

Larangan Menghakimi Jenazah

Tak hanya itu, Kiai Enha juga menitipkan pesan bahwa orang-orang yang sudah berpulang ke rahmatullah sekalipun, jangan dikhianati. Artinya, kalau ada seseorang yang selama hidupnya bergelimang kemaksiatan, maka jangan dihakimi bahwa orang tersebut (saat meninggal dunia) tidak berpulang ke rahmatullah. Atau dalam kalimat lain, kematiannya itu tidak mendapat rahmat Allah.

Kalau ada bandar narkoba yang meninggal dunia, misalnya, harus dipersaksikan juga bahwa dia adalah orang baik. Jangan sampai dihakimi, karena kematiannya itu membawa dirinya untuk tidak lagi berurusan dengan narkoba. Itu berarti, kematian telah menghentikannya dari kejahatan dan kemaksiatan.

Secara sangat terperinci, Kiai Enha menjelaskan, "Itulah mengapa istilah berpulang ke rahmatullah adalah doa. Kita tidak boleh menghakimi orang lain, termasuk menghakimi jenazah yang sudah meninggal dunia. Selain itu, kematiannya juga pasti membawa dampak baik kepada lingkungan masyarakat karena telah berkurang satu kemaksiatan. Isyhad (persaksian) itu bukan dalam arti kita menyaksikan kejahatannya, tapi didoakan agar dia menjadi orang baik, dan kebaikannya memberi dampak untuk masyarakat setelah dia tidak ada."

Walaupun kemudian, setelah kematian itu, si bandar narkoba punya tanggungan personal di akhirat kepada Allah karena dosa-dosanya selama di dunia, biarlah menjadi urusan pribadinya kepada Allah, bukan menjadi urusan manusia yang masih hidup. Urusan bagi orang-orang yang masih diberikan hidup adalah mendoakan.

Demikianlah Islam, yang membungkus kehidupan dari rahim menuju rahmat. Maka, Islam itu adalah rahmatan lil alamin yang bermakna bahwa keberadaan Islam harus mampu merahmati semua alam. Kerahmatan di dalam Islam bukan hanya untuk umat Islam saja, tetapi untuk seluruh penghuni semesta.

Ajaran Inti Agama-agama

Itulah yang kemudian menjadi bagian penting di dalam ajaran Islam. Bahwa kerahmatan ini adalah dasar dari pelaksanaan misi yang dibuat oleh Tuhan bernama kasih-sayang. Allah meletakkan kerahmatan itu sejak awal. Islam diturunkan kepada Nabi Muhammad melalui serangkaian peristiwa yang terhubung dari waktu ke waktu. Dari Nabi Adam hingga Nabi Muhammad.

Nabi Ibrahim pernah mengatakan, “Ana awwalul muslimin.” Aku adalah orang muslim yang pertama. Padahal secara formal, Islam belum ada di zaman Nabi Ibrahim. Hal itu menjadi bukti nyata bahwa ajaran-ajaran Islam, tidak ada yang berbeda dari agama-agama yang dibawa para nabi sebelumnya. Syariatnya berbeda, tapi poin inti dari ajaran agama tidak ada yang berbeda sama sekali.

Poin inti itu adalah ketundukan kepada Allah. Kalimat sami’na wa atho’na, yang terdapat di dalam Al-Quran, harus betul-betul diimplementasikan. Namun ironinya, saat ini ada banyak muslim yang mengucapkan kalimat itu, tetapi hanya sebatas ucapan di bibir saja. Sehingga menjadi sami’na wa ashoyna.

Sami’na wa atho’na berarti mengenali kerahmatan yang telah Allah turunkan, sehingga ketika salat atau beribadah, seseorang menjadi sangat mudah, tidak berat dan tanpa beban apa pun. Pondasinya adalah dua kalimat syahadat. Sebuah kalimat kebersaksian bahwa tidak ada Tuhan kecuali Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah.

Maka sesungguhnya kalimat tauhid, menurut Kiai Enha, menjadi motor penggerak untuk seluruh keislaman yang ada. Kalimat tauhid menjadi penting, karena merupakan kalimat yang menggerakkan berbagai laku kehambaan diri kepada Allah, dan sekaligus implementasinya kepada sesama. 

"Kalimat tauhid ada, tapi benderanya tidak ada. Karena kalimat ini tidak pernah dibenderakan oleh Rasulullah. Zaman nabi itu memang ada panji-panji, tapi biasanya untuk berperang dan pembebasan kota baru, tapi tidak tertulis seperti yang saat ini sedang marak," kata Kiai Enha.


Setelah panjang-lebar menjelaskan tentang Islam yang membawa misi kerahmatan, kedamaian, dan kasih sayang, prosesi pengislaman untuk Handreas pun dilangsungkan. Karena Kiai Enha seperti ingin menitipkan ruh keislaman yang penuh kasih-sayang itu, maka Handreas diberi tambahan nama baru.

Nama itu adalah Abdurrahman, artinya hamba yang diliputi rasa kasih sayang. Selain itu, Kiai Enha juga sebenarnya terinspirasi oleh tokoh atau ulama NU, KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, yang sepanjang hidupnya selalu menebarkan dan mengampanyekan Islam yang ramah dan rahmatan lil 'alamin.

Abdurrahman Handreas, begitu nama barunya. Semoga kasih-sayang selalu meliputi dirinya: kasih-sayang dari Allah, juga kasih sayang dari sesama manusia, serta kasih sayang dirinya untuk Allah dan hamba-Nya. Demikianlah Islam, yang selalu mengajarkan tentang kedamaian dan kasih-sayang.

Wallahua'lam...