Kamis, 31 Oktober 2019

Sebuah Catatan: Teguran untuk Sesama Muslim yang Sering Berantem


Foto diambil dari akun twitter @islamidotco

Usai Mbak Sakdiyah Ma'ruf dengan tegas dan serius mengungkapkan shame on us, dia kemudian langsung mengungkapkan sebuah hal yang selama ini kerap menjadikan sesama muslim saling bersitegang. Inilah sesungguhnya akar dari semua hal yang kerap membuat saudara sesama muslim bertengkar satu sama lain. 

Akhir-akhir ini, masyarakat Indonesia setiap hari berbicara soal Islamic extremism. Lebih-lebih pemberitaan dari media asing yang "seolah" menyudutkan Islam. Selain itu, isu yang diangkat adalah juga tentang meningkatnya konservatisme di Indonesia. 

"Buktinya banyak. Kita bisa lihat di mana dan pengalaman itu bisa kita rasakan setiap hari," kata Mbak Sakdiyah, masih dengan raut wajah yang serius, dalam Picnikustik yang diselenggarakan Komunitas Musisi Mengaji dengan tema 'Sholeh Tanpa Menghakimi', di Jakarta, pada Rabu (30/10) malam.

Namun sebagai orang awam, kita seperti hampir tidak pernah bisa melakukan identifikasi secara jelas siapa mereka yang terlibat dalam gerakan Islam ekstrem? Kemudian kapan mereka atau kelompok ekstremis itu mulai masuk ke Indonesia? Siapa mereka? Juga, apa sebenarnya yang mereka bawa?

"Karena tanpa mengetahui itu, pada akhirnya orang muslim dengan orang muslim akan berantem sendiri," kata ibu beranak satu yang berprofesi sebagai dosen, sekaligus pekerja humor, stand up comedy. 
Menurutnya, setiap hari ada saja orang yang mengritik kita (orang-orang yang progresif, berpemikiran terbuka, dan muslim moderat). Kritik itu datang dengan narasi-narasi yang sebenarnya sangat menyakitkan. 

"Kita dibilang kurang Islam, dibilang jilbabnya jangan diikat. Kemudian kita balas dengan mengatakan mereka itu bodoh, fundamentalis, konservatif. Apa bedanya? Itu yang perlu kita pikirkan," tegas Mbak Sakdiyah.

Namun sesungguhnya apa yang diungkapkan Mbak Sakdiyah itu membuka mata kita semua untuk sama-sama memperbaiki keadaan, dan kemudian membangun peradaban untuk hidup bersama. 

Semua yang dikatakan Mbak Sakdiyah merupakan fenomena yang saat ini sudah terjadi, bahkan kerap terjadi sejak lama. Hanya saja, sekarang-sekarang ini lebih terdengar kebisingannya lantaran kemajuan teknologi dan kebebasan berpendapat yang diakomodir oleh negara kita.

Mbak Sakdiyah seperti menegur kita. Menampar orang-orang yang selama ini menganggap orang lain tidak pintar, radikalis, ekstremis, bahkan teroris. Menampar pula orang-orang yang selama ini menganggap orang lain tidak lebih baik keislamannya: seperti liberal, kafir, murtad, zindiq, munafik. 

Mbak Sakdiyah mencoba mendudukkan perkara. Dia memposisikan dirinya di tengah. Tidak memihak kanan dan kiri. Tidak memihak kubu "konservatif" maupun "progresif", walaupun sebenarnya istilah itu dibuat oleh orang-orang Barat untuk menghakimi intelektual orang lain atau kelompok lain yang tidak sejalan secara pemikiran.

Saat ini, tingkat kesalehan seseorang, terutama kaum beragama, sedang meningkat. Pengetahuan tentang buruknya saling menghakimi itu harus terus digaungkan. Karena toh, di dalam agama, pasti tidak diperkenankan untuk saling melempar penghakiman, judgement, bully, dan ungkapan lainnya yang menandakan orang lain tidak lebih hebat dari kita. 

Mari, kita hadapi kebisingan-kebisingan itu dengan "berpuasa" untuk tidak menghakimi? Bisakah? Saya rasa, hanya orang-orang sufi dan mereka yang sudah mempelajari ilmu tasawuf yang mampu untuk hidup tanpa sebuah penghakiman. Tapi, apa salahnya kita mencoba? 

Wallahua'lam... 

Sholeh Tanpa Menghakimi dan Catatan Sakdiyah Ma'ruf: Shame On Us!


Sumber foto: akun twitter @islamidotco


Siapa yang tidak kenal dengan Sakdiyah Ma'ruf? Dia adalah seorang perempuan, ibu beranak satu, yang terlahir dari komunitas keturunan Arab, yang kemudian menjadi pekerja humor; stand up comedy. Baginya, humor adalah cara yang dilakukan untuk mendakwahkan Islam dengan sejuk. 

Jujur saja, saya belum pernah menyaksikan seorang dosen ini melawak. Pernah ketika itu, saat Harlah Gus Dur beberapa waktu lalu di Griya Gus Dur, Taman Amir Hamzah, Jakarta, Mbak Sakdiyah ini diundang sebagai pengisi acara. Tapi sayang, saya datang tidak tepat waktu, sehingga belum pernah sama sekali saya melihat lawakannya secara langsung.

Nah semalam, Komunitas Musisi Mengaji atau Komuji mengadakan sebuah pertemuan yang diberi nama Picnikustik bertajuk Sholeh Tanpa Menghakimi. Oleh sebab satu dan lain hal, saya tidak sempat hadir pula untuk melihat Mbak Sakdiyah 'berduet' dengan Mahaguru Ulil Abshar Abdalla. 

Untungnya, saya bersyukur sekali, zaman sudah sangat canggih. Mas Ulil, melalui bantuan Mbak Admin Ienas Tsuroiya melakukan siaran langsung melalui akun facebook Ulil Abshar Abdalla. Dari sanalah saya mengintip hal-ihwal apa saja yang dibicarakan oleh Sakdiyah Ma'ruf yang kocak ini.

Secara umum, dari awal hingga akhir, Mbak Sakdiyah ini bicara sangat serius, walaupun beberapa kali ada lucunya. Sampai-sampai Mustasyar PBNU KH Ahmad Mustofa Bisri atau Gus Mus berkomentar, "Baru saya rasani, tumben Sa'diyah serius..."

Setelah saya menonton hingga tuntas, saya jadi ingin menuliskannya karena ada banyak yang penting. Selain itu, barangkali ada juga yang bisa kita petik manfaatnya dari berbagai pengalaman Mbak Sakdiyah. Dia bisa saja kita jadikan sebagai simbol dari perlawanan terhadap budaya feodalistik di negeri ini. Melawannya, tentu saja dengan elegan dan tanpa menghakimi. Ya, seperti melucu itu barangkali.

Di awal, dia memperkenalkan. Bahwa dirinya terlahir di komunitas yang sangat konservatif, sebuah komunitas keturunan Arab di Pekalongan, Jawa Tengah. Berbagai hal yang akhir-akhir ini banyak dialami dan diperbincangkan oleh sebagian besar masyarakat Indonesia, sesungguhnya adalah aktivitas keseharian yang sudah dialami Mbak Sakdiyah sedari kecil.

Pada lingkungan yang membesarkannya itu, berbagai perilaku atau praktik beragama sebagian orang yang terwujud dalam tradisi seperti upacara kelahiran, pernikahan, dan kematian seringkali dianggap sebagai sesuatu yang dekat pada kesyirikan. 

Hal-hal itu sudah didengarnya saat kecil dulu. Kemudian, segala sesuatu yang dihadapi dalam dekade terakhir ini bukanlah sesuatu atau fenomena baru. Tetapi sesungguhnya sudah cukup lama berkembang. Hanya saja, saat ini muncul atau beredar melalui media sosial.

Mulanya, fenomena keagamaan itu hanya terjadi dalam sebuah komunitas kecil saja, seperti misalnya keluarga, dalam rangka membentengi dari perkara tahayyulbid'ahchurafat, dan syirik. Tapi kemudian oleh media sosial terekspos sedemikian rupa, sehingga dibaca dan disaksikan semua orang dengan berbagai latar belakang. Lalu, beredarlah menjadi seperti ujaran kebencian yang kian meluas. 

Hal tersebut, bagi Mbak Sakdiyah–dengan gaya bicara yang serius itu–merupakan sesuatu yang sama sekali tidak baru. Hanya saja, bentuknya berubah menjadi lebih luas. Menjadi serupa dengan ujaran kebencian karena terfasilitasi media sosial.

Setelah dia membicarakan hal itu, Mbak Sakdiyah kemudian meminta izin kepada pembawa acara untuk membacakan catatannya. Sebuah catatan yang sangat terperinci mengenai berbagai pengalaman yang dia alami, seputar penghakiman-penghakiman yang dilakukan oleh orang beragama. 

*********

Catatan Sakdiyah Makruf

Tiada hari tanpa menghakimi di media sosial. Selalu ada saja perdebatan, pertengkaran, dan meributkan hal-hal yang berurusan dengan sesuatu yang sebenarnya sangat privat. Yaitu urusan agama.

Bapak dan ibu sekalian, saat berhadapan dengan keyakinan atau tafsir agama tertentu, saat ini sudah tidak banyak lagi ruang untuk bicara, kritik, apalagi humor.

Dalam kehidupan beragama kekinian, humor lebih tabu daripada memukul istri. Memukul istri bisa saja menemukan justifikasinya dalam tafsir agama yang rigid tentang kewajiban seorang istri untuk patuh. Kalau suami yang tidak patuh, bagaimana? Yaaaa, itu urusan yang bersangkutan dengan Tuhannya. Toh, suami katanya pemimpin bagi istri. Pemimpin sih terserah.

Izinkan saya untuk mengajak ibu dan bapak sekalian, teman-teman, untuk ke rumah saya.

Bangsa kita baru saja kehilangan putra terbaik bangsa Presiden BJ Habibie. Saya bersama keluarga besar, sebagai rakyat jelata, hanya bisa nonton bareng prosesi pemakaman sembari turut mendoakan dan mengenang jasa beliau.

Selayaknya nonton bareng, ada saja celetukan-celetukan penonton. Seperti misalnya, saat Ibu Iriana Joko Widodo memasuki rumah duka. Ada yang bilang, "Apaan, Ibu Iriana berjilbabnya kalau acara-acara begini saja. Jilbabnya juga melorot-lorot."

Kemudian memasuki rumah duka, ada keluarga besar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, terlihat Annisa Pohan merangkul dan mencium pipi singkat, seraya menyampaikan rasa duka kepada putra Presiden Habibie. 

Penonton berikutnya (berkata), "Eh bukan muhrim, tidak boleh cipika-cipiki!"

Sungguh khusyuk suasana duka di keluarga kami. 

Dalam konteks yang sangat pribadi atau keluarga, maupun konteks yang lebih luas di masyarakat kita, beberapa tahun terakhir ini kita melihat praktik beragama yang sempit, rigid, dan penuh penghakiman. Seolah tidak ada ruang perbedaan cara mengabdi pada Tuhan, juga tidak ada ruang untuk dialog antarkebenaran. Saya tidak bicara yang A salah atau yang B benar, tapi dialog antarkebenaran.

Terlahir dari komunitas yang mengaku keturunan Arab di Pekalongan, sebenarnya tidak ada yang asing dari fenomena yang akhir-akhir ini kita saksikan. 

Restriksi (larangan) terhadap perempuan, pernikahan anak, normalisasi  kekerasan, pemisahan ruang publik dan privat antara perempuan dengan lelaki, dibungkus oleh tafsir agama yang sering monolitik. Itu menjadi seperti aktivitas keseharian bagi kehidupan saya. Saya sama sekali tidak heran kalau melihat apa yang terjadi di dalam lingkungan kita sekalian akhir-akhir ini.

Selama ini kita sering mendengar, kenapa sih orang-orang yang keturunan Arab harus menikah dengan orang-orang yang keturunan Arab juga, ya? Berikut ini adalah jawaban dari salah seorang tetangga saya.

"Kita harus menjaga kemurnian akidah. Kalau menikah dengan orang Jawa, Islamnya masih campur-campur."

Saya tidak tahu juga. Mungkin, dianggapnya setengah menyembah Tuhan setengah menyembah keris atau bagaimana. 

Saya jadi ingat, salah satu pengalaman keluarga besar kami.

Menjelang pernikahan paman saya dengan seorang tetangga yang juga keturunan Arab, nenek saya yang keturunan Arab menyarankan dengan sungguh-sungguh untuk calon istri paman saya agar melemparkan celana dalamnya ke atas atap rumah. Katanya, untuk mencegah turun hujan pada saat resepsi pernikahan.

Sungguh murni akidah kami!

Hidup di tengah lingkungan yang penuh kontradiksi, krisis identitas, serta tekanan terhadap perempuan, saya akan tumbuh dewasa dengan sangat merindukan Indonesia. 

Indonesia dalam pandangan saya adalah ruang yang luas, lega, dimana saya bisa berkarya, bebas berekspresi, dan boleh punya pacar. Indonesia adalah imajinasi saya tentang hidup dan masa depan. Saya menyadari bahwa sebagian hidup saya, akan saya persembahkan untuk perlawanan. 

Saat SMA dulu, pertamakali saya menyampaikan kepada ibu bahwa saya tidak pernah mau menikah. Ibu saya waktu itu bilang, "Hus, nanti ada malaikat lewat, mencatat, kamu benar-benar nggak bisa nikah lho."

Saya berpikir, saat sekolah di madrasah, memang ada malaikat di kiri-kanan saya yang selalu mencatat. Rakib dan Atid. Tapi kenapa yang ini kok cuma lewat, ya?

Ironi dalam kehidupan yang serba ketat, membawa saya ke panggung saat tidak berhasil menemukan atau bertemu dengan Indonesia yang saya impikan.

Pertamakali dalam hidup saya, saya bertemu dengan teman-teman yang menolak saling bersalaman. Saya pikir, mungkin ini kesadaran kesehatan level terbaru. Masuk akal juga, tidak mau menjabat tangan laki-laki, apalagi di kampus. Anak kampus kan, kita tidak tahu tangannya habis main ke mana, dicuci atau enggak. Jadi jijik juga. 

Pertamakali dalam hidup saya, saya bertemu dengan teman-teman yang bercadar. Mereka menurut saya, lebih visioner menangkap potensi pencemaran udara dibandingkan orang urban yang baru ribut setelah ada aplikasi pembaca polusi. 

Pertamakali dalam hidup saya, saya duduk berseberangan dengan teman laki-laki dibatasi tirai. Saya pikir, mungkin di seberang sana adalah kumpulan para penyiar radio. Tidak ganteng-ganteng amat, tapi suaranya terdengar seksi. 

Pertamakali dalam hidup saya, ada teman laki-laki yang menolak melihat wajah saya saat berbicara. Menunduk saja dia. Saya bilang, "Hei kamu, mau bicara dengan saya atau lihatin dada saya? Kok nunduk terus?"

Pertamakali dalam hidup saya, saya merasa tidak hanya ingin berjuang dan melawan untuk komunitas saya, tapi lebih penting dari itu, yakni untuk Indonesia yang ada dalam mimpi saya. 

Menurut anda, apakah yang saya lakukan ini bukan sesuatu yang sulit? Memilih jalan beragama atau mendakwahkan agama melalui humor, saya sering mendapat kritikan. Saya sering dibilang, "Sebagai seorang muslim, kamu tidak boleh berkiblat ke Barat."

Saya pikir, sebagai seorang muslim, kalau tidak berkiblat ke Barat, saya salat menghadap ke mana?

Saya juga sering mendapat komentar, "Dengan apa yang kau lakukan itu, saya akan senang melihatmu terbakar di neraka."

Saya pikir, kalau kamu bisa melihat saya terbakar di neraka, bukankah kamu di neraka juga? 

Ada saja yang demikian.

Tapi saya pikir, kita harus hati-hati, bahwa bukan hanya orang-orang yang sering kita anggap sebagai konservatif dan berpemikiran tertutup, yang kemudian menghakimi orang lain. Pengalaman saya di dunia Barat, berkata sangat lain.

Dalam berbagai kunjungan, saya selalu mendapatkan sapaan 'sok baik' dari seorang kulit putih yang bilang, "Oh kamu perempuan muslim di Indonesia ya? Hidupmu pasti menderita."

Selalu seperti itu.

Saya pikir, iya. Kami menderita karena terlalu banyak pilihan tempat liburan. 

Lalu ada juga yg bertanya pada saya, "Kamu kan hidup di negara tropis, apakah tidak panas memakai jilbab setiap hari?" 

Saya bilang, kalau yang ini ada airconditionernya, anda mau invest? Inovasi lho ini.

Ada juga yang bilang dengan sangat bangganya. "Kita ini negara merdeka, menjunjung tinggi HAM, kamu datang ke konferensi ini tidak bersama suamimu, atau ayah dan walimu, dibuka saja jilbabnya."

Saya bilang, "Saya tidak berada disini bersama suami, ayah, atau wali saya. Tetapi Allah SWT bersama saya."

Ini juga yang harus kita waspadai, dengan prasangka kita terhadap saudara-saudara kita sesama muslim. 

Saya kira, diskusinya bukan hanya persoalan sholeh tanpa menghakimi, tapi kita ini yang mengaku progresif dan berpemikiran terbuka serta penganut Islam moderat, kerjaannya setiap hari juga membodoh-bodohkan orang; bilang mereka fundamentalis, konservatif, dan radikal. 

Saya mendapatkan banyak keluhan dari anak-anak SMA yang saya temui dalam berbagai pelatihan-pelatihan yang saya hadiri atau fasilitasi. Kata dia, "Apa yang bisa saya lakukan. Saya ini berjenggot. Kebetulan juga celana panjang seragam saya sudah kekecilan. Lalu saya di-bully. Oleh teman-teman sekelas, saya dibilang radikal dan teroris."

Ini adalah kenyataan. Kita tidak bisa bicara hanya satu sisi saja. Saya kira, ini adalah saatnya untuk kita mendengar.

Saya ingat, salah satu materi joke saya, tentang perempuan yang memakai burka. Bahwa burka itu bisa mendapatkan banyak keuntungan. Sebab, mereka yang mengenakan itu akan punya private cinema screening spaces. Selain itu, siapa tahu bisa ada minibar di dalamnya.

Joke itu lucunya biasa saja. Kalau dinilai, mungkin enam atau tujuh. Tetapi saya berjanji untuk tidak membawakannya di forum apa pun, kecuali disertai penjelasan. Mengapa demikian? Karena saya tidak berada pada posisi untuk mengolok-olok sesama perempuan. 

Kalau yang kita bicarakan adalah sistem yang membuat orang menjadi kaku, berpikir rigid, penuh penghakiman, maka saya kira perempuan–bagaimana pun juga–berada dalam lapis terbawah sistem tersebut. 

Jadi kalau anda berbicara tentang hijabnya orang, burkanya orang, nikabnya orang, think againShame on us dan mereka yang mengatakan bahwa dirinya progresif.

Shame on us!

*********

Setelah saya mendengar kata shame on us sebagai kalimat terakhir dari sebuah catatan yang dilontarkan Mbak Sakdiyah, saya jadi bertanya-tanya, "Bukankah kalimat shame on us itu juga merupakan bentuk penghakiman, walau dalam bentuk yang lain?"

Semoga pertanyaan saya yang demikian itu, tidak dengan maksud menghakimi kalimat Mbak Sakdiyah. Semoga Allah mengampuni. Wallahua'lam...

Rabu, 30 Oktober 2019

Sebuah Catatan: Melihat Mas Ulil Bicara Menggebu-gebu


Foto diambil dari Facebook Hasanuddin Ali. 

Baru kali ini saya melihat seorang Ulil Abshar Abdalla bicara menggebu-gebu. Seperti marah, tapi agak tertahan. Selama ini, yang saya tahu, menantu Mustasyar PBNU KH Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus) ini selalu bicara dengan intonasi yang santai. Akan tetapi, berbeda saat dia diundang pada sebuah diskusi membincang radikalisme.

Saat diberi kesempatan bicara, Mas Ulil–sapaan akrab saya untuknya–langsung menegaskan dua hal. Pertama, dalam menghadapi radikalisme, komitmen Nahdlatul Ulama tidak perlu diragukan. Termasuk juga komitmen NU kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia dan menjaga Ideologi negara: Pancasila.

Sejak berdiri hingga kini, dengan tegas dikatakan Mas Ulil, NU tidak pernah melakukan pengkhianatan kepada negeri ini. Belum pernah NU memberontak kepada pemerintahan yang sah, dan tidak pernah juga NU mendukung gerakan terorisme. Komitmen tersebut akan selalu ada, selama NU masih eksis di negeri ini.

Namun, komitmen NU yang seperti itu bukan politis. Komitmen itu murni untuk kepentingan NKRI dan berkenaan dengan akidah warga Nahdliyin, para kiai, serta ulama NU. Lebih besar dari sekadar kepentingan politik praktis, tidak ada sama sekali kaitannya komitmen NU itu dengan kepentingan politik. Watak NU sejak lahir adalah cinta tanah air. 

Bahasan Mas Ulil itu disampaikan dengan intonasi yang tinggi, menggebu-gebu, tegas, dan bahkan raut wajahnya memerah, serius sekali, tidak seperti biasanya. Seketika itu, saya ngeh, bahwa sebenarnya Mas Ulil sedang menyadarkan warga NU terkait 'cawe-cawe' kabinet Jokowi yang tidak menempatkan tokoh NU sebagai menteri agama –walaupun setelahnya ada Wakil Menteri Agama Zainut Tauhid.

Kedua, radikalisme sebagai isu bisa dijadikan sebagai komoditas politik. Hal ini berbanding terbalik dengan NU, yang menganggap radikalisme bukan untuk kepentingan politik, tapi murni sebagai musuh bersama agama dan bangsa. Siapa pun presiden yang sedang menjabat, Nahdliyin akan tetap cinta tanah air. 

Gerakan antiradikalisme yang dilakukan oleh NU selama ini tidak sama sekali untuk mencari suara dalam Pemilu atau Pilpres. Walau demikian, rupanya ada yang menjadikan isu radikalisme itu menjadi komoditas politik. Kemudian radikalisme ini menjadi tunggangan politik untuk meraup suara dalam mencapai kursi kekuasaan.

"Kita (Nahdliyin) tidak boleh lugu seolah-olah tidak ada yang menjadikan radikalisme sebagai tunggangan politik. Kita juga tidak boleh lugu bahwa ada yang menunggangi NU untuk menggebuk radikalisme. Radikalisme itu bukan isu politik tapi komitmen tanah air," kata Mas Ulil, masih dengan intonasi yang tinggi, menggebu-gebu, dan raut wajah yang memerah.

Dikatakan Mas Ulil, NU punya cara sendiri untuk melawan radikalisme. Sebuah cara yang jelas sangat berbeda dengan cara yang dilakukan oleh pemerintah atau militer. Pendekatan NU bukan pendekatan gaya militeristik yang semata-mata hanya keamanan, sekalipun memang kemanan itu sangat penting. Namun, tugas NU dalam menangani radikalisme ini dilakukan dengan pendekatan kultural dan pemahaman keagamaan, bukan pendekatan keamanan.

NU harus melakukan kerjasama dengan berbagai pihak untuk menangani radikalisme ini. Seperti misalnya bekerjasama dengan polisi, tentara, bahkan pemerintah. Namun perlu diingat, bahwa penanganan yang dilakukan Nahdlatul Ulama untuk melawan radikalisme sangat jauh berbeda dengan cara yang dilakukan oleh polisi, tentara, dan pemerintah.

Watak Islam 

NU merupakan interpretasi dari corak Islam yang rahmah, penuh kasih, dan rahmatan lil alamin. Dalam berbagai kesempatan, NU selalu menampakkan wajahnya dengan ceria, dengan perilaku yang santun, dan dengan gaya dakwah yang bersedia menerima berbagai perbedaan; termasuk pemikiran.

Namun corak Islam seperti itu, bukan hanya NU dan tidak hanya terdapat di Indonesia saja. Islam di berbagai belahan dunia mana pun, terutama Islam Ahlussunnah wal Jamaah atau Sunni, pasti memiliki corak yang sama dengan NU. Maka bisa dikatakan, bahwa corak yang seperti itu merupakan wajah Islam yang sebenar-benarnya.

Mayoritas Islam di dunia, dengan corak keislaman itu pasti memiliki kesadaran dan pemahaman untuk menerima sebuah negara-bangsa, yang secara otomatis menolak sistem Khilafah ala Hizbut Tahrir atau Daulah Islamiyah ala ISIS. 

Seperti itulah watak Islam. Sejak dulu, bahkan sejak zaman Nabi Muhammad, tidak pernah berubah. Islam itu pasti tawassuth (moderat), tidak mungkin tidak. Maka, tak perlu ragu dengan komitmen NU terhadap kecintaannya kepada NKRI, juga tindak-tanduknya melawan wacana dan gerakan radikalisme.

Radikalisme di Kampus

Menurut Mas Ulil, radikalisme di kampus itu sudah barang tentu bukan dikembangkan oleh kader, aktivis, atau warga NU. Kemudian, radikalisme itu pasti marak di kampus-kampus umum, bukan di kampus yang berlatar belakang agama. Sebab, kampus agama justru tidak tertarik dengan gagasan radikalisme itu. Maka tidak heran, wacana radikalisme ini justru laris-manis di kampus nonagama. 

Dalam menangani radikalisme di kampus, pendekatannya harus berbeda. Yakni harus dengan pendekatan emosional, dengan pendekatan dialog yang berkala, terus-menerus, dan tidak terbawa emosi. Seperti itulah corak NU dalam beragama yang jika dipraktikkan, sudah dengan sendirinya punya efek deradikalisasi.

"Jauh sebelum pemerintah yang punya program deradikalisasi itu, NU justru sudah melakukannya," kata Mas Ulil, tegas.

Deradikalisasi di Pesantren

Dikatakan Mas Ulil, pesantren-pesantren di Indonesia dalam ajaran kitab kuning, sesungguhnya sudah mengandung deradikalisasi. Semua orang yang pernah belajar di pesantren NU, ketika ngaji fiqih, pasti diujungnya akan mengaji tentang jihad (perang). Hampir semua kitab fiqih terdapat hal itu.

Dalam Fathul Mu'in misalnya, jihad dihukumi fardhu kifayah dan harus dilakukan minimal setahun sekali. Karenanya, setiap tahun harus jihad (dalam arti perang). Kalau tidak ada, maka seluruh orang yang berada dalam satu wilayah (katakanlah, Indonesia), akan menanggung dosa. 

Pertanyaannya kemudian, "Kenapa santri di pesantren NU yang pernah ngaji jihad justru tidak pernah atau tidak tertarik dengan jihad? Sementara orang-orang yang tidak pernah ngaji Fathul Mu'in justru sangat tertarik untuk melakukan jihad?"

Jawabannya adalah karena ada peran sentral kiai yang sangat luar biasa. Para kiai di pesantren itu tidak hanya memiliki keahlian membaca kitab kuning, tetapi juga lihai membaca kondisi sosial-politik yang sedang terjadi. 

Menurut Mas Ulil, kitab itu ada dua jenis. Pertama, kitab yang tertulis dan berwarna kuning. Kedua, kitab yang tidak tertulis. Yaitu sebuah kitab yang oleh KH Sahal Mahfudh disebut sebagai konteks sosial, yakni gabungan antara kitabun-maktubun dengan kitabun ghairu maktub.

Jadi, para kiai di pesantren itu sudah sangat memahami bagaimana membaca kitab. Itulah sebabnya santri Nahdlatul Ulama tidak pernah jihad, sekalipun pernah mengaji tentang jihad. Pengajaran yang telah dilakukan oleh kiai di pesantren itu, dalam tradisi tasawuf, disebut hikmah atau kebijaksanaan.

Gus Dur pernah menulis dengan mengutip pernyataan KH Ali Maksum Krapyak, "Sing bener durung mesti apik." Sebuah falsafah jawa yang disebut sebagai hikmah. Artinya, orang yang benar dalam pembacaannya terhadap teks kitab kuning, belum tentu baik saat dipraktikkan di lapangan.

Kebijaksanaan Melawan Radikalisme

Dalam Al-Quran dijelaskan, barangsiapa yang diberikan kemampuan membaca kitab yang tertulis sekaligus kitab yang tidak tertulis, maka dia akan mendapat kebaikan yang berlimpah dari Allah. 

Itulah ilmu yang perlu dirawat dalam khazanah keilmuan dalam NU. Oleh karena ilmu yang dimiliki para kiai di pesantren itu, yakni kebijaksanaan, maka Nahdliyin tidak perlu khawatir sekalipun NU dikecewakan dalam politik. Sebab, melawan radikalisme itu bukan semata-mata karena politik. 

"Komitmen kita dalam radikalisme bukan karena politik. Kalau dikecewakan, kemudian marah sebentar, itu merupakan hal yang wajar. Tetapi jangan marah yang terus-menerus dan membabi-buta," kata Mas Ulil.

Terakhir, Pengampu Kopdar Ihya' ini mengungkapkan bahwa Nahdlatul Ulama adalah partner pemerintah secara ideologis, yang setia melawan radikalisme. Maka, jangan pernah sesekali mengecewakan teman yang baik dan punya prinsip yang matang secara ideologis, untuk menghadapi radikalisme. 

Walaupun NU kemarin-kemarin sempat "ngambek", tapi jangan lama-lama ya. Malu!

Menyoal Radikalisme: Siapa Bisa Batasi Pemikiran?


Sumber gambar: tempo.co

Siapa yang bisa membatasi ideologi atau pemikiran? 

Saya rasa tidak ada satu pun orang atau kelompok yang mampu melakukan hal itu. Pemikiran akan selalu hidup, selama manusia masih bisa menghirup udara bebas. Memberangus pemikiran, bagi saya, sama saja dengan membunuh kehidupan. 

Pemikiran harus juga dilawan dengan pemikiran. Akan tetapi, jika pemikiran itu sudah menjadi sebuah gerakan yang dapat menghancurkan hidup dan kehidupan, maka harus segera ditindak. Bukan ditindak karena berpikir, tetapi ditindak karena perbuatannya, seperti misalnya anarkis, melakukan perbuatan yang keji, membunuh, meledakkan diri, dan lain sebagainya.

Begitu juga terorisme. Sebuah paham-gerakan yang berawal dari wacana atau pemikiran tentang dasar-dasar kebenaran yang jika tidak dibenarkan oleh orang lain, maka orang lain itu menjadi salah. Itulah yang disebut radikalisme. Sebuah pemahaman mendasar tentang konsep (pemegang) kebenaran. Karenanya, muncul sikap intoleransi; enggan menerima perbedaan.

Karena gerak terorisme itu bermula dari sebuah pemikiran, maka kita tidak boleh tidur nyenyak. Pemikiran-pemikiran itu masih tetap ada di sekitar kita. Menghantui tiap gerak-langkah masyarakat Indonesia. Hal ini terbukti, dengan aksi-aksi penangkapan teroris yang kerap terjadi; terutama di daerah-daerah penyangga Ibukota.

Dalam sebuah diskusi, Teroris Hijrah Ustadz Haris Amir Falah mengungkapkan bahwa gerakan radikalisme, ekstremisme, dan terorisme dewasa ini sangat sulit dideteksi. Sebab, seseorang akan menjadi radikal karena pengaruh media sosial. Kemudian, dia akan menikmati virus radikalisme melalui media sosial itu.

Berbeda dengan zaman dulu, yang dalam perekrutan menjadi teroris harus seringkali bertatap-muka. Paling minimal yang dilakukan adalah menyebar buletin. Itu pun jarang terjadi. Hal yang sering terjadi untuk merekrut orang agar menjadi teroris itu adalah dengan metode 'satu amanah'. Menjadikan satu ikhwan satu kawan. Kalau sudah masuk jaringan, maka mereka akan berdialog secara rutin.

Namun hari ini kondisinya sangat jauh berbeda. Bahkan pernah suatu ketika sebuah jaringan terorisme, seorang imamnya, melakukan bai'at. Tapi, sang imam sebenarnya tidak pernah tahu siapa gerangan yang akan di-bai'at itu. Maka, itulah yang disebut dengan bai'at ghaib. Sebab tidak penting orangnya siapa, asalkan secara pemikiran memiliki frekuensi yang sama.

"Bahkan isinya sangat menjengkelkan sekali. Dikatakan oleh mereka bahwa, kami siap ditelantarkan oleh imam dalam keadaan apa pun," kata Ustadz Haris Amir Falah yang telah menelurkan sebuah karya, buku, berjudul Hijrah dari Radikal ke Moderat.

Agar Radikalisme Tak Muncul

Ustadz Haris Amir Falah mengatakan, terdapat dua hal yang tidak boleh dilakukan oleh orang yang beragama.

Pertama, jangan berlebihan dalam beragama. Dalam jaringan terorisme, segala hal dibahas tuntas secara berlebihan. Bahkan, ayat apa saja, bisa ditafsirkan sebagak ayat motivasi untuk berjihad (perang, red). Agama, dalam gambaran seorang teroris, adalah susah dan harus berusah-susah. 

Konsep keagamaan itu menjadi sulit dan sangat rumit untuk dipahami. Berbanding terbalik dengan cara beragama yang diajarkan oleh Rasulullah. Bahwa setiap perkara, harus dipermudah, tidak boleh dibikin susah, njelimet, dan seperti tak berujung-pangkal. Hal itu lantaran mereka, para teroris, hampir tidak pernah mengkaji teks-teks keagamaan yang berkaitan dengan toleransi, perdamaian, dan persatuan.

Ayat yang dikaji oleh teroris itu hanya dua. Ayat jihad (perang) dan ayat furqon (pembeda). Artinya, jika ada orang atau kelompok lain yang tidak mendukung gerakan mereka, maka tidak dianggap sebagai golongan mereka. Dan jika bukan bagian dari golongan mereka (berbeda secara doktrin dan ideologis), maka harus segera diperangi. 

"Saya dulu berpaham kalau NKRI ini adalah negara kafir. Semua kafir, dari presiden hingga Ketua Rukun Tetangga. Pernah suatu ketika, saya jadi bingung sendiri. Karena semua sudah saya kafirkan, maka saya bertanya-tanya, saya sebenarnya kafir atau muslim? Nah, kemudian saya sadar bahwa takfiri itu memang sangat berbahaya sekali," kata Ustadz Haris Amir Falah. 

Para teroris itu kemudian berkesimpulan bahwa hanya kelompoknya-lah yang paling benar. Maka tak heran, untuk mempertahankan kebenaran kelompok itu, banyak sekali yang rela dan berani melakukan pertumpahan darah. Hal tersebut dilakukan lantaran ada perasaan jemawa atas kebenaran. Padahal, tujuan ditegakkan hukum agama (maqasid syariah), salah satunya adalah memelihara nyawa (hifdzhunnafs).

Harga nyawa dan darah begitu sangat murah, karena sikap berlebihan dalam beragama. Percayalah, bahwa terorisme berawal dari sikap berlebihan dalam beragama, dan itu tidak dikehendaki oleh Allah sama sekali.

Kedua, tasyaddud atau kekerasan. Agama Allah, Islam terutama, merupakan agama yang sangat mudah. Maka, dalam perspektif Gus Dur sering terucap, gitu aja kok repot. Dalam bahasa Yunani diungkapkan, simplex veri sigillum, atau dalam bahasa Inggris, simplicity is the sign of truth. 

Berbagai perkara dan seteru, dalam agama, haruslah diselesaikan dengan cara baik-baik. Itulah kemudian Nabi diperintahkan oleh Allah untuk mengajak para musuh-musuhnya ke dalam jalan kebenaran dengan cara bijaksana, nasihat yang menyejukkan, dan debat argumentasi secara santun. 

Maka sesungguhnya, tidak ada satu alasan pun–serta tidak dibenarkan pula–bagi seorang muslim melakukan kekerasan atas nama agama. Ajaran-ajaran kasih, teladan Nabi yang santun, cara penyelesaian dalam agama yang sangat bijaksana, dan berbagai doktrin perdamaian itulah yang tidak dilihat bahkan tidak ada dalam kajian para teroris.

Di Bekasi dan sekitarnya, merupakan sebuah wilayah yang menjadi tempat persembunyian sekaligus persinggahan para teroris. Ustadz Haris sendiri pada 2009, ditangkap oleh Densus 88 di sekitar Kecamatan Setu, Kabupaten Bekasi. Sebelum dirinya, ada juga teroris di Setu yang ditangkap bersama dengan bom yang beratnya lebih dari 10 kilogram. 

Gerakan Islam ekstrem, sesungguhnya masih terus menggeliat. Bahkan, mereka punya program revitalisasi. Mereka akan membangun kembali wilayah yang pernah menjadi basis terkuat bagi terorisme. Salah satunya adalah Jawa Barat, dan Bekasi termasuk wilayah yang sangat berbahaya. 

Maka, inilah sesungguhnya yang menjadi tugas dari organisasi keagamaan sekaliber Nahdlatul Ulama, untuk melakukan kontra-wacana terhadap gagasan terorisme itu. Sebab, para teroris itu adalah kelompok yang seringkali menyitir berbagai hadits tentang akhir zaman. Setelah itu, akan dialihkan kepada sosok Imam Mahdi. Lalu akan didukung oleh kelompok yang paling baik keislamannya, yakni kelompok yang keluar dari Irak dan Syiria; tidak lain adalah ISIS.

Pertanyaannya: Mampukah aktivis, pengurus, dan bahkan kiai-kiai NU melakukan kontrawacana soal itu? Mampukah (juga) mengubah metode dakwah yang harus mengikuti trend zaman tanpa harus menghilangkan tradisi lama? Kalau mampu, saat ini juga harus kita lakukan!

Jumat, 25 Oktober 2019

Hijrah Itu (Butuh) Proses


Sumber: cnnindonesia.com

Hijrah secara bahasa berarti berpindah, dari satu tempat ke tempat yang lain. Hal ini bisa juga disebut sebagai hijrah jasmaniah. Rasulullah SAW pernah melakukan hijrah dari Mekkah ke Kota Yatsrib (yang kemudian diubah menjadi Madinah Al-Munawarah).

Proses hijrah yang dilakukan Nabi Muhammad tidak berjalan begitu saja. Beliau mengalami berbagai gejolak sosial, politik, dan keamanan sehingga mengharuskan dirinya beserta para pengikutnya untuk hijrah ke wilayah yang lebih aman. 

Orang-orang yang bersama Nabi saat hijrah itu disebut muhajirin atau kelompok orang yang melakukan perpindahan tempat. Setibanya di Yatsrib, beliau disambut hangat oleh kelompok “pribumi” yang disebut Kaum Anshor atau orang-orang yang memberikan pertolongan.

Kaum Anshor ini sangat ramah dan baik kepada rombongan Nabi yang hijrah untuk mendapatkan perlindungan fisik dan mental. Sehingga, berbagai hal diberikan oleh Kaum Anshor untuk Muhajirin secara cuma-cuma, seperti tempat tinggal, makanan, pakaian, bahkan istri.

Secara istilah, hijrah bermakna sama dengan taubat. Ia lebih bersifat batiniah, atau bisa kita sebut taubat itu adalah hijrah batiniah. Hijrah batiniah inilah yang kemudian diperlukan oleh masyarakat Islam kekinian, agar mampu mengilhami ajaran-ajaran Islam yang sarat akan perdamaian. Baik damai dalam arti fisik, maupun damai dalam makna yang lain. 

Dus, hijrah batiniah ini, saya membaginya dalam beberapa hal; tapi setidaknya terdapat tiga kategori utama. 

Pertama, Hijrah Emosional. Hijrah ini berarti upaya seseorang untuk mampu memindahkan daya emosi dari yang semula tak terkendali menjadi lebih terkontrol. Proses hijrah ini akan selaras dengan bagaimana kita menempatkan diri di rumah, lingkungan masyarakat, kampus, kantor, dan di mana pun berada.

Selain itu, hijrah emosional juga dapat terbangun dari sikap pendewasaan dan pembelajaran kita terhadap sesuatu. Seiring dengan bertambahnya usia, hijrah emosional pasti akan dapat dirasakan. Sehingga output dari hijrah emosional ini adalah menjadikan pribadi yang bijaksana, penyayang, dan tentu saja tidak mudah marah.

Kedua, Hijrah Intelektual. Sebuah proses perpindahan daya nalar seseorang, dari yang semula tidak bisa menjadi bisa, dari yang awalnya tidak mampu menjadi mampu, dari yang semula tidak tahu menjadi paham.

Hijrah intelektual ini selaras dengan ajaran Nabi tentang menuntut ilmu. Yakni wajiblah bagi seorang muslim dan muslimah untuk senantiasa menambah pengetahuan. Di riwayat lain, Nabi berpesan agar umat Islam mampu terus-menerus mengembangkan kapasitas intelektualnya, sejak buaian sang ibu hingga ditempatkan ke liang lahat. 

Proses hijrah ini berlangsung selama seumur hidup. Penghijrahannya tidak melulu diartikan dalam bentuk formal atau jenjang pendidikan, tetapi juga proses hijrah ini bisa kita rasakan ketika gemar berdiskusi dengan orang lain, bertukar pendapat, berargumentasi, dan membaca. 

Ketiga, Hijrah Spiritual. Inilah tingkatan paling tinggi dari proses hijrah seorang muslim. Hijrah spiritual ini merupakan sebuah proses perpindahan keyakinan atas ketauhidan, dari yang semula ragu menjadi semakin kuat dan tak mampu tergoyahkan oleh hal-hal yang bersifat duniawi.

Dalam hijrah spiritual ini, kita dapat membedah makna dari kalimat tauhid yang seringkali terucap melalui bibir, yakni laa ilaaha illallah. Para ulama tasawuf, membagi makna kalimat tauhid itu menjadi empat tingkatan.

Pertama, laa mathluba illallah. Hijrah spritual yang pertama ini bisa kita maknai sebagai proses agar mampu benar-benar bersaksi bahwa tidak ada hal lain yang dicari kecuali Allah. Orang-orang yang berlumuran dosa dan maksiat yang kemudian ingin melakukan hijrah spiritual, pertama kali haruslah mencari Allah terlebih dulu. 

Artinya, kita harus menyadari bahwa hanya Allah yang selama ini kita hilangkan dari kalbu, sehingga seolah-olah Allah tidak bersama kita. Maka, ketika proses pencarian Allah ini sedang kita lakukan, percayalah bahwa sesungguhnya Allah akan mendekat dengan kita, bahkan lebih dekat dari detak nadi.

Kedua, laa ma’buda illallah. Ketika kita sudah berhasil menemukan Allah kembali, maka segeralah meyakini bahwa hanya Allah yang benar-benar patut dan wajib disembah. Bukan yang lain. Menyembah Allah tidak hanya dalam salat dan ibadah saja, tetapi juga tidak menyekutukan-Nya dengan berbagai perkara keduniaan.

Kita selama ini, tanpa disadari, mengakui diri sebagai hamba Allah, tapi ketika kehilangan benda atau sesuatu yang bersifat duniawi, kita kerapkali mengumpat bahwa Allah telah berbuat tak adil, atau dengan kata lain; kita menyesali Allah. Padahal, Allah seringkali memerintahkan kita untuk senantiasa bersyukur dikala lapang dan sempit. Maka, saat kita ingin melakukan proses hijrah haruslah melewati tahap ini. Bahwa tidak ada sesembahan lain kecuali Allah.

Ketiga, laa maqshuda illallah. Artinya, tidak ada tujuan lain kecuali Allah. Ini yang kerap kali kita lalai dikarenakan berbagai perkara keduniaan. Kita lupa bahwa ada kalimat inna lillahi wa inna ilaihi rajiun. Atau dalam salat kita seringkali berikrar kepada Allah bahwa inna shalatii wa nusuki, wa mahyaya, wa mamati, lillahi rabbil alamin. Bahwa salat kita, ibadah kita, hidup, dan mati kita adalah ditujukan dan dipasrahkan sepenuhnya untuk Allah.

Namun rupanya, gemerlap kehidupan dunia, seringkali mengaburkan ikrar tersebut. Tak jarang, kita mau melakukan ibadah lantaran terdapat iming-iming materi keduniaan, sehingga tujuan atau pangkalan utama (Allah) menjadi hilang seketika. Nah, jika kita ingin melaksanakan prosesi hijrah, terutama melakukan hijrah spiritual, maka haruslah segera diubah terlebih dulu mindset kita bahwa tidak ada tujuan lain kecuali Allah.

Keempat, laa mawjuda illallah. Artinya, tidak ada yang benar-benar eksis kecuali Allah. Kita, selama ini, mungkin seringkali menganggap bahwa keahlian dan kemampuan kita adalah karena upaya dan usaha kita sendiri, sehingga menafikan peran Allah di dalamnya. 

Padahal, eksistensi kita sebagai manusia di dunia merupakan bagian yang sangat paling kecil dari kristalisasi eksistensi Allah. Maka, ketika kita tampil sebagai apa pun, memiliki peran menjadi apa saja, haruslah meyakini bahwa eksistensi kita itu adalah karena terdapat eksistensi Allah.

Dengan demikian, ketika umat Islam sedang berproses melakukan hijrah spiritual dan mencapai tingkatan ini, maka dia akan menjaga tubuhnya dari berbagai perkara buruk. Menjaga tangan dan lisannya, misalnya, dari menyakiti perasaan orang lain. Sebab, diyakini bahwa menyakiti hati manusia, lebih-lebih menyakiti fisik, itu berarti sama saja kita sedang menyakiti Allah. Nauzubillahi min dzalik.

Maka, betul sekali bahwa hijrah itu membutuhkan proses yang panjang, diperlukan waktu yang tidak sebentar, dan proses yang kita jalani itu akan berlangsung selama jantung kita berdetak. Mulai dari buaian sang ibu hingga menjadi mayat yang terkubur dalam tanah.

Kepada sahabat-sahabatku yang membaca tulisan ini, saya ingin mengajak, marilah kita berhijrah karena Allah, dengan melewati proses dan tahapan, sehingga sepanjang usia kita, mendapat keberkahan dari Allah. Aamiin. Semoga bermanfaat. []


*Materi diatas disampaikan dalam Kajian bersama LDK Kimura Universitas Bhayangkara, pada 29 September 2019. 

Artikel Gus Dur: Dakwah Harus Diteliti




Sebenarnya sudah lama ada penelitian dakwah. Ada yang dilakukan pihak intel. Apa menghina penjabat tinggi? Apa menganjurkan pemberontakan? Mungkin menyuarakan gagasan berbau SARA? 

Ada juga yang dilakukan sejumlah lembaga –seperti Kodi (Koordinator Dakwah Islamiah) DKI Jakarta Raya. Berapa masjid yang ada, dulu dan kini? Bagaimana dakwah dilakukan? Substansinya? Gayanya? Diseminarkan juga, seperti acara lokakarya 'Dakwah di Ibukota Tahun 2000' tahun lalu.

Pendidikan dakwah juga dipakai sebagai umpan untuk mengembangkan hasil kajian. Selain itu, diterbitkan sejumlah buku tentang cara-cara melakukan dakwah di kalangan yang berbeda: narapidana, masyarakat gedongan, kaum ibu, remaja, begitulah terus. Mudah-mudahan dakwah akan menjadi efektif.

Persoalannya justru di sini: efektifkah dakwah hingga saat ini? Dan, apakah ukuran yang digunakan? Banyak pengunjung? Bukankah banyak diantara mereka mengantuk? Kalau diukur kehadiran mereka, bagaimanakah diterangkan pola perilaku mereka yang di luar forum dakwah, tidak berubah banyak? Paling banyak hanya beberapa aspek moralitas pribadi: pakai tutup kepala bagi perempuan, rajin ke masjid, getol mendermakan uang bagi yang kaya.

Seminar Palembang

Di sinilah perlu direnungkan hasil penelitian atas lima komunitas di luar Jawa, yang diseminarkan di Palembang baru-baru ini: Dari jawaban responden ternyata mereka menganggap hidupnya untuk bekerja. Fungsi kerja itu umumnya mereka rumuskan sebagai mencari nafkah. Mencari nafkah, sedikit banyak, dikaitkan dengan pertimbangan antar generasional: untuk kepentingan anak-cucu. Kecil sekali yang menganggap bahwa hidup ini untuk beramal dan mengabdi.

Cukup mengejutkan. Bukankah itu berarti kecilnya peranan agama dalam kehidupan komunitas-komunitas yang diteliti? Kenyataan itu juga wajar, kalau ditafsirkan dari sudut lain: perhatian masyarakat masih terpusat pada upaya sekadar bertahan hidup. Maklumlah, masih banyak yang berada pada taraf hidup di bawah garis kemiskinan mutlak.

Di luar, dalam pengamatan lahiriah memang tampak muncul kebutuhan pada ritus keagamaan dalam skala massif, seperti terbukti dari derasnya arus 'back to mosque'. Akan tetapi, lantas muncul pertanyaan: Apakah 'kebangkitan Islam' yang seperti itu sebenarnya bukan pelarian dari derita hidup, upaya 'politik burung unta' untuk melupakan persoalan nyata dengan mencari pelepasan spiritual?

Masih harus diteliti kembali korelasi antara banyaknya orang ke masjid dan kesadaran beragama yang memiliki kedalaman serta keterlibatan yang lebih bermakna. Bukti paling nyata dari sikap memisahkan agama dari hidup, seperti terbukti dari hasil penelitian yang kita bicarakan di sini, adalah tidak bertautnya sama sekali antara moralitas kemasyarakatan kita dan ajaran agama.

Agama mengajarkan kesetiakawanan, padahal hidup masyarakat kita justru terungkap, oleh penelitian di atas, "menunjukkan lajunya proses individualisasi". Agama menghendaki solidaritas kuat antara berbagai lapisan masyarakat, tetapi dalam kenyataan sebaliknyalah yang terjadi. Kesenjangan yang semakin besar antara si kaya dan si miskin adalah bukti paling konkret.

Khatibin nas 'ala qadri 'uqulihim, kata Nabi Muhammad. Berbicara kepada manusia sesuai dengan kemampuan akal mereka. Sebuah pesan yang kedalaman isinya tidak pernah dicoba-mengerti secara tuntas oleh para juru dakwah.

Bukankah diktum nabi itu justru mengharuskan kita meneliti pelapisan masyarakat tempat mereka hidup, untuk memungkinkan penyampaian pesan keagamaan secara tuntas? Bukan dalam bentuk luarnya –seperti gaya pidato yang penuh lelucon, yang mampu menyajikan hiburan bagi para pengunjung. Akan tetapi, dalam bentuknya yang hakiki, membicarakan persoalan konkret yang sedang dihadapi.

Sekarang terasa kuat sekali, dakwah masih berwatak penciptaan solidaritas di permukaan. Sekadar melecut manusia agar berakhlak pribadi yang terpuji, mengikuti kerangka ritus yang ditetapkan paham masing-masing, dan menjanjikan hadiah surga atau siksa neraka. Ditambah "acara tetap": ketakutan pada serangan kebudayaan modern dan sejumlah bahaya lain yang dianggap akan menghancurkan keyakinan agama. 

Hasil penelitian di atas, tentang sedikitnya warga masyarakat yang menyatakan hidup bertujuan amal dan pengabdian, menunjukkan betapa salahnya agenda dakwah itu sendiri belum menjadi tujuan hidup masyarakat. Kalau demikian, bukankah harus disadari –oleh para pemikir dan penentu kebijaksanaan keagamaan Islam kita –bahwa efektivitas dakwah masih harus diteliti?


Ditulis pada 3 April 1982

Rabu, 16 Oktober 2019

Mama Cibogo Bekasi, Santri Kesayangan KH Hasyim Asy'ari




Orang Bekasi, siapa yang tak kenal dengan KH Raden Ma'mun Nawawi atau yang akrab disebut Mama Cibogo?

Dalam literatur sunda, sebutan Mama bukan berarti ibu atau emak, ya. Tapi Mama adalah sebutan yang memiliki arti sama dengan kiai atau bapak. Singkatnya, Mama merupakan seorang yang dituakan dan dianggap sebagai guru oleh masyarakat di sekitar Jawa Barat dan Banten.

Nah dalam syiar Islamnya, Mama Cibogo menjalani kehidupan keseharian di Kampung Cibogo, Cibarusah, Bekasi. Nama kampung itulah yang akhirnya menjadi julukan bagi putra dari pasangan KH Raden Anwar dan Ny Hj Romlah.

Dari nasab ayahnya, Mama Cibogo ini terhubung hingga Rasulullah. Ia merupakan keturunan ke-12 dari Sunan Gunung Djati atau ke-11 dari Raja Pertama Kesultanan Banten Maulana Hasanuddin. Banten dengan Cibogo memiliki kedekatan karena sama-sama berada di Tatar Pasundan.

Sejak kecil, Mama Cibogo, sudah dikenal dengan seorang yang sangat giat belajar. Guru pertamanya, tentu sang ayah, Kiai Raden Anwar. Hingga usia delapan tahun, ia digembleng oleh ayahnya untuk belajar memahami dasar-dasar agama.

Selanjutnya, Mama Cibogo tidak lagi belajar memperdalam agama, tapi mulai belajar di Sekolah Rakyat di bawah pemerintahan Hindia Belanda. Mama menjadi lulusan terbaik dan memiliki keilmuan umum yang unggul. 

Setelah itu, Mama tidak langsung melanjutkan pendidikannya ke pondok pesantren. Tetapi terlebih dulu membantu ayahnya berjualan kitab dan kemudian mengajar ilmu agama untuk masyarakat sekitar.

Baru pada usia 15 tahun, Mama mondok di Pesantren Plered Purwakarta, Pimpinan KH Tubagus Ahmad Bakri As-Sampuri atau Mama Sempur, ulama NU yang berpengaruh di Jawa Barat dan Banten.

Ada satu kejadian menarik saat ia belajar dengan Mama Sempur. Ketika itu, Mama Cibogo tidak banyak bicara tetapi hanya fokus belajar kitab dan mengaji hingga lupa untuk keluar pondok.

Bahkan, berdasarkan cerita yang didapat dari beberapa sumber terpercaya seperti cucu-cucunya, Mama Cibogo hanya mau keluar kalau disuruh oleh Mama Sempur. Seperti mengambil air dan bercocok tanam. Di sana, Mama Cibogo menjadi penghafal Al-Quran di usia yang masih sangat belia. 

Kemudian setelah dirasa cukup belajar di Mama Sempur, Mama Cibogo melanjutkan untuk menimba ilmu ke Makkah. Di sana, Mama belajar banyak ke mualim para pengarang kitab. Diantaranya adalah Sayyid Alwi Al-Maliki dan Syekh Mukhtar bin 'Atharid al-Bughuri al-Batawi al-Jawi al-Makki.

Di Makkah, Mama Cibogo adalah kakak kelas dari KH Noer Ali, Panglima Perang dari Bekasi. Menjelang akhir-akhir pendidikan Mama Cibogo di Makkah, Singa Karawang-Bekasi itu baru tiba di Makkah. Maka besar kemungkinan, kedua ulama Bekasi itu melangsungkan pertemuan pertamanya di Makkah. 

Sepulangnya dari Makkah, Mama Cibogo langsung belajar ke beberapa pesantren di Tanah Jawa. Salah satu tujuannya adalah Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur dan belajar langsung kepada Hadlratussyaikh KH Hasyim Asy'ari. 

Singkatnya, keilmuan Mama diakui oleh KH Hasyim Asy'ari. Bahkan ketika Mama ingin melanjutkan nyantri ke Pesantren Jampes, Lirboyo, dan Termas, Kiai Hasyim menyembelih seekor sapi sebagai bentuk syukur karena punya murid secerdas KH Raden Ma'mun Nawawi. Seorang ulama Ahli Falak dan Tafsir.

Setelah mesantren di Jampes, Lirboyo, dan Termas, Mama menekuni Ilmu Falak ke Jembatan Lima dan dibimbing langsung oleh Guru Mansur. Karena kecerdasannya, Guru Mansur menganggap Mama sebagai murid paling cerdas dan mengangkatnya satu level dari teman-teman sebayanya.

Kemudian, Mama Cibogo juga belajar ke Habib Usman, Habib Ali Kwitang, dan ulama Betawi lainnya. Setelah berguru di Jakarta, Mama menikahi putri Mama Sempur. Lalu, mendirikan pesantren di Pandeglang. Namun di sana tak lama. Mama Cibogo diminta untuk kembali ke Kampung Cibogo.

Mama kemudian mendirikan sebuah pesantren di Cibogo pada 1938. Diberi nama Al-Baqiyatus Sholihat. Setelah didirikan, banyak orang Pandeglang, Banten yang ikut hijrah atau belajar ke pesantren Mama. Bahkan hingga saat ini, banyak orang Banten yang belajar di Cibogo.

Sehari-hari, Mama Cibogo fokus di pesantren. Banyak pengajian yang tidak hanya diperuntukkan bagi santri-santrinya saja. Setiap Selasa pagi, dibuka pengajian bagi ustadz atau kiai kampung. Rabu untuk orang-orang yang sudah lanjut usia. Jumat pagi, pengajian dibuka untuk kalangan ibu. Sedangkan Ahad untuk umum.

Selain beraktivitas sebagai pemuka agama dan pemimpin pesantren, Mama juga seorang wirausahawan. Ketika ingin mendirikan pesantren, Mama banyak menulis, memproduksi, dan menjual berbagai kitab. Kemudian juga membuat berbagai kebutuhan masyarakat seperti kecap dan jamu. Uang hasil dari itu, untuk membiayai pesantren. 

Mama Cibogo punya kebiasaan menukil kitab. Sebanyak 63 kitab yang ditulis, lantaran rajin membaca karya ulama terdahulu dan kemudian dinukil untuk menjadi referensi. Mama banyak menulis kitab dengan aksara arab berbahasa sunda.

Menjelang 1945, Indonesia mengalami gejolak untuk memerdekaan diri dari penjajahan. Di awal-awal tahun 1945, mulailah dibuka pelatihan Laskar Hizbullah. Pelatihan tersebut diadakan oleh Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) yang ketika itu dinakhodai oleh KH Hasyim Asy'ari.

Pertanyaannya adalah kenapa Kiai Hasyim memilih Cibarusah sebagai tempat pelatihan Laskar Hizbullah? Dalam film Sang Kiai ada ditulis di Perkebunan Karet Cibarusah, yang ketika itu masih masuk wilayah Bogor.

Pelatihan Laskar Hizbullah, ketika itu, diikuti oleh sekitar 500 pemuda dan santri. Setiap pesantren se-Jawa dan Madura mengirim lima orang utusan. Kenapa pelatihan Laskar Hizbullah ini tidak dilaksanakan di Jawa Timur saja? Ada banyak hipotesa untuk menjawab pertanyaan itu. Salah satunya adalah karena Cibarusah dekat dengan pusat pemerintahan Jepang di Jakarta.

Selain itu juga karena di Cibarusah ada Mama Cibogo yang secara emosional dekat dengan KH Hasyim Asy'ari yang merupakan gurunya ketika di Tebuireng dan teman sejawatnya KH Wahid Hasyim.

Sementara peran Mama Cibogo dalam Pelatihan Laskar Hizbullah, dalam beberapa literatur tidak dijelaskan secara spesifik. Tetapi dari beberapa info yang didapat dari narasumber, Mama ditugaskan oleh KH Hasyim Asy'ari untuk melakukan pembinaan mental dan menempa spirit perjuangan.

Ketika pelatihan usai, Laskar Hizbullah dipersilakan kembali ke kampung halaman dan ditugaskan untuk membuat pelatihan yang serupa. Surabaya misalnya, yang kemudian terjadi perang 10 November, merupakan daerah yang paling banyak alumni pelatihan dari Cibarusah.

Usai perang kemerdekaan, Mama fokus kembali membangun pesantrennya. Kemudian juga membuka jejaring kembali dengan KH Muhammad Thohir Rohili, Habib Ali Kwitang, dan Guru Mansur. Ulama-ulama Betawi inilah yang kemudian memperbanyak karya Mama Cibogo untuk disebarkan ke masyarakat.

Selanjutnya, Mama membangun dan memiliki kedekatan dengan para jawara di Tanah Betawi. Salah satunya adalah Abah Ghozali Guntung yang merupakan murid Mama Cibogo dari Banten.

Dari semua pelajaran ilmu agama yang sudah didalami Mama, ilmu falak-lah yang menjadi ciri khasnya. Kevalidan data dalam memprediksi sesuatu sudah diakui oleh ulama-ulama lain. Pesantrennya itu hingga kini dikenal dengan Pesantren Falak.

Bahkan, Pesantren Al-Baqiyyatus Sholihat Cibogo, Cibarusah, dikenal dengan pelopor almanak atau kalender yang kemudian disebarkan di daerah Bogor, Bekasi, Banten, dan Jakarta. Ketika masyarakat butuh rujukan untuk bercocok tanam, memulai puasa dan lebaran, maka rujukan utamanya adalah Mama Cibogo.

Mama Cibogo wafat pada usia 63 tahun, pada 26 Muharram 1395 atau 7 Februari 1975 dengan meninggalkan 40 anak dan empat istri. Jenazah Mama disalatkan langsung oleh KH Noer Ali. Kini, di Bekasi dikenal memiliki dua patok. Di sebelah utara ada KH Noer Ali dan selatan ada Mama Cibogo.

*****

Sumber: Ahmad Djaelani, Penulis Buku 'Peranan KH Raden Ma'mun Nawawi dan Laskar Hizbulloh'. 

Minggu, 06 Oktober 2019

Artikel Gus Dur: Menilai Kepemimpinan


Sumber gambar: merdeka.com

Billy, adik Jimmy Carter, memiliki usaha pompa bensin. Di waktu senggang, di tempat usahanya ia bersantai-santai dengan beberapa orang teman, sambil menikmati bir dan minuman-minuman lain yang menjadi kegemarannya. Pendek kata, prototipe "orang biasa" di tingkat bawah kehidupan politik di AS.

Oleh karena itu, ia memiliki penilaiannya sendiri atas perubahan-perubahan besar dalam kehidupan kota tempat tinggalnya, ketika abangnya mulai mencoba meraih jabatan kepresidenan beberapa tahun yang lalu. 

Di tahun 1976, di kala sedang santer-santernya kampanye kepresidenan Carter berlangsung, Billy ditanyai para wartawan tentang penilaiannya atas keadaan keluarganya. Jawabnya:

"Ibuku sudah lebih tujuh puluh tahun umurnya, ketika ia mendaftarkan diri masuk Korps Perdamaian sebagai juru rawat di India untuk dua tahun. Kakak wanitaku senang naik sepeda ke mana-mana, sampai keluar negara bagian yang luas ini. Kakak wanita yang satu lagi menjadi Pengabar Injil, padahal ia tadinya ratu kecantikan. Abang ingin jadi presiden. Nah, anda bisa lihat, akulah satu-satunya orang yang normal dalam keluarga ini".

Betapa kontrasnya penilaian ini, kendati diucapkan secara bermain-main, dengan penilaian mendiang Presiden John F Kennedy. Kalau Billy Carter melihat jabatan politis tertinggi itu sebagai wadah bagi orang yang tidak normal, Kennedy justru menganggapnya sebagai pekerjaan termulia, karena politik itu sendiri adalah kerja mulia dalam pandangannya.

Dari contoh kecil ini saja, jelas tampak betapa aneka ragamnya penilaian kepada profesi kepemimpinan negara di kalangan yang berbeda-beda. Walaupun sedikit-banyak ada pengaruhnya atas popularitas seorang pemimpin nasional, yang pada gilirannya mempengaruhi juga efektivitas kepemimpinannya. Penilaian berbeda-beda itu merupakan hal yang perlu diberi tempat dalam kehidupan demokrasi yang telah matang.

Pengaruh negatif dari perbedaan penilaian itu tidak sampai mengganggu stabilitas nasional, karena ia dipisahkan dari proses pengambilan keputusan di tingkat tertinggi. Pertimbangan wewenang antara pihak eksekutif dan legislatif dalam mengambil keputusan, yang diimbangi oleh wewenang menguji kebenaran dengan UUD oleh pihak peradilan, merupakan alat kolektif untuk pengambilan keputusan di tingkat demokrasi yang telah matang.

Pemisahan antara proses pengambilan keputusan di tingkat nasional, dari proses penilaian masyarakat atas kepemimpinan yang ada, justru semakin memantapkan stabilitas politik. Orang lalu tahu, walau betapa buruk sekalipun penilaian mereka atas jalannya kepemimpinan nasional, proses pengambilan keputusan tidak hanya bergantung kepada kehendak sang pemimpin secara perseorangan. Keputusan diambil secara kolektif, sehingga mereka boleh merasa aman dari kemungkinan "penyesatan" oleh sang pemimpin.

Kadar kerelaan masyarakat dalam menerima keputusan yang diambil menjadi besar dengan adanya kesadaran seperti itu. Kalaupun ada kesalahan mencolok dari sang pemimpin nasional, masyarakat tahu akan diambil tindakan korektif oleh unsur-unsur lain dalam pemerintahan nasional yang bersifat kolektif itu. 

Kasus pengunduran diri Richard M Nixon dari kepresidenan AS karena skandal Watergate adalah bukti dari adanya koreksi kolektif itu. Demikian pula pengunduran diri Anthony Eden dari jabatan Perdana Menteri Inggris, karena kegagalan politik luar negerinya semasa menyerbu Mesir dalam tahun 1956. Juga kekalahan Indira Ghandi dalam pemilu terakhir di India satu setengah tahun lalu, karena ia menginjak-injak demokrasi dengan menggunakan UU Darurat Perang. 

Di negeri-negeri yang belum matang demokrasinya, masalah penilaian atas kepemimpinan nasional masih terlalu dikaitkan kepada sang pemimpin untuk mengambil keputusan yang diperlukan. Proses pengambilan keputusan masih belum memiliki ketetapan, unsur-unsur yang mempengaruhinya masih senantiasa berubah-ubah. Karenanya, setiap penilaian negatif yang dilontarkan secara terbuka atas kepemimpinannya ditakutkan akan mengganggu posisi sang pemimpin untuk menghadapi semua unsur itu.

Tetapi, itu sebenarnya justru bisa membuat keadaan semakin rawan. Semakin menjauhkan kehidupan pemerintahan dari stabilitas politik yang didambakan. Proses pengambilan keputusan yang belum mantap, memerlukan ditutupnya kemungkinan membuat penilaian atas kebijaksanaan yang diambil oleh kepemimpinan nasional. 

Sebaliknya, tertutupnya pintu bagi penilaian itu akan menghambat tumbuhnya kepercayaan masyarakat kepada kepemimpinan nasional. Hambatan itu mengakibatkan sulitnya dicapai stabilitas nasional yang sehat, yang tercermin dalam partisipasi masyarakat yang tulus dan jujur dalam melaksanakan keputusan yang diambil.

Dengan demikian, terjadilah lingkaran setan yang tidak berkesudahan antara penilaian masyarakat dan kebutuhan akan pemantapan situasi dalam proses pengambilan keputusan di tingkat nasional. 

Lingkaran setan itu tidak menguntungkan bagi proses pendewasaan kehidupan politik sesuatu bangsa. Ia bahkan dapat membuat keadaan yang sudah rawan menjadi semakin parah.

Karenanya, bagaimanapun juga lingkaran setan itu harus dipatahkan, kalau perlu dengan mengundang risiko terganggunya stabilitas politik untuk sementara waktu. Risiko seperti itu sudah sepatutnya diambil, karena ketakutan untuk menempuhnya justru akan membuat keadaan sangat parah di kemudian hari.

Alternatif bagi pengambilan risiko seperti itu adalah bahaya bagi keselamatan dan keutuhan bangsa di kemudian hari. Membuka pintu bagi penilaian secara terbuka akan semakin mendewasakan kehidupan politik dan pemerintahan kita, jika dilakukan dengan hati-hati secara bertahap. Sebaliknya, membiarkan pintu penilaian tetap tertutup hanyalah akan menunda belaka tibanya kemelut.


(TEMPO, 9 September 1978)

Sabtu, 05 Oktober 2019

Menyoal Pesantren Tertua di Indonesia


Sumber gambar: jawapos.com

Sekretaris Jenderal PBNU H Ahmad Helmy Faishal Zaini dalam buku Pesantren Akar Pendidikan Islam Nusantara menyebutkan, ada dua pendapat mainstream yang hingga kini menjadi rujukan kuat mengenai pesantren tertua yang telah didirikan di Nusantara.

Pertama, ada yang mengatakan bahwa institusi pendidikan Islam yang dapat disebut pesantren paling tua adalah Pesantren Tegalsari di Kabupaten Ponorogo yang didirikan pada tahun 1742. Hal ini berdasarkan survei pertama Belanda soal institusi pendidikan asli Indonesia yang dilakukan pada 1819.

Kedua, berdasarkan hasil pendataan dan pencatatan yang telah dilakukan Departemen Agama (sekarang Kementerian Agama), pada rentang tahun 1984-1985 diperoleh informasi bahwa pesantren tertua di Indonesia adalah Pesantren Jan Tanpes II di Pamekasan, Pulau Madura. Menurut catatan itu, Jan Tanpes II didirikan pada 1762.

Namun terkait catatan tersebut, Mastuhu, dalam buku Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, menolaknya dengan keras. Sebab, ia berpendapat bahwa jika benar pesantren pertama yang didirikan di Nusantara adalah Pesantren Jan Tanpes II, maka semestinya ada Pesantren Jan Tanpes I yang didirikan lebih dulu.

Dua pendapat itu, berpangkal dari minimnya catatan yang pasti mengenai pesantren. Hal ini sangat masuk akal, mengingat tradisi pencatatan dan juga tulis-menulis orang-orang pesantren kala itu masih sangat lemah, bahkan hingga saat ini. 

"Menurut Henri Lambert Choir, tradisi yang melekat pada orang-orang Nusantara sejak dulu hingga kini lebih didominasi oleh tradisi bertutur, bukan tradisi menulis atau mencatat," tulis Kang Helmy, demikian ia akrab disapa.

Kaburnya catatan sejarah mengenai kepastian tentang kehadiran pertama kali pondok pesantren di Indonesia, khususnya soal di mana lokasi dan siapa pendirinya relatif sulit ditemukan, dan itu bisa dimaklumi. Sebab, aktivitas pembelajaran keagamaan, seperti terbentuknya pendidikan formal yang diistilahkan pesantren, telah berlangsung di mana-mana, seiring berlangsungnya islamisasi ke sejumlah wilayah.

Pesantren di Era Kolonialisasi Belanda

Pada era kolonialisasi Belanda, sekitar abad ke-18, nama pondok pesantren sangat populer dan dikenal sebagai lembaga pendidikan rakyat, terutama dalam persoalan penyiaran agama Islam.

Mendapati hal itu, pihak Belanda menaruh kecurigaan terhadap kalangan pesantren. Terlebih menurut mereka, bentuk dan proses pembinaan pesantren ketika itu disatukan dalam sebuah majelis. Belanda khawatir, ajang pembinaan Islam itu dimanfaatkan untuk menggalang gerakan subversif yang menentang pemerintah kolonial, ketika itu.

Kemudian, pemerintah kolonial membuat regulasi dalam rangka memproteksi diri mereka dari kelompok-kelompok pemberontak –atau yang diistilahkan sebagai kelompok ekstremis.

Hal tersebut menunjukkan, eksistensi pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam diawasi oleh pemerintah Belanda. Regulasi itu yang kemudian menyebabkan pesantren meredup, dalam arti tidak berani secara terbuka menghelat kegiatan-kegiatannya.

"Perlahan, perkembangan pondok pesantren mengalami peningkatan secara kuantitas. Di zaman Belanda saja, jumlah pesantren di Indonesia tercatat dan teridentifikasi sebanyak kurang lebih 20.000 pesantren," tulis Sekjen PBNU itu.

Tipologi Pesantren

Dalam konteks ini, ada dua tipologi pesantren yang dimaksudkan; pesantren yang mempertahankan sistem tradisionalitasnya dan sebagian yang lainnya membuka sistem madrasah, sekolah umum, bahkan ada yang membuka lembaga pendidikan kejuruan.

Walaupun demikian, pesantren tidak pernah melepaskan diri dari penghayatan dan pengamalan ajaran Islam, dengan menekankan pentingnya moralitas, sebagai pedoman hidup untuk berdialektika dengan masyarakat.

Dewasa ini, terdapat tiga tipologi pesantren. Pertama, salafiyyah. Yakni pesantren yang dalam kegiatan belajar-mengajarnya masih berpegang teguh pada sistem pengajaran kitab murni tanpa menyelenggarakan pendidikan formal. Kedua, khalafiyyah. Yaitu pesantren modern yang mendasarkan struktur kurikulumnya kepada pemerintah. Ketiga, kombinasi atau perpaduan antara pendidikan salafiyyah dengan khalafiyyah

Bersambung~

Ngaji Aswaja dan Literasi: Menjaga Ideologi dan Informasi




Kemarin, 4 Oktober 2019, saya bahagia sekali karena diminta untuk memberikan pengetahuan sekaligus berbagi pengalaman seputar literasi digital kepada anggota organisasi Kerohanian Islam Madrasah Aliyah Al-Khairiyah, Papan Mas, Tambun Selatan, Bekasi.

Namun sebelum itu, terlebih dulu dipaparkan materi tentang Ahlussunnah wal Jamaah (Keaswajaan) oleh Suci Amaliyah, Penggerak Gusdurian Bekasi Raya. Dia memberikan pemaparan yang sangat tuntas; sejarah hingga harapan bagi muda-mudi Aswaja kekinian agar terhindar dari pemahaman yang ekstrem kiri (liberal) dan ekstrem kanan (radikal).

Jujur saja, ada banyak pengetahuan baru yang saya dapatkan dari penjelasan yang disampaikan Mbak Suci –demikian dia akrab disapa. Lebih-lebih mengenai sejarah keislaman yang selama ini luput dari ingatan saya yang sangat lemah. Bahwa sejarah Islam itu sarat dengan perebutan kekuasaan, perang ideologi, bahkan benturan fisik yang memilukan. 

Oleh sebab sejarah yang menimbulkan kengerian itu, maka muncul-lah konsepsi keislaman yang disebut Ahlussunnah wal Jamaah. Sebuah gerakan ideologi yang digagas oleh Syaikh Abu Hasan Al-Asy'ari dan Syaikh Muhammad Abu Mansur Al-Maturidi. Keduanya menjadi antitesis dari gerakan ekstrem kanan-kiri; khawarij dan syiah.

Ahlussunnah wal Jamaah menjadi titik tengah dari dua perseteruan ideologi yang saling mendaku sebagai pembawa kebenaran mutlak. Dalam ajaran teologisnya, Aswaja tidak terlalu mengagungkan teks juga tidak mendewakan penggunaan akal. 

Menurut doktrin Aswaja, sifat Allah tidak sama sekali terdefinisi atau berada di luar jangkauan akal manusia, sehingga beriman kepada wahyu Allah merupakan hal yang utama. Walau demikian, bagi ideologi Ahlussunnah wal Jamaah, penggunaan akal merupakan hal yang sangat penting dilakukan.

Sebab, jika memahami teks suci tanpa dibarengi dengan penggunaan akal yang jernih, maka kita akan menjadi sangat radikal sehingga mudah menyalahkan kelompok lain; jika tak sepemahaman dalam memaknai firman Allah. Sebaliknya, kalau hanya mengedepankan akal, maka akan menjadikan kita sangat liberal dan 'sesuka hati' dalam memaknai teks suci, sehingga melampaui batas dalam beragama.

Singkatnya, Aswaja punya beberapa prinsip atau sikap yang harus diamalkan dalam kehidupan beragama di tengah masyarakat. Yakni tawassuth dan i'tidal, tasamuh, tawazzun, serta amar ma'ruf nahi munkar. Ditambah oleh Mbak Suci dalam pemaparannya, yaitu tabayyun. Saya rasa, saya tidak perlu menjelaskan panjang-lebar mengenai prinsip-prinsip tersebut dalam tulisan ini. 

Tetapi, ada satu hal menarik dari pembahasan Mbak Suci, kemarin itu. Dia membahas soal pemaknaannya terhadap wahyu pertama yang diterima Rasulullah Saw; Iqra bismirabbikal-ladzi khalaq (bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan). Menurutnya, ayat di atas itu merupakan sebuah satu-kesatuan. 

Kalau hanya sebatas iqra (membaca), kata Mbak Suci, tanpa bismirabbikal-ladzi kholaq, maka akan menyebabkan kita menjadi liberal. Ilmu pengetahuan yang tanpa dibarengi dengan pelibatan Allah dalam proses pencariannya akan membuat hati menjadi kering. Sehingga, semakin ilmu pengetahuan diperoleh, disaat yang bersamaan kita akan jauh dari Allah.

Kemudian, jika pembacaan kita terhadap wahyu pertama itu hanya sampai pada iqra bismirabbik saja, akan berkecenderungan membuat kita menjadi radikal. Kita akan merasa bahwa ilmu pengetahuan yang sudah diperoleh adalah yang paling benar, sehingga menafikan argumentasi atau pendapat lain yang bisa jadi juga benar. 

Maka, pembacaan dan pengamalan ayat itu harus tuntas: iqra bismirabbikal-ladzi khalaq. Bahwa berbagai pengetahuan yang telah diperoleh merupakan pemberian dari Allah, seraya meyakini kalau diri ini adalah manifestasi terkecil dari Sang Pencipta itu. Sehingga, dengan demikian, kita akan terhindar dari pemahaman liberal yang jauh dari Allah, juga terhindar dari ideologi radikal yang sempit dan memutlakkan kebenaran menurut versinya sendiri. 

Kurang lebih seperti itu, saya menangkap penjelasan yang disampaikan Mbak Suci. Hal tersebut sangat menarik sekali untuk terus-menerus dinarasikan kepada anak-anak remaja; pelajar terutama, agar bertumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang santun, tidak jemawa; angkuh; dan merasa paling benar sendiri. 


Ngaji Literasi


Setelah ngaji Aswaja dengan Mbak Suci itu, saya lantas memberikan pemaparan tentang literasi digital di era kekinian. Tujuannya agar generasi muda Islam Aswaja tidak mudah terpengaruh dan terprovokasi oleh berita-berita bohong (hoaks). Saya katakan, kepada mereka yang masih unyu-unyu itu, bahwa siapa pun, mulai dari pelajar Aliyah hingga sekelas profesor punya peluang untuk terpapar oleh hoaks.

Pengaruh hoaks itu tidak memandang strata pendidikan, gelar jabatan, atau pangkat keduniaan, tetapi sejauh mana pengalaman serta pembacaan kita terhadap sesuatu; situasi dan kondisi di sekitar. Inilah yang menjadi sangat penting di era keterbukaan informasi dan komunikasi akhir-akhir ini.

Oleh sebab saya tertarik dengan pemaparan Mbak Suci mengenai wahyu pertama yang diterima nabi itu, saya pun membahas ayat tersebut sebagai landasan awal. Saya punya "teori" lain soal iqra bismirabbikal-ladzi khalaq itu. Meski berbeda, tapi pemaknaan saya merupakan penguat dari perspektif yang tadi ditawarkan Mbak Suci. 

Ayat itu merupakan perintah dari Allah, melalui Jibril, kepada Rasulullah. Perintah itu adalah agar Nabi membaca. Namun, yang perlu kita ketahui bahwa ayat tersebut tidak menjelaskan perihal apa yang harus dibaca. Setelah kata iqra, tidak ada penjelasan objek. Artinya, iqra dalam ayat tersebut merupakan kata kerja yang tidak membutuhkan objek. 

Semestinya, kata kerja itu diperjelas dengan objek setelahnya. Misal: iqraul-kitab (membaca kitab), iqraul-Quran (membaca Quran), dan lain sebagainya. Tapi rupanya, ayat itu memiliki bunyi yang berbeda dari rangkaian kalimat pada umumnya. Ini yang pertama. 

Kedua, Nabi Muhammad menerima wahyu pertama itu di Gua Hira, sebuah tempat yang –jangankan malam– siang saja sudah pasti gelap gulita, tidak akan bisa terlihat apa-apa. Ketiga, Nabi Muhammad adalah orang yang tidak bisa baca-tulis alias buta huruf. Karenanya, beliau diberi keistimewaan menghafal; tanpa menulis dan membaca. 

Artinya, membaca yang seperti apa yang Allah perintahkan kepada Nabi Muhammad, padahal dalam kondisi yang tidak memungkinkan untuk membaca seperti yang demikian saya sebutkan tadi? Allah hanya menyuruh baca tanpa ada kejelasan objek yang harus dibaca, menyuruh baca di tempat yang gelap, dan menyuruh baca kepada orang yang tidak bisa baca. 

Rupanya, dalam pemaknaan saya, perintah Allah kepada Nabi Muhammad itu bukanlah sebuah perintah untuk membaca teks berupa tulisan-tulisan abjad yang tersusun menjadi kalimat, paragraf, artikel, dan buku. Tetapi Allah ingin agar Nabi Muhammad ini senantiasa mampu membaca teks yang lain; simbol-simbol, situasi, kondisi, dan berbagai perjalanan kehidupan yang akan dihadapinya kelak.

Maka, jika kita berpegang pada ayat ini sehingga menjadi sebuah landasan gerakan literasi, saya rasa generasi muda 5-10 tahun ke depan akan semakin tidak mudah terprovokasi dan terkooptasi oleh berbagai berita bohong yang sengaja dibuat; untuk meraup keuntungan pribadi atau kelompok, serta memecah-belah persatuan dan persaudaraan kita sebagai bangsa.

Maksud saya, kita akan selalu peka terhadap keadaan, membaca berbagai situasi di lapangan yang terjadi, sehingga saat berita-berita hoaks itu muncul dalam 'genggaman', kita akan dengan sendirinya mengonfirmasi bahwa berita itu tidak benar, karena sudah lebih dulu tahu berita dan kejadian di lapangan. 

Saya katakan, orang-orang yang rajin membaca, dengan sendirinya akan punya naluri ketidaknyamanan terhadap teks yang menyudutkan, provokatif, dan memecah-belah. Membaca, dalam hal ini, bisa kita maknai dalam berbagai konteks. Sehingga, jika pembacaan kita –terhadap apa pun, bisa tuntas, maka kita tidak lagi mudah terpecah-belah oleh berita bohong. 

Demikianlah yang dapat saya tulis. Kalau saya tulis secara keseluruhan apa yang saya katakan kemarin di MA Al-Khairiyah, capek. Sini ngobrol aja~