Jumat, 30 September 2016

Meniscayakan Ukhuwah Islamiyyah (2)


Kalau Islam sudah menjadi tatanilai, kebudayaan, dan estetika kehidupan sosial, maka kekuatan cinta dapat dirasakan sebagai satu kesatuan yang utuh demi menciptakan persaudaraan.

Islam sebagai nilai yang berpola, berprinsip, dan bernafaskan persatuan dengan tanpa sekat, dengan universalitas, serta melihat kondisi sosio-kultural secara menyeluruh, akan memberikan harapan persaudaraan yang utuh bagi sesama dan semesta.

Maka Islam menjadi lentur, menjadi empati bagi kemanusiaan tanpa embel-embel apa pun, menjadi tak berjarak dan bersekat, tak terkoyak dan terkotak, sebab fungsi cinta adalah sebagai perekat persaudaraan.

Ketika berbicara soal cinta, maka tak ada lagi pembahasan mengenai pahala, ketakutan akan dosa, berharap surga atas kebaikan yang dikerjakan, serta berusaha dengan sekuat tenaga dalam mengerjakan kebaikan demi menghindari siksa neraka.

Karena pahala, dosa, surga, dan neraka sesungguhnya adalah penyekat dari cinta yang bermakna universal. Kalau tujuan akhir dari sebuah pengembaraan di dunia hanya pada keempat hal itu, maka Ukhuwah Islamiyyah akan menjadi angan-angan yang kosong; utopis.

Berpikir layaknya pedagang yang selalu ingin mendapatkan keuntungan dari setiap perilaku kebaikan, membuat kita abai pada kemerosotan moral yang terjadi di sekitar. Sebab kita pasti berpikir akan mendapat kerugian ketika menjadi bagian dari keterpurukan itu.

Padahal jika kita sudah menjadi bagian dari objek kemerosotan moral yang terjadi, akan sangat mudah untuk mewarnai lingkaran itu dengan universalitas cinta, dan nilai-nilai keislaman; ketaatan, kepatuhan, keberpasrahan diri pada Tuhan yang dapat mengumbar dan menebar keselamatan serta kedamaian.

Saat kita berperilaku seperti budak yang takut akan siksa jika melanggar aturan dan ketetapan, justru dapat meruntuhkan nilai-nilai keislaman yang digaungkan demi tegaknya Ukhuwah Islamiyyah di bumi.

Pasalnya, kita akan enggan meleburkan diri ke dalam komunitas atau lingkaran kemaksiatan karena dibayang-bayangi oleh siksaan dan ancaman yang menakutkan.

Padahal, kembali dikatakan, bahwa dengan melebur ke dalam lingkaran itu, kita dapat mewarnainya dengan polarisasi kehidupan yang estetik dan dialektik.

Tuhan pun mengetahui segala bentuk ketersembunyian dan kesunyian dalam hati. Dia melihat serta memahami niat tulus kita dalam menegakkan persaudaraan yang diselimuti oleh prinsip keislaman.

Pun ketika kita hanya berfokus pada neraka dan surga dalam pengembaraan hidup di dunia, maka yang akan terjadi adalah ketersekatan yang akan mempersulit terbentuknya persaudaraan. 

Karena iming-iming pahala, ancaman dosa, kenikmatan surga, dan siksa neraka, primordialisasi Islam akan menjadi benalu dalam kehidupan yang dinamis, yang dengan menghilangkan hal-hal tersebut, harmonisasi kehidupan yang estetik menjadi nyata.

Maka, tujuan akhir kita adalah soal Ukhuwah Islamiyyah. Kebersatuan, persaudaraan, dan keniscayaan akan didasari oleh cinta. Sebab cinta adalah permadani kehidupan yang diberikan Tuhan.

"Cinta merupakan kemurnian sejati, sebagai pendobrak dan penghancur tembok pemisah antara kita, juga untuk memusnahkan segala kemunafikan serta kepentingan yang justru menjauhkan diri dari kerelaan Tuhan." Pikirku, di kaki gunung Pangrango; saksi bisu perjalanan Soe Hok Gie.

Dengan begitu, kita tak perlu lagi mengajak Tuhan untuk berhitung soal pengeluaran jasa dan sebagian rezeki, yang kemudian mengharap imbalan dari itu. Kita akan melihat segala sesuatu adalah Tuhan, atau setidaknya terdapat unsur ketuhanan dari setiap objek penglihatan.

Artinya, kita selalu dalam pengawasan Tuhan, senantiasa menjadi pelayan-Nya, melaksanakan fungsi staf ahli (Khalifah fil-ardl) karena setiap langkah kaki dan desahan nafas kita sudah tak lagi berjarak dengan cinta. Dan cinta itu adalah Tuhan.

Saat Ukhuwah Islamiyyah sudah tegak dan terwujud, pemutlakan kebenaran Tuhan atas penafsiran diri yang sangat terbatas tidak diperkenankan merajalela. Sikap keagamaan yang jumud, rigid, kaku, beku, dan kepala batu akan musnah.

Hal tersebut akan tersingkir dengan sendirinya, karena yang tersisa hanyalah ketawadluan, sikap toleran, saling menerima kebenaran lain yang juga hasil penafsiran, dan sikap saling mengasihi satu sama lain, melebur pada kemaksiatan untuk melanjutkan perjalanan menuju ketaatan, bukan menghakimi dan menyesatkan ketersesatan.

Pada akhirnya, semua makhluk bergembira. Kegembiraan itu membumihanguskan kebencian. Dan kita akan menyongsong pada persaudaraan yang titik gravitasinya adalah nilai-nilai keislaman.


-BERSAMBUNG-


Wallahu A'lam





Cibodas, 30 September 2016



Aru Elgete  

Rabu, 28 September 2016

Meniscayakan Ukhuwah Islamiyyah (1)



"Al-muslimu akhul Muslim," sepotong hadits yang sejak SD, menjadi sebuah kebanggaan. Pertama, karena kehapalanku pada teks tersebut. Kedua, adanya sebuah harapan agar Islam dapat bersatu oleh, dari, dan untuk persaudaraan. Ketiga, di dalamnya tersirat bahwa Islam takkan terpecah dan dipecah. Menjadi satu kekuatan untuk melawan dan meruntuhkan segala jenis urusan keduniaan yang tidak bergaris-lurus dengan Allah.
Islam sebagai sebuah harapan dengan jalan kebenaran dan ruang proses bagi perbaikan diri. Islam dengan keluwesannnya mampu merangkul siapa pun untuk memahami serta mempelajarinya sebagai sebuah tatanilai, kebudayaan, dan estetika kehidupan sosial.

Islam adalah tatanilai. Karenanya, ia mampu mengilhami manusia untuk tetap berislam; patuh, berpasrah, memberi kedamaian, menebar keselamatan, menabur kesejahteraan, dan lain sebagainya. Ia juga sebagai bentuk kebudayaan. Islam mampu membuat siapa pun, yang berada dalam lingkarannya, berbudaya, berakal-budi, dan memiliki pekerti yang luhur. Sebagai tatanilai dan kebudayaan, Islam akhirnya membentuk sebuah tatanan kehidupan sosial yang estetik, harmoni, dan menjadi lebih dialektik.

Ketiga poin itu adalah titik berangkat keislaman pada universalitas kepribadian, baik di dalam diri manusia atau pada Islam itu sendiri. Ia mencair pada kondisi sosio-kultural di setiap tempat persinggahannya. Pada akhirnya, Islam tak menjadi sesuatu yang bersifat primordial, sektarianisme, dan romantika cinta yang membabi-buta.

Ketika Islam menjadi sebuah primordialitas keagamaan yang menimbulkan sektarianisme karena kecintaan yang begitu romantik sehingga membabi-buta dalam mencintanya, maka esensi dari keislaman itu menjadi hilang, buyar, tak berbentuk. Padahal Islam tak tersekat. Justru karena cinta, Islam menyeluruh, memaknai semesta sebagai kekasih, bahkan menganggap Pencipta sebagai diri sendiri.

"Dan pada akhirnya, Ukhuwah Islamiyyah hanya menjadi impian yang tak berujung," batinku saat melihat Islam menjadi terkoyak dan terkotak, bahkan oleh dirinya sendiri.

Ukhuwah Islamiyyah berbeda dengan Ukhuwah-Muslimin (dan berbeda sama sekali dengan Ikhwanul-Muslimin) atau Ukhuwah Bainal-Muslimin wal-Muslimat, dan macam-macam pertaliannya di kalangan Islam, juga bukan Ukhuwatun-Islamiyyah tetapi Ukhuwatun-Islamiyyatun.

Adalah sebuah strategi persaudaraan dengan mengutamakan prinsip, pola, dan napas keislaman. Islam di dalam kalimat Ukhuwah Islamiyyah adalah kata sifat. Maka persaudaraan yang dimaksud memiliki makna luas, yakni persaudaraan antar sesama manusia dengan satu tarikan napas: keislaman; menyiratkan kepatuhan, menganjurkan kepasrahan, menabur dan menebar keselamatan, kedamaian, serta kesejahteraan yang menyeluruh.

Islam yang menyeluruh berarti penuh dengan welas asih, nriman, senantiasa melaksanakan hukum alam (Sunnatullah) yang tertinggi, yakni mencintai Tuhan Yang Mahatinggi dengan tulus serta mengejawantahkannya dengan tidak membuyarkan esensi cinta kepada sesama manusia.

Selain itu, universalitas persaudaraan Islam berarti tidak primordial, rigid, jumud, kaku, dan beku. Keislaman justru akan menciptakan persaudaraan yang kokoh, ketika tidak saling mengoyak dan mengkotak, sehingga mampu melebur dengan segala macam kemaksiatan dan keserakahan duniawi, yang kemudian bersedia merangkul serta mengajak pada ketaatan, kepatuhan, dan keberpasrahan diri pada Tuhan.

"Ukhuwah Islamiyyah tidak pernah melakukan proses pendewasaan dengan memonopoli kemutlakan Tuhan. Artinya, ia tidak primordial. Tidak menganggap bahwa dirinya yang memegang kemutlakan itu. Islam dan Tuhan adalah dua hal yang kebesaran-Nya amat sangat jauh dari keberadaan dan keberdayaan kita sebagai manusia yang hanya sebesar biji dzarrah." Renungku.

Sangat mustahil ketika sepenggal ayat atau hadits atau bahkan pernyataan seorang ulama, yang kemudian ditafsirkan melalui kapasitas otak yang tentu sangat terbatas, menganggap bahwa hal itu adalah kebenaran yang mutlak.

Karenanya, Islam sebagai tatanilai dari perwujudan kepasrahan, kerendah-hatian, kepatuhan, yang berimplikasi pada sikap kehati-hatian dan konsisten dalam mencari dan menambah pengalaman pengetahuan baru agar mendapat kebenaran-kebenaran yang masih banyak berserak.

Dengan pemaknaan seperti itu, cepat atau lambat, dengan tanpa mengubah dasar negara-bangsa, dan dengan tidak bersikap antipati kepada apa dan siapa pun, serta tidak melakukan proses pendewasaan dengan memonopoli kebenaran, atau menganggap penafsiran diri sendiri adalah yang paling benar, maka Ukhuwah Islamiyyah akan segera terwujud.

-BERSAMBUNG-



Wallahu A'lam




Bekasi, 28 September 2016



Aru Elgete

Selasa, 27 September 2016

DKI Jakarta membutuhkan siapa?



Politik memang asik. Membuat siapapun betah berada di dalamnya. Segalanya dinamis, sewaktu-waktu bisa berubah. Itu disebabkan bukan karena perasaan labil macam anak remaja, tetapi memang politik penuh dengan kejutan. Terkadang, kita dibuat kesal oleh pemerintah, tetapi tak jarang pula, dengan tulus kita beri mereka apresiasi. Pun tokoh senior di perpolitikan tanah air. Sekalipun sudah sepuh, rambut sudah memutih, pendengaran sudah mulai berkurang, penglihatan menjadi buyar, bahkan gigi satu-persatu tanggal, mereka tetap asik memainkan ritme politik menjadi renyah dan berbobot.

"Jujur, saya sangat berterimakasih kepada Bapak Prabowo, Ibu Megawati Soekarnoputri, dan Bapak Susilo Bambang Yudhoyono, kalian hebat!"

Mereka-lah yang akan melahirkan pemimpin berkualitas di Ibukota. Dari mulai politisi, pakar pendidikan, birokrat, pengusaha, sampai tentara pun menjadi warna di pesta demokrasi nanti. Menariknya adalah ketika dendam para senior berbuah menjadi keasikan baru bagi peradaban di beranda Indonesia itu. Kesemuanya memiliki kemampuan dan kelebihannya masing-masing, juga kekurangan tersendiri. Paling tidak, mereka (ketika terpilih menjadi pemimpin) dapat membereskan segala persoalan dengan memulainya dari hal-hal yang sesuai passion-nya.

Namun, dari beragam wacana yang menjadi topik terhangat saat ini, hanya ada tiga poin penting yang menurut saya menarik. Pertama, mengenai pribadi Anies Baswedan yang lentur, bahkan seperti bunglon, namun laksana ikan di lautan; tidak menjadi asin hanya karena air laut asin. Kedua, soal dendam yang mesti terbalaskan, tentu dengan sebuah prestasi yang membanggakan. Ketiga, tersingkirnya pak Yusril Ihza Mahendra dari peredaran. Setidaknya ketiga itu adalah rangkuman dari beragam wacana dan perbincangan yang mengemuka di media massa.

Mantan Rektor Universitas Paramadina, Anies Baswedan, yang masih memiliki darah keturunan Yaman; kalau ia menjadi tokoh agama, kita memanggilnya dengan sebutan Habaib atau Habib, ini menarik untuk dibahas. Anies bukan orang sembarangan. Kiprahnya di dunia pendidikan tak lagi diragukan. Ia seorang konseptor. Gagasannya dianggap mampu menembus dimensi lain. Anies yang gaya bicaranya empuk dan renyah, mampu mencairkan kebekuan suasana. Sesungging senyum selalu dipancarkan ketika ia berbicara. Ia berkharisma, memiliki innerbeauty yang memancar. Begitu kata pendukungnya.

Sewaktu kuliah di UGM, Anies Baswedan adalah adik kelas dari dosen Jurnalistik saya di kampus, Iwan Samariansyah. Pak Iwan -begitu sapaan akrabnya- menjadi saksi perjalanan calon orang nomor satu di DKI itu. Beliau pernah mengospek Anies dan melihat bahwa pakar pendidikan itu adalah orang yang aktif, cerdas, cekatan, dan berpikir kritis. Setahun kemudian, Anies dipercaya menjadi ketua pelaksana ospek se-universitas. Pada semester 5, ia terpilih menjadi ketua BEM di fakultasnya.

"Di semester 5, dia aktif di kegiatan sosial. Dia pernah menulis karya ilmiah tentang petani tembakau di Jogja yang diduga melibatkan Tommy Soeharto (Hutomo Mandala Putra), sehingga tembakau dihargai dengan sangat murah yang mengakibatkan petani kewalahan," tutur Iwan Samariansyah.

Sesaat setelah bernostalgia dengan masalalunya, Pak Iwan berharap agar Anies berani mengambil keputusan untuk maju sebagai Calon Gubernur DKI 2017-2022. Menurutnya, kemajuan sebuah kota akan dimulai dari pendidikan yang sehat dan baik. Maka, Anies adalah pilihan tepat. Tapi tentu, kemajuan itu tidak mutlak harus berawal dari pendidikan, itu hanya opsi saja. Begitu kata Dosen matakuliah Dasar-dasar Jurnalistik dan Penulisan Berita & Opini itu.

Menurut sebagian besar teman saya, Anies Baswedan adalah seorang tokoh yang mencintai pluralitas, ia menginginkan adanya pendewasaan keagamaan dan cara beragama orang Indonesia. Dirinya mengaminkan Kebhinnekaan, tidak rasis, penuh dengan kelembutan dan kedamaian, mendukung ide Pluralisme dan paham pembebasan atas agama (laa ikraha fiddiin). Dalam beragama, ia moderat, menjadi ummatan wasath dan laa syarqiyyah wa laa ghorbiyyah (tidak mendukung ekstrim kanan dan kiri). Hemat saya, ia bersahabat dengan Ustadz Sohibul Iman karena pernah mendiami 'rumah' Nurcholis Madjid, seorang cendekia milik bangsa. Keduanya (Anies-Sohibul) pernah memiliki keterkaitan dengan Universitas Paramadina.

Harapan saya, Anies mampu meredam pendukungnya. Ia bisa melumpuhkan ego pada diri fanboynya agar tidak semena-mena dalam rangka mengkampanyekan dirinya. Artinya, pendukung Anies, yang juga pendukung Prabowo pada awalnya, tidak lagi membawa atau menyinggung persoalan SARA. Satu lagi, Anies adalah penyeberang yang baik. Ia melakukan perjalanan dengan tanpa terluka. Saya yakin, itu karena kepribadiannya yang luwes, ramah, santun, dan penuh welas asih. Ia menyeberang dari kubu presiden ke kubu mantan calon presiden. Tak apa.

Adalah Prabowo Subianto yang masih punya dendam atas kemenangan Jokowi pada Pilpres 2014. Megawati Soekarnoputri yang menjadi kendali atas prestasi Jokowi hingga saat ini menjadi objek pembalasan dendam bagi seorang Prabowo; pemelihara kuda yang baik. Namun yang sangat saya suka adalah caranya membalas dendam tidak dengan kejahatan atau keburukan, tetapi ditunjukkan dengan permainan politik yang ciamik. Ia menggandeng pasangan Anies Baswedan - Sandiaga Uno untuk mengalahkan pasangan yang didukung penuh oleh Ibu Mega; Ahok-Djarot.

PDI-P yang barangkali kehabisan stock, akhirnya mempercayai Ahok sebagai calon gubernur usungannya. Kalau PDI-P memiliki kandidat lain yang kapasitas dan elektabilitasnya melebihi Ahok, mungkin itulah yang akan dicalonkan. Tapi kenyataanya? Ahok-Djarot sebagai petahana, menantang seluruh penantangnya, dengan prestasi yang gemilang, dengan pengalaman yang matang, dan tentu dengan semangat juang untuk perubahan ke depan yang lebih mapan.

Mungkin saya tidak perlu bercerita panjang-lebar soal permasalahan pelik yang dihadapi oleh Ibu Mega dan Pak SBY. Pokok permasalahannya adalah, kedua tokoh senior itu selalu bersaing dan bermusuhan, tidak pernah mengalah, serta selalu ingin terlihat menang, keduanya tak mau dipandang rakyat sebagai pecundang. Maka, mereka memperlihatkan kelihaiannya bermain politik. Pak SBY kemudian mencalonkan anaknya, Agus Harimurti Yudhoyono bersama dengan birokrat cantik, Sylviana Murni. Kedua pasang calon yang didukung oleh SBY tentu memiliki kelebihan, yakni memecah suara agar masyarakat Jakarta tidak terpecah menjadi dua kubu. Alhamdulillah. . .

Kita tinggal menunggu hasilnya nanti. Pemimpin yang terpilih itu adalah (tentu berinisial A) seorang yang sedang dibutuhkan oleh DKI Jakarta dan masyarakatnya. Jadi, tolong jangan umbar kebencian, jangan sakiti hati pemilih lain. Seperti filosofi Jawa yang  berjuang tanpa perlu membawa massa; menang tanpa merendahkan atau mempermalukan; berwibawa tanpa mengandalkan kekuatan; kaya tanpa didasari kebendaan. Artinya, biasa saja. Jangan takut kalah. Kalau kalah ya terima. Harus siap menang. Kalau menang ya jangan sombong. Gitu saja kok repot.

Terus, Abang Yusril bagaimana?

Yusril Ihza Mahendra yang menjabat sebagai ketua umum partai miliknya itu adalah gambaran konkret dari tim kesebelasan di Indonesia. Biasanya, orang kita itu panas di awal, dan akhirnya kalah di akhir. Ini menarik. Tapi saya tidak mau ghibah. Cukup sekian dan terimakasih.




Wallahul muwafiq




Bekasi, 27 September 2016



Aru Elgete 

Minggu, 25 September 2016

Kebenaran Objektif dan Individual Subjektif

Sumber: blogoundrium.blogspot.com



Meminjam istilah yang digunakan Kiai Muhammad (Emha) Ainun Nadjib sebagai penggambaran manusia di dunia, yakni adanya Kebenaran Objektif melalui Individual Subjektif. Bahwa sebenarnya kebenaran yang objektif berawal dari subjektivitas yang lahir dari setiap individu.

Maka, kebenaran yang ada di kehidupan manusia hanya bersifat subjektif, sementara objektivitas kebenaran akan ditemukan di kemudian hari saat individu mampu melakukan pengembaraan diri serta memperbanyak pengalaman pengetahuan selama hidupnya.

Kitab suci misalnya, Alquran salah satunya, merupakan firman Tuhan yang orisinalitasnya terjaga dan dijaga. Karenanya, kebenaran Tuhan adalah mutlak. Tak bisa diganggu gugat. Layaknya wasit di pertandingan atau perlombaan apa pun.

Sebab hanya Tuhan yang mampu bersikap objektif, berlaku adil, dan menjunjung sportivitas dalam lakon yang dimainkannya. Ia tak mungkin memihak, tak mungkin membela dengan fanatisme yang berlebihan, juga mustahil menghakimi karena tak adil dalam menilai. Mahasuci Tuhan dari kemiripan sifat-Nya dengan manusia.

Berbeda dengan manusia, yang hanya bisa taklid tanpa mengembara dan mencari pengalaman pengetahuan baru untuk memperbesar kadar kebenaran yang dimiliki, hingga objektivitas dapat direngkuhnya.

Dalam memahami Alquran, hadits, dan teks keagamaan lainnya, manusia cenderung abai terhadap pemaknaan teks di luar teks, karena terlalu menitikberatkan pada terjemahan yang dibaca, sebab keterbatasan dalam memahami bahasa.

Padahal terjemahan hanya secuil dari kebenaran yang terdapat dalam kandungan kitab suci. Subjektivitas manusia terhadap kebenaran justru menjerembabkan pemikirannya pada perasaan paling benar, bahkan menganggap diri dan lingkaran pergaulannya adalah yang memegang penafsiran mutlak, seakan menjadi juru bicara Tuhan yang paling mengerti maksud-Nya; dari terjemahan itu.

"Kalau ingin ke Eropa, kita harus lebih dulu belajar bahasa Inggris agar tidak tersesat di sana, masa untuk mengetahui maksud Tuhan kita justru menggunakan terjemahan, tanpa belajar bahasa Arab dan sejenisnya," Emha Ainun Nadjib dalam Anggukan Ritmis Kaki Pak Kiai.

Para mufassir yang telah banyak menelurkan karya atas penafsirannya terhadap Alquran, tidak serta merta menyatakan bahwa dirinya-lah yang paling dekat dengan Tuhan. Artinya, Kebenaran Objektif hanya ada pada Tuhan, sementara Alquran yang dijadikan-Nya sebagai simbol kebenaran dan kebesaran-Nya, dapat ditafsirkan dengan beragam makna.

Maka, menurut Emha, manusia dianjurkan untuk merasakan kehadiran Tuhan di setiap kehidupan dan pengalamannya. Sebab kebenaran tidak hanya ada pada teks, tetapi konteks. Bukan hanya tersurat, tetapi tersirat. Bukan cuma sebatas pemaknaan yang parsial, tetapi harus universal.

Begitu juga yang terjadi pada Sholat. Kalau kita hanya fokus kepada Sholat sebagai sebuah gerakan dan kewajiban, maka manusia akan merasa paling benar karena dirinya merasa sudah menunaikan kewajiban yang Tuhan perintahkan.

Padahal Tuhan menegaskan, aqiimush-sholah atau dalam kalimat Iqamah; Qad qaamatish-sholah yang bermakna bahwa Sholat harus didirikan dan ditegakkan, sebagai benteng untuk mencegah perbuatan fakhsya dan munkar. 

"Berapa banyak orang yang rajin Sholat, tapi terjerat kasus korupsi? Atau menjadi tersangka pemerkosaan, dan berbagai kemunkaran lainnya?"

Untuk mencapai kebenaran objektif, manusia yang cenderung subjektif ini, tidak hanya menitikberatkan pada Sholat yang sifatnya ritualistik dan sebatas gerakan. Setelah itu selesai. Menghadirkan Tuhan hanya pada Sholat ritualistik. Setelahnya, kembali meniadakan Tuhan.

Padahal, menauhidkan Dzat Yang Mahabenar itu berarti menomorsatukan-Nya di setiap desah nafas kehidupan. Bagaimana mungkin Sholat lima waktu sepanjang hari, tapi korupsi, keserakahan, dan kejahatan-kejahatan lainnya tetap saja dilakukan? Dari situlah, kebenaran objektif masih jauh dari penglihatan dan pengharapan.

Mendirikan Sholat sebagai benteng dari berbagai sifat ketamakan dan kebinatangan, harus menjadi keikutsertaan dalam diri. Maka diperlukan, selain Sholat sebagai gerakan yang ritualistik, juga Sholat hati dan pemikiran.

Artinya, seorang yang benar-benar sudah mendirikan Sholatnya, akan senantiasa menularkan ide-ide positif dan solutif, serta selalu peka terhadap kondisi sosial masyarakat. Sehingga tidak membuyarkan nilai kebudayaan dan estetika yang sudah lebih dulu ada sejak ketiadaan kita.

Seorang yang sudah mampu mendirikan Sholat dalam keseharian, tidak pernah berpikir bahwa untuk menemui dan merasakan kehadiran Tuhan hanya pada Sholat yang durasinya berkisar 5-10 menit. Tetapi, ia mampu Sholat sepanjang waktu. Ia mampu menghadirkan Tuhan selama detak jantung terus menyertainya, selama udara masih dapat terhirup, dan selama langkah kaki masih diberikan izin untuk terus bergerak.

Ia akan Sholat atas pemikirannya, memperbarui dan memperbaiki pemikiran yang mulanya sempit dan picik, menjadi luas dan terarah. Juga memperbarui serta memperbaiki kepekaan hati, agar selalu merasa bahwa Tuhan mengawasi gerak-geriknya di dunia, sehingga menimbulkan kepedulian terhadap sesama dan semesta.

Dari situlah, ia akan menyatu dengan Tuhan. Ia akan bersanding dengan kesejatian. Ia juga akan merasakan kebenaran yang objektif tanpa mengecilkan dan meremehkan orang lain. Ia akan melihat sesuatu pada konteks yang jelas, tidak sembarang menghakimi dan menilai.

Ia akan senantiasa melakukan kebaikan dan perbaikan pada fungsi kehidupan yang dijalani. Ia akan menemukan kedamaian atas kepekaannya terhadap kondisi realitas yang ada. Ia akan lebih bijak dalam setiap keputusan yang dibuat. Ia dan Tuhan sebagai kekasih, sebagai dua elemen yang saling membutuhkan, sebagai kehampaan bila keduanya tak dipertemukan. Ia akan meniadakan subjektivitas individual dan beralih pada kebenaran objektif.



Wallahu A'lam.





Bekasi, 25 September 2016.



Aru Elgete

Jumat, 23 September 2016

Mengutuhkan persatuan untuk membangun Ibukota


Sumber: mediaindonesia.com


Berawal dari Pemilihan Presiden (2014) yang hanya terdapat dua pasang calon, membuat masyarakat Indonesia terpecah. Ketika itu, saling hujat, menjatuhkan, dan menganggap pilihannya adalah yang paling baik menjadi hal wajar. Penghujatan dan penjatuhan tersebut rupanya berkepanjangan hingga kini.

Ada yang berasumsi bahwa presiden terpilih adalah Satrio Piningit yang diyakini akan membuat pembaruan dan perubahan bagi Indonesia, juga ada banyak asumsi yang menganggap bahwa Jokowi tidak pantas menjadi presiden, karena tidak menepati janjinya untuk berkhidmat kepada DKI Jakarta selama satu periode. Dirinya juga dianggap sebagai petugas partai dan bonekanya Megawati.

Selain itu, karena kepergian Jokowi dari DKI menuju istana negara, ada yang beranggapan bahwa Jokowi ingin mengkristenisasikan Ibukota. Sampai pada akhirnya, Basuki Tjahaya Purnama atau Ahok menjadi bulan-bulanan ormas keagamaan dan sebagian masyarakat Jakarta.

Sepeninggal Jokowi dari DKI, isu SARA mulai diangkat ke permukaan, bahkan menjadi tema utama saat khutbah atau ceramah di rumah-rumah ibadah. Akibatnya, banyak masyarakat yang terprovokasi dan membenci kepemimpinan Ahok. Segala bentuk kegiatan atau program yang dilakukan Gubernur itu, selalu salah dan hampir sama sekali tidak ada hal positif yang bisa dinilai dari pribadi maupun gaya kepemimpinan Ahok.

Masyarakat kembali terpecah, kembali membuat sekat untuk saling membenci, bahkan membangun tembok kebencian yang lebih besar lagi sebagai penolakan dari kepemimpinan Ahok, tembok kebencian itu adalah firman Tuhan yang Suci, yang digunakan untuk turut serta dalam perpolitikan yang penuh intrik dan kepentingan. Hal tersebut berujung pada ketidakpercayaan sebagian besar masyarakat terhadap pemuka agama yang dengan sengaja membangun tembok kebencian.

Karena ketidakpercayaan itu, para pemuka agama di setiap ormas keagamaan memperbarui tembok kebenciannya. Yakni dengan menilai betapa buruknya gaya komunikasi Ahok yang tempramental. Menjelang Pilkada DKI, tembok kebencian itu semakin kokoh, menjadi penghalang bagi kemajuan Ibukota. Karena untuk memajukan Ibukota Negara, dibutuhkan persatuan persepsi bahwa kebencian hanya berujung pada penghancuran dan keterpecahan. Esensi gotong royong, ramah, toleran, dan welas asih menjadi pudar tak berbentuk sama sekali.

Maka itu, siapa pun pilihan kita dalam pesta Demokrasi di DKI Jakarta nanti, diperlukan proses pendewasaan diri dalam bersikap. Pasalnya, warga Jakarta kini sudah cerdas, memiliki daya intelektualitas yang memadai, tidak bisa lagi dibodohi dan diberikan asupan kebencian untuk menjatuhkan pilihan (Cagub-Cawagub) lain. Kalau ternyata masih terdapat tembok kebencian di mana-mana, itu disebabkan karena ketidakmengertian kita pada pentingnya persatuan dan kesatuan untuk sama-sama menjadikan Ibukota Negara lebih baik lagi.

Pada kesempatan ini, saya mengimbau kepada para pembaca, agar melakukan publikasi di akun Sosial Media dengan konten yang positif dan mendidik, bukan memublikasi yang bertujuan untuk memecah keutuhan persatuan kita. Silakan dukung pasangan Cagub-Cawagub pilihan anda dengan mengangkat prestasi-prestasinya ke permukaan, bukan menjelekkan dan menjatuhkan pasangan lain. Siapa pun yang menjadi Gubernur selanjutnya, kita harus dukung dan menghapus kenangan kebencian di hari kemarin.

Karena keutuhan persatuan kita adalah sesuatu yang sangat dibutuhkan untuk membangun Ibukota, bukan dengan perpecahan yang justru membuat tembok kebencian semakin jelas terlihat dan sulit untuk dihancurkan.


Wallahu A'lam.



Bekasi, 23 September 2016


Aru Elgete

Rabu, 21 September 2016

Memurnikan Agama Allah dengan Tauhid dan Jihad!




"Demi Allah, saya sepakat soal perlunya kita memurnikan Agama Allah dengan Tauhid dan Jihad," dengan lantang saya ucapkan di depan teman-teman yang juga menginginkan Islam kembali atau minimal berproses menuju kemurnian yang sejati. Pada kesempatan itu, banyak yang terheran-heran dengan pernyataan di atas. Pasalnya, saya adalah orang yang dinilai sebagai pendukung ide-ide Pluralisme, Sekularisme, dan Liberalisme; yang ketiganya sudah difatwa 'haram' oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada Juli 2005. Bahkan tak jarang ada yang menganggap saya sebagai penumpang gelap NU karena selalu berbicara tentang ketiga paham tersebut yang diakronimkan menjadi Sepilis; sebutan bagi penyakit yang membahayakan dan menjijikan.

Terlepas dari NU, MUI, atau Sepilis, saya benar-benar sepakat dengan ide atau (barangkali) harapan untuk menawarkan proses pemurnian Agama Allah dengan jalan menegakkan Tauhid dan menerapkan Jihad dalam keseharian. Bagaimana tidak, Agama Allah yang dilahirkan dari rahim kesejatian dan kemurnian yang abadi, kini menjadi kotor oleh ulah manusia yang didaulat sebagai Khalifah di bumi. Saya beranggapan bahwa Agama Allah (Yahudi, Kristen, Islam) sudah banyak ditindih dan diperkosa berbagai kepentingan. Agama Allah yang suci itu digunakan sebagai tameng, menjadi pelindung dari segala kemunafikan dan kedurjanaan diri.

Untuk memurnikan Agama Allah, tentu membutuhkan sebuah proses, Tauhid namanya. Adalah suatu perjalanan dimana seorang hamba benar-benar menomorsatukan Allah dalam keseharian, bukan memprioritaskan berbagai kepentingan duniawi, kepentingan pribadi maupun golongan. Sebab tidak mungkin Agama Allah akan kembali murni ketika sebagian besar umat manusia belum mampu menempatkan Allah di setiap ruang, di setiap jengkal kehidupan, bahkan di setiap kedip mata yang tak terencana. Pikir manusia selalu keduniaan, mengejar kekuasaan, menampilkan kecemerlangan fana, dan bermain intrik dengan membawa simbol Agama Allah di dalamnya. Kata Allah, dunia hanya tempat untuk bersenda gurau. Manusia selalu dipermainkan oleh kepentingan dunia, sementara selalu kehabisan daya ketika harus mempermainkan dunia.

Tauhid tidak akan pernah bisa ditegakkan ketika kita tidak mampu menjalankan fungsi Jihad dengan baik. Jihad berarti bersungguh-sungguh dalam arti mengkombinasikan antara tenaga, akal, dan harta. Ketiganya diperuntukkan agar kemurnian Agama Allah terwujud. Jihad dengan tenaga berarti rela menjadi abdi bagi masyarakat, menjadi manfaat dari setiap perilaku positif demi terciptanya harmoni kemaslahatan yang lebih dialektis. Selain itu, jihad dengan akal berarti memberikan kontribusi dalam bentuk pemikiran yang solutif bagi permasalahan di lingkungan sekitar. Berjihad dengan harta, dengan berderma pada sesama, memberi pertolongan pada sesama sebagai pensucian harta, juga penting dilakukan. Karenanya, untuk mewujudkan Keagamaan yang akan kembali pada kemurniannya, jangan sampai menafikan atau bahkan meniadakan unsur Jihad di dalamnya.

Dewasa ini, dunia perpolitikan di Indonesia seringkali memasukkan unsur agama di dalamnya, tentu dengan beragam tujuan dan kepentingan. Mulai dari tujuan untuk menjaring simpatisan yang lebih banyak lagi, sampai kepada kepentingan untuk membentengi diri, sehingga kekotoran yang terdapat di dalamnya seolah menjadi suci karena melibatkan Agama sebagai salah satu jalan untuk mewujudkan tujuan dan kepentingan. Karena itu, untuk memurnikan Agama Allah, jangan sesekali mencampur-baurkan fungsi utamanya sebagai penunjang moralitas dan kepribadian manusia dengan beragam kepentingan yang berbuntut pada ujaran kebencian dan keterpecahan persatuan. Memurnikan Agama Allah berarti membebaskan diri dari keterlibatan keagamaan kita dengan segala sesuatu yang tidak merepresentasikan sifat Allah. Agama sebagai pemersatu, maka tidak mungkin kita terpecah karena agama. Kalau ternyata kita terpecah, percayalah bahwa keterpecahan itu bukan karena agama, tetapi disebabkan oleh pengatasnamaan Agama Allah demi kepentingan, kekuasaan, dan tujuan keduniaan.


Wallahu A'lam.


Bekasi, 21 September 2016


Aru Elgete

Rabu, 07 September 2016

FKSB meriahkan PIKMB dengan MENARI



Fakultas Komunikasi, Sastra dan Bahasa (FKSB) Universitas Islam "45" (Unisma) Bekasi, memiliki gaya dan kekhasan dalam berbagai hal, salah satunya mengenai Program Internalisasi Kampus Mahasiswa Baru (PIKMB) yang terselenggara atas kerjasama antar-organisasi kemahasiswaan yang berada dalam naungannya, yakni Himpunan Mahasiswa Ilmu Komunikasi (HIMIKOM) dan Himpunan Mahasiswa Sastra Inggris (HIMATRIS). Keduanya menyatukan persepsi, meniadakan ego dan perasaan ingin menang sendiri, serta mempersatukan perspektif bahwa sejatinya hanya manusialah yang mampu memanusiakan manusia. Alhasil, konsep yang diusung pun penuh dengan gaya yang selama ini menjadi ciri dari FKSB, yakni FRESH (Friendly, Rational, Equity, Smart, and Honest). Berdasar atas hal-hal yang seperti itu, maka tema kegiatan PIKMB FKSB 2016 adalah MENARI (Memories, Nasionalis, Religius, dan Inovatif). Sebab MENARI ini adalah turunan dari visi fakultas dan himpunan.

Pada Selasa, 6 September 2016, FKSB menyambut mahasiswa baru dengan penuh sukacita dan keramahan. Pengurus kedua himpunan yang bertindak sebagai panitia tidak semena-mena dalam memperlakukan peserta PIKMB. Mereka seperti bukan sedang menyambut mahasiswa baru atau peserta PIKMB, tapi seperti menyambut keluarga yang sudah lama tidak bertemu. FKSB dengan dua organisasi kemahasiswaannya memang sepakat untuk tidak terlalu mengartifisialkan ketegasan dan kemarahan, juga tidak melakukan permisivisme yang berlebihan. Himatris dan Himikom mengedepankan kasih sayang non-artifisial. Sebab ketika kasih sayang sudah menjadi prioritas utama, maka ketegasan dan permisivisme akan terlihat kemurniannya, bukan terlihat kepura-puraannya. Itulah yang membuat FKSB menjadi sangat berbeda dengan fakultas-fakultas lain di Kampus Unisma Bekasi. Tidak ada gaya feodalisme dalam kemasan baru yang disuguhkan untuk peserta PIKMB 2016. Konsep FRESH dan MENARI terejawantah dalam pelaksanaannya.

FKSB beserta HIMIKOM dan HIMATRIS mampu mengelaborasi pemahaman tentang rasa cinta kepada negara-bangsa, serta tidak menghilangkan peran keagamaan sebagai penunjang moral. Maka setelah itu, akan timbul semangat kreativitas untuk menciptakan beragam inovasi sebagai pembaruan atas keadaan saat ini. Sehingga, saat berbagai pembaruan sudah diciptakan dengan berdasar pada kecintaan terhadap negara-bangsa dan agama sebagai penunjang moral, FKSB menjadi satu-satunya fakultas yang memiliki perbedaan serta mempunyai kekhasannya sendiri, yakni dengan memanusiakan manusia supaya momentum PIKMB kemarin menjadi tidak terlupakan dan akan selalu terkenang di hati dan pikiran keluarga besar FKSB. Banyaknya permainan dan kegiatan yang menyenangkan, akan membuat seluruh mahasiswa merasa nyaman di dalamnya. Pengembangan bakat pun dilakukan, seperti Stand Up Comedy. Kemudian ada pemilihan Raja dan Ratu sebagai bentuk apresiasi kepada peserta PIKMB yang aktif.

Di sesi terakhir, gemuruh kemeriahan tercipta. Permainan musik dari panitia dan peserta memecah kebekuan. Semua bergembira, tiada lagi sekat antara senior dan junior. Lagu kemesraan didendangkan dengan penuh hikmat agar jangan cepat berlalu atau setidaknya akan kembali hadir dan tercipta kemesraan-kemesraan berikutnya. Dan pada akhirnya, FKSB dengan HIMIKOM dan HIMATRIS berhasil memanusiakan manusia dengan seutuhnya.


Wallahu A'lam.


Depan Gedung Pascasarjana Unisma Bekasi, 7 September 2016.


Aru Elgete

Senin, 05 September 2016

Tujuan PIKMB adalah memanusiakan manusia


Logo PIKMB Universitas Islam '45' (UNISMA) Bekasi 

Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus (OSPEK) dianggap sebagai sebuah kewajiban yang harus dilaksanakan sebelum kegiatan belajar mengajar dimulai. Di dalamnya terkandung banyak makna. Selain memperkenalkan budaya dan tradisi yang berlaku di universitas, OSPEK juga dijadikan sebagai ajang untuk mendidik, memberi pengalaman dan membekali mahasiswa baru agar mampu berpikir kritis. Diharapkan juga, supaya mahasiswa baru tidak membawa kebiasaan dan budaya serta perilakunya semasa duduk di Sekolah. Konsekuensi logisnya, mereka harus bisa membuktikan bahwa Mahasiswa tentu berbeda dengan Siswa yang tanpa Maha.

Bagi sebagian mahasiswa (senior), kegiatan OSPEK adalah tempat untuk menunjukkan rasa superioritasnya. Mahasiswa baru dituntut harus manut, sebab kalau tidak mereka akan menerima sanksi yang tegas dan keras; sesuai keinginan senior. Pada akhirnya, OSPEK adalah bentuk penanaman pemikiran bahwa Feodalisme harus terus dipertahankan namun dengan gaya dan kemasan yang baru dan berbeda. Memukul, memaki, mengumpat dengan ujaran kotor dan kasar, serta memberi sanksi dengan sangat berat dan tidak biasa menjadi hal yang sangat wajar. Alasannya kembali kepada pernyataan diatas, bahwa Mahasiswa tentu berbeda dengan Siswa yang tanpa Maha. Jadi, Mahasiswa harus bisa melewati tahapan yang berat dan rintangan yang penuh ketakutan, karena dianggap sudah dewasa serta tidak diperkenankan untuk bermanja-ria, apalagi cengeng dengan banyak mengeluh dan ketidakmampuan untuk menghadapi segala tantangan di waktu mendatang. "Mahasiswa harus berani, harus kuat, harus tegar, jangan cengeng!" Begitu kata senior dengan segala kepongahannya.

Mahasiswa adalah agen perubahan, penerus estafet pergerakan perjuangan, pembawa obor kebenaran yang sangat dinanti oleh Ibu Pertiwi, agar bangsa dan negara tidak dikuasai koruptor dan wakil rakyat yang senang menjadi wakil bagi rakyat untuk merasakan segala macam kemewahan. Rakyat tidak perlu hidup mewah dan megah, karena sudah diwakilkan. Rakyat seperti dilarang untuk merasakan hidup bergelimang harta sebab sudah ada yang mewakilkan; "mereka yang (suka) duduk sambil diskusi, mereka yang biasa bersafari, di sana, di gedung DPR." Kata Bang Iwan Fals.

Karenanya, Mahasiswalah yang nantinya akan memberangus segala macam kemunafikan, kebiadaban, keserakahan, dan kebinatangan wakil rakyat dan pejabat; yang gemar menyunat anggaran demi memenuhi syahwat perut dan kelaminnya. Sebab realitanya, banyak mahasiswa yang sering teriak anti-korupsi, anti-kemunafikan, demi menegakkan keadilan dan kebenaran di muka bumi tapi justru ikut terjerumus ketika diberi kesempatan untuk memainkan segala kepentingan pribadi dan golongannya. 

Maka sudah semestinya, para senior di kampus yang menyambut mahasiswa baru haruslah dengan cara mendidik, tidak dengan menghardik. Harus merangkul bukan memukul. Mengayomi bukan menghakimi. Mengajak bukan mengejek. Sebab itulah esensi dari OSPEK yang harus terejawantah dalam pelaksanaannya. Sekalipun harus bertindak tegas, bersikaplah dengan arif bukan diiringi rasa arogansi yang terkesan 'gila hormat'. Karena pepatah mengatakan: "anjing dijadikan mainan karena gonggongannya (baca: amarah) yang selalu meledak-ledak, sementara singa ditakuti dan disegani karena selalu bertindak seperlunya, tidak meledak-ledak, diam bila tidak diusik."

OSPEK, kini ditiadakan. Bukan esensi dan konten positifnya, tetapi segala hal yang sama sekali tidak ada unsur edukasi dan segala bentuk bullying yang akan menciptakan ketakutan dan perasaan traumatik yang berlebih dari peserta OSPEK. Pada 2015 lalu, adalah kali pertama pemerintah menghapus OSPEK dari daftar kegiatan Mahasiswa. Kalaupun ingin diadakan, haruslah dengan nama yang berbeda juga bukan Mahasiswa yang memegang penuh atas berjalannya kegiatan tersebut. Dosen dan karyawan harus terlibat, sebagai pengawas dari aktivitas Mahasiswa senior dalam penyambutan Mahasiswa baru ke dalam kampus. "Ini bentuk pengekangan dan pengkerdilan Mahasiswa, lawan!" Kata sebagian Mahasiswa yang masih ingin menunjukkan kepongahannya. Padahal, kekerasan dan kekejaman dengan alasan apapun merupakan bentuk penindasan. Semua manusia yang mampu berpikir dengan akal sehatnya, pasti mengaminkan itu.

Nah, pelaksanaan Program Internalisasi Kampus Mahasiswa Baru (PIKMB, nama lain dari OSPEK) di Unisma Bekasi, mahasiswa (senior) masih diberi kebebasan untuk berperan aktif untuk mengembangkan kreativitasnya. Konsep, kepanitian, serta pelaksanaan PIKMB dipegang langsung oleh Mahasiswa. Walau demikian, dosen tetap mengontrol jalannya PIKMB. Sekalipun waktu pelaksanaannya hanya sehari dari yang semula dua hari, namun setidaknya Mahasiswa masih memegang peranan penting di dalamnya. Mahasiswa Unisma Bekasi yang terlibat dalam kepanitiaan berani menjamin bahwa kegiatan PIKMB sama sekali tidak ada perpeloncoan, penindasan, dan kekerasan yang justru mencoreng nama baik almamater. "Tegas harus, tapi tidak dengan menindas!" Kira-kira itu semboyan yang selalu keluar dari setiap diskusi kecil di Kampus Unisma Bekasi.

Kepada seluruh peserta Program Internalisasi Kampus Mahasiswa Baru Universitas Islam '45' Bekasi, saya ucapkan selamat datang dan bergabung dengan kami. Mari tegakkan keadilan dan kebenaran di Bumi Pertiwi dengan meniadakan penindasan. Selamat bergabung di barisan pergerakan perjuangan demi memerdekakan seluruh rakyat Indonesia yang (katanya) belum merdeka. Selamat mewujud-nyatakan cita-cita dan harapan pendiri bangsa untuk melestarikan kepribadian manusia Indonesia yang ramah, toleran, penuh welas asih dan kasih sayang kepada sesama dan semesta. Karena substansi dari kegiatan PIKMB ini adalah demi menyatukan kegelisahan untuk mencapai Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, bukan sebagai ajang balas dendam karena pengalaman pribadi yang merasa tertindas oleh seniornya di masa lalu.

Bukankah ada kaidah emas yang berbunyi, janganlah engkau berbuat sesuatu kepada orang lain, yang engkau sendiri tidak ingin merasakan sesuatu itu dilakukan oleh orang lain kepadamu? Atau dalam kalimat positifnya berbunyi, kasihilah sesamamu sebagaimana engkau mengasihi dirimu sendiri. Maka, memanusiakan manusia adalah tujuan akhir dari kegiatan PIKMB di Unisma Bekasi.



Wallahu A'lam




Gedung Fakultas Agama Islam Unisma Bekasi, 5 September 2016.



Aru Elgete

Kamis, 01 September 2016

Membahasakan Cinta untuk persatuan


Di tengah krisis yang semakin menyudutkan keterasingan, kian mengkhawatirkan keprihatinan, melemahkan ketidakberdayaan, bahkan menghanyutkan kesengsaraan pada aliran kedurjanaan yang sangat membingungkan, cinta selalu menciptakan solusi atas beragam permasalahan, serta dengan cahaya yang dipancarkan, ia mampu meretas belenggu kebimbangan. Dengan cinta, siapa pun berhak melakukan apa saja terhadap sesuatu yang dimiliki dengan berdasar pada ketentuan yang tentu ditentukan atas perasaan bahagia dan gembira. Ia datang tanpa permisi dan kompromi, juga pergi dengan tidak memberi penghormatan sebelumnya, datang dan pergi sesukanya, begitu sifat cinta. 

Karena sifatnya itu, maka jangan lantas kita menafsirkan bahwa cinta adalah hal yang buruk, cinta menjadikan manusia mabuk erotik, cinta membuat siapa pun pecandunya merasa hina sehingga lupa dan parahnya membuat luka pada diri. Barangkali penerimaan kita atas keberadaan cinta yang kurang baik, atau bahkan karena pengatasnamaan cinta yang selalu diucapkan demi kepentingan pribadi maupun golongan, sehingga membuat citra cinta menjadi buruk. Padahal cinta tak senaif itu, cinta tak sedurjana itu, cinta tak bisa seenaknya ditumpangi oleh energi-energi negatif.

Cinta tidak pernah berkenan pada kemunafikan. Ia menilai dan melihat sesuatu pada kesucian dan kesejatian nurani. Karenanya, selalu terpancar kebaikan dan gelombang kebenaran, serta akan sedikit demi sedikit melakukan tekanan pada kemunafikan dan pemunafikan sehingga frekuensi kebatilan menjadi sangat kecil dan tak lagi berdampak atau berubah menjadi keserakahan. Kebenaran adalah tujuan dari proses pengelolaan cinta. Setiap manusia, bahkan seluruh makhluk di bumi dan semesta, memiliki bingkai kebenarannya sendiri, dan kebenaran itu ada saat cinta pada nurani terproses dan terkelola. Di mana pun kaki berpijak, manusia akan menemukan peningkatan kualitas kebenaran karena cinta selalu menyertai dan berproses di sepanjang nafas kehidupan.

Menurut Mawlana Jalaluddin Rumi, cinta itu menyatukan dan mempersatukan, cinta mampu menerabas penghalang dan sekat-sekat sektarianisme, meleburkan kebencian, cinta adalah tujuan utama Tuhan demi pengorganisasian alam raya agar antara satu dengan yang lain dapat bekerja dengan baik. Menurutnya, cinta adalah sesuatu yang Tuhan ciptakan lebih dulu ketimbang Adam. Bahkan, sebelum Nur Muhammad ada. Sebab, tidak mungkin jagad ini tercipta tanpa cinta. Semuanya karena cinta.

Cinta kepada Tuhan akan memabukkan, mabuk ukhrawi. Cinta kepada manusia dan segala yang bersifat keduniaan akan memabukkan, mabuk duniawi, mabuk yang membuat lupa diri, sehingga menyebabkan luka dan nestapa. Konsekuensi dari rasa cinta kepada Tuhan dan apalagi sudah didera mabuk ukhrawi, ia akan mengkristal menjadi perasaan cinta kepada setiap benda yang Tuhan ciptakan. Pada akhirnya, setiap manusia akan mencintai cinta dengan kesungguhan hati, tidak hanya sekadar retorika dan tak sesuai janji.

Cinta tak bisa menjadi tunggangan kepentingan, ia tak bisa dipalsukan dengan perilaku sakit para koruptor, apalagi mereka yang awalnya beretorika mencintai rakyat dengan sepenuh hati, ternyata tertangkap-tangan sedang melakukan transaksi untuk menyunat anggaran proyek agar birahi terpuaskan. Setelah tertangkap-tangan, barulah kita menyadari bahwa kemarin sore ada cinta palsu yang mendatangi masjid, perkantoran, kampus, sampai di warung kopi tempat pengemudi becak bersantai sambil membaca surat kabar kelas D. Bahkan, ketika cinta itu menjadi retorika, kita menjadi terpecah, berkubu, hingga berdampak pada kebencian yang merajalela. Padahal, (katanya) cinta yang ditebar, atas dasar rakyat melarat, tapi justru merusak persatuan dan persaudaraan.

Pada hakikatnya, cinta adalah bahasa universal, bahasa pemersatu, bahasa jiwa, bahasa kesunyian untuk mencapai titik pencapaian yang sempurna. Ia tidak mungkin memecah kesatuan, tidak pula bersifat eksklusif dan memusuhi. Sebab cinta merangkul sekalipun banyak yang memukul, ia mencumbu sehingga mampu ciptakan rasa cemburu dan bisa kembali memberikan rasa nyaman dari kecemburuan itu. Cinta tak pernah memberi kesempatan untuk mencari kesalahan dan keburukan, ia selalu melihat sesuatu dari kebaikan dan keindahan. Kembali pada pengelolaan dan penerimaan yang baik, maka cinta akan terpancar menjadi cahaya kebenaran, cinta akan membentuk kerinduan, bahkan cinta akan menjadi ruang pertemuan pada waktu yang masih menjadi rahasia, serta akan memberikan warna keindahan sebagai penangkal dari berbagai keburukan yang akan menghantam, kapan pun dan di mana pun.

Ingat, bahwa cinta adalah bahasa untuk persatuan bukan sekadar retorika yang justru menimbulkan perpecahan dan permusuhan!


Wallahu A'lam...



Bekasi, 1 September 2016




Aru Elgete