Minggu, 25 September 2016

Kebenaran Objektif dan Individual Subjektif

Sumber: blogoundrium.blogspot.com



Meminjam istilah yang digunakan Kiai Muhammad (Emha) Ainun Nadjib sebagai penggambaran manusia di dunia, yakni adanya Kebenaran Objektif melalui Individual Subjektif. Bahwa sebenarnya kebenaran yang objektif berawal dari subjektivitas yang lahir dari setiap individu.

Maka, kebenaran yang ada di kehidupan manusia hanya bersifat subjektif, sementara objektivitas kebenaran akan ditemukan di kemudian hari saat individu mampu melakukan pengembaraan diri serta memperbanyak pengalaman pengetahuan selama hidupnya.

Kitab suci misalnya, Alquran salah satunya, merupakan firman Tuhan yang orisinalitasnya terjaga dan dijaga. Karenanya, kebenaran Tuhan adalah mutlak. Tak bisa diganggu gugat. Layaknya wasit di pertandingan atau perlombaan apa pun.

Sebab hanya Tuhan yang mampu bersikap objektif, berlaku adil, dan menjunjung sportivitas dalam lakon yang dimainkannya. Ia tak mungkin memihak, tak mungkin membela dengan fanatisme yang berlebihan, juga mustahil menghakimi karena tak adil dalam menilai. Mahasuci Tuhan dari kemiripan sifat-Nya dengan manusia.

Berbeda dengan manusia, yang hanya bisa taklid tanpa mengembara dan mencari pengalaman pengetahuan baru untuk memperbesar kadar kebenaran yang dimiliki, hingga objektivitas dapat direngkuhnya.

Dalam memahami Alquran, hadits, dan teks keagamaan lainnya, manusia cenderung abai terhadap pemaknaan teks di luar teks, karena terlalu menitikberatkan pada terjemahan yang dibaca, sebab keterbatasan dalam memahami bahasa.

Padahal terjemahan hanya secuil dari kebenaran yang terdapat dalam kandungan kitab suci. Subjektivitas manusia terhadap kebenaran justru menjerembabkan pemikirannya pada perasaan paling benar, bahkan menganggap diri dan lingkaran pergaulannya adalah yang memegang penafsiran mutlak, seakan menjadi juru bicara Tuhan yang paling mengerti maksud-Nya; dari terjemahan itu.

"Kalau ingin ke Eropa, kita harus lebih dulu belajar bahasa Inggris agar tidak tersesat di sana, masa untuk mengetahui maksud Tuhan kita justru menggunakan terjemahan, tanpa belajar bahasa Arab dan sejenisnya," Emha Ainun Nadjib dalam Anggukan Ritmis Kaki Pak Kiai.

Para mufassir yang telah banyak menelurkan karya atas penafsirannya terhadap Alquran, tidak serta merta menyatakan bahwa dirinya-lah yang paling dekat dengan Tuhan. Artinya, Kebenaran Objektif hanya ada pada Tuhan, sementara Alquran yang dijadikan-Nya sebagai simbol kebenaran dan kebesaran-Nya, dapat ditafsirkan dengan beragam makna.

Maka, menurut Emha, manusia dianjurkan untuk merasakan kehadiran Tuhan di setiap kehidupan dan pengalamannya. Sebab kebenaran tidak hanya ada pada teks, tetapi konteks. Bukan hanya tersurat, tetapi tersirat. Bukan cuma sebatas pemaknaan yang parsial, tetapi harus universal.

Begitu juga yang terjadi pada Sholat. Kalau kita hanya fokus kepada Sholat sebagai sebuah gerakan dan kewajiban, maka manusia akan merasa paling benar karena dirinya merasa sudah menunaikan kewajiban yang Tuhan perintahkan.

Padahal Tuhan menegaskan, aqiimush-sholah atau dalam kalimat Iqamah; Qad qaamatish-sholah yang bermakna bahwa Sholat harus didirikan dan ditegakkan, sebagai benteng untuk mencegah perbuatan fakhsya dan munkar. 

"Berapa banyak orang yang rajin Sholat, tapi terjerat kasus korupsi? Atau menjadi tersangka pemerkosaan, dan berbagai kemunkaran lainnya?"

Untuk mencapai kebenaran objektif, manusia yang cenderung subjektif ini, tidak hanya menitikberatkan pada Sholat yang sifatnya ritualistik dan sebatas gerakan. Setelah itu selesai. Menghadirkan Tuhan hanya pada Sholat ritualistik. Setelahnya, kembali meniadakan Tuhan.

Padahal, menauhidkan Dzat Yang Mahabenar itu berarti menomorsatukan-Nya di setiap desah nafas kehidupan. Bagaimana mungkin Sholat lima waktu sepanjang hari, tapi korupsi, keserakahan, dan kejahatan-kejahatan lainnya tetap saja dilakukan? Dari situlah, kebenaran objektif masih jauh dari penglihatan dan pengharapan.

Mendirikan Sholat sebagai benteng dari berbagai sifat ketamakan dan kebinatangan, harus menjadi keikutsertaan dalam diri. Maka diperlukan, selain Sholat sebagai gerakan yang ritualistik, juga Sholat hati dan pemikiran.

Artinya, seorang yang benar-benar sudah mendirikan Sholatnya, akan senantiasa menularkan ide-ide positif dan solutif, serta selalu peka terhadap kondisi sosial masyarakat. Sehingga tidak membuyarkan nilai kebudayaan dan estetika yang sudah lebih dulu ada sejak ketiadaan kita.

Seorang yang sudah mampu mendirikan Sholat dalam keseharian, tidak pernah berpikir bahwa untuk menemui dan merasakan kehadiran Tuhan hanya pada Sholat yang durasinya berkisar 5-10 menit. Tetapi, ia mampu Sholat sepanjang waktu. Ia mampu menghadirkan Tuhan selama detak jantung terus menyertainya, selama udara masih dapat terhirup, dan selama langkah kaki masih diberikan izin untuk terus bergerak.

Ia akan Sholat atas pemikirannya, memperbarui dan memperbaiki pemikiran yang mulanya sempit dan picik, menjadi luas dan terarah. Juga memperbarui serta memperbaiki kepekaan hati, agar selalu merasa bahwa Tuhan mengawasi gerak-geriknya di dunia, sehingga menimbulkan kepedulian terhadap sesama dan semesta.

Dari situlah, ia akan menyatu dengan Tuhan. Ia akan bersanding dengan kesejatian. Ia juga akan merasakan kebenaran yang objektif tanpa mengecilkan dan meremehkan orang lain. Ia akan melihat sesuatu pada konteks yang jelas, tidak sembarang menghakimi dan menilai.

Ia akan senantiasa melakukan kebaikan dan perbaikan pada fungsi kehidupan yang dijalani. Ia akan menemukan kedamaian atas kepekaannya terhadap kondisi realitas yang ada. Ia akan lebih bijak dalam setiap keputusan yang dibuat. Ia dan Tuhan sebagai kekasih, sebagai dua elemen yang saling membutuhkan, sebagai kehampaan bila keduanya tak dipertemukan. Ia akan meniadakan subjektivitas individual dan beralih pada kebenaran objektif.



Wallahu A'lam.





Bekasi, 25 September 2016.



Aru Elgete
Previous Post
Next Post