Selasa, 26 Juli 2016

Klarifikasi atas tulisan, "Temu rindu, kembali ke dasar"


Kiri ke kanan: Nurhalim, Yulia Purnama, Mutiara Kusuma Dewi, Rizka Awalnya Rahma, Aru (Elgete) Lego Triono; Photo by Imam Ghozali (Alumni SDN Semper Barat 13 Jakarta Utara 2006).


Menanggapi isu yang beredar di lingkungan SDN Semper Barat 13 Jakarta Utara atas tulisan saya beberapa waktu lalu yang berjudul Temu rindu, kembali ke dasar, tanpa mengurangi rasa takdzhim dan hormat kepada seluruh guru-guru di sana, berikut dicantumkan beberapa poin penting sebagai wujud klarifikasi dan permohonan maaf saya:

1. Tulisan di blog pribadi saya yang berjudul "Temu rindu, kembali ke dasar" adalah sebuah kegelisahan dan kerinduan saya setelah 10 tahun tidak 'kembali ke dasar'.

2. SDN Semper Barat 13 Jakarta Utara adalah tempat pondasi awal penempaan diri, maka tidak mungkin saya berniat untuk mencemarkan nama baik seluruh orang yang ada pertalian atau berhubungan dengan sekolah tersebut.

3. Seluruh tulisan di blog pribadi saya ini adalah campuran dari beberapa fakta yang saya dapat dan opini dari hasil olah pikir sendiri; termasuk tulisan yang berjudul "Temu Rindu, Kembali ke dasar," yang saat ini sedang dipermasalahkan.

4. Foto SDN Semper Barat 13 Jakarta Utara dan Ibu Tita yang saya pajang bersamaan dengan tulisan tersebut merupakan bentuk kebanggaan terhadap almamater dan guru saya sendiri juga teman-teman semasa SD.

5. Pemaknaan terhadap teks, tergantung persepsi masing-masing pemikir. Saya, sebagai penulis tulisan tersebut sama sekali tidak bermaksud untuk menjatuhkan kredibilitas guru-guru di sana. Karena saya berusaha menggeneralisasi konteks pembahasan, tidak hanya terpaku pada SDN Semper Barat 13 Jakarta Utara, tapi keseluruhan; yakni gaya pendidikan di Indonesia.

6. (Terakhir), kalau tulisan saya adalah sebuah kenyataan yang terjadi di lapangan, saya mohon untuk diperbaiki sistem pengajaran dan pembelajarannya, karena ini adalah bentuk kepedulian terhadap almamater pertama saya. Tetapi, kalau ternyata tidak sesuai dengan kenyataan yang terjadi di lapangan, dengan segala kerendahan hati dan takdzhim atas guru-guru di sana, saya mohon dibukakan pintu maaf yang sebesar-besarnya. Saya akui, ini adalah wujud kesalahan saya, namun bila tidak diklarifikasi, saya khawatir justru akan terjadi kesalahpahaman yang terus berlanjut.

Terimakasih, semoga permasalahan ini adalah langkah awal untuk menjalin komunikasi dan silaturrahmi batin antar-kita, antara guru dan murid, antar teman se-alumni, dan antar seluruh orang yang bersangkutan dengan sekolah yang sangat saya banggakan itu.

Wallahu Muwafiq ilaa sabilil-haq
Tertanda,

Aru Elgete
Alumni SDN Semper Barat 13 Jakarta Utara


Bekasi, 26 Juli 2016/21 Syawal 1437

Minggu, 24 Juli 2016

Perbedaan Awliya', Amir, dan Rais (2)


Sumber: http://lazuardi-birru.blogspot.co.id/

Tulisan ini adalah lanjutan dari pembahasan kemarin mengenai perbedaan Awliya', Amri, dan Rais, yang oleh kebanyakan orang dimaknai sebagai gaya kepemimpinan atau pemimpin itu sendiri. Sila klik Perbedaan Awliya', Amri, dan Rais (1) untuk mengetahui makna Awliya' yang berdasarkan pada pengalaman pengetahuan yang sudah saya lakukan.

Sedikit mengulas pembahasan kemarin bahwa Awliya' bukan berarti sebagai pemimpin dalam suatu wilayah negara-bangsa atau pemimpin yang memiliki kepentingan politik. Awliya' adalah Wali, yang memiliki arti lebih dekat, yakni seseorang yang memiliki keistimewaan tertentu sehingga kita bisa menaruh kepercayaan kepadanya. Ada banyak padanan kata terkait wali; dari mulai Waliyullah, Walimurid, Walikelas, Walikota, sampai Waliband, dan masih banyak lagi. Maka sudah jelas, menurut saya, Wali adalah seseorang yang dekat, yang terkasih, yang punya keistimewaan tertentu, bukan orang yang didakwa sebagai pemimpin sebuah negara dengan kepentingan politiknya.

Sementara Amir, berasal dari kata Amaro yang secara filosofis berarti adalah yang diperintah. Amir adalah bentuk  subjek dari Imaroh. Amir adalah orangnya, sedangkan Imaroh adalah bentuk kerja dari orang tersebut. Orang yang memberi mandat kepada Amir disebut Ma'muur artinya orang yang memerintah. Sayyidina Umar Ibn Khattab adalah pertama kali yang menggunakan kata Amir dalam kancah kepemimpinannya. Karenanya, sejak itu, oleh kebanyakan orang, Amir dimaknai sebagai pemimpin, Amirul Mu'minin diartikan sebagai pemimpin bagi orang-orang yang beriman. Namun secara filosofis, Amirul Mu'minin berarti orang yang diperintah atau disuruh atau ditunjuk (menjadi pemimpin) oleh orang-orang yang beriman.

Kata Amir di Arab Saudi saat ini digunakan sebagai sebutan bagi pangeran (anak raja), sementara raja dipanggil dengan sebutan Malik. Namun, oleh kebanyakan negara, sebutan Amir masih digunakan untuk seorang presiden atau pemimpin suatu wilayah. Oleh karenanya, sebuah kata akan terus berkembang dan memiliki banyak arti dan kegunaannya sepanjang manusia masih diberikan akal untuk berfikir.

Di dalam surat Annisa ayat 59 terdapat ayat mengenai Amir atau Ulil Amri atau yang diartikan sebagai penyelenggara negara:


Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan Ulil Amri diantara kalian. Kemudian jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul, jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagi kalian) dan lebih baik akibatnya.

Imam Abu Daud mengatakan, telah menceritakan kepada kami Musaddad, telah menceritakan kepada kami Yahya, dari Ubaidillah, telah menceritakan kepada kami Nafi', dari Abdullah ibnu Umar, dari Rasulullah Saw. yang telah bersabda: Tunduk dan patuh diperbolehkan dalam semua hal yang disukainya dan yang dibencinya, selagi ia tidak diperintahkan untuk maksiat. Apabila diperintahkan untuk maksiat, maka tidak boleh tunduk dan tidak boleh patuh.

Kalau kita perhatikan ayat diatas, terdapat kata Athi'u yang bermakna perintah untuk menaati. Kata tersebut hanya ditempatkan sebelum kalimat Allah dan Rasul, tapi tidak ada di sebelum kalimat Ulil Amri. Dalam kaidah bahasa Indonesia, ada yang namanya kalimat majemuk, yang tidak perlu dituliskan atau diucapkan kembali sebuah kata yang sama dengan kalimat sebelumnya.

Sebagai contoh: Ibu membeli susu, Ibu membeli gula, Ibu membeli mentega. Dalam kalimat majemuk, ketiga pernyataan tersebut akan diungkapkan dengan kalimat yang bersamaan; Ibu membeli susu, gula, dan mentega. Nah, kalau disamakan dengan kalimat pada ayat diatas, maka berbunyi: Ibu membeli susu, membeli gula, dan mentega. Artinya, susu dan gula adalah dua hal yang harus diprioritaskan ketimbang mentega, atau mentega adalah hal yang boleh dibeli, boleh juga tidak, karena tidak ada penekanan yang disisipkan kata 'membeli'.

Merujuk pada sabda Rasulullah yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud diatas, bahwa tidak ada larangan bagi Muslim untuk tunduk dan mematuhi siapa pun. Silakan tunduk dan patuh kepada raja atau Amir atau presiden selama ia tidak cenderung pada kemaksiatan dan kehancuran. Tetapi kalau menjurus pada kehancuran, tinggalkan, dan kembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya, karena dengan seperti itu adalah baik bagi kita sebagai Muslim (orang yang tunduk, patuh, dan berserah).

Lagi-lagi, kita menemukan sikap Islam yang moderat, Islam yang berada di tengah-tengah, ummatan wasathan, yakni mempersilakan untuk menaati Ulil Amri atau meninggalkannya. Silakan menaati kalau baik, sementara mengarah pada kehancuran silakan ditinggalkan. Kalau sudah tidak menaati Ulil Amri, silakan kembali kepada Allah dan Rasul-Nya, jangan justru berbuat onar, demonstrasi dan unjuk rasa dimana-mana menuntut sistem harus diubah. Paham kan?

Jadi simpulannya adalah bahwa Amir secara filosofis berarti orang yang diperintah, karenanya Amir harus bersifat demokratis dan penyayang yang senantiasa merakyat atau blusukan seperti yang dicontohkan oleh Sayyidina Umar Ibn Khattab. Sebab Amir juga berasal dari rakyat, kalau Amir berbuat semena-mena, rakyat punya hak untuk meninggalkannya. Kemudian, dalam surat annisa ayat 59, hanya Allah dan Rasul-Nya saja yang mendapatkan penekanan harus ditaati dengan dibubuhi kata Athi'u sedangkan Ulil Amri tidak. Bisa dikatakan bahwa kewajiban menaati Ulil Amri atau Amir itu sendiri adalah kewajiban bersyarat; artinya kalau baik harus ditaati, kalau tidak baik tinggalkan dan kembali kepada Allah dan Rasul-Nya. 


Wallahu A'lam...


Bekasi, 24 Juli 2016/19 Syawal 1437

Sabtu, 23 Juli 2016

Perbedaan Awliya', Amir, dan Rais (1)

Sumber: http://tomtunguz.com/

Di dalam kehidupan modern ini, kita seringkali terjebak pada pemaknaan sebuah kata yang justru menyumbat saluran intelektual, sehingga membuat aliran pemikiran menjadi beku, kaku, dan bahkan baku. Sebuah pemaknaan terhadap kata, tidaklah salah bagi siapa pun yang memaknai berdasarkan pada intensitas dan kualitas pengalaman pengetahuan terhadap kata yang akan dimaknai. Maka, sangat disayangkan ketika ada seseorang yang membuat klaim bahwa hanya dirinya yang memegang pemaknaan paling benar, padahal belum tentu pengalaman pengetahuannya sama dengan pengalaman pengetahuan orang lain yang pemaknaannya dianggap salah.

Maka itu, atas pengalaman pengetahuan yang sudah dilakukan selama ini, saya akan memaknai sebuah kata yang selama ini menjadi perdebatan sengit di kalangan akar rumput. Sengitnya perdebatan itu disebabkan karena pengalamannya terhadap pemaknaan yang sampai pada telinga dan pemahamannya berbeda-beda. Juga ada banyak opinion leader yang bertugas memberikan pemahaman di lingkungannya masing-masing dengan pemaknaan dan pemahaman yang beragam.

Adalah kata Awliya', Amir, dan Rais; ketiganya dimaknai oleh kebanyakan orang sebagai sebuah gaya kepemimpinan atau pemimpin itu sendiri. Ada pula yang memaknainya sebagai seorang pemimpin agama karena ketiga kata tersebut mengasosiasikan kepada sebuah bahasa yang identik dengan agama tertentu. Selain itu, tak jarang, pembahasan mengenai hal tersebut menjadi bahan diskusi dalam kajian keagamaan yang berafiliasi pada kepentingan politik untuk tegaknya sebuah kepemimpinan agama tertentu secara menyeluruh. Tentu beragam. Setiap orang memiliki pemaknaannya sendiri, tidak bisa menuding kesalahan orang lain dan menganggap kebenaran hanya ada pada diri sendiri.

Ada banyak ayat tentang Awliya' di dalam al-Quran, namun saya hanya mmemakai satu ayat untuk menjadi bahasan dalam tulisan kali ini, yakni ayat yang oleh sebagian besar umat Islam kata Awliya' dimaknai sebagai pemimpin. Sehingga ada larangan untuk memilih Awliya' dari golongan kafir dan musyrik. Kalau dibaca secara tekstual, memang seperti itu, terlebih ketika kita membaca makna yang diberikan oleh Kementrian Agama di dalam al-Quran terjemahan yang bisa didapat di gramedia atau toko buku kesayangan Anda. Karenanya, saya tidak menyatakan kesalahan atas pemaknaan kata Awliya' yang menegaskan arti bahwa Awliya' adalah pemimpin. Silakan maknai berdasar pengalaman pengetahuan Anda agar saluran intelektual tidak tersumbat dan aliran pemikiran menjadi kaku, beku, bahkan baku.

لَا يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللَّهِ فِي شَيْءٍ إِلَّا أَنْ تَتَّقُوا مِنْهُمْ تُقَاةً وَيُحَذِّرُكُمُ اللَّهُ نَفْسَهُ وَإِلَى اللَّهِ الْمَصِيرُ

“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi awliya' dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah kembali (mu)” (QS. Al Imran: 28)

Awliya' (أَوْلِيَاءَ) memiliki kesamaan makna (sinonim) dengan walijah (وَلِيجةُ) yakni: “orang kepercayaan, yang khusus dan dekat”. Awliya' dalam bentuk jamak dari wali (ولي) yaitu orang yang lebih dicenderungi untuk diberikan pertolongan, rasa sayang dan dukungan. Kita tentu sering mendengar istilah waliyullah yang bisa dimaknai sebagai orang terdekatnya (kekasih) Allah, yang mencintai Allah dengan kelebihan-kelebihan tertentu (tidak sama dengan kebanyakan orang), dan Allah pun mengasihi atau mencintai para wali-Nya dengan sangat istimewa. Maka, Awliya' juga bisa diartikan sebagai orang-orang khusus yang kedekatan dan kecintaannya kepada Allah melebihi kadar kedekatan dan kecintaan kebanyakan orang (al-awwam).

Ibnu Abbas r.a. menjelaskan makna ayat ini: “Allah melarang kaum mu’minin untuk menjadikan orang kafir sebagai walijah (orang dekat, orang kepercayaan) padahal ada orang mu’min. Kecuali jika orang-orang kafir menguasai mereka, sehingga kaum mu’minin menampakkan kebaikan pada mereka dengan tetap menyelisihi mereka dalam masalah agama. Inilah mengapa Allah Ta’ala berfirman: ‘kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka‘” (Tafsir Ath Thabari, 6825).

Di dalam ayat tersebut, menurut hemat saya, Allah tidak melarang sama sekali umat Islam untuk menjadikan golongan kafir sebagai orang terdekat atau kepercayaannya. Artinya, kita boleh memiliki hubungan khusus dengan golongan kafir asalkan memiliki siasat atau strategi khusus untuk menjaga (ketakwaan) diri dari sesuatu yang tidak kita inginkan dari mereka. Silakan lihat "Kafir & Muslim, siapa mereka?". Lantas bagaimana mungkin kita menjadikan kafir (pendusta) sebagai orang teristimewa sementara kita tidak memiliki siasat dan strategi untuk menjaga diri dari pengaruh mereka? Maka, memilih Awliya' (orang terdekat, teristimewa, kepercayaan) dari golongan kafir dilarang oleh Allah kalau kita tidak memiliki bekal yang memadai. Sebaliknya, kalau kita punya bekal, maka silakan berteman baik dan akrab terhadap mereka.

Inilah keutamaan Islam, yakni menjadi ummatan wasathan (moderat, ummat pertengahan, penengah), sebuah anjuran yang sangat menjadi sorotan utama untuk mencapai kualitas keberimanan dan ketakwaan diri. Ayat di atas menerangkan bahwa menjadikan orang-orang dari golongan kafir sebagai orang kepercayaan kita tidak sama sekali menjadi masalah, asalkan, mempunyai bekal strategi dan siasat untuk menjaga diri. Kalau tidak punya bekal itu, lebih baik memilih Awliya' atau orang terdekat (yang dipercaya, istimewa, akrab, dsb) dari golongan orang-orang yang beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa (mu'min).

Simpulannya adalah bahwa Awliya' bukan bermakna sebagai pemimpin yang berafiliasi pada kepentingan politik suatu negara, atau bahkan kepemimpinan secara menyeluruh (Al-khilafah Islamiyyah) yang diperjuangkan oleh gerombolan Hizbut Tahrir yang anti terhadap konsep negara-bangsa yang memiliki landasan demokrasi, karena Awliya' bermakna sebagai orang terdekat yang memilik keistimewaan tertentu sehingga kita dapat menaruh kepercayaan kepadanya.

Untuk penjelasan mengenai makna Amir dan Rais, tunggu tulisan saya selanjutnya, ya. Setelahnya kita akan menemukan bentuk pemaknaan yang berbeda antara Awliya', Amir, dan Rais.


Wallahu A'lam...


Bekasi, 23 Juli 2016/18 Syawal 1437

Rabu, 20 Juli 2016

Kafir & Muslim, siapa mereka?

Sumber: http://muharrikdakwah.com/

Bahasan mengenai terminologi Kafir dan Muslim sebenarnya sudah sejak lama menjadi perdebatan, baik dari kalangan ulama atau pun yang mengaku dirinya sebagai ulama, baik dibahas secara substansial maupun hanya sekadar tekstual, atau pun hanya menjadi perdebatan kusir yang tak kunjung menemui hasil. Sebab otak manusia yang berbeda, pikiran pun tak sama, selama itulah segala hal yang dianggap tidak sesuai dengan keinginan hati dan pikiran kita, maka sudah sah dihukumi melenceng dari kebenaran. Maka itu, kebenaran di dunia ini hanya bersifat relatif. Kebenaran absolut yang paling objektif berada pada kuasa Tuhan Yang Maha Esa.

Muslim adalah kata sifat yang berawal dari kata kerja, yakni Islam. Secara etimologis, Islam berasal dari bahasa Arab, 'Salima' yang berarti selamat. Dari kata itu terbentuk kata 'Aslama' yang memiliki arti patuh, berserah diri, atau tunduk. Islam berasal dari akar kata bahasa Arab, SLM (Sin, Lam, Mim) yang berarti kedamaian, kesucian, penyerahan diri, dan ketundukkan. Kemudian diserap ke dalam ilmu teologi, Islam berarti sebuah upaya atau perbuatan atau perilaku yang mencerminkan kepatuhan, kepasrahan, dan ketundukan kepada Allah sehingga menghasilkan perasaan yang damai, tenteram, selamat, dsb. Orang yang melakukan hal-hal diatas dinamakan sebagai Muslim (kepada Allah).

Bahkan, barangsiapa aslama (menyerahkan diri) kepada Allah, sedang ia berbuat kebaikan, maka baginya pahala di sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula bersedih hati. (Q.S. 2:112).
Islam adalah orang-orang yang Salim (memberikan keselamatan, kedamaian, dan ketenteraman) bagi Muslim yang lain dari (bahaya) lisan dan tangannya. (Al-Hadits).
Agama yang paling mulia di sisi Allah adalah Islam. (Q.S. 3:19).
Rasyid Rida menafsirkan Surat Ali Imran ayat 19 dengan kalimat yang berbeda. Menurutnya, agama yang mulia di sisi Allah bukan dimaksudkan semata-mata agama yang terinstitusi atau terlembaga, karena Islam bukan sebuah lembaga. Tetapi agama yang mulia dan diridhai di sisi Allah adalah agama yang mampu memberikan keselamatan bagi sesama dan semesta.

Sementara Kafir, memiliki akar kata K-F-R yang berasal dari kata Kufur yang berarti menutup. Pada zaman sebelum Islam, kafir dipakai untuk sebutan bagi para petani di ladang, karena pekerjaannya yang menebar benih tanaman di ladang kemudian menutupnya kembali dengan tanah. Maka, kafir atau bisa diartikan sebagai perbuatan menutup diri atau bersembunyi. Kata tersebut kemudian diserap ke dalam ilmu teologi Islam, maka kafir berarti perbuatan ingkar terhadap risalah Islam, ingkar terhadap konsep ketuhanan Islam, dan lain sebagainya. Perbuatan menutup diri dan bersembunyi atau ingkar terhadap sesuatu (apa pun itu) bisa saja disebut sebagai kafir; sebuah kata yang tidak hanya diartikan sebagai pengingkaran terhadap konsep Tuhan atau Agama tertentu, tetapi juga bisa dimaknai secara luas. Bahkan, seorang Muslim juga dapat dinobatkan sebagai kafir apabila menutup diri atau mengingkari nikmat yang telah Allah berikan. Jadi Kafir dan Muslim, siapa mereka?

Setelah mengetahui makna dari kedua terma tersebut, kita dapat memaknainya secara luas, sehingga tidak terpaku pada konsep yang sudah baku. Kafir tidak diidentikkan pada konsep agama A yang tidak mengikuti konsep agama B, dan Muslim tidak hanya diidentikkan pada seseorang yang memeluk Islam (secara institusi). Kafir dan Muslim dalam kehidupan sosial seringkali terjadi tanpa kita sadari. Maka itu, Kafir dan Muslim harus diikuti oleh penjelasan berikutnya. Tidak sekadar Muslim (titik) atau Kafir (titik).

Seorang Kristiani misalnya, ia Muslim (patuh, pasrah, dan berserah) kepada Allah melalui Yesus dan Roh Kudus (Trinitas), tetapi mereka kafir (mengingkari) terhadap Allah melalui jalur Muhammad, atau terhadap konsep ketuhanan Islam, yakni Tauhid. Begitu pun sebaliknya, Seorang yang beragama Islam, ia Muslim (patuh, pasrah, dan berserah) kepada Allah melalui risalah yang dibawa Muhammad, tetapi mereka kafir terhadap Ketuhanan Yesus yang diyakini sebagai kebenaran oleh umat Kristiani.

Pada pilpres 2014, pendukung Jokowi adalah Muslim (patuh, pasrah, dan berserah) kepada segala hal yang diberitakan oleh MetroTV, sementara mereka kafir (mengingkari) segala pemberitaan yang ada di TVOne. Pun sebaliknya, pendukung Prabowo kafir terhadap MetroTV dan mereka Muslim kepada TVOne. Sampai sekarang, saya menduga bahwa pendukung Prabowo (baca: Jonru) masih kafir terhadap semua kebijakan Jokowi, dan bahkan mengingkari semua hal yang berkaitan dengan Jokowi. Kalau Jokowi baik, itu pencitraan, kalau buruk ya memang buruk, harus dikritik.

Anda yang membaca tulisan ini kemudian tidak sepakat dan mengingkari ide dan gagasan saya, berarti telah kafir kepada saya dan Muslim terhadap diri dan pikiran sendiri. Tapi, Kafir dan Muslim yang dikonotasikan sebagai pengingkaran dan kepatuhan di kehidupan sosial tidak sama dengan makna sesungguhnya (denotatif). Sebab menurut Roland Barthes, sebuah kata pasti memiliki makna konotatif dan denotatif. Makna sesungguhnya hanya diketahui oleh si empunya sesuatu, sementara makna konotatif akan berkembang sebanyak buah pikir manusia yang juga terus mengalami peningkatan.

Begitu pun, makna denotatif Muslim dan Kafir. Keduanya hanya Si Empunya yang mengetahui dan yang berhak memberikan kepada siapa pun yang diberikan. Saya, misalnya, hanya terus berusaha patuh dan pasrah terhadap segala ketetapan dan ketentuan dari Allah, dan berusaha mengingkari segala yang tidak berkaitan dengan-Nya. Selanjutnya, saya serahkan kepada Allah, saya ini Muslim atau Kafir? Hanya Dia yang tahu.

Jadi, sudah tahu kan sekarang? Anda Muslim kepada siapa dan Kafir kepada siapa? Jangan sampai Muslim kepada hal-hal yang buruk dan Kafir kepada hal-hal yang baik. Kita harus Muslim kepada kedua orangtua dan Kafir kepada Iblis. Betul? Benar dan salah, saya kembalikan kepada cerdik pandai sekalian untuk memberi penilaian yang serelatif-relatifnya.


Wallahu A'lam.


Bekasi, 20 Juli 2016/15 Syawal 1437

Senin, 18 Juli 2016

MOS, harus seperti apa?


Masa Orientasi Sekolah atau MOS adalah suatu kegiatan yang dilakukan untuk memperkenalkan segala sesuatu yang berkaitan dengan sekolah. Dengan kata lain, MOS dimaksudkan agar peserta didik baru tidak lagi merasa canggung dalam menjalankan kesehariannya di lingkungan sekolah yang baru. Tradisi MOS di Indonesia sudah berlangsung sangat lama, yakni sejak zaman kolonial Belanda.

Pertama kali MOS dilakukan yaitu di Sekolah Pendidikan Dokter Hindia (1898-1927). Saat itu, siswa baru harus menjadi "anak buah" bagi para senior untuk membersihkan ruangan kelas. Tradisi tersebut kemudian berlanjut pada era Geneeskundinge Hooge School (GHS) atau Sekolah Tinggi Kedokteran (1927-1942), yang sekarang lebih dikenal FKUI (Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia).

Selanjutnya tradisi MOS dilakukan secara terus-menerus dan turun temurun. Dengan beragam cara, MOS harus tetap dilakukan sebagai alat atau media pengenalan sekolah kepada peserta didik baru. Namun karena sudah sejak awal kegiatan ini dilakukan dengan gaya perpeloncoan, baik fisik maupun psikis, pada akhirnya pengenalan terhadap lingkungan sekolah hanya diartikan sebagai ajang balas dendam.

Kegiatan ini, setiap tahunnya menuai pro dan kontra. Antara dihapuskan atau tetap dijalankan. Sebagian yang pro terhadap MOS dengan gaya pelonco zaman kolonial beranggapan bahwa adik kelas harus merasakan hal-hal yang seperti itu, seperti dibuat malu karena harus menggunakan atribut yang aneh, atau dimarahi dan selalu dianggap salah oleh senior, merupakan sebuah kegiatan yang efektif untuk mempererat ikatan antara adik dan kakak kelas.

Sementara sebagian yang kontra, berasumsi bahwa kegiatan ini hanya melahirkan banyak mafsadat dan mudharat sehingga sama sekali tidak berguna atau hanya membuang-buang waktu saja. Kemudian mereka juga berpendapat, bahwa melanggengkan tradisi pelonco dalam kegiatan MOS sama saja memelihara gaya kepemimpinan feodalisme namun dengan kemasan yang berbeda.

MOS atau yang sekarang namanya diganti sesuai dengan kebijakan sekolah, tapi intinya tetap sama, perlahan mulai dihapuskan; bukan secara keseluruhan, tetapi hanya beberapa poin yang dianggap tidak manfaat. Peran kakak kelas hanya sebagai pembantu dari penyelenggara kegiatan (baca: guru).

Kurangnya keterlibatan kakak kelas dalam kegiatan MOS sangat berdampak buruk bagi kinerja kaderisasi dari organisasi atau sangat tidak berjalan efektif dalam upaya melahirkan generasi yang kritis, tanggungjawab, dan berani.

Kedekatan emosional antara adik dan kakak pun sama sekali tidak terjalin, hanya sekadar mengenal muka dan nama. Syukur, kalau adik kelas yang baru itu mampu membaur setelah kegiatan MOS berlangsung, atau kakak kelas yang tidak gengsi untuk merangkul adik-adiknya agar bergabung dalam lingkaran pergaulan.

Dalam kajian Ilmu Komunikasi, terdapat sebuah teori yang bisa digunakan oleh dua orang atau lebih yang baru dikenal; Uncertainty Reduction Theory atau Teori Pengurangan Ketidakpastian dalam berkomunikasi. Pada teori ini terdapat beberapa asumsi yang salah satunya adalah keadaan yang tidak mengenakkan, menimbulkan stress secara kognitif. Berdasarkan ketegangan dan ketidaknyamanan yang dialaminya, seseorang akan berusaha mencari informasi untuk mengurangi ketegangan yang ada.

Nah, agar kedekatan emosional antara kakak dan adik kelas tercipta, teori dengan asumsi di atas sangat perlu diperhatikan. Yakni, saling mencari informasi agar komunikasi menjadi efektif sehingga akan mengurangi ketidaknyamanan atau ketidakpastian dalam berkomunikasi. Maka, perlu kiranya kakak kelas merangkul adik-adiknya dengan berusaha mengurangi ketidakpastian dan ketidaknyamanan, sementara adik kelas juga tidak merasa takut untuk bergabung ke dalam lingkaran kakak kelasnya. Dengan begitu, kita tidak sedang meneruskan budaya feodalisme, karena dengan keterbukaan informasi dan komunikasi, kita dapat menciptakan suasana yang inklusif dan egaliter.

Kembali ke permasalahan MOS, saya sepakat dengan ditiadakannya perpeloncoan atau gaya feodalisme dalam kemasan yang lebih baru. Namun, saya keberatan jika MOS dilakukan justru malah membuat peserta didik baru menjadi pasif, tidak kritis, dan menjadi sedikit manja. Selanjutnya, saya juga berkeberatan ketika peran kakak kelas semakin dipangkas sedemikian rupa. Peran guru adalah sebagai pengawas, kalau ada perlakuan kakak kelas yang tidak sesuai dengan kesepakatan awal, maka guru berhak menindak.

Sedangkan peran kakak kelas adalah memberi pengenalan terhadap lingkungan sekolah yang baru serta memberikan pendidikan kepada adik kelas atas ilmu pengetahuan yang sudah terlebih dahulu didapat. Untuk membuat peserta didik baru menjadi aktif dan kritis, kakak kelas tidak perlu membentak atau melakukan komunikasi dengan nada yang tinggi. Cukup memberikan pertanyaan-pertanyaan untuk adik kelas yang kemudian tidak langsung dibenarkan jawabannya. Sebab kebenaran bisa disalahkan, tetapi tidak bisa dikalahkan.

Untuk adik-adik yang saat ini sudah berada di lingkungan sekolah yang baru, selamat menjalankan keseharian di tempat barumu. Pesan saya, jangan manja. Kalau salah, akui kesalahanmu, kalau benar, lawan! Tapi jangan selalu merasa benar.

Kualitas peserta didik baru akan terlihat dari bagaimana penyelenggaraan Masa Orientasi Sekolah yang memberikan kesempatan bagi adik kelas untuk aktif, tanggungjawab, dan kritis, sehingga tercipta siswa-siswi yang tidak manja dan mudah nangis, kemudian lapor polisi.

Kemudian juga tidak menciptakan guru-guru yang semena-mena dalam mengajar, yang mengajar hanya sekadar menggugurkan kewajiban. Guru yang tidak memberikan kesempatan bagi muridnya untuk mengemukakan pendapat.  Guru yang seperti itu, lawan!


Wallahu A'lam.


Bekasi, 18 Juli 2016/13 Syawal 1437

Sabtu, 16 Juli 2016

Pelipur lara, penawar duka...

Helmy Fz, Ammar Elt-Batawie, Aru Elgete.

Tidak ada penyakit yang tidak bisa disembuhkan, tidak ada virus yang tidak bisa dihancurkan, tidak ada masalah yang tanpa solusi, tinggal bagaimana kita menyikapi dan berusaha untuk melawan segala keburukan dengan daya serta upaya untuk melahirkan sebuah kebaikan. Karenanya, Tuhan menciptakan segala sesuatu dengan hukum kausalitas. Pun halnya, Dia menganugerahi seorang sahabat bagi sahabat lainnya sebagai perantara kebaikan dan kebahagiaan.

Sudah banyak yang kita lalui, tentu dengan beragam pelik dan liku kehidupan. Kita punya banyak perbedaan, ada banyak ketidaksesuaian, bahkan terlalu banyak hal yang justru berpotensi menimbulkan permusuhan. Namun, berkat kasih sayang yang Tuhan titipkan, kita mampu menemukan persamaan hingga lenyaplah seluruh perbedaan dan ketidaksesuaian dalam diri. Maka, kita merupakan pelipur lara dan penawar luka bagi jiwa yang sedang tidak bahagia; dari kita, oleh kita, dan untuk kita.

Tidung, salah satu pulau di Kepulauan Seribu, DKI Jakarta menjadi saksi bisu dari perjalanan persahabatan kita, ia juga menjadi wadah kebersamaan untuk tetap mempertahankan ikatan persaudaraan diantara kita. Tidung mengerti bahwa ketika itu, ada diantara kita yang sedang tidak berdaya atas keadaan yang terjadi saat ini, maka ia memberikan dirinya untik dijadikan sebagai wadah penghancuran ketidakberdayaan sehingga dapat mempersatukan kita dalam erat kebahagiaan. Di sana kita mampu melupakan sejenak kepenatan yang menggandrungi hati dan pikiran.

Di Tidung, kita sama sekali tidak memikirkan apa pun, kecuali hal-hal yang membuat diri bahagia. Bahkan bukan hanya di Tidung, acapkali kita bersama di mana pun dan kapan pun, tidak pernah ada yang menjadi pengganggu dari kebersamaan kita, terkecuali soal kepayahan hidup pribadi yang pasti akan menimbulkan solusi. Sebab kebahagiaan yang tak terdefinisi diantara kita adalah bukan soal kemewahan atau pun kebahagiaan yang bersifat hedonistik, tetapi lebih kepada bagaimana menciptakan adiktif yang membuat candu, yang membuat hati dan ruh tidak pernah menginginkan perpisahan.

Di dalam lingkaran persahabatan itu, kita tidak sedang terdoktrin untuk menjadi diri orang lain. Tetapi kita sedang memahami diri agar senantiasa menjadi pribadi yang berdaulat, tidak menjadi seorang yang selalu bergantung pada kehendak dan keinginan orang lain. Kita memang saling mempengaruhi, tapi tidak sedang mengubah secara keseluruhan agar aku menjadi dirimu, karena "aku adalah diri yang berdaulat dan engkau juga berdaulat atas dirimu sendiri", melainkan saling mempengaruhi dalam kebaikan dan kebahagiaan.

Terimakasih sudah menjadi bagian dari diri yang hampa, dari kesendirian yang tak berkesudah, dari kelemahan yang sedang membutuhkan kekuatan untuk tetap berjalan pada kenyataan hidup yang dinamis, yang kadang menyakitkan dan kadang membahagiakan. Semoga perjalanan pengalaman persahabatan ini akan terus beriring dengan waktu yang tanpa henti.





Bekasi, 15 Juli 2016/10 Syawal 1437


Aru Elgete

Jumat, 15 Juli 2016

Aku melihatmu dari senja Tidung yang sederhana



 Photo by Helmy fz


Ramadhan usai, Fitri sudah kembali ditinggalkan, hanya ada harap agar hidup tidak hanya penuh dengan harapan. Semua berdoa supaya diberi kuat untuk menjalani hari baru, hari dimana kesucian dinobatkan pada manusia yang konsisten dengan keadaan, untuk mencapai derajat kemuliaan. Bagi mereka yang kembali berpulang di keterpurukan kemarin, niscaya kehancuran yang menjadi teman bermain.

Keterpurukan dan kehancuran adalah dua hal yang semoga terhindar dari diri. Keterpurukan disebabkan karena tak mampu bertindak untuk melangkah, sementara kehancuran merupakan akibat dari ketidakmampuan diri untuk berjalan pada keadaan yang (terkadang) tidak sesuai dengan keinginan hati, keduanya tersekat dan tersendat di persimpangan jalan menuju diri yang mulia.

Kesediaan untuk membuka diri dari segala hal yang tak mampu terejawantah, kiranya harus mewarnai keadaan agar kehidupan tak melulu terlihat buram, apalagi muram. Sebab hanya dengan itu, manusia dapat berhindar dari keterpurukan dan (terlebih) kehancuran. Dan aku memilih untuk membuka diri pada setiap pergantian keadaan, pada setiap ketenangan yang didapat dari redupnya cahaya, dari senja ataupun fajar.

Sore ini, aku bercerita dan bermesra dengan senja. Sungguh, hanya ia yang mampu memberi tenang, memberi kasih sayang, dan memberi kedamaian pada setiap masa yang telah menjadi kenang. Ia mampu memberi terang pada siapa saja yang tak menemui cahaya dalam diri, di ketenangan kasih sayang dan kedamaian yang terkenang. Aku mengenalnya sudah sejak lama, mengetahui bahwa dirinya mampu memberi ketenangan agar diri senantiasa bersedia untuk terbuka; yakni sejak pertama kita saling melihat tatap, berjumpa sua, bersuara dengar, dan berkasih rasa.

Sejak itu, senja kuanggap sebagai kekasih, juga sebagai tempat pencerahan bagi diri yang selalu saja gagal menemukan secercah cahaya untuk menggapai kemuliaan di kemudian hari. Perkenalanku pada senja di hadapan ombak lautan yang bergulung-gulung itu menjadi awal kebahagiaan meski kita sudah lama tak saling menatap lihat. Namun kasih rasa masih tetap ada di setiap senja, sebab fungsi keberadaan senja adalah untuk memperjelas kehadiranmu.

Pada senja terdapat kerinduan mendalam yang tak mampu terdefinisi, namun ia mampu melepas dahaga atas segala rindu yang menggebu-gebu, sebab disetiap ia berada di dekatku, selalu ada wajahmu yang membayang dan aku menikmati keberadaan bayang wajah tak nyata itu. Kita kembali dipertemukan saban senja menyapa, sebab ia adalah awal dari keberadaan kita. Aku selalu menikmatimu, menikmati kehadiranmu, menikmati segala kesempurnaan hidup, karena sungguh hidupku pasti menjadi tanpa arti jika kita sama sekali tidak pernah bertemu.

Senja yang kau perkenalkan kepadaku itu juga memberikan makna pengorbanan serta kegigihan untuk tetap bertahan atas waktu yang terus bergulir. Ia mengajarkan kesetiaan dan memberi pelajaran berharga tentang makna kerinduan yang hakiki, yang tak mudah hilang tergerus waktu. Selain itu, ia juga memberi ruang kecil yang berfungsi sebagai tempat untuk memroses diri agar bersatu, agar terus belajar hingga senja tak lagi menampakkan diri.

Saat ini, secara perlahan kemuliaanku mulai terasa, kehancuran dan keterpurukan tak berani mendekat. Itu adalah sebab kerinduan yang mendalam, serta upaya menyatukan diri denganmu, oleh senja yang menjadi perantara kita. Semoga kegigihan dan pengorbanan terhadap waktu yang bergulir seiring proses penyatuan diri tidak menjadi percuma, hingga suatu saat nanti, kita bisa menjadi satu kesatuan yang disatukan oleh dan karena senja; untuk kita.

Dan, aku melihatmu dari senja Tidung yang sederhana. Aku menikmatimu dari setiap hisapan rokok yang terselip di kedua jari; persis seperti engkau yang selalu terselip dalam doa, dalam puji-pujian, serta dalam setiap dzikir dan fikirku, bahkan selalu ada di setiap desah nafas hidupku. Kasih, aku merindumu, mencintaimu, mengasihimu, sekalipun dirimu tak membutuhkan itu. Aku menanti penyatuan diri agar kita tak saling hilang, terpencar, dan jauh dari harapan kemuliaan.


Note: Untuk kekasih yang tak butuh diberi kasih 


Pulau Tidung, 13 Juli 2016/8 Syawal 1437

Senin, 11 Juli 2016

Ramadhan sudah berlalu...

Ramadhan sudah berlalu...
Ramadhan sudah berlalu
namun sisa-sisa romantisme kala itu masih saja membekas
membuat rindu ingin jumpa

Idul Fitri sudah melintas
halal bi halal berbagai kalangan dibuat dengan sedemikian rupa
sehingga bentuknya yang formalitas itu tak berdampak apa-apa
selain reuni atau pertemuan-pertemuan ala kadarnya

Kesibukan mulai datang
sekitar 700ribu kendaraan bermotor siap menyerbu Ibukota dan daerah penyangganya

Fikir dan dzikir tak lagi terukir
rumah ibadah hanya dipakai seperlunya
karena urusan duniawi lebih mendesak ketimbang yang ukhrawi
maklum saja karena manusia makhluk musiman; ibadah juga tergantung musim.

Kembali maksiat terpampang
fitnah dan ajakan kebencian mulai meradang
menanti Ramadhan tahun depan adalah alasan untuk membersihkan dosa-dosa yang sebentar lagi akan diperbuat

Ah Ramadhan,
andai saja engkau ada selama setahun lamanya
sebulan belum cukup
sebab selama sebulan kemarin masih ada saja yang menebar kebencian

Bekasi, 6 Syawal 1437

Kamis, 07 Juli 2016

Kembalilah, aku merindukanmu!



Pernah kita bersama
mengisi waktu dengan ceria
dengan jenaka cerita
tentang kemesraan kita

Saat itu,
erat dekap pelukanku
tak ingin saling pergi
dan waktu tetap pada inginnya
egois
ia berlari dengan sekuat tenaga
melenyapkan seluruh kemesraan
baru sekejap lenyap
dan rindu pun tertanam

tanpamu kini
aku menemukan bahagia
sama tapi semu
juga merangkai cerita
namun penuh derita
sebab rindu kian saja terpendam
tertanam dalam-dalam

duhai yang menyayangi
yang memberi  terang pada kegelapan
kau banyak dinanti
seperti primadona
gadis dalam majalah sampul
atau model bintang lima

semoga kita dipertemukan kembali
oleh penguasa cinta
di 1438
atau 2017
temu rindu denganmu
menjadi impian bersama
sebab karena indahmu
seluruhnya bahagia

Sayangku,
izinkanku melupakanmu sejenak
untuk hura-hura
menikmati kesenangan
merasakan kenikmatan
sampai waktuku tiba
menjemputmu dengan bercucuran dosa
sebab engkau pembersih
atau hingga iblis lelah menggoda
dan dirimu berhasil mengikatnya
aku suci lagi

Cintaku,
maafkan aku
aku ingin makan ketupat
sepuasnya
karena denganmu
walau mesra kurasa
terasa nyaman di dada
tetap saja lapar dahaga menerpa

Dan begitulah
gambaran manusia saat ini
dengan hura-hura
riya'
dan menciptakan citra
yang terkadang tak sama di nyata
sebab berada di dekatmu, duhai kasih
seperti meminum arak
tak sadarkan diri
hingga mabuk dan terkantuk-kantuk
hilang arah
dan tak dapatkan apa-apa
selain berharap pada raja semesta
agar kita kembali bersama
sembari teriak di telinga malam
"kembalilah, aku merindukanmu!"


Begitu kan?



Bekasi, 2 Syawal 1437


Aru Elgete 

Selasa, 05 Juli 2016

Waspada Provokasi Media Massa berkonten sampah!



Lagi, kejahatan kemanusiaan kembali terulang. Kali ini lebih berani dan membuat seluruh umat Islam di dunia terperanjat tak percaya. Bagaimana tidak, tempat suci yang dijaga kesuciannya itu menjadi objek aksi bom bunuh diri. Yakni, di Negara Rasulullah, Arab Saudi. Bom meledak di tiga tempat, Madinah; Qatif; dan Jeddah.

Dengan adanya kejadian ini, kita tidak bisa langsung seketika itu menuding dan mendakwa si ini atau itu yang melakukan perbuatan keji tersebut. Perlu adanya cek & ricek atas seluruh berita yang kita konsumsi mengenai peristiwa memalukan itu. Sebab pemboman di kompleks Masjid Nabawi dan dua tempat lainnya itu sangat bersifat sensitif ketika menjadi sebuah kajian atau pembahasan yang tidak secara mendalam.

Benarkah kejadian bom bunuh diri itu ada kaitannya dengan berita yang dilansir oleh kriminalitas.com (Klik: Kampanye ISIS, 'Ramadhan Bulannya Membunuh' dinilai sukses) beberapa waktu yang lalu, sebelum terjadinya bom di Negara Arab tersebut? Atau, mungkinkah pelaku merupakan seorang warga negara yang tidak suka dengan kepemimpinan Raja Saudi yang sekarang? Atau justru, mungkinkah, pelaku adalah umat non-Muslim yang memang tidak suka dengan Islam (ala Arab)?

Siapa pun pelakunya, harus kita kecam. Merekalah penebar ketakutan dan kerusakan dan sudah sepantasnya disebut sebagai teroris. Karena teroris tidak beragama, teroris tidak berkemanusiaan, maka tidak ada labelisasi atas keagamaan apa pun terhadap teroris, sekalipun yang menjadi acuan dari aksinya adalah ayat-ayat yang ada di dalam kitab suci. Karena perilakunya mengotori kemanusiaan dan keagamaan yang juga banyak tertera dalam kitab suci.

Saudaraku, yang harus kita benci dan kecam adalah pelakunya, aksinya, perbuatannya, bukan latar belakang agamanya, suku, atau yang lainnya. Momentum Hari Raya Idul Fitri yang jatuh pada besok, 6 Juli 2016, janganlah ternodai oleh kebencian dan kedengkian, seperti halnya kita terprovokasi ketika setahun yang lalu bom meledak di Tolikara.

Hati-Hati dengan pemberitaan sampah media massa yang bertebaran di linimasa sosial media kita. Sekali lagi saya imbau, agar kesucian hari nan fitri tidak ternoda, kita mesti waspada dengan media massa berkonten sampah.

Dengan ini, saya ucapkan terimakasih. Selamat merayakan Hari Raya Idul Fitri 1437 Hijriyah, Mohon Maaf Lahir dan Batin.

Wallahu A'lam...

Senin, 04 Juli 2016

Menyikapi Ahok dan Takbir Keliling di Jakarta


Menjelang Lebaran Idul Fitri 1437 Hijriyah, banyak berita yang mengabarkan bahwa Ahok, Gubernur DKI yang Kafir itu, melarang umat Islam untuk merayakan takbir (kemenangan) dengan mengelilingi Ibukota. Pasalnya, tradisi takbir keliling itu sudah menjadi budaya dan tradisi sebagian besar warga Jakarta. Lantas, bagaimana langkah kita untuk menyikapi kedua hal itu (Ahok dan larangan takbir keliling)?

Ayyuhal Muslimin Hafidzhokumullah...
Sebelum menilai atau menyikapi kebijakan Ahok, mari jernihkan hati dari keruhnya rasa benci dan dengki. Jangan mendahulukan nafsu amarah, padahal di dalam diri juga ada nafsu Muthmainnah yang harus dikelola, agar senantiasa damai dan jernih dalam melihat fenomena kehidupan yang serba dinamis.

Euforia dan selebrasi atas kemenangan kita selama sebulan penuh itu, pantaskah dirayakan dengan gemuruh yang berlebihan? Pantaskah kita melantunkan kesucian kalimat Takbir, Tahlil, dan Tahmid, yang justru berpotensi melahirkan kerusuhan? Riuhnya suara kembang api dan petasan mewarnai pelafalan kalimat Allah Yang Mahatinggi, sementara membakar petasan dan kembang api berarti merusak alam, merusak ayat Kauniah-Nya, pantaskah kita merayakan kemenangan kita dengan selebrasi yang berlebihan seperti itu?

Ma'asyirol muslimin Rahimakumullah...
Jangan samakan perayaan Tahun Baru Masehi dengan Takbir Keliling, karena keduanya sangat berbeda. Jangan samakan kesucian Ilahi dengan perayaan yang sama sekali tidak merepresentasikan kesucian dan sakralitas esensi ketuhanan. Bagaimana mungkin kita samakan perayaan Takbir Keliling dengan Tahun Baru Masehi, sementara pada malam tahun baru kemarin, kita mengecam dan menolak perayaan itu. Penolakan dan pengecaman perayaan tahun baru Masehi itu dilakukan dengan memberi pemahaman kepada generasi Islam, betul begitu?

Jangan juga samakan perayaan Cap Go Meh dengan Takbir Keliling. Karena keduanya juga sangat berbeda. Takbir Keliling berarti selebrasi ketuhanan, sementara Cap Go Meh adalah perayaan tradisi warga Tionghoa. Di dalam perayaan Takbir Keliling, melibatkan Allah dalam teriakkan dan pekikan suara manusia, sementara kalimat Allah adalah sakral dan mengandung kesucian, dan apakah kita benar-benar mensucikan kalimat Allah itu? Bagaimana jika perayaan Takbir Keliling justru dirayakan dengan pesta minuman keras dan berujung pada tindak anarkisme? Lalu, bolehkah Takbir Keliling tetap dilakukan?

Pembaca yang Budiman...
Takbir Keliling memang sudah membudaya dan menjadi tradisi bagi sebagian besar umat Islam di seluruh Indonesia. Mereka merayakan dengan keliling kampung dan membawa obor sembari bertakbir sesuka hati sebagai tanda kepasrahan kepada Allah. Sebab hakekat pelafalan Takbir adalah perasaan tunduk dan pasrah kita terhadap keesaan Ilahi, bukan ditujukan untuk aksi saling jago, apalagi membuat kerusuhan dengan mengatasnamakan Allah. Itu tentu tidak dibenarkan.

Barangkali, yang Ahok larang adalah perayaan Takbir Keliling secara berlebihan sehingga berpotensi menimbulkan kerusakan dan kerusuhan di malam yang suci itu. Mungkin juga kebijakan Ahok yang seperti itu sejalan dengan sikap Allah, yakni Innallaha Laa Yuhibbul Musrifuun, bahwa Allah tidak suka dengan orang-orang yang berlebihan. Baik berlebihan dalam proses perayaan Takbir Keliling, maupun berlebihan dalam menyikapi kebijakan Ahok.

Ahok sebagai pemimpin daerah, hanya menginginkan daerah yang dipimpinnya menjadi aman dan tenteram tanpa sama sekali menyinggung atau menghina apalagi mendiskriminasi agama tertentu. Menurut hemat saya, antara politik dan agama jangan dicampuradukkan karena tidak akan pernah ditemukan titik temu. Karena kesucian agama tidak bisa dikotori oleh kebinatangan politik yang kotor. Maka, ketika melihat Ahok sebagai pemimpin daerah, jangan disikapi dengan istilah penistaan atau penghinaan terhadap agama.

Bapak, Ibu, teman-teman, dan adik-adik pembaca yang saya hormati...
Daripada pusing memikirkan kebijakan Ahok soal Takbir Keliling itu, lebih baik mari kita rayakan kemenangan ini dengan bertakbir di Masjid dan Musala terdekat. Karena hanya di rumah-Nya kita dapat menyatukan diri sehingga terjaga dari sikap saling menyalahkan dan ingin benar sendiri.

Sekian dan terimakasih. Wallahu A'lam...