Senin, 27 Juni 2016

Mari rayakan pertemuan kita, Buntetku...



Sudah dua tahun, raga ini terpisah ruang dan waktu, namun jiwa tetap menyatu bersatu; menyelami kegelapan samudera cinta dalam ketidakberdayaan menahan laju rindu yang datang tak berkesudahan.

Kala itu, April 2014, aku mengecupmu dengan tangis kerinduan, memelukmu sembari mendoa agar keturunanku tidak menjadikan waktu percuma saat bersamamu; berdekap erat pada keberlimpahan mimpi yang indah, agar mewujud di kemudian hari.

Buntetku, tubuhmu yang penuh keberkahan itu bukan hanya sekadar wadah untuk mencari ilmu atau sebagai pendewasaan diri dan keimanan, tetapi juga ajang pemerdekaan manusia seutuhnya.

Aku yang terlena pada keanggunanmu, merasa tak berharga ketika itu; namun keutuhan diri justru kutemukan ketika kita tak lagi bersama.

Setidaknya, aku tahu harus bagaimana kala berhadapan dengan masyarakat yang tentu beragam; kiranya itu, petuah yang kau berikan untukku.

Kini, setelah dua tahun kita tak jumpa; mari kemas rerindu yang berserak, agar menjadi bingkisan yang cantik untuk memperindah pertemuan kita, esok hari.

Ada banyak cerita yang akan terkisahkan untukmu; tentang keakuanku yang sudah berbeda dengan saat aku masih dalam genggam erat tanganmu.

Aku malu dan merasa masih jauh dari keberadaan ilmu, sementara engkau yang pemaaf, tak jemawa menyambutku; bahkan dengan kelembutan kasihmu, kita kembali rajut kenangan kenakalan masa kecilku karena acuh terhadap aturan.

Beberapa kali kita dipertemukan di mimpi malamku; senyummu yang renyah dan kecemerlangan wajahmu itu, membuat rindu kian tak tertahan saat terjaga di awal pagi yang masih dini.

Buntetku, kerinduan ini semoga diberkahi Allah dengan washilah Kanjeng Nabi serta kerelaan diri Mbah Muqoyyim untuk mendoakan umat dan santrinya, termasuk diriku yang mengharap itu.

Doakan semoga tanpa kendala dan tidak timbul bencana; untuk pertemuan kita. Meski hanya beberapa hari, bagiku sangat berharga; agar rindu segera terobati. Kalau sewaktu-waktu rindu datang kembali, sempatkan waktumu untuk hadir dalam bayang lamunanku; hadirlah, meski hanya sekadar itu.


Bekasi, 8 April 2016

Pusat Kajian Pancasila dan Keindonesiaan Kita

Rombongan Unit Kegiatan Mahasiswa Pusat Kajian Pancasila Universitas Islam 45 Bekasi, sedang dalam perjalanan menuju Cilember, Bogor, Jawa Barat, dalam rangka melaksanakan agenda tahunan, Kongres yang keempat.

Membangun budaya organisasi sebagai bentuk pengamalan Pancasila dalam upaya penguatan kedaulatan bangsa

Pusat Kajian Pancasila (Pusaka) adalah sebuah ruang yang melahirkan manusia dengan segala kecintaan terhadap keadaan bangsanya.

Di dalamnya selalu tertuang gagasan dari para pemikir yang pasti berbeda pandangan; namun tetap satu persepsi soal Keindonesiaan.

Organisasi internal kampus yang satu ini baru berumur empat tahun. Terlahir karena adanya sebuah kegelisahan dari civitas akademika atas ketiadaan forum diskusi yang mendiskusikan nasionalisme-kebangsaan.

Seiring perjalanan kedewasaannya, Unit Kegiatan Mahasiswa yang bergerak di lajur kebangsaan ini sudah tak bisa dianggap sebagai perkumpulan yang remeh-temeh.

Selain membahas soal kebangsaan dan keindonesiaan, Pusaka juga menggeluti isu kemanusiaan, keadilan dan kesetaraan. Hal itulah yang membuat Pusaka mengalami pendewasaan dalam pemikiran.

Beragam pemikiran berkumpul jadi satu tanpa saling memiliki keinginan untuk meniadakan yang lain, semuanya gelisah sekaligus menawarkan solusi untuk bangsa dan negara dengan cara berpikirnya sendiri.

Ada beragam sudut pandang yang berbaur di setiap diskusi. Perbedaan itu diyakini sebagai sebuah keniscayaan dan kemerdekaan pemikiran. Karena Indoktrinasi atau menutup sudut pandang lain merupakan kemunduran bagi suatu peradaban.

Liberalisme, Sosialisme, dan Ideologi agama diramu sedemikian rupa agar menemukan persamaan yang memberi anugerah dan cahaya yang menerangi jalan pendewasaan.

Setidaknya tiga hal itu yang ada di dalam Pusaka, karena diyakini bahwa Pancasila adalah rangkuman dari Ideologi dan sudut pandang yang berbeda.

Ketiganya adalah rona keindahan dari setiap kajian yang seringkali dilakukan. Tidak saling menghakimi, tidak pula saling merendahkan satu sama lain.

Selama setahun saya berada di dalam struktur kepengurusan, Pusaka memberi keleluasaan bagi kemerdekaan berpikir, serta memperluas cakrawala pemikiran.

Saat ini, Pusat Kajian Pancasila Unisma Bekasi sedang melaksanakan agenda tahunan, yakni Kongres yang keempat sekaligus membuka jalan bagi lahirnya pemikir baru yang menjadikan Pancasila sebagai kehidupan, bukan sekadar gagasan semata.

Karena pada dasarnya, Pancasila harus bersifat aplikatif. Nilai-nilai yang terkandung dalam Ideologi NKRI itu sudah seharusnya tak hanya menjadi bahan diskusi dari lembaga ke lembaga atau dari instansi ke instansi, bahkan menjadi proyek basah untuk meraup keuntungan.

Cilember, 1 April 2016.

Harmoni konstitusi dan kitab suci


Konstitusi sebagai dasar hukum dalam bernegara, sementara kitab suci sebagai pedoman peningkatan nilai moral dalam keseharian.

Keduanya tidak saling bertentangan, justru sebaliknya. Antara konstitusi dan kitab suci, ibarat langkah kedua kaki ketika berjalan. Harus berseiring.

Konstitusi tidak boleh terlalu jauh meninggalkan kitab suci, dan sebaliknya. Di satu kesempatan, kita bisa letakkan kitab suci di atas konstitusi. Tetapi di lain kesempatan, konstitusi pun bisa berada di atas kitab suci.

Namun, tidak dibenarkan juga kalau keberadaan konstitusi justru menghapus peran kitab suci sebagai pedoman peningkatan nilai moral dalam keseharian.

Atau terdapat kekeliruan yang tanpa disadari merasuk ke dalam diri kita, ketika kitab suci justru menjadi alat untuk meniadakan atau melemahkan konstitusi.

Konstitusi sebagai hukum tata negara, kitab suci bisa saja dijadikan sebagai penyeimbang agar negara tetap memiliki moralitas yang tak mudah luntur karena pengaruh negara lain.

"Sampai di sini ada pertanyaan?" -ujar dosen saat mengajar tadi pagi dengan suara lantang, sekaligus mengagetkan saya dan sebagian teman-teman yang sedang tertidur pulas di dalam kelas.

"Punten bu, saya ijin ke toilet sebentar, ya."

"Iya silakan, cuci muka biar ngantuknya hilang. Cuci muka yang bersih biar wajahmu nggak monoton."

"Haassyeeem!"

Di perjalanan menuju toilet, tiba-tiba saya teringat dengan Apel Kebhinnekaan ‪#‎LintasImanBelaNegara‬ beberapa waktu lalu. Bersama teman-teman Pusat Kajian Pancasila, membela negara harga mati katanya.

"Baiklah kalau begitu, mulai sekarang kita harus meningkatkan kualitas kajian kita. Biar enggak kalah sama kelompok yang suka khilaf ah." -gumam saya dalam hati.

(Sumber: Fanpage Aru Elgete -https://m.facebook.com/Aru-Elgete-104929126344223/)

Demokrasi memang bukan ciptaan Tuhan, tapi bukankah Tuhan Empunya segala-gala? Sistem kenegaraan yang demokratis memang bukan terlahir dari rahim agama, tapi apakah di dalam kitab suci sama sekali tidak ada berita dari Tuhan soal demokrasi?

Kalau sistem demokrasi dianggap bermasalah, bagaimana dengan pikiranmu yang sebenarnya memiliki kompleksitas permasalahan yang sangat rumit, sehingga otakmu seperti harus diinstal ulang? Kenapa tidak saling bahu-membahu memperbaiki keadaan negeri dengan tanpa mengganti konstitusi yang telah disepakati bersama?

Barangkali dengan revolusimu yang utopis itu, semuanya akan baik-baik saja? Ah, kau ini terlalu imajinatif, seperti pemuda yang sedang menghisap zat adiktif. Imajinasi sudah terlalu lama memanjakanmu, jangan terlalu candu dengan adiktif yang kau buat sendiri sebagai penenang.

Cepat lepaskan dirimu dari adiktif yang membuat seperti melayang ke singgasana Tuhan, agar mampu mendengar dan menerima bahwa solusi yang kau berikan masih banyak tak didengar dan diterima. 

Itu karena mayoritas manusia Indonesia, masih belum terbelenggu dalam ikatan syahwat beragama yang bisa membuat mabuk, dan akhirnya membuat kerusuhan.

Begini, biar saya jelaskan sekali lagi bahwa konstitusi dan kitab suci sama sekali tidak bertolak-belakang. Akan menjadi demikian ketika penafsiran kitab suci yang kau lakukan tidak dengan pendewasaan dan melihat konteks sebagai bagian dari upaya menafsirkan teks kitab suci.

Konstitusi, Demokrasi, Nasionalisme, negara-bangsa, dan lain sebagainya sudah kau anggap bukan bagian dari perintah Tuhan dalam kitab suci, sehingga kau sebut Indonesia adalah negara kafir.

Lalu, siapa yang benar-benar benar dalam beragama? Ah, pusing. Sudahlah. Saya enggak mau bicara lantur, takut nanti khilaf(ah).

Saya tak masalah dianggap kafir, karena kekafiran ini sudah kaffah.

Wallahul muwafiq ilaa aqwamiththoriq.

Aku juga pernah Alay


Aku juga pernah alay ini adalah tulisan yang sangat tidak serius, jadi silakan membaca dengan santai; boleh sambil tiduran, makan, atau yang lainnya, terserah. Asalkan jangan sembari sholat atau kebaktian, haram hukumnya. HARAM!!

Sekitar tiga bulan pasca bertualang mencari kesejatian diri di Buntet Pesantren, aku menjadi pusat perhatian warga sekitar. Ketika itu, aku sudah pindah rumah. Maka menurutku, bekal yang didapat dari perantauan haruslah didayagunakan agar mudah beradaptasi dengan lingkungan baru, minimal orang lain yang mengenalku terlebih dulu.

Aku menjadi terkenal karena gaya busanaku. Sana-sini bertanya soal hukum ini-itu. Mereka menganggap kalau orang yang lulusan pesantren pasti mumpuni soal agama. Orang-orang di akar rumput memang begitu, selalu mendewakan sosok opinion leader dari kalangan agama. Pendapatku, kala itu, selalu dinanti. Salah pun dianggap benar. Aku pernah alay.

Saat itu, 2013 di akhir semester kedua, aku gemar ke Musholla dekat rumah; sekadar adzan, sholawatan, dan mengajar ala kadarnya. Karena ketiga hal itu, aku seperti menjadi dewa. Sanjung tak berbendung. Pujian yang menggairahkan, serta tidak pernah ada cibiran sedikit pun yang datang kepadaku. Ternyata selain pakaian, suara yang setidaknya enak didengar, membuat sebagian besar orang awam menggila. Aku semakin alay.

Seiring burung saling bersaut, pengalaman pengetahuan serta kotak pengetahuanku kian diperluas. Yakinku, Allah yang memperluas. Dia seperti memberi kabar bahwa aku alay, tak pantas seperti itu karena ilmuku masih tak seberapa. Bagiku, ilmu pengetahuan itu seperti meminum air laut, selalu terasa haus ketika semakin banyak air yang terminum.

Setelah sadar bahwa Allah sudah memberi kabar, aku menjadi sangat malu; aku pernah alay. Saat itu, entah kebetulan atau karena takdir, pengetahuan pun silih berganti bertandang ke dalam kotak di otakku. Aku mendapat ilmu tentang kategori manusia menurut Imam Ghozali.

Karenanya, aku menempatkan diri sebagai seorang yang tahu kalau dirinya tidak tahu; itu sebagai pemicu agar tak alay lagi karena senantiasa mencari pengetahuan baru. Di situ aku menyadari bahwa sikap alay, sombong, dan angkuh, bermula dari pujian-pujian yang datang berlebihan.

Pernah suatu ketika, ada seorang teman yang berbagi ilmu kepadaku. Dia katakan bahwa 'ilmu dalam bahasa Arab terdiri dari tiga huruf; 'Ain, Lam, dan Mim. Maka kita dapat klasifikasikan manusia dengan menganalogikan ketiga huruf tadi. Hal ini serupa dengan ilmu padi, atau seperti yang dikatakan Tan Malaka; Padi tumbuh tak berisik.

Pertama, orang yang baru saja mendapat pemahaman atau ilmu yang belum pernah ia tahu biasanya seperti huruf 'Ain; yang mulutnya terbuka. Artinya, orang tersebut akan merasakan fase alay tingkat dewa. Orang ini merasa sudah pintar, sehingga gemar bicara dan bahkan senang mengumpat orang lain dengan perkataan yang tidak mengenakkan karena pengetahuan yang baru saja didapat; padahal masih bersifat parsial.

Kedua, setelah melewati tahap 'Ain yang ke sana-sini bicara terus tak berhenti dan rajin merendahkan orang lain, seseorang akan melewati tahap Lam yang tegak. Ia akan merasa sombong, jemawa, bahwa hanya dirinya yang tahu segala-gala. Namun seorang yang berada di fase ini, tidak banyak bicara.

Dan ketiga adalah tahap Mim. Di sini, seorang yang memiliki ilmu sudah terbebas dari kesombongan dan kejemawaan, ia juga terbebas dari perkataan serta ucapan yang tak berguna. Seperti bentuknya, Mim sangat rendah dan ada setitik ruang yang terbuka. Persis dengan salah satu kriteria manusia menurut Imam Ghozali; seorang yang tahu kalau dirinya tahu.

Aku pernah alay. Semoga kealayanku cepat disembuhkan.

Wallah al-hadi ilaa shiroth al-mustaqiim.

Sikat Miring: Gaulnya Kita Beda


Di tengah fenomena sekat-sekat pergaulan yang menjamur di negeri ini, terlebih dengan adanya kelompok atau komunitas pemuda yang tidak jelas dan cenderung bersikap mewah dan foya-foya, Sikat Miring hadir untuk menyikat kemiringan-kemiringan dalam pergaulan yang terjadi selama ini.

Sikat Miring adalah sekelompok pemuda yang berani berbeda. Di dalam komunitas ini, setiap individu dituntut untuk menampakkan keunikan dan kemampuannya. Karena itu, kebermanfaatan dari sebuah kelompok akan dapat dirasakan bersama. Komunitas atau kelompok yang mendaku bahwa cara bergaulnya berbeda dari yang lain ini, tidak hanya menciptakan sesuatu yang bermanfaat bagi setiap orang di dalamnya, tetapi juga berusaha menularkan virus positif untuk semua manusia, tak terkecuali.

Sekalipun Sikat Miring merupakan sebuah pengelompokkan dan terindikasi juga menimbulkan sekat dan pembatas, rupanya komunitas ini tidak bersikap eksklusif terhadap orang lain yang tidak berada di dalamnya.

Seringkali komunitas ini mengajak yang lain untuk diskusi bersama, bermain, dan bersenang-senang secara kolektif. Tidak lain tidak bukan, Sikat Miring berharap agar kemanusiaan tidak tersekat oleh apa pun yang mengalangi persaudaraan. Inklusivitas yang terjadi di dalam kelompok ini tidak hanya menerima manusia secara fisik saja, tetapi juga pemikiran dan latar belakang apa pun yang berbeda.

Dalam obrolan, tidak selalu ngalor-ngidul layaknya komunitas atau kelompok yang lain. Sikat Miring memang tercipta dengan keunikannya sendiri. Terkadang ada obrolan mengenai alam, musik, agama, Tuhan, dan lain sebagainya. Meski tak jarang pula ada obrolan yang menyimpang dari koridor kebenaran. Namun, seperti itulah kenyataannya, kita sedang mencari kebenaran yang hakiki, bukan pembenaran yang diiringi dengan mencaci.

Rencana untuk mengadakan agenda yang positif pun sudah mulai tergagas. Juli nanti, Sikat Miring berencana untuk mendaki gunung Semeru. Sekitar sebulan yang lalu, proses penabungan sudah dilakukan, untuk mempermudah perjalanan dan proses hingga keberangkatan ke puncak pendakian.

Selain itu, juga ada agenda terdekat yang dilakukan Sikat Miring. Yakni, mulai 7 April 2016, komunitas pemuda ini mengadakan kajian umum sekaligus pengajian ditambah dengan istighatsah setiap minggu di ruang senat fakultas, kemudian di pekan terakhir setiap bulan kajian umum dan pengajian itu dilakukan di rumah anggota Sikat Miring.

Di dalam komunitas Sikat Miring, masing-masing orang memiliki kapasitas serta keunikan tersendiri. Ada yang pandai bermain gitar dengan "finger style", ada juga yang jago bermain hadroh, ada yang ahli mendaki gunung, ada yang ciamik dalam berpikir dan berargumentasi, bahkan ada pula yang mahir bermain PES. Siapa pun berhak mempengaruhi yang lainnya, dan memiliki kewajiban untuk berbuat hal positif.

Sementara hanya itu, gambaran soal Sikat Miring. Sebuah kelompok atau komunitas pemuda dengan cara gaul yang berbeda dari yang lain. Semoga komunitas ini konsisten dengan jargon awalnya, yakni berupaya menyikat segala sesuatu yang membuat kemiringan-kemiringan bagi peradaban, serta mampu menciptakan keberadaban yang menjunjung tinggi moralitas.

Membela gaya kepemimpinan yang Qurani


Di tengah hiruk-pikuk jelang pilkada, sebagian besar orang Indonesia disibukkan dengan firman Tuhan yang sakral dan tak bisa diganggu gugat. Mereka berebut soal penafsiran ayat yang Made in Allah katanya.

Bukan hanya soal pemimpin yang harus beragama Islam saja, tetapi juga soal pemimpin berdasarkan jenis kelamin. Alasannya bahwa di satu kesempatan, Tuhan melarang perempuan menjadi pemimpin. Sebab yang cocok menjadi pemimpin ialah laki-laki.

Islam pada masa awal, hampir tidak pernah terjadi beragam penafsiran yang membuat ribut sana-sini. Itu karena sumber kebenaran masih hidup; yakni Rasulullah. Lalu, bagaimana pesan Rasulullah untuk sebuah kepemimpinan?

Saat itu, pernah ada pernyataan yang kurang lebih seperti ini; bahwa kepemimpinan (Islam) harus dipegang orang-orang Quraisy, dan jika ada yang meyakini kebolehan kepemimpinan di luar suku Quraisy, ia termasuk orang sesat dan keluar dari kelompok yang selamat.

Saat ini, sumber kebenaran sudah tiada. Maka, upaya penafsiran pun kian dilakukan. Tafsir tidak pernah lepas dari konteks pengetahuan, kondisi sosial dan politik.

Ibnu Khaldun mengkritik konsepsi kepemimpinan yang harus dari suku Quraisy. Menurutnya, kepemimpinan Quraisy tidak berarti harus dari suku Quraisy tetapi pada karakteristik kepemimpinan Quraisy yang kharismatik, tegas, dan kuat.

Nah, dalam konteks Indonesia yang bukan Darul Islam dan Darul Harb. Bukan juga negara agama dan negara sekuler. Tetapi, ulama dari kalangan NU menyatakan bahwa Indonesia adalah Darussalam, sementara pendiri bangsa dari kalangan non-ulama menyatakan bahwa Indonesia adalah negara Pancasila.

Maka agama haruslah sebagai jalan yang menunjukkan betapa pentingnya sebuah moral, sedangkan Pancasila dan UUD 1945 sebagai perjalanan sebuah negara yang berlandaskan hukum. Namun dengan begitu, tentu tidak ada yang bertentangan dengan agama.

Lantas, bagaimana kepemimpinan ala Indonesia dan menurut Quran?

Dikarenakan Indonesia bukan negara Islam, maka tidak ada pembeda dari sisi agama. Siapa pun yang lahir di Indonesia, tinggal di Indonesia, dan orang asing sekalipun yang sudah sekian tahun tinggal di Indonesia kemudian memilih untuk pindah kewarganegaraan, itulah warga negara Indonesia yang memiliki kewajiban menjaga keutuhan NKRI dan memiliki hak yang sudah diatur dalam Undang-undang.

Nah dengan begitu, maka siapa pun, asal warga negara Indonesia tulen, maka bisa menjadi seorang pemimpin. Sila lihat UUD 1945 Bab 3 Pasal 6 poin 1. Jadi, tidak ada permasalahan soal agama dalam memilih pemimpin di Indonesia ini. Namun tugas agama adalah menjadikan kitab suci sebagai sumber moralitas dalam memilih pemimpin.

Di dalam negara Pancasila yang tidak mengesampingkan peran Islam dan Al-Qurannya, yang kita butuhkan dalam memilih pemimpin ialah dengan melihat dan menafsir ulang ayat-ayat tentang kemanusiaan, keadilan, dan kesetaraan.

Pertimbangan berdasar dalil naqli memang harus diperlukan, tetapi jangan menghilangkan peran rasionalitas. Jangan sampai akal dikalahakan oleh teks, atau teks dikalahkan oleh akal. Untuk itu, keduanya harus sejalan dalam membangun peradaban.

Penafsiran teks suci tidak bisa hanya harafiyah tanpa melihat dinamika kehidupan sosial yang terus berubah. Maka, penafsiran yang dewasa ini dilakukan bersifat dinamis dan relatif. Dinamis artinya bergerak mengikuti tuntutan realitas; dan relatif berarti kebenarannya tidak bersifat absolut, tetapi berkaitan dengan konteks sosial tertentu.

Ayat tentang kesetaraan gender, bisa kita lihat dalam pembukaan (ayat 1) surat Annisa. Kemudian Al-Hujurat ayat 31 yang memberi kabar kalau kedudukan laki-laki dan perempuan adalah sama, yang menjadi pembeda hanyalah kualitas kiprahnya.

Kemudian Tuhan mengajarkan kepada kita soal kemanusiaan (QS. Al-Israa ayat 70). Dia tidak membeda-bedakan anak cucu Adam, siapa pun akan diberi rizki tanpa melihat jenis kelamin. Hemat saya, seorang pemimpin haruslah seperti itu. Pemimpin yang memandang seluruh warganya sama. Tidak membeda-bedakan berdasar apa pun, apalagi agama.

Lalu, Tuhan mendidik kita (pemimpin) agar memberikan reward dan punishment kepada bawahan. Lihat An-Nahl: 97. Maka itu, pemimpin pun harus yang seperti itu. Kita harus memilih pemimpin yang sportif dalam memberikan penghargaan dan hukuman bagi warganya.

Dalam surat At-Taubah ayat 71, Tuhan memberi isyarat bahwa laki-laki dan perempuan harus bahu membahu dalam berbuat kebaikan. Dalam sebuah negara, antara pemerintah (baik pusat mau pun daerah) dan warganya harus sejalan dalam menjalankan berbagai kebaikan untuk kepentingan bersama.

Selanjutnya seperti yang sudah diisyaratkan oleh Tuhan dalam Al-Ahzab ayat 35, seorang pemimpin harus tidak pilih kasih dalam memberi balasan terhadap warganya; baik laki-laki mau pun perempuan, dan baik yang seagama atau pun yang berbeda agama. Pemimpin harus adil.

Jadi, dalam memilih pemimpin di negeri Pancasila ini, kita harus melihat Al-Quran sebagai sumber moralitas dan akal sebagai penyeimbang dalam memilih pemimpin yang adil dan kuat.

Wallahu al-hadi ilaa shirot al-mustaqim

Kafir yang Islami dan Islamis yang Kafir

 


Dewasa ini, kita sering sekali menemukan dan bahkan mendengar perkataan kafir yang kian hari semakin tak berdasar. Bahkan tak ayal, sesama Muslim pun sering terlontar kalimat-kalimat takfir yang membuat panas atmosfer keberagamaan kita.

Bukan cuma itu saja, kini kalimat takfir pun merajalela ke seluruh penjuru sebagai bentuk penolakan. Sebagian besar kaum Muslim seperti menunjukkan jiwa superioritasnya untuk menolak dan bahkan halal untuk mencerca kafir (yang bukan Islam).

Implikasi dari pengkafiran ialah diperbolehkannya membunuh seorang yang dianggap kafir itu. Padahal tidak semua yang kafir itu halal darahnya untuk dibunuh, dan tidak semua kafir dianggap musuh. Dan tidak semua juga kafir dialamatkan sebagai penghukuman bagi orang yang menolak ajaran Islam.

Secara bahasa kafir bermakna menutup atau mengubur. Jauh sebelum Islam datang, kata kafir dialamatkan kepada para petani. Hal itu karena pekerjaan petani yang senantiasa mengubur benih dan kemudian menutup dengan tanah agar tumbuh menjadi tanaman. Sila lihat QS. Al-Hadid ayat 20.

Lalu, kata kafir diambil oleh Islam (Ilmu Teologi) sebagai pembeda. Kafir diperuntukkan bagi mereka yang menolak ajaran Islam dan menutupi kebenaran versi Islam. Maka, di jaman Islam awal, kafir terbagi menjadi empat macam. Al-Muharribin, Adz-Dzimmah, Al-Mu'ahad, dan Al-Musta'man.

Al-Muharribin atau Kafir Harbi adalah golongan kafir yang menolak ajaran Islam dan menutup-nutupi kebenaran yang sudah dibawa oleh Rasulullah. Mereka adalah yang menyerang kaum Muslimin di jaman Rasulullah saw. dan wajib hukumnya bagi kaum Muslimin untuk memerangi mereka.

Sementara Adz-Dzimmah atau Kafir Dzimmi ialah mereka yang membayar pajak (jizyah) di masa kepemimpinan Islam. Mereka berhak mendapatkan perlindungan dari kaum Muslimin.

Sedangkan orang kafir yang memiliki kesepakatan damai dengan kaum Muslimin untuk tidak berperang dalam kurun waktu yang sudah disepakati. Mereka tidak membantu musuh yang menyerang Islam dan juga tidak mencela Islam. Mereka dinamakan Kafir Al-Mu'ahad. Kafir macam ini tertera dalam QS. At-Taubah ayat 4.

Kemudian Kafir Al-Musta'man, yakni golongan kafir yang mendapatkan jaminan perlindungan keamanan dari kaum Muslimin.

Selain kafir yang sudah ditulis di atas, juga ada beberapa kategori kafir yang harus kita ketahui, agar tak sembarang mengalamatkan kafir kepada siapa pun.

Kafir atas Tauhid ialah mereka yang menolak bahwa Tuhan itu Satu. Namun yang perlu digarisbawahi adalah setiap agama pasti memiliki konsep bahwa ada sosok Tuhan yang transenden, sekalipun dalam ajaran keagamaannya terdapat tuhan-tuhan selain Tuhan yang Satu. Bahkan, para bijak bestari pun berpendapat bahwa Tuhan itu Satu, tetapi orang bijak menyebut-Nya dengan banyak nama.

Menurut Emha Ainun Nadjib, Tauhid bukan berarti mengesakan Tuhan, karena Dia sudah Esa dengan sendirinya. Makna Tauhid yang sebenarnya ialah menomorsatukan Tuhan dalam keseharian.

Selanjutnya adalah Kafir atas segala nikmat yang Tuhan beri. Ini merupakan perjalanan spiritual manusia, apa pun agamanya, bahwa kristalisasi dari Ketauhidan ialah melalui pensyukuran kepada Tuhan yang memberi nikmat. Entah siapa pun nama Tuhan yang menjadi panggilan (berbeda) di setiap agama.

Akhir-akhir ini, kita dihebohkan dengan larangan memilih pemimpin kafir secara teologis. Yakni, yang menolak konsep teologi yang terdapat dalam Islam. Penafsir dadakan pun dengan seenaknya menafsirkan ayat al-Quran yang katanya Tuhan melarang kita memilih pemimpin kafir.

Imam Ali pernah menyatakan bahwa Pemimpin kafir yang kuat (adil) lebih baik, daripada pemimpin Muslim tapi lemah. Artinya, pemimpin kafir yang kuat itu, kekafirannya hanya untuk dirinya sendiri, sedang keadilan atau kekuatannya untuk seluruh warganya. Sementara pemimpin Muslim yang lemah, keislamannya hanya untuk dirinya sendiri, tetapi akan hancur sebuah negeri ketika ia tidak mampu bersikap adil atau lemah untuk mengurusi warganya.

Selain itu, ada hal yang sangat mencengangkan ketika seorang anggota DPD dari DKI Jakarta melaporkan Zaskia Gotik yang dianggap menghina lambang negara, sementara ia menolak Basuki Tjahaya Purnama atau Ahok sebagai pemimpin karena dianggap kafir secara teologis. Padahal kepemimpinan Ahok sudah sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945. Dan pendiri bangsa Indonesia, tidak menafikan unsur keislaman dalam meramu Pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar negara.

Maka, anggota DPD itu bisa saja dikatakan sebagai kafir secara konstitusional. Karena menutup kebenaran yang terdapat dalam UUD 1945 dan Pancasila. Sekali lagi ditegaskan bahwa dalam meramu dasar negara, para pendiri bangsa kita tidak menyingkirkan unsur keislaman.

Dan Ahok yang sudah bekerja untuk masyarakat Jakarta adalah contoh pemimpin kafir (secara teologis) yang kuat. Karena dalam beberapa hal, ada unsur keislaman yang ia terapkan dalam menata kota Jakarta. Maka, bisa kita sebut bahwa Ahok adalah Kafir yang Islami. Sementara Anggota DPD itu bisa saja kita sebut sebagai Islamis yang Kafir.

Untuk kita yang tinggal di Indonesia, namun mengingkari dan menutup diri dari segala kenikmatan yang Tuhan berikan dalam negeri ini, juga bisa saja disebut sebagai kafir atas nikmat. Sila lihat QS. Al-Baqarah ayat 152.

Tuhan sendiri pun mengkonfirmasi soal kekafiran atas nikmat itu. Bahwa siapa yang bersyukur, nikmat akan ditambah, dan siapa yang tidak bersyukur (kufur) ada punishment Tuhan yang akan turun; yakni adzab yang pedih.

Jadi, jangan terburu-buru mengalamatkan hukum kafir kepada siapa pun, termasuk mereka yang dianggap kafir secara teologis. Karena kita sebagai Muslim pun memiliki kecenderungan sebagai kafir.

Fenomena Hizbut Tahrir yang seperti tidak mensyukuri keberadaan Indonesia sebagai sebuah negara-bangsa, bisa kita sebut mereka itu kafir nikmat. Dan aparat kepolisian serta aparatur negara yang membiarkan Hizbut Tahrir tetap bertahan seperti membiarkan kekafiran tetap berlangsung di negeri yang Qurani ini.

Aparat kepolisian dan aparatur negara yang begitu, bisa kita sebut sebagai golongan kafir secara konstitusi.

Di negara yang bukan berdasar pada ideologi agama dan ideologi sekuler ini, tidak menjadikan klaim kafir sebagai pembeda. Bahwa warga negara adalah yang setia mempertahankan kedaulatan negara dan memiliki jiwa nasionalisme. Nasionalisme yang dimaksud oleh Ir. Soekarno ialah Nasionalisme yang tidak chauvinisme.

Jadi, anda termasuk dalam kategori kafir yang seperti apa?

Ayo seruput kopi dulu, karena kopi adalah kenikmatan, maka saya tidak mengingkari kebenaran atas nikmat yang Tuhan beri dalam secangkir kopi. :)

Indonesia bukan Negara Agama, tetapi Negeri yang Qurani

Indonesia bukan Negara Agama, tetapi Negeri yang Qurani

Dalam beberapa kesempatan, di hadapan teman-teman, saya sering berkelakar tentang sesuatu yang barangkali dianggap tak etis. "Saya ingin merevisi al-Quran" -begitu saya katakan ke teman-teman dengan nada yang tidak terlalu serius. Praktis, membuat teman-teman tercengang dan ada pula yang menghakimi saya, tentu dengan nada yang tidak terlalu serius juga. Sebagian lagi sepakat dengan saya.

Maksud saya bukan menghapus ayat-ayat al-Quran dan menggantinya dengan kitab suci baru yang berbeda sama sekali dengan al-Quran. Memang, al-Quran yang saat ini kita tahu adalah bentuk modifikasi baru yang tidak dilakukan oleh Nabi Muhammad. Tapi bukan itu yang sedang menjadi pembahasan dalam tulisan ini.

Saya cuma ingin merevisi al-Quran dalam hal penafsiran dan penggunaan ayat-ayatnya. Sebagai contoh, di dalam al-Quran tidak ada sama sekali ayat yang melarang perbudakan. Justru anjuran untuk memelihara budak dan menggauli budak di luar nikah diperbolehkan dalam al-Quran. Kalau penafsiran kita terhadap kitab suci terakhir itu hanya secara harafiyah, perbudakan pun akan terus berlaku sampai sekarang. Atau, kalau kita mau melakukan perbudakan itu, niscaya kita menyetujui keberadaan ISIS yang membolehkan perbudakan. Sementara ISIS adalah organisasi yang terlarang di negeri yang damai ini.

Di dalam tradisi Ahlussunnah Wal Jamaah, menafsirkan al-Quran itu harus sejalan dengan akal. Kalau ada ayat yang tidak bisa terjangkau oleh akal, maka akal tersebut harus tunduk terhadap wahyu atau ayat. Menurut Muhammad Abduh, salah seorang mufassir, ayat-ayat al-Quran itu sejalan dengan akal, kalau ada ayat yang tidak sejalan dengan akal, pahamilah itu sebagai majas atau kiasan.

Ayat al-Quran itu sifatnya lentur, siapa pun bisa menafsirkan tanpa harus merujuk pada ulama-ulama ahli tafsir. Karena sifatnya yang seperti itu, maka saya akan merevisi al-Quran dengan mengambil beberapa ayat yang sesuai dengan konteks kekinian. Meninggalkan sebagian ayat di dalam al-Quran tidak lantas melunturkan keislaman dan keimanan di dalam diri. Saya meyakini misalnya, poligami itu perintah dari Tuhan. Tapi tidak menjadi persoalan ketika saya tidak memilih poligami sebagai jalan hidup. Begitu pun soal perbudakan.

Tak sedikit pula di dalam al-Quran terdapat ayat-ayat yang menganjurkan umat Islam untuk berperang dengan yang bukan Islam. Atau memerangi orang yang keluar dari institusi agama Islam. Hal-hal seperti itu, saya maknai sebagai kejadian yang pernah terjadi dan menjadi sejarah dari Islam sendiri. Karena dalam hal turunnya wahyu, ketika itu, terlebih dahulu ada kejadian yang berlangsung, dan wahyu itu sebagai keterangan atau solusi dari kejadian atau peristiwa yang terjadi. Kalau ayat-ayat itu masih diamalkan, tentu akan mencederai peradaban yang sedang berkembang.

Menurut saya, kitab suci apa pun, termasuk al-Quran diturunkan sebagai pedoman hidup bagi seluruh umat manusia. Maka, revisi ayat al-Quran perlu dilakukan. Istilah revisi yang saya maksud adalah mengamalkan ayat-ayat yang cenderung memberikan kedamaian dan ketenteraman bagi umat manusia.

Dalam perjalanan keberagamaan yang saya rasakan, kedua orang tua saya sering menyatakan dan memberi nasihat ketika kita selesai mengaji atau membaca al-Quran merasakan kedamaian dalam jiwa, maka itulah substansi dari kitab suci. Tetapi ketika selesai mengaji atau membaca al-Quran hati kita justru menyimpan kedengkian dan permusuhan kepada orang lain, apalagi misalnya permusuhan itu dikuatkan oleh beberapa ayat al-Quran, maka ada yang salah dari cara mengaji dan membaca al-Quran yang dilakukan. Membaca dan mengaji yang dimaksud adalah menadabburi tiap-tiap ayat yang kita baca.

Nah, Indonesia akhir-akhir ini sering dihebohkan dengan aksi radikalisme dan terorisme. Para pelaku teror yang mengatasnamakan agama itu berawal dari gaya menafsirkan ayat yang hanya secara harafiyah tanpa melihat konteks yang ada. ISIS misalnya, organisasi trans-nasional itu menggaet orang-orang sedunia untuk sejalan dengan mereka. Hal itu dilakukan berdasar penafsirannya terhadap ayat-ayat yang terdapat di kitab suci. Bisa dibilang, perilaku ISIS seperti membawa peradaban Islam mundur jauh sampai ke abad ketujuh.

Di dalam litetatur Islam, ada dua kategori negara; Dar al-Harb (Negara Kafir) dan Dar al-Islam (Negara Islam). Sementara Indonesia berada di antara keduanya, bukan negara kafir juga bukan negara Islam. Indonesia adalah negara yang mengakui keberadaan Tuhan, dan karenanya Indonesia menerima keberadaan semua agama. Maka, disebutlah Indonesia ini sebagai Darussalam (Negara Damai) yang disepakati oleh ulama-ulama Indonesia pada Muktamar NU di Banjarmasin tahun 1936. Karena pada kenyataannya, Indonesia adalah negara yang berupaya memberikan kedamaian bagi setiap agama.

Di tengah maraknya fenomena ujaran kebencian atas nama agama, saya mengimbau agar kita kembali kepada al-Quran dan membaca serta menadabburi ayat-ayat yang sesuai dengan konteks keindonesiaan. Ini dilakukan dalam rangka membendung gerakan takfir. Hal ini dilakukan juga semata-mata karena kecintaan terhadap Indonesia yang Darussalam itu. Saya tetap mencintai Indonesia dengan keragaman tanpa penyeragaman.

Karena menurut al-Quran sendiri keragaman adalah sesuatu yang sudah given, hukum alam, takdir ilahi, atau sunnatullah (QS. Al-Ahzab: 62). Maka, penolakan terhadap keragaman yang ada termasuk perbuatan yang menodai ketetapan Tuhan. Ayat semacam ini tentu berbeda dengan ayat-ayat tentang peperangan yang ditafsir oleh ISIS. 

Indonesia menjadi tempat yang indah karena perbedaan yang melimpah. Dan perbedaan-perbedaan yang ada diyakini oleh orang Indonesia sebagai anugerah dari Tuhan Yang Mahakuasa. Karena tanda-tanda kekuasaan Tuhan itu diantaranya menciptakan kita dengan beragam bahasa dan warna kulit (QS. Arrum: 22). Diskriminasi terhadap perbedaan bahasa dan warna kulit merupakan pengerdilan kekuasaan Tuhan. Maka, sebagian besar orang Indonesia memilih untuk menoleransi segala yang ada sebagai bentuk kebertuhanan mereka.

Selain Tuhan pencipta langit dan bumi itu; Tuhan Yang Tunggal, tidak ada satu wujud pun yang betul-betul menyerupai-Nya (QS. As-Syuro: 11). Tidak ada kemiripan dalam penciptaan manusia, anak kembar sekalipun, merupakan tanda bahwa Tuhan Yang Ahad itu adalah Tunggal dan Kuasa atas segala sesuatu.

Aksi saling pentung, pemaksaan dalam hal beragama, tidak menerima kalau ada yang berbeda, teriak dengan menggunakan nama Tuhan untuk melegitimasi tindakan anarki, sama sekali tidak mencerminkan keberimanan diri kepada Tuhan. Sementara Tuhan itu tidak pernah memaksakan kehendak. Dalam QS. Yunus ayat 99, Tuhan tidak pernah menggunakan Kemahakuasaannya yang mutlak itu untuk memaksakan agar semua manusia di muka bumi ini beriman. Jadi, bagaimana dengan mereka yang kerjanya selalu memaksa agar sama, padahal Tuhan tak pernah memaksa? Hal serupa juga terdapat dalam QS. Al-Kahfi ayat 29.

Tuhan pun melarang utusan-Nya melakukan pemaksaan, karena terutusnya seorang Nabi bukan sebagai diktator tapi sebagai pemberi peringatan (fadzakkir innamaa anta mudzakkir, lasta 'alaihim bimushoitir), memberi peringatan tentu berbeda dengan memaksa, apalagi dengan melakukan tindak kekerasan atau kekejaman. Larangan Tuhan terhadap Nabi itu juga dimuat dalam redaksi QS. Al-Ahzab ayat 45. Bahwa seorang utusan itu tugasnya hanya tiga, memberi kesaksian, memberi kabar, dan memberi peringatan.

Kalau Nabi saja dilarang oleh Tuhan melakukan pemaksaan, apalagi kepada kita yang hanya seorang manusia biasa. Maka lebih spesifik, dalam surat Al-An'am ayat 108, Tuhan seperti melarang kita untuk saling menghujat dan melempar kebencian kepada sesembahan umat lain. Karena kalau kita menghujat, akan timbul hujatan-hujatan yang baru tanpa berdasar pada ilmu pengetahuan.

Penciptaan dalam bentuk yang beragam adalah sebuah kesengajaan Tuhan dalam menguji kita untuk saling berlomba dalam kebaikan (QS. Al-Maidah: 48 & Al-Baqarah: 148). Dan perlombaan itu adalah bentuk kesyukuran kita terhadap Tuhan yang telah mempersilakan kita untuk saling mengenal satu sama lain (QS. Al-Hujurat: 148). Maka, ayo berkompetisi dalam kebaikan dan kenalilah semua hal yang berbeda dengan kita, agar tidak ada lagi prasangka buruk yang timbul akibat keengganan kita untuk saling mengenal lebih dalam lagi.

Dari uraian beberapa ayat al-Quran yang sejalan dengan konteks keindonesiaan yang sangat beragam ini, menunjukkan bahwa Indonesia memang bukan Negara Agama, tetapi Negeri yang Qurani. Adalah sekelompok orang yang jahat dan perbuatan keji yang menyatakan bahwa negeri ini tidak sesuai dengan ketentuan Tuhan Yang Mahatunggal itu.


Wallahu a'lam.

Kerukunan atau Keracunan Beragama?


***

Rwaneka dhatu winuwus Buddha Wiswa
Bhinneki rakwa ring apan kena parwanosen
Mangka ng Jinatwa kalawan Siwatatwa tunggal
Bhinneka tunggal ika tan hana dharma mangrwa.

Konon Buddha dan Siwa merupakan dua zat yang berbeda
Mereka memang berbeda, tetapi bagaimanakah bisa dikenali?
Sebab kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa adalah tunggal
Terpecah belahlah itu, tetapi tetap satu juga, tidak ada kebenaran yang mendua.

***


Tulisan di atas adalah syair yang dibuat oleh Mpu Tantular dalam Kitab Sutasoma. Syair itu merupakan bentuk upaya Mpu Tantular dalam meredam konflik sektarian; kala itu, jauh sekali sebelum republik ini merdeka secara politik.

Dalam konteks kekinian, syair tersebut dapat kita tafsir ulang bahwa si Empunya menyadari kalau segala sesuatu yang ada di dunia memang tampak berbeda, tetapi asal dari semua itu adalah Satu. Sebab Mpu Tantular tentu meyakini bahwa Tuhan merupakan sumber kebenaran, sementara kebenaran kita hanya secuil saja dari kebenaran yang berada di tangan-Nya.

Oleh karenanya, Mpu Tantular dalam syairnya, seperti memberi isyarat kepada kita umat beragama dalam menyikapi beragam perbedaan; baik intra mau pun antaragama. Sebab untuk mencapai sebuah ketenteraman dan kedamaian dalam perbedaan, kita harus mencari titik persamaannya. Dan titik persamaan yang sangat jelas dalam konteks umat beragama adalah bahwa kita sama-sama makhluk dari Sang Khalik. Praksisnya, penghambaan makhluk pada Khalik terlihat baik ketika moralitas dan akhlak juga baik di kehidupan sehari-hari.

Tidak dapat dipungkiri bahwa di setiap agama, baik "agama langit" atau "agama bumi", dapat kita temui pelajaran mengenai Khalik, Makhluk, dan Akhlak. Karena kesemuanya itu saling berkaitan. Celakalah seorang umat beragama yang mengabaikan ajaran berantai itu, sekalipun hanya abai terhadap satu dari ketiganya.

Dapat dikatakan, kalau ada perilaku umat beragama yang tidak mencerminkan Khalik, Makhluk, dan Akhlak, mereka tentu cenderung berbuat kerusakan serta lalai terhadap substansi risalah keberagamaan yang seharusnya disampaikan kepada umat manusia, dengan moralitas yang tinggi.

Berbicara kerukunan umat beragama di Indonesia, seperti membawa kita pada perumusan Pancasila, yang secara politik dijadikan ideologi negara. Selain menjadi tameng politik, Pancasila juga merupakan perjalanan jati diri bangsa sejak dulu dan harus terus menerus dikontekstualisasikan sampai saat ini agar ajaran moral dalam Pancasila republik ini tetap relevan, sebagai pelindung negeri dari marabahaya.

Dalam literatur Buddha misalnya, kita dapat melihat Pancasila sebagai sumber kebenaran dan moralitas kebangsaan. Pertama, Panatipata Veramani Sikkhapadam Samadiyami (Jangan mencabut nyawa setiap yang hidup) atau berarti dilarang membunuh. Kedua, Adinnadana Veramani Sikkhapadam Samadiyami (Jangan mengambil barang yang tidak diberikan) atau dilarang mencuri. Ketiga, Kameshu Micchacara Veramani Sikkhapadam Samadiyami (Jangan berhubungan badan dengan yang tidak sah) dilarang berzina. Keempat, Musawada Veramani Sikkhapadam Samadiyami (Jangan berkata palsu) atau dilarang berdusta. Kelima, Sura Merayamajja Pamadatta Veramani Sikkhapadam Samadiyami (Jangan meminum minuman yang menghilangkan pikiran) atau dilarang minum-minuman keras.

Atau dalam literatur jawa, kita juga dapat melihat Pancasila dalam sesuatu yang harus dijauhi oleh manusia sebagai umat beragama, yaitu "Ma Lima"; Mateni atau membunuh, Maleng atau mencuri, Madon yang artinya berzina, Madat yaitu pecandu narkoba, dan Maen yang berarti ikut serta dalam perjudian.

Pada Agama Jawa atau Kejawen dalam ajarannya, yang terdapat di Serat Wedatama, bahwa manusia Jawa harus menjalankan empat macam sembah untuk mencapai tingkat kemuliaan atau Nafsu Muthmainnah. Keempat sembah itu diantaranya; sembah raga, sembah cipta, sembah jiwa, dan sembah rasa. Ketika manusia Jawa sudah mampu menyembah rasa, maka disitulah ia sudah mampu mengendalikan dirinya, sehingga moralitas tertinggi adalah tempat pekertinya.

Setelah melakukan perjalanan untuk terus memperbarui kebenaran yang ada di hati dan pikiran, saya menemukan ternyata ada kesamaan makna antara Pancasila dan Rukun Islam.

Ketuhanan Yang Maha Esa sama dengan makna Syahadat, yaitu ajaran Tauhid. Itu pertanda kalau Indonesia merupakan negara yang berketuhanan, sekalipun landasannya bukan atas dasar agama.

Kemanusiaan yang Adil dan Beradab juga rupanya memiliki kesamaan makna dengan Sholat. Bahwa sebenarnya sholat itu adalah pendidikan untuk menjauhi diri dari kebiadaban dan ketidakadilan. Sebab sholat mengantarkan kita pada keberadaban kemanusiaan.

Puasa dalam Rukun Islam serupa dengan Persatuan Indonesia. Kebersatuan jiwa-jiwa yang berpencar akan terasa ketika bulan puasa tiba. Terlebih ketika lebaran sudah datang. Hikmah dari bulan puasa yang bisa dipetik adalah kebaikan bersama dalam hal rezeki.

Sementara Zakat dalam Rukun Islam semakna dengan sila keempat dalam Pancasila. Roda perekonomian akan stabil ketika tidak adanya penimbunan harta. Akan indah saat derma orang kaya selalu berlimpah untuk orang-orang yang membutuhkan. Pendermaan itu dilakukan secara khidmat dan penuh kebaikan.

Terakhir, Sila Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia dan pergi Haji bila mampu adalah tujuan dari poin keempat di atas tadi. Kalau tujuan yang kita dapat seperti tidak mendapatkan maknanya, perlu kiranya kita mengoreksi kembali empat poin sebelumnya. 

Di setiap kitab suci agama-agama dapat kita temukan yang disebut Kaidah Emas. Dalam kalimat negatif berseru: "Janganlah engkau berbuat sesuatu kepada orang lain yang engkau sendiri tidak ingin diperlakukan seperti itu!" Sementara dalam kalimat positif, seruannya: "Cintailah Sesamamu seperti engkau mencintai dirimu sendiri".

Namun pada kenyataannya di lapangan, sebagian umat beragama di Indonesia seperti masih merasa nyaman pada keegoisan diri sendiri. Sementara kerukunan antar dan intra umat beragama seperti hanya menjadi wacana yang utopis. Hal itu dikarenakan sikap dari setiap umat berbeda-beda, sehingga muncul pandangan yang beragam dari masing-masing umat kepada mereka yang berbeda secara keyakinan.

Ada beberapa sikap umat beragama yang harus diketahui. Yaitu, Eksklusif; menolak yang lain. Sikap eksklusif diantaranya; eksklusif akomodatif dan eksklusif konfrontatif. Ada pula yang bersikap Inklusif; menerima keberadaan yang lain, tapi tetap menganggap diri sebagai pusat kebenaran, sedangkan kebenaran yang lain hanyalah versi yang lebih rendah dari kebenaran sendiri, ini yang disebut "kebenaran vertikal".

Selain itu juga ada yang bersikap Pluralis, yakni kebenaran horizontal, yang memandang semua kebenaran sebagai entitas-entitas yang setara. Selain itu juga ada sikap yang disebut "indefferent tolerance" yaitu sikap yang tidak begitu peduli terhadap keberadaan orang yang berbeda.

Indefferent tolerance itu adalah sikap mayoritas umat beragama di Indonesia. Sementara sikap eksklusif akomodatif (menganggap yang lain kafir tapi dapat menerima secara sosial) juga masih banyak kita temui di lapangan.

Bersyukur-lah Indonesia karena hanya sedikit saja umat beragama yang bersifat Eksklusif Konfrontatif (tidak menerima sama sekali keberadaan yang lain, dan berpotensi untuk menyerang umat yang berbeda agama atau keyakinan), sekalipun yang bersikap Pluralis jumlahnya tidak banyak.

Demi kerukunan umat beragama, Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Dr. Abdul Mu'ti menyarankan agar umat beragama di Indonesia jangan melulu mengimpor masalah atau konflik sektarian yang terjadi di luar negeri, melainkan harus mengekspor segala hal baik yang terdapat di negeri sendiri; agar dunia tahu bahwa kekuatan Indonesia berada pada jiwa damai dan rasa tenggang rasanya.

Harapan saya, semoga kita dapat menciptakan kerukunan beragama, bukan keracunan beragama yang membuat kita seperti mabuk dan hilang akal sampai lupa kalau kita hidup dengan manusia yang lain dan berbeda.

Wallahu A'lam.

Saipul Jamil dan kedewasaan kita



Sebagian besar masyarakat di Indonesia sangat gemar berkomentar, apalagi komentar yang sifatnya negatif. Sebenarnya komentar-komentar seputar apa pun itu, adalah dampak dari "freedom of speech" atau "freedom of expression". Dalam negara yang demokratis, kebebasan mengemukakan pendapat dan kebebasan berekspresi sangat dihormati. Namun, akan berubah menjadi permasalahan yang kronis ketika kebebasan-kebebasan itu tidak dibarengi dengan tingkat kecerdasan.

Indonesia adalah salah satu negara yang belum lama melepaskan diri dari cengkraman si tangan besi. Selepas runtuhnya kekuasaan Soeharto, masyarakat Indonesia ibarat narapidana yang baru menghirup udara kebebasan. Ada dua kemungkinan ketika narapidana keluar dari jeruji besi; perilakunya menjadi lebih baik lagi, atau malah sebaliknya, justru ia semakin beringas dalam berperilaku dan mengundang kehancuran berikutnya yang lebih dahsyat lagi.

Kran kebebasan yang dibuka oleh tokoh-tokoh reformis bersama aktivis tempo dulu itu kini membuka ruang bagi siapa pun untuk bertindak. Namun yang perlu diingat adalah bahwa tujuan utama Indonesia didirikan secara politik, bukan untuk memperjuangkan kebebasan, bukan untuk menjadi negara yang seperti tak berarah. Melindungi seluruh tumpah darah, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan menciptakan kedamaian; merupakan tujuan utama dari berdirinya Republik ini.

Pada tulisan kali ini, saya tidak mendukung dan tidak pula menjadi orang yang ikut menghakimi perbuatan Saipul Jamil. Saya juga tidak mempermasalahkan orang-orang yang menghakimi Saipul Jamil. Silakan saja, karena itu adalah bagian dari kebebasan yang sudah dianugrahi untuk kita semua. Kalau saya melarang komentar-komentar yang menghujani Saipul Jamil, itu artinya saya sudah mencederai kebebasan itu sendiri. Saya juga tidak akan melukai pendukung atau penggemar penyanyi dangdut itu, karena saya memang enggan memberi dukungan kepada sebagian besar orang yang larut dalam fanatisme keduniaan. Berkomentar apa pun dipersilakan di negeri ini, tapi kalau sudah mengumbar kebencian dan menghujat sana-sini, itu juga bentuk pencederaan terhadap kebebasan.

Di tengah maraknya isu LGBT, sudah dua kali ada selebriti yang terkena kasus yang sepertinya mirip dengan istilah LGBT. Indra Bekti misalnya, yang digosipkan telah melakukan tindak asusila terhadap kliennya. Namun kasus itu meredup setelah beberapa kali Indra Bekti memberikan klarifikasi kepada masyarakat. Lalu, belakangan ini muncul berita bahwa Saipul Jamil melakukan pencabulan terhadap anak berusia 17 tahun.

Mari kita fokus ke Saipul Jamil. Terlebih lagi, kita fokuskan pembahasan ini kepada komentar-komentar pedas masyarakat pada umumnya.

Saipul Jamil yang selama ini dikenal sebagai orang yang taat beribadah, dan ketaatan dalam beribadah dinilai mampu menjauhi diri dari perbuatan keji dan kemunkaran, merupakan dampak dari tayangan televisi yang seperti memberikan rangsangan bagi masyarakat untuk menuhankan dan mengibliskan mantan suami almh. Virginia itu.

Sebagian besar orang menyukai Saipul Jamil karena citranya yang agamais itu, bahkan sampai tidak percaya dan membela mati-matian saat Saipul Jamil tersandung kasus pencabulan. Namun ada juga yang awalnya menyukai sosok pedangdut itu karena citra alimnya, berubah menjadi kekecewaan yang berdampak pada cibiran-cibiran pedas, dan komentar yang tidak manusiawi pun terlontar untuk juri D'Academy Indosiar itu.

Lalu, apa sebenarnya yang menjangkiti Saipul Jamil? Apakah ia memiliki orientasi seksual yang berbeda? Atau mungkinkah dirinya seorang Pedofilia? Mungkin juga, benar yang ia katakan di media, hanya khilaf.

Anda boleh berkomentar apa pun mengenai public figur yang agak "konyol" itu, tapi kalau komentar anda sudah mengarah pada "hate speech" maka berhati-hatilah, karena ujaran kebencian adalah awal dari kekerasan dan kekejaman.

Begini, yang perlu dicatat adalah bahwa Gay atau sebut saja LGBT tentu berbeda dengan Pedofilia. Lesbian, Gay, Bisex, dan Transgender tidak akan menimbulkan permasalahan secuil pun ketika tidak ada penolakan dari salah satu pihak, karena perbuatannya berdasar atas perasaan suka sama suka. Sedangkan pedofilia adalah perbuatan yang tentu merugikan pihak lain, karena pelaku pedofil melibatkan anak di bawah umur untuk melampiaskan hasratnya.

Seburuk apa pun LGBT atas penilaian kita di hadapan sosial, mereka tetap melakukannya tidak dengan paksaan. Sementara Pedofil, ada unsur paksaan dan bahkan dapat menimbulkan trauma bagi pihak yang merasa dirugikan. Sedangkan LGBT, tidak. Atau, mungkin saja trauma terhadap lawan jenis merupakan awal dari seseorang memiliki orientasi seksual yang berbeda. Seseorang yang memiliki kecenderungan pedofilia, tidak memandang jenis kelamin untuk menuntaskan hasrat seksnya, dan orientasi seksnya cenderung kepada anak di bawah umur.

Kita tidak pernah merasakan bagaimana perasaan Saipul Jamil ketika dua kali gagal membangun harmoni rumah tangga. Terlebih ketika ia rela menduda karena barangkali belum bisa "move on" dari mendiang istrinya yang meninggal akibat kelalaian Saipul Jamil dalam berkendara. Atau bisa jadi, ia seperti trauma untuk kembali membangun rumah tangga dengan yang lain. Kita tidak pernah tahu, karena pengalaman pengetahuan kita tentang kehidupan Saipul Jamil masih sangat minim.

Mungkin saja benar, yang ia katakan pada media, bahwa kelakuannya itu adalah karena dirinya khilaf. Khilaf karena sudah lama tidak "bergaul" dengan pasangannya sendiri. Barangkali saat itu, hasrat seksnya sedang meletup-letup dan akhirnya terjadilah hal-hal yang kita sebut dengan tindak asusila.

Lalu, bagaimana dengan anggapan bahwa Saipul Jamil adalah orang yang taat beribadah dan ia merusak agama karena perbuatannya? Betulkah perbuatan buruk yang dilakukan oleh manusia merupakan perbuatan yang dapat merusak agama?

Begini, agama tidak akan pernah rusak sepanjang zaman, karena agama justru menjadi jalan perbaikan dan kebaikan. Agama juga tidak akan hancur secara esensi, selama agama tidak dijadikan sebagai alat untuk mencapai kepuasan dunia. Dan manusia pasti memiliki kecenderungan untuk berbuat keburukan dan kecenderungan untuk melakukan kebaikan. Bisa dikatakan, bahwa perbuatan Saipul Jamil itu tidak ada kaitannya dengan merusak agama, atau justifikasi bahwa dirinya adalah manusia yang hina.

Pedofilia memang suatu perbuatan yang tidak manusiawi, karena akan menimbulkan kerusakan. Namun pelaku pedofil tidak selalu berbuat demikian, sampai dianggap tidak ada celah bagi pelaku pedofil untuk berbuat baik.

Agama adalah jalan suci, sekotor apa pun perbuatan manusia tidak akan mampu menghilangkan kesucian dari agama. Dan sesuci apa pun manusia yang sudah berada di dalam kesucian agama sebagai jalan suci, tetap memiliki kecenderungan untuk berbuat keburukan.

Jadi, yang harus ditekankan untuk kita sebagai manusia adalah berhenti mengumbar kebencian terhadap kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh manusia lain. Tak perlu membawa agama sebagai upaya untuk mencapai ketenaran dan kepuasan dunia.

Maka, dalam kehidupan yang serba dinamis ini diperlukan adanya kedewasaan dalam menyikapi beragam peristiwa yang terjadi. Bahwa di dalam setiap peristiwa yang terjadi, pasti terdapat kemungkinan-kemungkinan yang tersembunyi di dasar keterasingan.


Wallahu a'lam.

Ayo, pilih Pemimpin Shaleh!


Dalam tulisan ini, aku tidak bermaksud untuk membuat perpecahan di antara kita. Justru dengan hadirnya tulisan ini, kita mampu mempersatukan kebaikan yang akan terwujud demi keberlangsungan peradaban yang lebih beradab. Keberadaan kita saat ini, sudah menjadi sesuatu yang terkotak-kotakkan. Bahkan kita seperti takut ketika mencoba keluar dari kotak kenyamanan kita saat ini.

Kita, dan khususnya diriku pribadi mengimani bahwa Tuhan yang Tunggal itu memang bermaksud membuat kita terkotak-kotakkan. Tapi yang harus digarisbawahi adalah, Tuhan memberikan kesempatan untuk kita sebagai manusia agar menjalin hubungan yang baik dengan sesuatu yang berada di luar dari kotak kita sendiri.

Pada awalnya, Tuhan hanya menurunkan wahyu kepada manusia yang dianggap mumpuni dan bisa menyampaikan wahyu itu dengan baik kepada semua manusia. Kemudian, agar wahyu Tuhan itu tersusun rapi dan bisa hidup sepanjang masa, dibuatlah pembukuan oleh manusia itu sendiri; Kitab Suci namanya. Masing-masing dari kitab suci itu, kemudian dapat saling melengkapi dan menyempurnakan. Meskipun begitu, tetap ada unsur kebaikan yang tertera dalam kitab suci, agar tujuannya tak menyimpang dari asal.

Di dalam setiap kitab suci yang telah tersusun rapi itu, terdapat unsur kebaikan yang harus menjadi pedoman untuk semua manusia. Hal tersebut tidak bisa dinafikan begitu saja, karena kitab suci merupakan sesuatu yang harus diyakini karena diyakini bahwa di dalamnya merupakan keaslian dari firman Tuhan. Namun, oleh karena firman Tuhan dalam kitab suci itu banyak sekali kalimat yang mengandung majas atau kiasan, diperlukanlah penafsiran yang baik dari mufassirin di seluruh dunia. Pun, karena di dalam kitab suci itu sebagian besar adalah sejarah dan kisah masalalu, bahkan tak jarang kisah di dalam kitab suci itu juga telah menjadi hukum di masalalu. Maka itu, para mufassir menempatkan konteks di atas teks dalam menafsirkan kitab suci. Hal itu dikarenakan kehidupan manusia di dunia yang sangat dinamis, dan perubahan yang terjadi adalah sebuah keniscayaan, maka bukan tidak mungkin banyak dari kalangan ahli tafsir yang mencoba memperbarui makna dari setiap firman Tuhan di dalam kitab suci. Memperbarui makna atau penafsiran yang disesuaikan oleh keadaan zaman yang terus berubah merupakan sikap yang bijak dan baik. Karena mungkin saja, ketika menafsirkan firman Tuhan hanya berdasar pada teks tanpa melihat konteks dan perubahan yang terus berkembang, agama hanya akan menjadi barang yang usang. Itulah alasan mengapa agama hingga saat ini dapat bertahan. Menurutku, selain karena atas ijin Tuhan, yang membuat agama bertahan lama hingga ribuan tahun adalah karena para mufassir senantiasa mengartikan teks dengan mengikuti konteks yang terjadi.

Indonesia adalah salah satu bangunan negara dengan tidak menggunakan hukum agama, tetapi di dalamnya terdapat ruh agama yang menjadi bagian dari negara yang memiliki sebutan Bumi Pertiwi ini. Para pemuka agama, sebelum mendirikan negara ini, merumuskan bersama bagaimana hakikat keagamaan dalam sebuah negara. Kemudian penafsiran-penafsiran yang berkaitan dengan pendirian sebuah negara pun dilakukan. Artinya, para pemuka agama menafsirkan teks kitab suci itu benar-benar disesuaikan dengan keadaan dan situasi yang terjadi saat itu.

Dewasa ini, di sebuah negara yang terdapat ruh ketuhanan dan keagamaan ini, selalu diributkan oleh hal-hal yang seperti terkotak-kotakkan acapkali pemilihan umum diselenggarakan. Lebih menjadi perseteruan yang heboh ketika calon pemimpin ternyata tidak sesuai dengan kriteria yang terdapat di dalam kitab suci. Kita pun dihebohkan dengan firman-firman Tuhan yang menggambarkan bahwa Tuhan bersifat arogan dan bersikap seperti algojo. Maskulinitas yang menggambarkan keperkasaan Tuhan tak selamanya dapat dipercaya sebagai gambaran dari-Nya, sebab Dia juga memiliki sifat feminin; yang lembut dan penyayang.

Semua kitab suci agama-agama di dunia memang selalu terdapat firman Tuhan yang seolah mengistimewakan golongan atau agama tertentu. Tapi tak jarang kita membaca firman Tuhan yang menganjurkan untuk memberi kemaslahatan bagi umat manusia. Dari situlah, bermunculan tokoh-tokoh agama yang humanis, mereka menyerap ajaran dari manusia terdahulu yang mendapatkan mandat langsung dari Tuhan untuk menyampaikan risalah kebaikan kepada segenap manusia di muka bumi. Penafsiran pun terus berjalan, wahyu tetap mengalir, melalui manusia-manusia yang berpikir.

Dalam tradisi Islam misalnya, seorang tokoh atau pemimpin dalam suatu kelompok harus memenuhi kriteria empat sifat yang menjadi sifat permanen Nabi Muhammad; Jujur, serta dapat dipercaya; cerdas, serta dapat menyampaikan kecerdasannya dengan baik dan bermanfaat untuk semesta. Namun sayangnya, keempat sifat itu justru seperti menjadi hak paten bagi sebagian besar Muslim di Indonesia. Bahkan timbul anggapan bahwa seorang pemimpin di Indonesia, di mana pun wilayahnya, harus beragama Islam. Terlebih ketika terdapat firman Tuhan dalam al-Quran yang menyatakan seorang Muslim dilarang memilih pemimpin kafir atau non-Muslim, tapi di lain sisi, Tuhan mempersilakan untuk melakukan hubungan dengan orang-orang yang secara institusional bukan penganut agama Islam. Untuk mengetahui firman Tuhan yang disebut di atas, silakan dicari sendiri.

Pendapatku soal memilih pemimpin atau melakukan hubungan baik juga harus dengan dengan seorang Muslim, bukan kafir. Pemimpin pun, menurut hematku harus yang sesuai dengan sifat permanen Nabi Muhammad yang empat itu. Aku juga menolak berteman dan berpemimpin yang tidak shalih, apalagi yang selalu berbuat kerusakan sehingga tidak menimbulkan kemaslahatan bagi umat. Aku juga setuju kalau syariat Islam ditegakkan, dengan pertimbangan harus sesuai dengan tujuan ditegakkannya syariat Islam itu sendiri. Seperti yang kita ketahui bahwa tujuan ditegakkannya syariat ada lima poin penting; memelihara agama, memelihara akal, memelihara harta, memelihara keturunan, dan memelihara jiwa. Karena pada dasarnya, syariat sudah ditegakkan ketika kemaslahatan tercipta dengan tidak abai pada kelima poin tadi.

Pemimpin dan yang harus menjadi temanku harus Islam, seorang Muslim. Islam bermakna selamat, damai, sejahtera, juga merupakan kalimat perintah untuk menciptakan kesejahteraan dan keselamatan di muka bumi. Maka, Muslim berarti orang yang mampu melahirkan kemaslahatan dan kedamaian bagi setiap manusia. Islam dan Muslim yang kumaksud tidak diartikan sebagai suatu hal yang bersifat terlembaga. Karena Islam bukan sebuah lembaga, Islam adalah kata sifat yang harus ada di dalam jiwa manusia. Jadi, aku setuju bahwa yang harus menjadi pemimpin ketika pemilihan umum nanti digelar adalah orang yang bersifat Islam, yang berjiwa Muslim. Islam yang diartikan bukan Islam yang institusional atau terlembaga.

Karakter pemimpin pun harus sesuai dengan keempat sifat Nabi Muhammad. Pemimpin itu harus cerdas dalam menyampaikan suatu kebaikan dan kebenaran, serta mampu dipercaya dan mengemban amanah dengan kejujurannya. Nabi Muhammad adalah tokoh kemanusiaan sepanjang masa, tokoh kemanusiaan yang perilakunya patut dicontoh oleh setiap manusia. Maka, terlepas dari agama yang sudah terlembaga seperti yang saat ini terjadi, siapa pun berhak meniru perilaku Nabi Muhammad berdasar empat sifat mulia itu.

Seorang pemimpin juga harus menegakkan syariat, dan syariat itu harus menyejahterakan dan menciptakan kebaikan serta kemaslahatan bagi segenap manusia, bahkan seluruh elemen dalam semesta ini. Pemimpin harus mampu memelihara jiwa setiap warga, agar warganya juga dapat memelihara keturunan. Pemeliharaan akal dan agama juga harus diciptakan oleh seorang pemimpin. Setelah itu, seorang pemimpin harus dapat memelihara harta, agar daerah atau wilayah yang dipimpinnya tercipta kesejahteraan dan kemakmuran.

Ketika siapa pun mencalonkan diri sebagai pemimpinku, syarat-syarat di atas harus terpenuhi. Dengan catatan, pemimpinku itu terlepas dari agama yang terinstitusi yang seolah terkekang dalam keberagamaannya itu sendiri. Maka, pemimpin yang sesuai dengan kriteriaku itu barulah bisa kusebut dengan pemimpin yang shaleh. Karena shaleh berarti patut, layak, dan cocok. Siapa pun calon pemimpinku, dari ras apa pun, beragama apa pun dia, kalau shaleh atau layak serta mampu menegakkan syariat dan berjiwa Islam, aku akan mendukung dengan setulus hati.

Itulah kriteria pemimpinku. Berjiwa Islam, menegakkan syariat dengan melihat kelima tujuan ditegakkannya syariat itu, dan bisa meneladani keempat sifat mulia Nabi Muhammad, maka itulah pemimpin yang shaleh.

Ayo, pilih pemimpin yang shaleh!

Aku tersesat di ruang yang berbeda


Perjalananku bagaimana sampai tersesat ke dalam teater dan kesenian, ditambah dengan kaitan kebudayaan, membuat seluruh orang terdekatku tak karuan geleng-geleng kepala. Pasalnya, aku adalah orang yang sama sekali tidak mencintai seni, bahkan tak pantas menggandrungi kesenian. Katanya begitu. Mereka katakan bahwa diriku adalah seorang pemikir, kalau pun terjerumus dalam dunia seni dan teater, aku harus banyak melahap buku-buku tentang itu semua; seni, budaya, dan teater. Setelah melahap semua buku-buku tentang itu semua, kemudian didiskusikan dan bisa saja aku ini membuat semacam sanggar, sedangkan aku hanya menjadi konseptor, bukan pekerja. Itu pendapat mereka.

Aku terlahir dari keluarga yang Nasionalis-Religius. Orang tua dan keluarga dari bapakku adalah "orang pesantren". Seumur hidupnya diabdikan untuk hal-hal keagamaan. Al-Quran dan segala macam tafsir dari hampir seluruh kalangan mufassir di dunia, sudah dilahap. Sampai-sampai mereka buta aksara latin, tapi "ngelotok" ketika disuruh membaca dan menulis dalam tulisan arab; baik berbahasa arab, indonesia, atau pun jawa. Nah, yang paling aku sukai dari kedua orang tua bapakku adalah orang yang sangat beragama, tapi keberagamaannya tidak melunturkan kebudayaan. Islam Indonesia, atau yang kini disebut Islam NUsantara. Mbah Kakung, semasa hidupnya adalah seorang mubaligh, ceramahnya acapkali tentang Islam dan Kebudayaan. Berpakaian yang simpel dan mirip seperti Mbah Dur; baju batik lengan pendek, sarung, dan peci hitam. Sementara Mbah Putri, semasa mudanya adalah seorang yang tekun membaca Al-Quran, Rawi, dan segala hal tentang kedua itu. Beliau sangat cinta dengan Kanjeng Nabi Muhammad.

Itu dari kubu bapakku. Sementara kalau dari ibuku adalah keluarga yang sangat Nasionalis, Marhaenis, Soekarnois, dan Pancasilais. Selain itu, Mbah Kakungku juga seorang Humanis, sedang Mbah Putri seorang Ibu Rumah Tangga yang selalu mengenakan pakaian adat Jawa. Keluarga Mbahku dari Ibu ini, masing-masing anggota keluarganya berbeda keyakinan dan agama. Contoh, saudara kandung dari keduanya ada yang beragama Hindu, sedangkan kedua Mbahku itu beragama Kejawen. Agama asli Jawa. Meski begitu, mereka bukan penganut agama yang fanatik. Semasa kecilnya Mbah Kakungku pernah belajar di Gereja, ngaji di Masjid, dan di mana pun ia suka. Karena menurutnya, kebenaran Tuhan terdapat di ruang yang sulit terjangkau, dan tugas kita sebagai manusia harus mampu menjangkau kebenaran itu dengan segala daya. Kira-kira begitu.

Sejak kecil aku selalu disuguhi oleh kedua orang tuaku berupa wejangan hasil rekaman mereka dari kedua pasang Mbahku yang Nasionalis-Religius itu. Sehingga lekatlah sisi keislaman dan kebudayaan serta keindonesiaan dalam diri. Semakin beruntung ketika kedua orang tuaku menyekolahkanku di pesantren yang berbasis Nahdlatul Ulama. Lalu kaitannya dengan aku yang berteater ini apa? Padahal latar belakangku sama sekali tak menunjukkan nilai kesusastraan dan bahkan sampai berujung pada teater; seni dan kebudayaan. Aneh.

Jadi begini, sewaktu di pesantren, aku sempat akrab dengan seorang teman yang boleh dibilang ia adalah penyuka sastra, anak teater juga, dan tulisan-tulisannya sudah melampaui umurnya; kala itu. Aku terpengaruh, jelas. Semacam candu, di setiap malam, aku menulis tapi bukan untuk dipublish, disimpan sampai nanti ada seorang yang menerbitkannya ketika jiwa sudah tak bersatu dengan raga. Aku punya buku yang besar, selalu lupa nama buku itu apa. Ketika Aliyah, buku itu sebenarnya untuk pelajaran Ekonomi. Ya, pokoknya buku itu. Entah namanya apa. Buku itu penuh dengan puisi-puisi yang sampai sekarang masih tersimpan rapi. Aku belum berniat untuk memublikasikan apalagi menerbitkannya menjadi buku.

Aku adalah orang yang punya jalan sendiri. Aku berpikir bahwa dengan puisi, aku bisa bebas berdakwah dan akan lebih menjadi menarik, ketika mendakwahkan sesuatu yang sakral dengan menggunakan kalimat-kalimat romantis nan intim terhadap kesakralan itu. Rupanya, puisi dapat menembus segala macam hal yang dianggap terlarang. Walau dengan begitu, puisi tetap menemukan jalan keindahannya; melalui kata, pemilihan diksi, rima, dan yang terpenting adalah puisi dapat melahirkan intuisi bagi si pemuisi itu sendiri, dan batas-batas itu ditembus sampai menjumpa dengan keindahan. Jadi, aku berdakwah dengan cinta, dengan kata, dengan estetika, dengan kelembutan makna, bukan dengan amarah, kebencian, pentungan, apalagi berdakwah sampai menumpahkan darah.

Ketika kurang lebih setahun yang lalu, saat pertama masuk kuliah, aku melihat dan mendengar bahwa di kampusku ternyata ada organisasi teater. Sempat teringat dengan teman akrabku sewaktu di pesantren itu, tanpa pikir panjang organisasi itu adalah yang pertama menjadi "rumah revolusi diri" untuk aku yang masih harus banyak belajar. Aku tetap pada prinsipku tadi, bahwa dengan kesenian, dakwahku lebih tersalurkan daripada berdakwah melalui jalur yang normatif dan cenderung monoton alias itu-itu saja.

Walau latar belakangku adalah Nasionalis-Religius, invasi terhadap kesenian dan kebudayaan akan terus kulakukan, karena kebenaran yang absolut dan mutlak itu berada di ruang yang sunyi dan sulit terjangkau oleh kebanyakan orang, aku justru merasa tertantang, sebab dakwah tak pernah selesai dan berhenti di satu titik. Berdakwah tetap tak bisa terbendung, sama halnya dengan kebudayaan dalam dunia teater. Berjalan dinamis. Harus selalu diperbarui dan dikembangkan sesuai dengan tuntutan zaman, tapi tidak meninggalkan peninggalan-peninggalan sejarah, sekalipun dakwah dan kebudayaan terus tergerus oleh tekanan global.

Aku kini adalah orang yang menyukai kesenian dan kebudayaan dengan keindonesiaan, yang merupakan jalanku menuju kebenaran yang benar-benar benar.

Wahai Jiwa-jiwa yang tenang, kembalilah!


Setiap kali pengkhutbah naik mimbar, ada wasiat yang tak luput dari ucapannya. Bahkan, tak jarang kita sampai bisa menghapalnya. Sangat disayangkan ketika ucapan dan kalimat yang terlontar dari pengkhutbah itu hanya menjadi angin lalu. Padahal penting sekali untuk menjadi bahan perenungan agar hidup menjadi tenteram nan damai. "Alhamdulillah, Puja dan Puji Syukur marilah kita panjatkan kehadirat Allah yang telah memberikan kita nikmat iman, islam, dan ihsan." Kira-kira seperti itu, kalimat yang tak pernah luput dari ucapan si pengkhutbah berdiri di mimbar.

Iman, Islam, dan Ihsan merupakan rangkaian dari perjalanan spiritual dan keberagamaan kita. Bahkan dalam doktrin semua agama, rangkaian seperti itu pasti terjadi. Menurutku, dalam beragama memang tidak bisa instant mencapai derajat kemuliaan. Beragama harus melewati beragam proses yang panjang hingga dapat merasakan kenikmatan dalam keintiman terhadap Tuhan. Tidak bisa dipungkiri bahwa di dalam setiap diri manusia terdapat tiga unsur; kebinatangan, kemanusiaan, dan keilahian.

Manusia bisa saja bersikap seperti binatang ketika berhenti di tahap pertama dan enggan melanjutkan proses ke tingkatan yang lebih tinggi. Manusia akan menemukan jiwa kemanusiaannya saat sudah berada di tahap kedua. Tahap ketiga apabila sudah tercapai akan membuat manusia selalu melihat keberadaan Tuhan di mana pun berada, tentu itu hanya berupa kiasan atau majas. Manusia dalam tahapan yang ketiga, setiap kali bertindak seakan-akan Tuhan selalu ada di hadapannya, selalu merasa diawasi, dan manusia yang seperti itu tak lagi mengharap imbalan dalam beribadah atau ibadahnya hanya berdasar rasa takut karena sebuah ancaman, melainkan karena cinta.

Tanpa disadari, iman kepada Tuhan dan keyakinan terhadap agama justru bisa mengantarkan kita ke pintu gerbang kehancuran. Hal itu disebabkan karena tidak mengindahkan rasa patuh dan pasrah kepada yang memberi hidup. Islam berarti patuh, berserah diri, kalimat perintah untuk memberikan keselamatan dan kedamaian. Dengan begitu, manusia akan mengetahui siapa dirinya, dari mana dirinya, dan mau ke mana dirinya. Hal tersebut membuat manusia semakin menyadari bahwa di dalam dirinya terdapat jiwa kemanusiaan. Kalau manusia sudah mencapai pada tahapan Ihsan, hatinya akan selalu merasa tenang dalam setiap cobaan dan rintangan yang sedang dihadapi, karena konsep yang dibangun dalam pengabdiannya kepada Tuhan adalah cinta. Seberat apa pun dan senikmat apa pun yang diberikan oleh Tuhan, cintanya takkan pernah luntur.

Tuhan sangat menyukai manusia yang mencintai-Nya dengan perasaan yang tenang, mencintai dengan penuh kedamaian dan ketenteraman. Sementara Tuhan tak suka ada manusia yang mencintai-Nya karena ada alasan tertentu yang sedang ingin dicapai oleh manusia, terlebih mencintai Tuhan hanya untuk hal-hal yang bersifat keduniaan.

Jiwa-jiwa yang itu, yang tenang dan tenteram serta damai akan dipersilakan kembali ke hadapan Tuhan dengan perasaan yang tulus dan suci. Tuhan juga mempersilakan mereka masuk ke dalam golongan pengabdi yang tak pernah memiliki alasan apa pun dalam pengabdiannya, kecuali karena alasan cinta. Segala kenikmatan yang terdapat dalam nirwana, akan tersuguh hanya untuk manusia yang tulus mencintai Tuhan, tanpa embel-embel apa pun.

Semoga manfaat.

Cahaya kebaikan atau lumbung kehancuran?


Tulisanku ini, khusus ditujukan kepada teman-teman yang masih mengimani keberadaan dan eksistensi Tuhan dengan segala apresiasi serta peraturan-Nya. Pada dasarnya, semua tulisanku tidak pernah ada pengkhususan, siapa pun boleh membaca dan bahkan menafsirkan sesuka hati, asal tidak mencerca atau mencaci sembari merasa diri paling tinggi sehingga menjauhkan diri dari pekerti.

Kita semua percaya bahwa hukum kausalitas tetap relevan sepanjang masa, atau yang biasa dikenal dengan sebutan hukum karma. Di sisi lain, Tuhan memberikan ultimatum bahwa siapa yang berbuat baik meski hanya secuil saja, maka ada ganjarannya. Begitu pun sebaliknya, ada konsekuensi yang harus diterima ketika manusia berbuat keburukan di dunia. Itu mengisyaratkan bahwa Tuhan tak pernah percuma dalam menciptakan segala sesuatu. Bukankah Tuhan adalah kebijaksanaan yang tak pernah bimbang? Dia bukan golongan ekstrim kiri, juga bukan golongan ekstrim kanan. Dia moderat, berada di tengah-tengah keekstriman yang tampak mencemaskan.

Dalam perjalanannya,  manusia selalu dihadapkan dengan beragam pilihan. Tentu segala macamnya telah tercipta secara berpasang-pasangan; ada malam juga siang, baik dan buruk, benar dan salah, dan lain sebagainya. Tak pelak, manusia sering terlena ketika sedang berada pada keasyikan, bahkan terlena dalam pilihannya yang justru belum dipilih. Ketika sudah memilih pun, manusia akan tetap terlena dengan keadaan. Keterlenaan itu disebabkan karena manusia memiliki nafsu. Hanya saja, pengelolaan nafsu di dalam diri manusia terkadang tak terkontrol, barangkali karena term nafsu acapkali dinegasikan sebagai perbuatan yang rendah dan buruk, padahal nafsu bukan hanya soal keburukan saja.

Sesuai perjanjian pra-penciptaan manusia bahwa kekuatan jahat akan abadi berusaha menggelincirkan manusia ke dalam lubang pendustaan paling dalam, maka manusia tak pernah punya kuasa untuk berhindar dari kekuatan jahat itu. Akan tetapi, manusia telah beruntung didapuk sebagai makhluk yang sempurna alias segala kelengkapannya terpenuhi, sehingga tidak hanya cenderung dapat tergelincir ke dalam lubang pendustaan, tetapi juga kemungkinan manusia akan berdiri di atas puncak pemuliaan.

Selain berorientasi pada kehidupan yang baru nanti, manusia harus mampu hidup berdampingan dengan segala kebaikan di dunia. Karena akan menjadi sia-sia, ketika hidup hanya dijadikan senda-gurau dan justru menjauhkan diri dari pekerti. Tidak dibenarkan juga, ketika manusia terlalu sibuk ber-asyik masyuk menggapai cahaya kebaikan, namun meninggalkan serpihan-serpihan keburukan di dunia yang berpotensi memunculkan gejolak kehancuran.

Pesanku, jangan terlena dengan keadaan memabukkan yang justru membuatmu jauh dari cahaya kebaikan yang manunggal itu. Jangan pula abai terhadap keburukan di dunia, sehingga menjadi seperti tak perduli terhadap kehancuran. Hiduplah menjadi manfaat, jangan berlebihan dalam segala hal, apa pun itu. Karena Tuhan telah berikrar bahwa perbuatan yang berlebihan merupakan saudara kandung dari lumbung kehancuran. Dia juga sangat membenci orang-orang yang berlebihan dalam segala hal, termasuk terlena dalam senda-gurau yang menjauhkan diri dari cahaya kebaikan itu sendiri.

Sekian. Semoga bermanfaat.

Tak perlu takut, ayo berlomba!


Dalam tulisan ini, ingin kulancarkan kritik tajam untuk kalian yang beragama tapi seperti enggan berlomba dalam kebaikan. Aku sendiri bingung, harus mulai dari mana. Kritik ini bukan sebagai bentuk kebencian, bukan pula untuk membuat perang dingin di antara kita. Anggaplah kritik yang kulancarkan ini serupa nasihat atau teguran agar kita menjadi kaum beragama yang mampu mendewasa, tidak menjadi kaum beragama yang pengecut, kaum beragama yang serba takut dengan segala perbedaan konsep kebenaran yang ada di hati dan pikiran setiap orang. Menjadi hal penting yang harus kalian tahu bahwa ketika ada sebuah kritik yang kulancarkan untuk kalian, jangan diartikan bahwa diriku anti-agama.

Aku adalah orang yang meyakini bahwa kebenaran Tuhan itu mutlak, absolut, dan tidak ada yang bisa menandingi kebenaran-Nya. Tuhan-lah yang merajai semesta, yang menciptakan langit dan bumi, yang membuat surga seluas langit dan bumi apabila disatukan, dia pula yang menjadikan siang dan malam sebagai waktu untuk kehidupan makhluk-Nya, dan Tuhan-lah pencipta segalanya.

Tuhan menciptakan manusia dari diri yang satu, lalu dari diri yang satu itu diciptakan pasangannya, setelah itu beranak-pinak lah manusia itu menjadi sebuah komunitas, yang disebut bangsa. Pada mulanya yang disebut bangsa adalah keluarga kecil, kemudian beranak-pinak dan semakin banyak manusia, maka terbentuklah batas-batas wilayah dan kesukuan. Untuk memudahkan dalam berkomunikasi, komunitas kesukuan itu lalu menciptakan sebuah bahasa dan aturan main di dalamnya, disebut budaya. Setiap bangsa dan suku memiliki bahasa dan adat yang berbeda, sehingga menyulitkan interaksi antarbangsa. Melihat situasi itu, Tuhan menyarankan agar saling mengenal satu sama lain, atau dengan kata lain, mempelajari segala sesuatu yang ada pada budaya lain atau yang tidak ada di dalam budaya sendiri, dengan tujuan agar tercipta harmoni dalam sebuah keniscayaan.

Sebagai bentuk cinta Tuhan kepada hamba-Nya, diciptakanlah agama sebagai wadah untuk proses perbaikan diri dan moral dengan mengutus seseorang yang dipercaya mampu membuat perubahan; revolusioner. Agama dibuat berdasar situasi sosial dan budaya setempat, agar memudahkan hamba-Nya untuk memahami substansi agama yang pada dasarnya merupakan jalan pengabdian kepada Tuhan. Di dalam agama, Tuhan tuangkan ajaran kemanusiaan, ajaran perdamaian, ajaran untuk saling memberi, dan ajaran-ajaran kebaikan yang lainnya. Tuhan ingin pengabdian seorang hamba kepada-Nya, agar menjadi sebuah perwujudan nyata dari laku dan perbuatan sehari-hari di dunia. Agama sebagai jembatan antara ajaran ketuhanan dan ajakan kemanusiaan. Ketuhanan dan kemanusiaan menjadi satu bingkisan yang terbungkus rapi sehingga menjadi hal yang menarik untuk dipertanggungjawabkan ketika Tuhan sudah mengajak manusia kembali ke asal.

Tuhan adalah pemegang kunci kebenaran, siapa pun, termasuk utusan-Nya sekalipun tidak ada yang dapat mengetahui secara pasti dan menyeluruh tentang kebenaran yang ada pada Tuhan. Kebenaran yang Satu itu kemudian bercecer ke dunia, menjadi bias, menjadi sebuah misteri, menjadi sesuatu yang tak dapat dipegang penuh oleh manusia; kebenaran Tuhan yang sesungguhnya. Maka, disitulah, kupikir Tuhan telah sengaja tidak menurunkan seluruh kebenaran-Nya di bumi supaya manusia senantiasa berkompetisi dalam kebaikan. Setiap lingkar otak manusia yang pasti berbeda ukurannya itu, Tuhan berikan konsep kebenaran yang tidak utuh, barangkali maksudnya agar manusia selalu berusaha mencari tahu tentang kebenaran itu.

Untuk seluruh kawanku yang merasa bahwa kebenaran itu sudah berada dalam genggamanmu, perbanyaklah berpikir dan mengolah rasa dan jiwa, bahwa tiada yang dapat memegang kebenaran yang sebenar-benarnya kebenaran, kecuali pemegang kebenaran yang abadi; Tuhan seru sekalian alam.

Maka, tak perlu takut untuk mempelajari konsep kebenaran yang ada pada orang lain, karena hanya Tuhan pemilik kebenaran yang sesungguhnya, sementara kita hanya mengetahui konsep kebenaran-Nya saja; masih sangat jauh. Konsep kebenaran yang ada di dalam pikiran kita saat ini, akan menjadi laporan pribadi di depan Dzat yang memegang kebenaran yang sebenarnya. Jangan picik dalam beragama, jangan kau anggap salah orang lain yang berbeda selama tak menghancurkan kemanusiaan atas nama Tuhan, sebab ajaran ketuhanan dan ajakan kemanusiaan adalah satu kesatuan.

Tak perlu takut, jangan menjadi pengecut, ayo berlomba!