Senin, 27 Juni 2016

Kerukunan atau Keracunan Beragama?


***

Rwaneka dhatu winuwus Buddha Wiswa
Bhinneki rakwa ring apan kena parwanosen
Mangka ng Jinatwa kalawan Siwatatwa tunggal
Bhinneka tunggal ika tan hana dharma mangrwa.

Konon Buddha dan Siwa merupakan dua zat yang berbeda
Mereka memang berbeda, tetapi bagaimanakah bisa dikenali?
Sebab kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa adalah tunggal
Terpecah belahlah itu, tetapi tetap satu juga, tidak ada kebenaran yang mendua.

***


Tulisan di atas adalah syair yang dibuat oleh Mpu Tantular dalam Kitab Sutasoma. Syair itu merupakan bentuk upaya Mpu Tantular dalam meredam konflik sektarian; kala itu, jauh sekali sebelum republik ini merdeka secara politik.

Dalam konteks kekinian, syair tersebut dapat kita tafsir ulang bahwa si Empunya menyadari kalau segala sesuatu yang ada di dunia memang tampak berbeda, tetapi asal dari semua itu adalah Satu. Sebab Mpu Tantular tentu meyakini bahwa Tuhan merupakan sumber kebenaran, sementara kebenaran kita hanya secuil saja dari kebenaran yang berada di tangan-Nya.

Oleh karenanya, Mpu Tantular dalam syairnya, seperti memberi isyarat kepada kita umat beragama dalam menyikapi beragam perbedaan; baik intra mau pun antaragama. Sebab untuk mencapai sebuah ketenteraman dan kedamaian dalam perbedaan, kita harus mencari titik persamaannya. Dan titik persamaan yang sangat jelas dalam konteks umat beragama adalah bahwa kita sama-sama makhluk dari Sang Khalik. Praksisnya, penghambaan makhluk pada Khalik terlihat baik ketika moralitas dan akhlak juga baik di kehidupan sehari-hari.

Tidak dapat dipungkiri bahwa di setiap agama, baik "agama langit" atau "agama bumi", dapat kita temui pelajaran mengenai Khalik, Makhluk, dan Akhlak. Karena kesemuanya itu saling berkaitan. Celakalah seorang umat beragama yang mengabaikan ajaran berantai itu, sekalipun hanya abai terhadap satu dari ketiganya.

Dapat dikatakan, kalau ada perilaku umat beragama yang tidak mencerminkan Khalik, Makhluk, dan Akhlak, mereka tentu cenderung berbuat kerusakan serta lalai terhadap substansi risalah keberagamaan yang seharusnya disampaikan kepada umat manusia, dengan moralitas yang tinggi.

Berbicara kerukunan umat beragama di Indonesia, seperti membawa kita pada perumusan Pancasila, yang secara politik dijadikan ideologi negara. Selain menjadi tameng politik, Pancasila juga merupakan perjalanan jati diri bangsa sejak dulu dan harus terus menerus dikontekstualisasikan sampai saat ini agar ajaran moral dalam Pancasila republik ini tetap relevan, sebagai pelindung negeri dari marabahaya.

Dalam literatur Buddha misalnya, kita dapat melihat Pancasila sebagai sumber kebenaran dan moralitas kebangsaan. Pertama, Panatipata Veramani Sikkhapadam Samadiyami (Jangan mencabut nyawa setiap yang hidup) atau berarti dilarang membunuh. Kedua, Adinnadana Veramani Sikkhapadam Samadiyami (Jangan mengambil barang yang tidak diberikan) atau dilarang mencuri. Ketiga, Kameshu Micchacara Veramani Sikkhapadam Samadiyami (Jangan berhubungan badan dengan yang tidak sah) dilarang berzina. Keempat, Musawada Veramani Sikkhapadam Samadiyami (Jangan berkata palsu) atau dilarang berdusta. Kelima, Sura Merayamajja Pamadatta Veramani Sikkhapadam Samadiyami (Jangan meminum minuman yang menghilangkan pikiran) atau dilarang minum-minuman keras.

Atau dalam literatur jawa, kita juga dapat melihat Pancasila dalam sesuatu yang harus dijauhi oleh manusia sebagai umat beragama, yaitu "Ma Lima"; Mateni atau membunuh, Maleng atau mencuri, Madon yang artinya berzina, Madat yaitu pecandu narkoba, dan Maen yang berarti ikut serta dalam perjudian.

Pada Agama Jawa atau Kejawen dalam ajarannya, yang terdapat di Serat Wedatama, bahwa manusia Jawa harus menjalankan empat macam sembah untuk mencapai tingkat kemuliaan atau Nafsu Muthmainnah. Keempat sembah itu diantaranya; sembah raga, sembah cipta, sembah jiwa, dan sembah rasa. Ketika manusia Jawa sudah mampu menyembah rasa, maka disitulah ia sudah mampu mengendalikan dirinya, sehingga moralitas tertinggi adalah tempat pekertinya.

Setelah melakukan perjalanan untuk terus memperbarui kebenaran yang ada di hati dan pikiran, saya menemukan ternyata ada kesamaan makna antara Pancasila dan Rukun Islam.

Ketuhanan Yang Maha Esa sama dengan makna Syahadat, yaitu ajaran Tauhid. Itu pertanda kalau Indonesia merupakan negara yang berketuhanan, sekalipun landasannya bukan atas dasar agama.

Kemanusiaan yang Adil dan Beradab juga rupanya memiliki kesamaan makna dengan Sholat. Bahwa sebenarnya sholat itu adalah pendidikan untuk menjauhi diri dari kebiadaban dan ketidakadilan. Sebab sholat mengantarkan kita pada keberadaban kemanusiaan.

Puasa dalam Rukun Islam serupa dengan Persatuan Indonesia. Kebersatuan jiwa-jiwa yang berpencar akan terasa ketika bulan puasa tiba. Terlebih ketika lebaran sudah datang. Hikmah dari bulan puasa yang bisa dipetik adalah kebaikan bersama dalam hal rezeki.

Sementara Zakat dalam Rukun Islam semakna dengan sila keempat dalam Pancasila. Roda perekonomian akan stabil ketika tidak adanya penimbunan harta. Akan indah saat derma orang kaya selalu berlimpah untuk orang-orang yang membutuhkan. Pendermaan itu dilakukan secara khidmat dan penuh kebaikan.

Terakhir, Sila Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia dan pergi Haji bila mampu adalah tujuan dari poin keempat di atas tadi. Kalau tujuan yang kita dapat seperti tidak mendapatkan maknanya, perlu kiranya kita mengoreksi kembali empat poin sebelumnya. 

Di setiap kitab suci agama-agama dapat kita temukan yang disebut Kaidah Emas. Dalam kalimat negatif berseru: "Janganlah engkau berbuat sesuatu kepada orang lain yang engkau sendiri tidak ingin diperlakukan seperti itu!" Sementara dalam kalimat positif, seruannya: "Cintailah Sesamamu seperti engkau mencintai dirimu sendiri".

Namun pada kenyataannya di lapangan, sebagian umat beragama di Indonesia seperti masih merasa nyaman pada keegoisan diri sendiri. Sementara kerukunan antar dan intra umat beragama seperti hanya menjadi wacana yang utopis. Hal itu dikarenakan sikap dari setiap umat berbeda-beda, sehingga muncul pandangan yang beragam dari masing-masing umat kepada mereka yang berbeda secara keyakinan.

Ada beberapa sikap umat beragama yang harus diketahui. Yaitu, Eksklusif; menolak yang lain. Sikap eksklusif diantaranya; eksklusif akomodatif dan eksklusif konfrontatif. Ada pula yang bersikap Inklusif; menerima keberadaan yang lain, tapi tetap menganggap diri sebagai pusat kebenaran, sedangkan kebenaran yang lain hanyalah versi yang lebih rendah dari kebenaran sendiri, ini yang disebut "kebenaran vertikal".

Selain itu juga ada yang bersikap Pluralis, yakni kebenaran horizontal, yang memandang semua kebenaran sebagai entitas-entitas yang setara. Selain itu juga ada sikap yang disebut "indefferent tolerance" yaitu sikap yang tidak begitu peduli terhadap keberadaan orang yang berbeda.

Indefferent tolerance itu adalah sikap mayoritas umat beragama di Indonesia. Sementara sikap eksklusif akomodatif (menganggap yang lain kafir tapi dapat menerima secara sosial) juga masih banyak kita temui di lapangan.

Bersyukur-lah Indonesia karena hanya sedikit saja umat beragama yang bersifat Eksklusif Konfrontatif (tidak menerima sama sekali keberadaan yang lain, dan berpotensi untuk menyerang umat yang berbeda agama atau keyakinan), sekalipun yang bersikap Pluralis jumlahnya tidak banyak.

Demi kerukunan umat beragama, Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Dr. Abdul Mu'ti menyarankan agar umat beragama di Indonesia jangan melulu mengimpor masalah atau konflik sektarian yang terjadi di luar negeri, melainkan harus mengekspor segala hal baik yang terdapat di negeri sendiri; agar dunia tahu bahwa kekuatan Indonesia berada pada jiwa damai dan rasa tenggang rasanya.

Harapan saya, semoga kita dapat menciptakan kerukunan beragama, bukan keracunan beragama yang membuat kita seperti mabuk dan hilang akal sampai lupa kalau kita hidup dengan manusia yang lain dan berbeda.

Wallahu A'lam.
Previous Post
Next Post