Kamis, 09 Juni 2016

Andaikan kau datang kembali, Gus!




Terlalu Indah Dilupakan
Terlalu Sedih Dikenangkan
Setelah Aku Jauh Berjalan
Dan Kau Kutinggalkan

Betapa Hatiku Bersedih 
Mengenang Kasih dan Sayangmu
Setulus Pesanmu Kepadaku
Engkau Kan Menunggu

Andaikan Kau Datang Kembali
Jawaban Apa Yang Kan Kuberi
Adakah Jalan Yang Kau Temui
Untuk Kita Kembali Lagi

Bersinarlah Bulan Purnama
Seindah Serta Tulus Cintanya 
Bersinarlah Terus Sampai Nanti
Lagu Ini Ku Akhiri

(Andaikan Kau Datang, Tonny Koeswoyo, Koes Plus, 1970)



*****

Saya rasa Anda semua pasti tahu lirik lagu di atas. Saya juga yakin, Anda tidak hanya sekadar membaca tapi juga sembari bernyanyi, sekalipun suaranya tidak sekeren Yon Koeswoyo (Vokalis Koes Plus, adik dari alm. Tonny Koeswoyo) atau semerdu Ruth Sahanaya. Tapi tidak apa-apa, silakan bernyanyi dan maknai lagu itu sesuai kemampuan berpikir masing-masing.

Namun, kita juga perlu tahu bahwa terciptanya "Andaikan Kau Datang" adalah karena alm. Tonny Koeswoyo terinspirasi dari ketidaksetiaan dan kenakalan sang adik. Jadi, lagu itu merupakan sebuah sindiran dari sang kakak dan adiknya. "Kalau pacarmu datang, kamu mau ngomong apa?" Dari situlah, lagu Andaikan Kau Datang tercipta.

Kira-kira seperti itu paparan dan penjelasan Asbabun-Nuzul dari lagu yang sangat familiar di telinga pecinta musik pop di Indonesia. Apalagi lagu itu sempat nge-hits ketika dipopulerkan oleh Ruth Sahanaya. Sayangnya, kebanyakan orang tidak memahami sebab terciptanya lagu ciptaan Mas Tonny itu. Sebagian  besar orang, termasuk saya pribadi, menafsirkannya sebagai lagu perpisahan atau lagu kenangan untuk seseorang yang sudah meninggal dunia, dan diharapkan untuk datang kembali.

Jujur, lagu Koes Plus yang satu itu selalu saya dengar sebagai persembahan untuk Mbah KH. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur (GD). Ketika datang rindu atas petuah dan nasihat beliau, sementara tak ada teman untuk berbagi, maka lagu itu adalah pelipur lara bagi saya.

Hampir semua orang Indonesia, terlebih warga Tionghoa dan Nahdliyyin pasti merindukan sosok pemersatu bangsa itu. Namun, satu hal yang pasti adalah cara mengenang dan melampiaskan kerinduan atas jasa atau apa pun tentang beliau tentu beragam. Intinya, semua merindukan GD. Sekalipun berbeda cara, namun tujuannya sama; itulah ajaran Pluralisme (Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa dalam Kitab Sutasoma karya Mpu Tantular) yang beliau wariskan kepada bangsa Indonesia agar terhindar dari konflik sektarian.

Dengan konsep Pluralisme, GD mampu meredakan publik, meski dengan cara yang tidak serius dan juga tidak terlalu santai, tapi pasti dibumbui dengan kelucuan yang membuat orang susah berhenti tertawa. Itulah GD, yang dirindukan bangsa Indonesia. Sebagian Nahdliyyin percaya bahwa beliau hanya pulang bukan menghilang.

Menurut saya, GD adalah Kyai terunik sepanjang masa. Dalam hal menghancurkan lawan, GD-lah jagonya. Dengan gaya yang diibaratkan seperti petinju (pukul-rangkul-pukul-rangkul), Pak Harto akhirnya "lumpuh" tak berdaya; termasuk Jenderal K yang dibuat kelimpungan oleh GD, ketika itu.

Selain unik, beliau itu ulama yang sangat alim. Kealimannya bukan semata-mata karena nasab atau hierarki keluarga yang secara keilmuan mumpuni, tetapi karena kegigihannya sendiri dalam mencari ilmu dan kebenaran. Meskipun tanpa gelar sarjana, ilmunya sudah sangat pantas disejajarkan dengan ilmuwan-ilmuwan terkemuka di dunia.

Hingga pada saat dirinya menjabat sebagai orang nomor satu di Indonesia, kebijakan-kebijakan yang kontroversial saat itu, menimbulkan kerinduan  di hari ini. Salah satunya pada saat Ramadhan, seluruh sekolah dan tempat pendidikan, baik swasta maupun negeri; diliburkan selama satu bulan penuh!

GD dianggap gila karena mengeluarkan kebijakan yang tak masuk akal. Padahal, pemikiran beliau yang memang sudah lebih maju daripada kita. Dan kita selalu telat menafsirkan "Sunnah" beliau. Termasuk peliburan sekolah selama satu bulan penuh di bulan Ramadhan.

Pasalnya, kebijakan GD yang seperti bukan tanpa alasan. Diliburkannya sekolah di bulan Ramadhan satu bulan penuh itu agar setiap orang dapat fokus melaksanakan ibadah dan memanfaatkan Ramadhan dengan sebaik mungkin. Karena pada dasarnya, Ramadhan adalah bulan pendidikan. Maka, pendidikan karakter dalam beribadah, khususnya di bulan Ramadhan, harus diterapkan sejak dini. 

Namun bagaimana mungkin pendidikan karakter tersebut dapat terterap, kalau bulan Ramadhan masih disibukkan dengan urusan keduniaan? Sebuah pertanyaan yang tak membutuhkan jawaban, hanya dibutuhkan pemikiran dan hati yang jernih untuk kembali ke "khittah" (back to Gus Dur).

Banyak pelanggaran-pelanggaran agama yang dilakukan pelajar saat ini, yang tentu saja memiliki kemungkinan dan kecenderungan akan dapat berdampak pada kemerosotan moral. Atau, sekalipun tidak berdampak buruk, agama (khususnya Islam) akan semakin terkikis keberadaan dan eksistensinya. Ingat bahwa Indonesia bukanlah negara sekuler dan juga bukan negara agama. Kita juga harus bisa memisahkan antara hal-hal yang bersifat keduniaan dan yang sifatnya sakral atau keakhiratan; dalam hal ini disebut oleh Nurcholis Madjid (Cak Nur) yakni Sekularisasi (bukan Sekularisme).

Peliburan sekolah satu bulan penuh selama Ramadhan adalah bentuk Sekularisasi yang paling ampuh untuk menjaga kemurnian agama dari urusan keduniaan. Mampukah pemerintah kita melakukan gerakan kembali ke khittah atau back to Gus Dur? Kalau mampu, saya akan menziarahi makam Gus Dur, meskipun nun jauh di sana serta ketiadaan biaya, bakal diusahakan untuk bisa menziarahi makam Gus Dur sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah dan rasa berterimakasih saya kepada Gus Dur snediri yang telah menginspirasi banyak orang.

Jadi, liburkan sekolah dan semua lembaga pendidikan selama satu bulan penuh di bulan Ramadhan, agar pendidikan karakter keagamaan dan esensi dari Ramadhan dapat dirasakan dan dilaksanakan atau diterapkan dalam sanubari setiap insan Indonesia di kehidupan sehari-hari.

Gus Dur, Andaikan Kau Datang Kembali...
Previous Post
Next Post