Sabtu, 28 Januari 2017

Aku Melihat Kehidupan...


Kalimalang samping Lab Teater Korek Unisma Bekasi


Dari balik jendela berkayu hitam yang sedikit keropos
aku dapat melihat ragam peristiwa
kehidupan terus berjalan
masing-masing punya keperluan
tak saling ganggu
demi kebaikan bersama

Dihadapanku
ada kalimalang yang menawarkan ketenangan
ia berjasa
mengantarkan ribuan sampah industri entah kemana
mungkin saat terlihat gundukan
itulah tujuannya

Kalimalang tak pernah marah
ia juga tidak suka memaki
tulus memberi jasa
sekalipun berkali-kali ia dilempari sampah
membalas keburukan dengan kebaikan
barangkali itu kunci kesabarannya

Sementara di belakangku
di ruang kebudayaan kampus
kawanan burung gereja mengicau
entah kawanan atau mereka sudah terikat sebagai keluarga
kicaunya menghibur

Barangkali mereka sedang kelaparan
menunggu ayah pulang
dengan sejumlah makanan bergizi
agar kicau tak henti

Atau mungkin saja mereka tengah riang
menertawai politik negeri ini
yang suaranya mirip dengan mereka
berkicau tanpa henti
hingga membelah ketenteraman

Burung-burung itu tertawa
melihat kicau politisi
sebab kicaunya tak seindah mereka
yang memberi kabar bahagia kepada manusia bahwa pagi sudah tiba
politisi, kabar apa?
kabar terjerat KPK
atau masuk ke dalam ruang lendir?

Sekitar 10 meter dari tempatku
sekelompok kuli bangunan sedang beribadah khusyu
mereka menghamba pada kepasrahan hidup
berserah pada pemilik kematian
ibadahnya disemogakan atas dua hal
untuk istri dan anak
dan agar mendapat ridho dari yang Maha Akbar

Pikirku,
apakah mereka sadar dengan apa yang dikerjakan?
mungkin mereka nurut apa kata bos atau mandor
"proyek penambahan kelas untuk mahasiswa, dengan target selesai pada pertengahan 2017," begitu kata bos mereka, mungkin.

Kalau ada kesempatan
aku akan bertemu dengan mereka
menyalaminya
bahkan jika memungkinkan
akan kukecup punggung tangannya yang kotor oleh adukan semen itu

Sebab ia berjasa
sungguh berjasa
sangat berjasa
menyediakan kelas untuk pemangku negeri di kemudian hari
mengerjakan ruang belajar bagi politisi masa depan
dan dia benar-benar berjasa
karena bisa jadi, ruang kelas yang sedang dikerjakan itu
akan diisi oleh koruptor andal yang lagi-lagi tercecer lendir



Laboratorium Teater Korek Unisma Bekasi, 28 Januari 2017



Aru Elgete

Pahlawan Kebudayaan, Cum Laude di Universitas Kehidupan




Andri Syahnila Putra atau yang akrab disapa Ane Matahari adalah seorang yang sangat berpengaruh di bidang kebudayaan dan kesenian. Banyak yang merasa kehilangan sejak kepulangannya seminggu yang lalu, Senin (31/10/16) siang. Pembacaan Yasin dan Tahlil selalu dilakukan di kediamannya sebagai bentuk apresiasi atas karya dan prestasinya selama ini. Di hari ke-7 kepulangannya, seluruh komunitas dan orang-orang yang terkait dengannya sepakat untuk mengadakan doa bersama di Bantaran Kalimalang, Senin (7/11/16) malam.

Usai pembacaan doa, Yasin, dan Tahlil yang diperuntukkan kepada pria berdarah Medan-Minangkabau atau Batak-Piliang ini, perwakilan dari masing-masing komunitas diberi kesempatan untuk menyampaikan kesan kecintaan yang mendalam bagi Sinar Peradaban Bumi Patriot itu. Semua sepakat bahwa Ane Matahari adalah orang yang memiliki kepekaan sosial yang tinggi. Tidak ada yang mampu menggantikan posisi dan keberadaannya.

Komunitas atau organisasi yang hadir malam itu, diantaranya Kajian Masyarakat Merdeka (KMM), Pusat Kajian Pancasila (Pusaka) UNISMA Bekasi, Teater Korek, Komunitas Pengamen Jalanan (KPJ), Teman Ngopi, Suku Kulit Muka Berminyak, Paduan Suara Mahasiswa Soeara Serajoe, Bengkel Teater At-taqwa (Beta), Komunitas Matahari Hujan, Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) At-taqwa, dan masih banyak lagi.

Kesemuanya menyampaikan kesan dan kenangan yang dialami bersama Ane Matahari. Suasana itu menjadi haru, bahagia, sedih, dan gembira. Karena satu tokoh itu, seluruh kalangan menjadi satu, saling bersilaturrahmi batin dan bahkan menganggap satu sama lain sebagai keluarga yang tak bisa dipisahkan oleh kondisi apa pun.

Abdul Khoir misalnya, salah seorang dosen di Universitas Islam “45” (Unisma) Bekasi yang juga gandrung terhadap kebudayaan Bekasi menuturkan bahwa tidak ada pengkultusan untuk siapa pun. Termasuk kepada Ane Matahari, tokoh paling penting yang berusaha menjaga dan melestarikan kebudayaan lokal.

“Keberadaan kita di sini bukan mengkultuskan, tetapi sebagai bentuk penghargaan dan apresiasi kepada Bang Ane, karena jasa-jasa yang dengan tulus diberikannya kepada setiap orang yang membutuhkan uluran tangan dan tenaganya,” ucap Abdul Khoir dalam sambutannya semalam.
Di akhir sambutannya, Abdul Khoir mempersilakan hadirin agar mampu mengenang Ane Matahari melalui tulisan dan dikirimkan ke alamat Sastra Kalimalang, kemudian dibukukan.

“Orang yang sudah meninggal dunia, tidak akan mungkin kembali lagi. Kita semualah yang menjadi penerus dari gagasan dan kebaikan Ane Matahari. Makanya, saya ingin kita semua membuat tulisan apa pun tentang Ane Matahari, kirim ke alamat Sastra Kalimalang, nanti dibukukan,” tandas Abdul Khoir.

Sejalan dengan itu, Harun Al-Rasyid, pembina Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Paduan Suara Mahasiswa (PSM) Soeara Serajoe Unisma Bekasi mengusulkan agar bantaran Kalimalang di sekitar kampus dijadikan sebagai Ruang Kultur dan diberi nama ‘Taman Ane Matahari’. Pasalnya, Ane Matahari adalah sosok yang memiliki kedekatan emosional dengan PSM, karena sejak 1997 pendiri Sastra Kalimalang itu diberi kewenangan untuk melatih serta memberi perubahan bagi keberlangsungan organisasi kemahasiswaan tersebut.

“Saya mengusulkan agar tempat ini dinamakan Taman Ane Matahari. Ruang Publik kita jadikan sebagai Ruang Kultur. Untuk teknis dan segala macamnya, saya serahkan ke teman-teman mahasiswa,” kata Harun saat diberi kesempatan untuk menyampaikan kesan kecintaannya kepada Ane Matahari.

Pemberian nama baru untuk bantaran kalimalang itu, bukan tanpa alasan. Di sana, seringkali dijadikan tempat untuk saling berbagi, berdiskusi, memamerkan kebudayaan Bekasi, bahkan aksi pencopetan, penjambretan, dan lain sebagainya acapkali terjadi. Panggung terapung adalah salah satu dari sekian banyak hal yang memberi warna baru di pinggir Kalimalang itu. Sementara usul yang diberikan Harun disambut baik oleh hadirin.

Sementara itu, Irman Syah, penyair yang sekaligus sahabat karib Ane Matahari, banyak memberikan kesan yang sangat dalam. Ia memberi penjelasan bahwa Ane Matahari berhasil mendapat nilai Cum Laude di Universitas Kehidupan. Dalam waktu 45 menit, ia mampu mengerjakan tugas ujian dengan sangat baik. Karena, menurut Pak Cik -sapaan akrab Irman Syah- selain sahabatnya itu, tidak ada manusia hebat yang mampu menyelesaikan tugas-tugasnya dengan baik dan kemudian lulus.

Sinar Peradaban Bumi Patriot ini sudah melewati berbagai macam upacara kebudayaan, seperti kelahiran, sunatan, pernikahan, dan sebagainya. Terakhir, ia melakukan kegiatan yang sangat tidak umum, bersih- bersih makam. Menurut Irman, kegiatan terakhir yang dilakukan Ane Matahari menyimbolkan bahwa dirinya sudah berhasil melaksanakan seluruh rangkaian kegiatan kehidupan dengan sangat baik. Ia lulus dengan nilai Cum Laude di Universitas Kehidupan.

“Ane meninggal di umur 45. Saya menganalogikan usia itu sebagai menit atau jam. Artinya, Ane sudah berhasil lulus ujian dalam waktu singkat dengan nilai terbaik (Cum Laude) di Universitas Kehidupan,” ucap Irman Syah saat mengenang sahabat terbaiknya itu.

Selain itu, Irman Syah juga mengatakan bahwa ketulusan Ane Matahari selama ini karena sukunya; Piliang. Almarhum yang meninggalkan satu istri dan empat anak itu adalah hasil dialektika antara Medan-Minangkabau atau Batak-Piliang. Ibundanya bersuku Piliang, sementara ayahnya adalah Batak.

“Secara fisik, Ane memang terlihat seperti orang Batak. Tetapi watak dan sikapnya lembut, sebagaimana suku Piliang dari Minangkabau. Maka, jangan heran kalau sikapnya Ane lembut dan bisa bergaul dengan siapa saja,” tutup Irman.

*dimuat di Demen Bekasi pada 8 November 2016



Laboratorium Teater Korek Unisma Bekasi, 28 Januari 2017



Aru Elgete 

Ane Matahari, Sinar Peradaban Bumi Patriot




Langit Bekasi mendung seketika. Semua berduka. Seorang seniman, sastrawan, penggiat teater, penyair, dan pemerhati kebudayaan telah berpulang, Senin (31/10) siang. Suara tangis pecah di setiap ruang dan sudut kota. Pria berperawakan tinggi-besar, berambut gondrong, berkulit agak gelap, telah melebur pada kesejatian yang sesungguhnya. Jejaknya meninggalkan bercak kebahagiaan dan kegembiraan bagi setiap orang terdekatnya. Sementara kesedihan yang mengantarkan pada ruang tidur terakhir kalinya, adalah pengantar kecintaan yang mendalam.


Kepekaan sosial yang terpatri dalam jiwanya, selaras dengan senyum renyah yang senantiasa mengembang. Ia seorang pecinta, yang selalu resah atas kecarut-marutan kondisi bekasi, bahkan bangsa dan negaranya. Karya dan prestasinya ditumpahkan dalam keindahan syair-syair puisi, yang kemudian diaransemen menjadi sebuah lagu; sebagai simbol pergerakan, perjuangan, dan ketulusannya pada sesama. Suara serak-serak basah, menjadi ciri dari kepribadiannya yang bersahaja.

Karena sikapnya yang lentur, ia mampu merangkul semua kalangan; mulai dari pengemis, anak jalanan, preman pasar, penggiat anti-korupsi, teater dan kebudayaan, akademisi, sampai pemerintahan. Namanya melambung tinggi berkat kesahajaan diri yang dipersembahkan tanpa tedeng aling-aling. Baginya, sastra adalah jalan sunyi yang membuka gerbang perubahan dan peradaban. Hanya orang-orang tertentu yang mampu konsisten berdiri dan berjalan di labirin kesunyian.

Dari sunyi, dirinya bisa melihat keramaian. Memberi angin segar pada kegaduhan yang selama ini tercipta karena keserakahan dan kedurjanaan duniawi. Putra Batak yang satu ini, selalu luluh hatinya saat melihat beragam lakon penindasan dan penganiayaan yang menimpa rakyat kecil. Ia selalu terpanggil untuk terus menyuarakan kebenaran. Membantu meringankan beban orang lain, baginya, merupakan cara untuk mencintai kekasih di keabadian.

Malam itu, masih kuingat selalu, kita berasyik-masyuk bercengkrama tentang cinta; cinta seorang penyair pada kekasih, serta kerinduan yang mendalam untuk berpasrah pada ketetapan hukum alam. Kini, dirimu sudah menjadi satu. Menjadi lebur pada kesejatian. Semoga kerinduan yang kala itu kita perbincangkan, menjadi washilah untuk kebersamaan kita, yang abadi.

Aku mendapat banyak pembelajaran tentang makna kehidupan yang hakiki, dari setiap obrolan santai yang menjadi bekal di kemudian hari. Di ruang yang hampir redup, tutur katamu selalu kuingat, “jangan pernah membenci kebudayaan, karena peradaban, hidup dan mati, dan silaturrahmi batin kita adalah soal keberlangsungan budaya yang harus tetap terjaga.”

Untuk menciptakan silaturrahmi batin, istilah Sobat Tande kau angkat ke permukaan. Sebuah istilah dan cita-cita luhur demi keharmonisan sesama. Istilah itu, tak begitu akrab di telinga manusia Indonesia, atau bahkan orang Bekasi kekinian. Sobat Tande dibangun atas dasar kekeluargaan, rasa saling memiliki dan menghargai tanpa sekat yang menghalangi.

Bagi sebagian besar warga Bekasi saat ini, istilah yang lahir pada tahun 60-an itu sangat identik dengan kepribadian Ane Matahari. Ia memberikan sinar peradaban bagi kebudayaan di Bumi Patriot. Memancarkan cahaya dari kegelapan dan kepekatan langit negeri. Meninggalkan beragam warna kebahagiaan sekaligus beban moral yang harus dipikul bersama, demi sebuah kebudayaan yang harus tetap lestari; sebagaimana ia yang kini menjadi satu pada keabadian.

Sinar peradaban, selamat menempuh jalan sunyi yang sejak dulu kau dambakan; untuk menuju kesejatian dan melebur pada tubuh kekasih yang kau cintai dengan ketulusan.

*dimuat di demenbekasi.com pada 1 November 2016*



Laboratorium Teater Korek Unisma Bekasi, 28 Januari 2017


Aru Elgete

Ajari Aku Membela dan Menghina Tuhan







 

Aku seringkali ingkar
tak indahkan perintah
mendekat dan mendekap pada larangan-Nya
tapi, Dia tetap tak merasa terhina


Pernah pula di suatu sore
kucaci Dia dengan umpatan kasar nan kotor
memperolok-Nya dengan kata-kata yang tak lazim
kekuasaan-Nya tetap tak bergeser, apalagi mengecil; sedikit pun


Namun, ketika itu
aku menjalankan segala perintah
dan menjauhi larangan-Nya
orang-orang saleh kudekati, kujadikan sahabat dan kerabat dekat, di lain kesempatan kuajak mereka berdiskusi dari petang hingga pagi


Tetap saja
Tuhan tidak merasa geer
tak besar kepala
tak jemawa
tetap seperti biasa
dengan kebesaran dan kekuasaan yang segala-gala


Kubuka lembar per lembar kitab suci
dan kutemukan sebuah konfirmasi;
"Dia tak serupa dan tidak bisa diserupakan dengan segala sesuatu"


Maka, ajari aku untuk menghina-Nya
atau bimbing aku agar senantiasa membela
menghina agar Kekuasaan-Nya runtuh
membela hingga Dia merasa besar kepala


Benarkah Dia sakit hati saat dihina, sebagaimana manusia biasa? Adakah Dia berbesar kepala saat dibela, sebagaimana manusia pada umumnya?
Sesungguhnya, apa yang akan dibela dan dihina?
Nama atau Dzat-Nya?
 

Atau jangan-jangan,
selama ini kita hanya menyembah Nama
menghina Nama
dan membela Nama


Ajari dan bimbing aku
Untuk menghina dan membela Tuhan
supaya berkurang kuasa-Nya
dan berbesar kepala Dia jadinya
bagaimana caranya?




Bekasi Utara, 28 Januari 2017


Aru Elgete

Jumat, 27 Januari 2017

Islam Bukan Organisasi, Tetapi Metabolisme Kehidupan



Ilustrasi. Sumber: reference.com

Sejak Januari 2016, saya mulai melingkar bersama Jamaah Maiyah dalam forum Kenduri Cinta di Taman Ismail Marzuki. Di sana, proses pendewasaan berpikir dan berperilaku dilakukan. Kiai Muhammad Ainun Nadjib (Emha Ainun Nadjib) atau Cak Nun, seorang pembimbing di Kenduri Cinta selalu menegaskan bahwa setiap manusia harus memiliki kedaulatan, baik dalam bertindak maupun berpikir. Dia memberikan pelajaran penting, yakni soal melihat sebuah peristiwa sosial yang terjadi. Cara pandang, jarak pandang, sudut pandang, dan resolusi pandang adalah hal yang hingga kini saya perhatikan saat suatu fenomena di hadapan mata sedang berlangsung.

Jumat, 20 Januari 2017 tepat setahun saya menjadi bagian dari majelis ilmu itu. Tema yang diusung saat itu adalah 'Keledai Lestari'. Seperti biasanya, diskusi diawali dengan membedah makna dari tema. Ada yang berpendapat bahwa Keledai Lestari merupakan gambaran yang pas bagi kehidupan bangsa Indonesia. Dalam hal memilih pemimpin misalnya, kita selalu saja tertipu dengan janji-janji politik yang diberikan. Apa pasal? Salah seorang Jamaah Maiyah mengatakan, hal tersebut karena sistem demokrasi yang mengaburkan atau membuyarkan pandangan, sehingga kita tidak bisa membedakan antara berlian dan akik. Semua terlihat bagus. Padahal ternyata, sama saja seperti yang sudah-sudah.

Cara pandang sebagian besar bangsa Indonesia masih praktis, cenderung tidak kritis. Jarak pandang pun demikian. Kita tidak bisa menjaga jarak dengan objek yang dituju. Terlalu jauh atau bahkan sangat dekat. Sudut pandang yang diambil juga mungkin terlalu sempit, sehingga berdampak pada kekakuan dalam proses berpikir. Sementara resolusi pandang yang digunakan, kemungkinan kurang jernih yang membuat kita kehilangan kendali atas kedaulatan diri. Keempat hal itu kiranya yang menjadikan kita seperti keledai yang terjerembab dalam lubang yang sama; yang itu-itu saja. Bahkan, besar kemungkinan, martabat dan derajat manusia lebih rendah dari keledai.

Namun, Cak Nun memiliki pemikiran yang berbeda. Bahwa keledai adalah hewan, tidak bisa dikatakan salah atau benar, terpuji atau tercela, dan baik atau jahat. Karena memang antara hewan dan manusia mempunyai titik perbedaan yang sangat mendasar, yakni akal dan nurani. Harimau misalnya, memangsa adalah jalan satu-satunya untuk bertahan hidup. Apakah dengan begitu, kita lantas mengatakan bahwa harimau merupakan hewan yang jahat? Padahal harimau memang ditakdirkan sebagai hewan yang tidak suka dengan tetumbuhan. Dia karnivora. Atau kita katakan, kambing adalah hewan yang jahat karena untuk bertahan hidup, ia harus merusak tanaman Sementara ia tidak suka memakan daging.

Nah, kembali ke persoalan keledai. Kita bisa saja mencontoh keledai yang berkali-kali terperosok ke dalam lubang yang sama. Keterperosokan itu dapat diartikan sebagai sebuah konsistensi untuk mencapai keberhasilan. Dalam hal kekaryaan, keilmuan, dan keterampilan, seorang manusia tidak bisa serta-merta menjadi ahli tanpa melewati proses. Maka, sangat perlu kita melakukan pengulangan sampai ke puncak keberhasilan. Saya teringat ketika sedang belajar membaca huruf arab dengan metode turutan, kalau bacaan saya kurang benar maka harus mengulangnya esok hari. Dan begitu terus, sampai bisa. Terjerembab ke lubang yang sama perlu dilakukan sebagai proses menuju kebaikan.

Pada Kenduri Cinta edisi Januari 2017 itu, saya lantas berpikir tentang persoalan umat Islam di Indonesia. Kita selalu dihadapkan dengan persoalan yang itu-itu saja. Bahkan yang cenderung menimbulkan keresahan dan keterpecahan bangsa. Entah terperosok ke dalam lubang yang sama, yang diartikan sebagai perbuatan negatif atau konsistensi perbuatan yang mengarah ke dalam hal yang positif. Pemaknaan demikian tergantung dari cara, jarak, sudut, dan resolusi pandang yang kita gunakan. Semua orang berpegang pada kebenaran sendiri-sendiri dan kelompoknya masing-masing. Tak jarang, Tuhan dan teks suci pun dibawa untuk melegalkan perbuatannya.

Saya jadi teringat, Cak Nun pernah mengatakan bahwa kebenaran ada 3 macam. Pertama, kebenaran diri sendiri yang belum tentu benar menurut orang lain, dan sebaliknya, Kedua, kebenaran umum hasil kesepakatan bersama. Seperti bahasa, kebudayaan, atau pandangan politik dalam dunia demokrasi. Ketiga, kebenaran sejati yang hanya akan ditemukan saat proses pengembaraan kita sudah menemukan titik puncak. Yakni, manakala kita sudah hidup kekal di akhirat. Sebab, kebenaran sejati hanya milik Tuhan tanpa terjemahan atau interpretasi manusia. Karena, sejauh apa pun kita menerjemahkan maksud Tuhan, tidak akan pernah sama dengan kebenaran yang dimaksud oleh Tuhan itu sendiri,

Maka, Cak Nun pun seketika itu menyatakan bahwa Islam bukan organisasi, tetapi metabolisme kehidupan. Islam tidak sebatas pada FPI, HTI NU, Muhammadiyah, atau LDII sekalipun. Islam merupakan metabolisme kehidupan, tidak hanya terpaku pada Syahadat, Salat, Zakat, Puasa, dan Haji. Sebab rukun Islam hanya merupakan bentuk administratif, tidak lebih. Islam adalah perbuatan yang menjurus pada keselamatan, yang membebaskan siapa dan apa dari cengkraman keburukan menuju kehidupan yang lebih estetik dan dialektik. Hemat saya, ketika ada seorang yang tidak suka atau bahkan anti kepada salah satu organisasi keislaman, maka bukan berarti tidak suka atau anti kepada Islam secara keseluruhan.


Islam lebih luas dari sekadar FPI, HTI, NU, Muhammadiyah, atau LDII. Islam sudah ada sejak manusia pertama diciptakan. Islam adalah perilaku, bukan institusi yang membuat agama suci itu menjadi kecil karena tersekat oleh kepentingan organisasi. Kebenaran yang dibawa oleh masing-masing organisasi keislaman itu bukan kebenaran sejati, hanya sebatas pada kebenaran umum yang disepakati bersama. Dalam hal mencari kebenaran, Cak Nun mengatakan agar umat Islam senantiasa menadabburi kandungan Al-Quran. Meresapi dan menghayati pesan yang terdapat di dalamnya. Tadabbur berbeda dengan tafsir. Output dari tadabbur adalah kebaikan, tawadhu, rendah hati, merasa kecil di hadapan Tuhan. Dengan begitu, siapa pun yang berhasil menadabburi Al-Quran tidak akan menyakiti sesama, menebar kebencian, apalagi melakukan ancaman pembunuhan.

Innaddina 'indallahil Islam. Menurut tafsir Kementerian Agama RI berarti, agama yang paling benar di sisi Allah hanyalah Islam. Sementara hasil penadabburan Cak Nun atas ayat itu berbeda, yakni perbuatan yang paling mulia di sisi Allah adalah memberi keselamatan kepada sesama. Sekali lagi, output dari tadabbur adalah kebaikan, sikap tawadhu, rendah hati, dan merasa kecil di hadapan Tuhan. Tadabbur tidak membutuhkan metode khusus untuk bisa memberi makna pada teks. Siapa pun bisa melakukan tadabbur terhadap firman Tuhan, karena kitab suci diperuntukkan bagi seluruh manusia. Menjadi pedoman agar hidup menjadi baik, menjadi berguna, menjadi manfaat bagi keberlangsungan kehidupan dan peradaban. 


Wallahu A'lam...


Laboratorium Teater Korek Unisma Bekasi, 27 Januari 2017



Aru Elgete  

Rabu, 18 Januari 2017

Ahok dan Rizieq Sama-sama Santun


Ilustrasi. Sumber: suratkabar.id

Pilkada DKI Jakarta ini memang benar-benar seru. Tak bisa dipungkiri, saya jadi pusing kepalang melihat pesan berantai yang dikirim ke grup-grup WhatsApp. Semuanya membela diri. Bahkan, cenderung memaksa bahwa pendapatnya benar dan cukup rasional untuk diterima.

Di setiap grup yang saya ikuti, anggota-anggotanya pintar semua. Tak bisa dibedakan antara orang yang kaya literatur dengan yang jarang membaca. Setiap orang berpendapat. Entah dibaca atau tidak, diterima atau tidak, yang penting pesannya masuk. Lucu.

Mereka berdebat dengan menyertakan dalil; Firman Tuhan, Sabda Rasul, atau bahkan keduanya. Hal itu guna membuat orang lain percaya atas argumentasi yang disampaikan. Pada akhirnya, diskusi seperti terdistorsi karena argumentasi yang disertai dengan teks suci.

Dunia seolah terpecah menjadi dua kubu. Pembenci Ahok dan kelompok anti-FPI. Kemudian, istilahnya diperlebar menjadi golongan munafik dan golongan orang-orang pembela agama yang sejati. Hitam dan putih adalah warna yang mesti dipilih. Tak ada warna selain itu. Kalau tidak memilih hitam atau putih, berarti golongan setan. Na'udzubillah.

Padahal, selain hitam dan putih terdapat warna lain yang indah. Ada merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, dan ungu. Pilihan-pilihan itu yang seharusnya dipilih agar tak terjebak dalam ruang fanatisme dan kebencian yang membabi-buta. Pada warna-warna itu, tercipta rongga sedikit untuk memberi kritik membangun dan apresiasi secukupnya.

Ahok dan Rizieq adalah dua sosok yang telah memberikan kontribusi yang cukup baik atas keberlangsungan berpikir bagi manusia Indonesia saat ini. Mereka berdua memberi pelajaran berharga bagaimana menghargai pilihan orang lain tanpa harus memutus jalinan silaturrahim antarsesama. Mari kita membaca, agar tak hilang arah saat kendali otak mulai oleng.

Saya tidak perlu merunut kejadian dari awal; sejak pidato Ahok di Kepulauan Seribu atau Buni Yani yang menyebar video Ahok, seminggu setelahnya. Saya sama sekali tidak akan mengatakan bahwa Buni Yani sengaja mencari titik kesalahan Ahok untuk menjatuhkannya di Pilkada DKI Jakarta. Sama sekali, saya tidak bermaksud seperti itu.

Namun, saya ingin membahas soal penggemar atau simpatisan dari Ahok dan Rizieq yang luar biasa itu. Mereka seperti membabi-buta dalam mendukung dan membenci. Hal tersebut yang sangat berpotensi menimbulkan konflik horizontal. Terlebih di akar rumput, yang tingkat pengetahuannya masih rendah. Kita seperti sedang diadu domba. Dibenturkan satu dengan yang lainnya.

Kita seperti dibuat bingung dalam memilih. Serba salah. Mendukung Ahok dianggap sama dengan mendukung kekufuran berkuasa di Bumi Pertiwi. Sementara mendukung Rizieq dianggap bodoh, karena beberapa kali Rizieq juga melakukan pelanggaran tapi tidak dihukum. Intinya, Ahok dan Rizieq sama-sama memiliki massa yang tidak sedikit. Kapan pun dibutuhkan, simpatisan siap turun ke jalan. 

Saling sindir mengemuka di media sosial. Kampanye hitam mulai diangkat ke permukaan. Sungguh, mencederai kesepakatan awal; Pemilu damai nan teduh diabaikan sejak video pidato Ahok yang disebar Buni Yani itu. Semuanya panas. Kadang lucu, tapi tak jarang keadaan justru mengerikan. Pendukung kedua orang itu sangar-sangar dan cenderung merasa benar diri, orang lain salah.

Terkadang saya juga merasa lucu saat melihat tingkah laku Rizieq. Dia menolak Ahok karena beragama Kristen, ucapannya yang kasar, dan sikapnya yang angkuh. Namun, dalam proses penolakannya Rizieq justru sering (barangkali) keceplosan mengeluarkan ucapan-ucapan yang tak seharusnya diungkapkan. 

Ahok pun demikian. Sudah terkena 'amuk massa', masih saja bicara yang cenderung menyakitkan. Misalnya seperti menyindir Novel Bamukmin terkait Fitsa Hats. Terlepas itu, saya mengapresiasi Ahok karena keberanian dan keteguhannya dalam membela kebenaran yang diyakininya benar.

Kendati demikian, massa pendukung keduanya tetap menyalahkan pihak lawan yang dianggap melakukan kriminalisasi kepada sosok idolanya itu. Seburuk apa pun sikap dan perilaku sang idola, mereka tetap setia memberi dukungan. Bahkan, memuji layaknya junjungan. Tidak ada cacat sedikit pun pada sosok itu. Akhirnya, Rizieq dan Ahok sama-sama dinyatakan santun oleh pendukungnya masing-masing.

Mereka, simpatisan Ahok dan Rizieq, tentu punya alasan mendasar atas dukungan yang diberikannya secara tulus nan ikhlas itu. Teman Ahok, misalnya, mereka mendukung karena melihat prestasi Ahok yang selama ini nyata. Sementara pendukung Rizieq, barangkali karena merasa Islam perlu dibela dan diperjuangkan. Bahkan, Tuhan pun harus dibela. 


Hemat saya, yang membela tentu lebih perkasa ketimbang yang dibela.

Kita harus memberi apresiasi kepada Teman Ahok dan pendukung Rizieq. Mereka tulus dalam memperjuangkan kebenaran yang diyakininya. Namun, kita perlu beri kritik yang keras, jika menemukan pelanggaran dalam proses perjuangan itu. Bahwa Indonesia adalah negara hukum, bukan negara ormas. Begitu kata Wiranto.

Aparat tidak boleh tunduk oleh kekuatan massa. Hukum harus tetap digulirkan dan diberlakukan kepada pihak yang terbukti bersalah. Konstitusi dan teks kitab suci tidak bisa ditumpang-tindih. Keduanya memiliki peran masing-masing yang tentu berbeda, tetapi tidak bertentangan dan jangan dipertentangkan.

Kesimpulannya, Ahok dan Rizieq adalah dua sosok yang sama-sama santun, menurut pendukungnya. Tugas kita saat ini, menjaga persahabatan dan persaudaraan agar tidak terputus hanya karena berbeda pilihan. Silakan bela Islam, silakan bela Ahok.

Terakhir, yang perlu diperhatikan dalam membela sesuatu adalah soal kedewasaan. Kita hanya tinggal menginformasikan segala macam kebaikan yang ada pada seorang yang dibela, daripada harus mencari-cari kesalahan seseorang yang dibela orang lain.

Kalau mau cari pemimpin yang santun, caranya ya kudu santun!



Wallahu A'lam 


Bekasi Utara, 18 Januari 2017


Aru Elgete

Selasa, 17 Januari 2017

Memangnya Kenapa Kalau Saya Tidak Suka FPI?


Ilustrasi. Sumber: megapolitan.kompas.com

Saya tidak pernah menghafal sejarah atau asal-usul berdirinya. Yang jelas, terlepas dari peran media atau tidak, saya tidak suka dengan organisasi keagamaan yang satu itu. Premanisme dan gaya 'Islam Marah' senantiasa ditunjukkan demi kepentingannya.

Parahnya, aparat penegak hukum seperti lemah syahwat saat berhadapan dengan mereka. Loyo. Entah karena aparatnya yang dibayar, atau memang murni ketakutan. Takut dipentung atau diteriaki kalimat takbir tepat di telinga, misalnya. 

Ketidaksukaan saya kepada kelompok yang mengaku pembela agama itu dimulai ketika kejadian di Monas, beberapa tahun lalu. Kemudian aksi siram air yang dilakukan Munarman di sebuah acara talkshow salah satu stasiun televisi swasta tanah air.

Kalau saya tidak suka, memangnya kenapa? Salah, ya? Auto-murtad atau anti-Islam, dong? Liberal, ya? Hmmm, antek kafir dan Yahudi, barangkali? Ah, saya tidak peduli. Yang jelas, saya tidak suka. Titik.

Urusan murtad dan anti-Islam, biar urusan Allah. Sebab hanya Dia ahkamil-hakimiin. Saya juga tidak masalah disebut Liberal, karena Islam memang Liberal. Pembebas dan membebaskan. "Islam!" Menurut saya, adalah kalimat perintah untuk membebaskan suatu objek. 

Namun, ketidaksukaan itu tidak sampai ke titik benci. Tidak seperti mereka yang gemar menebar kebencian, bahkan dari mimbar keagamaan. Usai salat Subuh berjamaah di Masjid Al-Azhar Kebayoran Baru, misalnya. Lucu, ibadah kok dijadikan sebagai ajang untuk membenci.

Padahal di Al-Quran sudah jelas, wajadilhum billati hiya ahsan. Jadi, kalau tidak suka terhadap suatu hal, tidak perlu langsung marah-marah. Debat saja, tapi yang santun. Itu perintah Allah. Namun, jika perintah itu tidak dijalankan ya tidak masalah. Toh, tidak mengimani salah satu perintah qouliyah-Nya, tidak lantas menggugurkan keislaman apalagi menjadi hilang keberimanan kepada Allah.

Katanya (sih) Idealisme mereka adalah amar ma'ruf nahi munkar. Sayangnya yang dikedepankan justru berbeda. Karena yang dicontohkan Rasulullah itu amar ma'ruf bil ma'ruf, nahi munkar bil ma'ruf. Sebaliknya, mereka justru amar ma'ruf bil munkar, nahi munkar bil munkar. 

Nah, contoh-contoh di atas jangan lantas membakar sumbu otak yang pendek itu, ya. Sekalipun begitu, saya tetap mengapresiasi gerak kemanusiaan yang dilakukan organisasi peliharaan negara itu. Misal, mereka pasti 'turun gunung' saat musibah melanda saudara setanah air atau saudara sesama muslim. 

Hal tersebut yang ingin saya sampaikan kepada mereka. Bahwa dalam membenci dan mencintai, jangan sampai berlebihan. Akibatnya, selera humor menurun karena otak semakin dilemahkan untuk berpikir rasional. Merugilah bagi manusia yang segala sesuatunya dilakukan dengan cara berlebihan. Innallaha laa yuhibbul musrifiin.

Ada banyak hal yang tidak saya suka dari mereka. Misal, Ahok dilaporkan atas tuduhan penistaan agama. Sementara ketika Rizieq diduga menista agama, negara dianggap anti-Islam dan anti-Ulama. Jihad adalah jalan satu-satunya. Demonstrasi besar-besaran dijalankan. Revolusi dan aksi massa yang lainnya.

Sikap Rizieq yang tidak dewasa itu, wajar saja jadi bahan bercandaan sebagian orang. Strategi bertahan selalu diterapkan. Islam (versi mereka) selalu berada di bawah tekanan. Siapa pun yang tidak sepaham, dianggap musuh Islam (musuh mereka, red). Islam selalu tak berdaya, selalu kalah dengan konspirasi-konspirasi di luar sana.

Saya jadi heran. Islam ingin berkuasa, ingin berjaya, dan berdiri sebagai jalan kebenaran satu-satunya di muka bumi, tetapi caranya justru dengan baper yang berlebihan. Disenggol sedikit saja marah, digoyang sebentar langsung keluar ancaman yang menakutkan. Sangat mengerikan. Islam kok begitu banget? Mau kayak Suriah dan Timur Tengah? Saya sih ogah.

Sebenarnya masih banyak yang ingin saya sampaikan. Tapi mungkin lain waktu. Sebagai penutup, saya ingin mengingatkan pembaca soal kaidah emas yang berbunyi, "janganlah engkau berbuat sesuatu kepada orang lain, yang engkau sendiri tidak ingin diperlakukan seperti itu!" Atau, dalam kalimat positifnya berbunyi, "cintailah sesamamu seperti engkau mencintai dirimu sendiri."

Selamat bersidang saya ucapkan untuk Pak Ahok. Selamat menjadi lelaki sejati. Mengakui kesalahan, meminta maaf, tidak angkuh, dan jemawa. Tetap menjadi profesional. Jangan seperti mereka yang hanya mengandalkan kekuatan massa. Sekali lagi saya tanya, memangnya kenapa kalau saya tidak suka FPI?

Mohon beri saya jawaban terkait pertanyaan yang saya ajukan itu. Terimakasih.



Wallahu A'lam


Bekasi Utara, 17 Januari 2017


Aru Elgete

Minggu, 15 Januari 2017

Komitmen Bersama Menjaga Tradisi Islam Nusantara


Dari kiri ke kanan: Muhammad Ammar, Sami Makarim, Ahmad Mustofa Al-Qodiri Al-Baghdadi, Aru Elgete, Muhammad Syakir Ni'amillah. Foto Bersama di Makam Pangeran Jayakarta, Jakarta.

Jumat (13/1) malam, debat resmi kandidat Cagub-Cawagub DKI Jakarta digelar. Suhu politik Ibukota memanas. Terlebih di media sosial, semua orang memberikan komentar dan tanggapan atas apa yang ditontonnya. Gaduh. 

Seolah tak ada yang menonton debat kecuali dia, sehingga berkewajiban memosting tulisan di media sosial untuk memberitahu orang lain. Seakan Facebook, Twitter, Path, dan Line adalah penentu kemenangan pasangan calon (Paslon) idamannya.

Saling sindir, cibir, dan ungkapan merendahkan digulirkan melalui tulisan maupun meme. Seperti keluar jalur dari kesepakatan awal bahwa Pilkada Serentak 2017, khususnya di DKI Jakarta harus teduh dan damai. Tapi kenyataan berkata lain. Tetap saja begitu, memang sudah wataknya.

Malam itu, saat tahu bahwa begitu menjijikkannya kehidupan di dunia maya, saya dan teman-teman seperjuangan semasa di Buntet bergegas menziarahi makam ulama Betawi. Tujuan wisata spiritual ketika itu adalah Pangeran Jayakarta. Berharap dengan washilah beliau, doa dan keinginan kami diwujud-nyatakan oleh Allah, yakni agar Jakarta kembali Teguh Beriman.

Kalau ingin tahu sejarah hidupnya Pangeran Jayakarta, silakan ngaji di Mbah Yai Google atau beli buku di Gramedia atau Toko Buku terdekat.

Diantara kami, tak ada yang didapuk menjadi imam besar. Karena semua berpotensi menjadi imam besar, minimal di lingkungannya masing-masing. Tempat tinggal kami saling berjauhan satu sama lain, dan hanya bisa disatukan oleh komitmen bersama, yaitu menjaga tradisi Islam Nusantara.

Muhammad Syakir Ni'amillah, salah seorang putra Kiai Buntet yang kini sedang menempuh studi di UIN Syarif Hidayatullah. Dia adalah pelopor gerakan ziarah. Tiap kali pertemuan, Syakir selalu mengajak untuk sowan ke Ulama-ulama Betawi. 

Sami Makarim pun sama. Dia kuliah di UIN Syarif Hidayatullah. Domisilinya di daerah Cibubur, namun dia memilih untuk tinggal di asrama. Mungkin menurutnya hal itu dapat lebih memantik semangat untuk terus belajar. Kalau ada waktu senggang, dia semangat menggerakkan tubuhnya untuk ziarah ke orang-orang alim di Ibukota.

Ahmad Mustofa Al-Qodiri Al-Baghdadi, tinggal di Cibubur. Dia sekretaris Lajnah Ruhaniyah Qodiriyah. Mamet, begitu sapaan akrabnya, tidak akan bisa ikut wisata spiritual kalau tanpa Sami, kerabat dekatnya. Atau kalau terpaksa, dia memilih Ojek Online sebagai jawaban. Yang jadi permasalahannya adalah, bukan karena tidak bisa mengendarai sepeda motor, tapi hanya kurang mahir saja. Entahlah, begitu katanya.

Muhammad Ammar, berdomisili di Rawasari, Jakarta Pusat. Dia aktivis muda NU yang terkadang membantu pekerjaan bisnis orangtuanya, Dwi Er Grafika. Kalau urusan percetakan, apa pun, silakan hubungi dia. Nah, rumahnya itu selalu menjadi titik kumpul kami sebelum berangkat ke tujuan wisata spiritual. 

Dia punya buku Ulama Betawi, abad 18 hingga 20. Lengkap dengan sejarah hidup dan lokasi makamnya. Sebelumnya, kami mengkaji, membaca, dan berdiskusi soal tokoh yang ingin diziarahi itu. Kemudian, kami berniat dan bertekad untuk menjaga tradisi Islam Nusantara.

Bukan hanya tradisi ziarah kubur saja yang ingin dilestarikan. Tetapi soal gaya hidup dan sikap umat Islam di Nusantara. Bahwa sejarah kehidupan orang-orang Islam Nusantara sangat berbeda dengan kebanyakan Muslim di Barat, apalagi di Arab. Islam di sini sangat santun. Tata Krama yang diajarkan oleh leluhur bangsa sangat sejalan dengan ajaran Nabi Muhammad.

Kami berlima tentu berbeda pandangan dalam beberapa hal. Misal, dalam hal pilihan dalam kontestasi politik Tanah Air. Berdebat dan berdiskusi sering mewarnai persahabatan kami, tapi tak pernah saling menjatuhkan satu sama lain. Sebab menjunjung peradaban Islam Nusantara jauh lebih berharga daripada hanya mendebatkan hal-hal yang berpotensi memecah-belah.

Bagi kami, politik adalah alat untuk memenuhi amanat Pancasila dan UUD 1945, bukan sebagai motor penggerak guna menggapai kekuasaan. Karenanya, setelah tahu bahwa debat kandidat, Jumat malam itu berlangsung begitu menggelikan, kami lebih memilih menjaga komitmen bersama. 

Meskipun berbeda pilihan dalam Pilkada DKI Jakarta tahun ini, perdebatan sengit yang cenderung menebar kebencian dan bahkan memperlebar ruang permusuhan tetap kami jauhi. Karena memang, tradisi Islam Nusantara tidak pernah mengajarkan kebencian dan permusuhan.

Dalam perjalanan persahabatan kami, cahaya perdamaian mesti harus selalu ditebarkan. Sebab dengan itu, kami dapat menghargai perbedaan pendapat. Tidak menghindari diskusi dan debat, apalagi saat disambi dengan secangkir kopi hitam.

Hal yang kami hindarkan adalah sikap ingin menang sendiri, merasa paling benar dan menganggap orang lain salah. Selain itu, kami selalu menghindari gaya komunikasi yang berusaha menjatuhkan atau bahkan menjelekkan dan menghina lawan bicaranya. 

Kalau ada salah kata, silakan didiskusikan. Jangan dipendam dalam hati, sehingga membatu dan membentuk gumpalan kebencian. Begitu menurut kami.




Wallahu A'lam



Bekasi Utara, 15 Januari 2017



Aru Elgete

Jumat, 13 Januari 2017

Fulan: Jangan Dekati Aru, Dia Liberal!


Foto bersama komunitas Forum Ide di Kerajaan Eden, Jakarta Pusat.

Saya sering mendengar atau setidaknya mendapat laporan bahwa ada yang bilang, "Jangan dekati Aru, dia liberal!" Hal itu sudah biasa terdengar saat saya mulai berani memberikan tanggapan dan komentar yang sangat tidak umum di media sosial milik sendiri. Sekira empat tahun yang lalu.

Terhitung sudah hampir belasan kali, saya keluar-masuk rumah ibadah agama lain. Saat sedang bersafari ke rumah ibadah agama lain, seketika itu juga saya langsung mengunggahnya ke Facebook atau Twitter. Beragam penafsiran dan tanggapan bermunculan. Salah satunya, "Oh, Aru liberal toh."

Bahkan, tak jarang saya mengikuti diskusi di Utan Kayu bersama Jaringan Islam Liberal. Sebelum dan pasca diskusi, saya senang mengunggah foto atau tulisan hasil dari proses pendewasaan pemikiran di sana. Semakin terbukalah tabir, bahwa saya memang benar liberal.

Kritik pun tak jarang saya lontarkan ke kelompok-kelompok keagamaan yang beragama dengan saklek dan kaku. Sebab, yang saya tahu sejak keterlibatan dalam diskusi di Utan Kayu, agama itu suci dan lembut, tidak kasar dan main hakim sendiri.

Toh, saya berpikir bahwa mengkritik kelompok keagamaan tertentu bukan berarti mengkritik agama itu sendiri. Kelompok keagamaan sama sekali tidak merepresentasikan agama yang tak terdefinisi itu. Misal, saya anti dengan FPI, HTI, MUI, dan FUI, bukan berarti saya anti dengan Islam atau bahkan anti dengan semua ulama di Indonesia.

Saya mengerti Islam tidak langsung dari empunya, tidak langsung dari Rasulullah, tidak langsung dari teks Al-Quran atau hadits yang saya baca, tidak otodidak. Islam yang saya pahami adalah hasil dialektika antara literatur keagamaan yang saya baca dan kajian-kajian ilmiah yang saya ikuti.

Begini, awalnya saya mengerti Islam dari para ulama di Buntet Pesantren Cirebon. Mereka mengajarkan dan menginformasikan bahwa agama yang dibawa Rasulullah mengajarkan welas asih, tidak dengan amarah; apalagi kebencian. 

Kemudian saya diperkenalkan dengan Gus Dur, Cak Nur, Ahmad Wahib, Ahmad Tohari, Mahbub Junaidi, Buya Hamka, Buya Haedar Nashir, Prof Quraish Shihab, Kiai Said Aqil Siroj, Buya Syafi'i hingga Kiai Lukman Hakim (Menteri Agama RI saat ini). Saya mengenalnya melalui buku, diskusi, atau bertemu langsung untuk mengetahui bagaimana Islam, sejak dulu hingga sekarang.

Mereka semua sepakat dan sependapat bahwa Islam itu berkewajiban menebar rahmat untuk semua, tak pandang bulu, dan tidak pilih kasih. Jadi, seperti itulah perjalanan pemahaman keagamaanku. Tidak secara otodidak, tapi melalui proses yang panjang. Bertahun-tahun.

Saya jadi paham bahwa Rasulullah, menurut pengetahuanku tidak pernah membenci dan memusuhi. Tidak pernah mencaci apalagi memaki. Santun, penyayang, humoris, sederhana, dan pemersatu umat.

Cara berdakwahnya tentu dengan merangkul, bukan memukul. Mengajak diskusi, bukan menutup diri. Menghampiri, bukan menjauhi. Toh, kalau kita berbeda pandangan kenapa justru permusuhan yang dikedepankan?

"Ah, Aru liberal. Ngapain juga diskusi agama sama dia, mending dijauhin!"

Mungkinkah Nabi Muhammad berbuat seperti itu? Pernahkah beliau menjauhi musuh-musuhnya? Bukankah Kekasih Allah itu mengasihi semua makhluk tanpa pengecualian? Kalau saya dianggap musuh, kenapa justru dijauhi? Seperti itukah dakwah Kanjeng Nabi? Silakan dijawab dalam hati.

Saya pun mengakui bahwa diri ini masih dalam keadaan yang tersesat. Sebab hidup di dunia adalah sebuah proses kemanunggalan kepada Allah. Itulah tauhid. Apabila saya sudah tak sesat dan sudah merasa paling benar, maka kalimat ihdinash-shiratal-mustaqim tak perlu lagi dibaca dalam setiap peribadatanku.

Oh iya, urusan ibadah tak perlu diumbar ke permukaan. Salat, puasa, zakat, dan syahadatku adalah amal perbuatan. Wudluku bukan dengan air biasa, tetapi perilaku yang terpuji. Ruku' dan sujudku adalah sebuah tanda penghormatan kepada Allah dan Rasul-Nya di setiap desah nafas yang terhela.

Bagaimana? Liberal banget kan?

Kawanku yang budiman, Islam itu pembebas dan membebaskan. Firman Allah yang pertama pun, Iqro bismirobbik. Tidak menekankan kepada kita perihal apa yang harus dibaca. Itu artinya Islam dan Allah sendiri bersifat membebaskan.

Adakah yang tahu maksud Allah dalam Firman pertamanya itu, benda atau objek apa yang harus dibaca?

Menurut hemat saya, Allah memerintahkan hamba-Nya agar senantiasa membaca semesta. Membaca kehidupan. Membaca gerak-gerik alam. Membaca teks verbal dan nonverbal. Membaca secara tekstual maupun kontekstual. Bahkan, membaca kematian dengan memperbanyak manfaat kehidupan.

Itu!

Intinya adalah, saya tidak akan mendiamkan sebuah ketersesatan merajalela. Karena tugas Rasulullah ketika itu justru menghampiri orang-orang yang tersesat dan memberi informasi sekaligus petunjuk jalan kebenaran. Tidak justru menyesat-nyesatkan ketersesatan. Apalagi menjauhi orang lain yang dianggap sesat.

Terakhir, perlu dipahami. Ketika saya mengkritik kelompok atau komunitas agama, jangan diartikan bahwa saya sedang mengkritik agama. Orang dewasa pasti bisa membedakan antara kelompok agama dengan agama itu sendiri. 

Sama seperti saudara-saudaraku di sana yang senang mengkritik Ulama kebanggaanku, seperti Prof Quraish Shihab, Kiai Said Aqil Siroj, dan bahkan Buya Syafi'i. Atau mengkritik kelompok keagamaan dambaanku, NU dan Muhammadiyah. Saya tidak akan mengatakan bahwa saudara-saudaraku itu mengkritik atau anti dengan Islam. Tidak.

Hanya saja, kita juga harus tahu diri. Harus menakar diri. Kritik yang dilontarkan itu beradab atau tidak? Komentar yang kita berikan itu, berdasar atau tidak? Kalau tidak, yuk diskusi. Siapkan kopi kental tanpa gula sebagai pemantik agar tak cepat ngantuk.

Saya tunggu undangan diskusinya...


Perumahan Perwirasari, Bekasi Utara, 13 Januari 2017



Aru Elgete

Selasa, 10 Januari 2017

Surat Terbuka Untuk Teater Korek


Anggota dan pengurus sedang menyanyikan Mars Teater Korek, usai pementasan Domino pada Senin (9/1) malam.


Yth,
Pelopor/Pendiri/Penerus Teater Korek
di Tempat

Sehubungan dengan terselenggaranya pementasan Gema Awal Tahun yang berjudul Domino, Senin (9/1) malam di Aula Fakultas Ekonomi Universitas Islam "45" (Unisma) Bekasi, ada beberapa hal yang ingin saya sampaikan demi kebaikan dan kemajuan Teater Korek ke depannya. 

Pertama,
Saya mengapresiasi kerja Teater Korek yang tetap konsisten berada di jalur kebudayaan dan kemanusiaan. Domino itu sarat dengan keadaan kita akhir-akhir ini. Isu kemiskinan, kesengsaraan, dan pemerkosaan dihadirkan di dalamnya. Saya berpikir, Domino ini adalah sebuah kritik untuk penguasa yang senang menelantarkan nasib rakyatnya.

Kedua,
Dengan segala kerendahan hati, saya ucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang telah membantu kelancaran proses belajar anggota Teater Korek. Bahwa sesungguhnya, kalimat belajar latihan dan belajar mentas adalah bentuk kejujuran lahir-bathin yang dialamatkan kepada masyarakat.

Saya sepakat dengan ucapan Sutradara Domino, Zeta Margana, dalam kerja kebudayaan diperlukan netralisasi jiwa dan rasa. Rendah hati pun mesti diejawantahkan agar kelak, di puncak kemapanan, seluruh anggota Teater Korek, baik secara struktural maupun kultural, mendapatkan hasil sempurna.

Ketiga,
Kemarin saat pementasan, saya melihat animo masyarakat sangat tinggi untuk menyaksikan pertunjukkan Domino. Walaupun tidak semua dari penonton yang hadir itu memiliki niat dan tujuan yang sama. Tetapi setidaknya, Teater Korek sudah dipercaya masyarakat sebagai salah satu penggerak kebudayaan di Kota Bekasi. Mohon dipertahankan.

Keempat,
Segera melakukan pembenahan organisasi, terlebih soal kaderisasi dan kekaryaan. Dua hal itu yang mesti diperhatikan. Teater Korek merupakan sebuah organisasi di bawah naungan Direktorat Kemahasiswaan dan Alumni (DIKA) Unisma Bekasi tentu memiliki sisi internal dan eksternal. Nah, itu yang hampir tak tampak saat ini.

Kita perlu melakukan hubungan ke luar, melakukan kerja bersama dengan komunitas kampus atau yang bukan kampus. Tetapi, jangan lupa bahwa kita memiliki dapur sendiri. Jangan hanya karena kedekatan emosional yang sangat erat dengan beberapa elemen kebudayaan, Teater Korek menjadi seperti tak punya apa-apa. 

Sepenglihatan saya, Teater Korek seperti sedang bergelap-gelap dalam terang. Bahkan lebih parahnya, seperti ditenggelamkan pada lautan kepentingan. Sekali lagi, saya sangat berharap Teater Korek segera melakukan pembenahan organisasi. Tujuannya, agar rumah tangga Teater Korek tak samar-samar dipandang mata. 

Yang namanya organisasi tentu memiliki alur koordinasi dan birokrasi yang mesti dijalankan secara formal. Misal, Teater Korek perlu memiliki batasan-batasan tertentu kepada lembaga yang berada di sekitarnya. Kedekatan emosional antar-individu tidak bisa mempengaruhi atau menjebol batasan itu. Orang dewasa pasti mengerti, organisasi atau lembaga jelas berbeda dengan pribadi atau individu seseorang.

Kita tidak akan bisa meningkatkan kekaryaan, kalau dapur tidak ngebul karena sebagian besar perabotan sudah hancur dimakan rayap. Atau hilang terbawa gelombang eksistensi. Bahkan, lenyap ditelan oleh kemaruk jiwa yang berlebih.

Kelima,
Teruntuk anggota baru Teater Korek, khususnya yang mementaskan Domino kemarin malam, saya ucapkan selamat. Kalian telah menempuh hidup baru di koridor kesunyian, di lorong yang tak dicintai banyak orang, dan di jalan yang dibenci segelintir orang. Selamat melakukan peribadatan suci dengan kerja kebudayaan dan kemanusiaan.

Jangan berhenti berproses. Sebab di dalam kerja teater, kita akan terlatih untuk menjadi luas dalam berpikir dan tidak hanya melihat suatu peristiwa dari satu sudut pandang. Selain itu, teater mengajarkan keseimbangan. Stabilitas tubuh yang menjadi bagian dari olah tubuh, sangat berpengaruh bagi kehidupan, kelak. Percayalah.

Jangan berhenti mengolah pikir, rasa, jiwa, dan tubuh. Karena itu merupakan modal dasar untuk mencapai kebermanfaatan diri. Tetap pasrah-rebahkan hidup pada alam, tetapi jangan menyerah pada keadaan. Jangan sampai terbunuh oleh waktu, apalagi dibunuh oleh tubuh sendiri.

Saya tahu betul bagaimana proses yang dilakukan menuju Domino itu. Anggota baru Teater Korek angkatan 13 datang dari berbagai latar belakang yang tak sama. Mereka sangat militan dan tidak pernah mengeluh; mereka merebah-pasrahkan diri pada proses. 

Keenam,
Saya mohon kepada angkatan 13, para aktor Domino, agar menyatukan jiwa-jiwa dan membangunnya dalam senasib serasa. Dengan begitu, kerekatan antarkita akan tercipta sehingga rumah tangga yang kini samar-samar itu menjadi terang-benderang, dan perlahan kita membangkitkan tubuh untuk tegap menghadapi berbagai rintangan di depan mata.


Ketujuh,
Teater Korek adalah organisasi kekeluargaan. Tidak ada gelar alumni dalam perjalanannya. Organisasi yang selalu membuka diri terhadap kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi. Membebaskan. Namun, tetap serius saat melakukan kerja kebudayaan. Pelopor dan para pendiri Teater Korek ikut membantu, minimal urun-rembug saat bicarakan konsep.

Maka atas perkenan surat ini, saya mohon kepada seluruh pelopor, pendiri, dan para pendahulu agar 'turun gunung' mengawal gerak adik-adiknya. 

Kedelapan,
Maafkan saya karena sempat hilang sejak Maret 2016 dan baru kembali di akhir tahun kemarin. Semoga kita dapat membangun Teater Korek dengan karya bersama-sama. Semoga pula keresahan kita dapat menjadi penguat untuk tetap teguh dan konsisten dalam ketersesatan di jalan kebenaran. 

Kesembilan,
Saya beritahukan juga kepada para pendiri, pelopor, dan pendahulu Teater Korek bahwa akan dilangsungkan Mukelu Biasa (Muktamar Keluarga Luar Biasa) pada Februari 2017, di Puncak, Jawa Barat.  

Demikian surat ini, saya sampaikan dengan segala kerendahan hati. Atas perhatian dari Teater Korek (pelopor, pendiri, dan penerus) diucapkan terimakasih.


Wallahu A'lam

Hormat saya,


Aru Elgete
(Kepala Bidang Non-Artistik Teater Korek Unisma Bekasi, 2015-2017)