Langit Bekasi mendung seketika.
Semua berduka. Seorang seniman, sastrawan, penggiat teater, penyair, dan
pemerhati kebudayaan telah berpulang, Senin (31/10) siang. Suara tangis
pecah di setiap ruang dan sudut kota. Pria berperawakan tinggi-besar,
berambut gondrong, berkulit agak gelap, telah melebur pada kesejatian
yang sesungguhnya. Jejaknya meninggalkan bercak kebahagiaan dan
kegembiraan bagi setiap orang terdekatnya. Sementara kesedihan yang
mengantarkan pada ruang tidur terakhir kalinya, adalah pengantar
kecintaan yang mendalam.
Kepekaan
sosial yang terpatri dalam jiwanya, selaras dengan senyum renyah yang
senantiasa mengembang. Ia seorang pecinta, yang selalu resah atas
kecarut-marutan kondisi bekasi, bahkan bangsa dan negaranya. Karya dan
prestasinya ditumpahkan dalam keindahan syair-syair puisi, yang kemudian
diaransemen menjadi sebuah lagu; sebagai simbol pergerakan, perjuangan,
dan ketulusannya pada sesama. Suara serak-serak basah, menjadi ciri
dari kepribadiannya yang bersahaja.
Karena
sikapnya yang lentur, ia mampu merangkul semua kalangan; mulai dari
pengemis, anak jalanan, preman pasar, penggiat anti-korupsi, teater dan
kebudayaan, akademisi, sampai pemerintahan. Namanya melambung tinggi
berkat kesahajaan diri yang dipersembahkan tanpa tedeng aling-aling.
Baginya, sastra adalah jalan sunyi yang membuka gerbang perubahan dan
peradaban. Hanya orang-orang tertentu yang mampu konsisten berdiri dan
berjalan di labirin kesunyian.
Dari
sunyi, dirinya bisa melihat keramaian. Memberi angin segar pada
kegaduhan yang selama ini tercipta karena keserakahan dan kedurjanaan
duniawi. Putra Batak yang satu ini, selalu luluh hatinya saat melihat
beragam lakon penindasan dan penganiayaan yang menimpa rakyat kecil. Ia
selalu terpanggil untuk terus menyuarakan kebenaran. Membantu
meringankan beban orang lain, baginya, merupakan cara untuk mencintai
kekasih di keabadian.
Malam itu,
masih kuingat selalu, kita berasyik-masyuk bercengkrama tentang cinta;
cinta seorang penyair pada kekasih, serta kerinduan yang mendalam untuk
berpasrah pada ketetapan hukum alam. Kini, dirimu sudah menjadi satu.
Menjadi lebur pada kesejatian. Semoga kerinduan yang kala itu kita
perbincangkan, menjadi washilah untuk kebersamaan kita, yang abadi.
Aku
mendapat banyak pembelajaran tentang makna kehidupan yang hakiki, dari
setiap obrolan santai yang menjadi bekal di kemudian hari. Di ruang yang
hampir redup, tutur katamu selalu kuingat, “jangan pernah membenci
kebudayaan, karena peradaban, hidup dan mati, dan silaturrahmi batin
kita adalah soal keberlangsungan budaya yang harus tetap terjaga.”
Untuk
menciptakan silaturrahmi batin, istilah Sobat Tande kau angkat ke
permukaan. Sebuah istilah dan cita-cita luhur demi keharmonisan sesama.
Istilah itu, tak begitu akrab di telinga manusia Indonesia, atau bahkan
orang Bekasi kekinian. Sobat Tande dibangun atas dasar kekeluargaan,
rasa saling memiliki dan menghargai tanpa sekat yang menghalangi.
Bagi
sebagian besar warga Bekasi saat ini, istilah yang lahir pada tahun
60-an itu sangat identik dengan kepribadian Ane Matahari. Ia memberikan
sinar peradaban bagi kebudayaan di Bumi Patriot. Memancarkan cahaya dari
kegelapan dan kepekatan langit negeri. Meninggalkan beragam warna
kebahagiaan sekaligus beban moral yang harus dipikul bersama, demi
sebuah kebudayaan yang harus tetap lestari; sebagaimana ia yang kini
menjadi satu pada keabadian.
Sinar
peradaban, selamat menempuh jalan sunyi yang sejak dulu kau dambakan;
untuk menuju kesejatian dan melebur pada tubuh kekasih yang kau cintai
dengan ketulusan.
*dimuat di demenbekasi.com pada 1 November 2016*
Laboratorium Teater Korek Unisma Bekasi, 28 Januari 2017
Aru Elgete
0 komentar: