Sabtu, 28 Januari 2017

Ane Matahari, Sinar Peradaban Bumi Patriot




Langit Bekasi mendung seketika. Semua berduka. Seorang seniman, sastrawan, penggiat teater, penyair, dan pemerhati kebudayaan telah berpulang, Senin (31/10) siang. Suara tangis pecah di setiap ruang dan sudut kota. Pria berperawakan tinggi-besar, berambut gondrong, berkulit agak gelap, telah melebur pada kesejatian yang sesungguhnya. Jejaknya meninggalkan bercak kebahagiaan dan kegembiraan bagi setiap orang terdekatnya. Sementara kesedihan yang mengantarkan pada ruang tidur terakhir kalinya, adalah pengantar kecintaan yang mendalam.


Kepekaan sosial yang terpatri dalam jiwanya, selaras dengan senyum renyah yang senantiasa mengembang. Ia seorang pecinta, yang selalu resah atas kecarut-marutan kondisi bekasi, bahkan bangsa dan negaranya. Karya dan prestasinya ditumpahkan dalam keindahan syair-syair puisi, yang kemudian diaransemen menjadi sebuah lagu; sebagai simbol pergerakan, perjuangan, dan ketulusannya pada sesama. Suara serak-serak basah, menjadi ciri dari kepribadiannya yang bersahaja.

Karena sikapnya yang lentur, ia mampu merangkul semua kalangan; mulai dari pengemis, anak jalanan, preman pasar, penggiat anti-korupsi, teater dan kebudayaan, akademisi, sampai pemerintahan. Namanya melambung tinggi berkat kesahajaan diri yang dipersembahkan tanpa tedeng aling-aling. Baginya, sastra adalah jalan sunyi yang membuka gerbang perubahan dan peradaban. Hanya orang-orang tertentu yang mampu konsisten berdiri dan berjalan di labirin kesunyian.

Dari sunyi, dirinya bisa melihat keramaian. Memberi angin segar pada kegaduhan yang selama ini tercipta karena keserakahan dan kedurjanaan duniawi. Putra Batak yang satu ini, selalu luluh hatinya saat melihat beragam lakon penindasan dan penganiayaan yang menimpa rakyat kecil. Ia selalu terpanggil untuk terus menyuarakan kebenaran. Membantu meringankan beban orang lain, baginya, merupakan cara untuk mencintai kekasih di keabadian.

Malam itu, masih kuingat selalu, kita berasyik-masyuk bercengkrama tentang cinta; cinta seorang penyair pada kekasih, serta kerinduan yang mendalam untuk berpasrah pada ketetapan hukum alam. Kini, dirimu sudah menjadi satu. Menjadi lebur pada kesejatian. Semoga kerinduan yang kala itu kita perbincangkan, menjadi washilah untuk kebersamaan kita, yang abadi.

Aku mendapat banyak pembelajaran tentang makna kehidupan yang hakiki, dari setiap obrolan santai yang menjadi bekal di kemudian hari. Di ruang yang hampir redup, tutur katamu selalu kuingat, “jangan pernah membenci kebudayaan, karena peradaban, hidup dan mati, dan silaturrahmi batin kita adalah soal keberlangsungan budaya yang harus tetap terjaga.”

Untuk menciptakan silaturrahmi batin, istilah Sobat Tande kau angkat ke permukaan. Sebuah istilah dan cita-cita luhur demi keharmonisan sesama. Istilah itu, tak begitu akrab di telinga manusia Indonesia, atau bahkan orang Bekasi kekinian. Sobat Tande dibangun atas dasar kekeluargaan, rasa saling memiliki dan menghargai tanpa sekat yang menghalangi.

Bagi sebagian besar warga Bekasi saat ini, istilah yang lahir pada tahun 60-an itu sangat identik dengan kepribadian Ane Matahari. Ia memberikan sinar peradaban bagi kebudayaan di Bumi Patriot. Memancarkan cahaya dari kegelapan dan kepekatan langit negeri. Meninggalkan beragam warna kebahagiaan sekaligus beban moral yang harus dipikul bersama, demi sebuah kebudayaan yang harus tetap lestari; sebagaimana ia yang kini menjadi satu pada keabadian.

Sinar peradaban, selamat menempuh jalan sunyi yang sejak dulu kau dambakan; untuk menuju kesejatian dan melebur pada tubuh kekasih yang kau cintai dengan ketulusan.

*dimuat di demenbekasi.com pada 1 November 2016*



Laboratorium Teater Korek Unisma Bekasi, 28 Januari 2017


Aru Elgete
Previous Post
Next Post

0 komentar: