Jumat, 27 Januari 2017

Islam Bukan Organisasi, Tetapi Metabolisme Kehidupan



Ilustrasi. Sumber: reference.com

Sejak Januari 2016, saya mulai melingkar bersama Jamaah Maiyah dalam forum Kenduri Cinta di Taman Ismail Marzuki. Di sana, proses pendewasaan berpikir dan berperilaku dilakukan. Kiai Muhammad Ainun Nadjib (Emha Ainun Nadjib) atau Cak Nun, seorang pembimbing di Kenduri Cinta selalu menegaskan bahwa setiap manusia harus memiliki kedaulatan, baik dalam bertindak maupun berpikir. Dia memberikan pelajaran penting, yakni soal melihat sebuah peristiwa sosial yang terjadi. Cara pandang, jarak pandang, sudut pandang, dan resolusi pandang adalah hal yang hingga kini saya perhatikan saat suatu fenomena di hadapan mata sedang berlangsung.

Jumat, 20 Januari 2017 tepat setahun saya menjadi bagian dari majelis ilmu itu. Tema yang diusung saat itu adalah 'Keledai Lestari'. Seperti biasanya, diskusi diawali dengan membedah makna dari tema. Ada yang berpendapat bahwa Keledai Lestari merupakan gambaran yang pas bagi kehidupan bangsa Indonesia. Dalam hal memilih pemimpin misalnya, kita selalu saja tertipu dengan janji-janji politik yang diberikan. Apa pasal? Salah seorang Jamaah Maiyah mengatakan, hal tersebut karena sistem demokrasi yang mengaburkan atau membuyarkan pandangan, sehingga kita tidak bisa membedakan antara berlian dan akik. Semua terlihat bagus. Padahal ternyata, sama saja seperti yang sudah-sudah.

Cara pandang sebagian besar bangsa Indonesia masih praktis, cenderung tidak kritis. Jarak pandang pun demikian. Kita tidak bisa menjaga jarak dengan objek yang dituju. Terlalu jauh atau bahkan sangat dekat. Sudut pandang yang diambil juga mungkin terlalu sempit, sehingga berdampak pada kekakuan dalam proses berpikir. Sementara resolusi pandang yang digunakan, kemungkinan kurang jernih yang membuat kita kehilangan kendali atas kedaulatan diri. Keempat hal itu kiranya yang menjadikan kita seperti keledai yang terjerembab dalam lubang yang sama; yang itu-itu saja. Bahkan, besar kemungkinan, martabat dan derajat manusia lebih rendah dari keledai.

Namun, Cak Nun memiliki pemikiran yang berbeda. Bahwa keledai adalah hewan, tidak bisa dikatakan salah atau benar, terpuji atau tercela, dan baik atau jahat. Karena memang antara hewan dan manusia mempunyai titik perbedaan yang sangat mendasar, yakni akal dan nurani. Harimau misalnya, memangsa adalah jalan satu-satunya untuk bertahan hidup. Apakah dengan begitu, kita lantas mengatakan bahwa harimau merupakan hewan yang jahat? Padahal harimau memang ditakdirkan sebagai hewan yang tidak suka dengan tetumbuhan. Dia karnivora. Atau kita katakan, kambing adalah hewan yang jahat karena untuk bertahan hidup, ia harus merusak tanaman Sementara ia tidak suka memakan daging.

Nah, kembali ke persoalan keledai. Kita bisa saja mencontoh keledai yang berkali-kali terperosok ke dalam lubang yang sama. Keterperosokan itu dapat diartikan sebagai sebuah konsistensi untuk mencapai keberhasilan. Dalam hal kekaryaan, keilmuan, dan keterampilan, seorang manusia tidak bisa serta-merta menjadi ahli tanpa melewati proses. Maka, sangat perlu kita melakukan pengulangan sampai ke puncak keberhasilan. Saya teringat ketika sedang belajar membaca huruf arab dengan metode turutan, kalau bacaan saya kurang benar maka harus mengulangnya esok hari. Dan begitu terus, sampai bisa. Terjerembab ke lubang yang sama perlu dilakukan sebagai proses menuju kebaikan.

Pada Kenduri Cinta edisi Januari 2017 itu, saya lantas berpikir tentang persoalan umat Islam di Indonesia. Kita selalu dihadapkan dengan persoalan yang itu-itu saja. Bahkan yang cenderung menimbulkan keresahan dan keterpecahan bangsa. Entah terperosok ke dalam lubang yang sama, yang diartikan sebagai perbuatan negatif atau konsistensi perbuatan yang mengarah ke dalam hal yang positif. Pemaknaan demikian tergantung dari cara, jarak, sudut, dan resolusi pandang yang kita gunakan. Semua orang berpegang pada kebenaran sendiri-sendiri dan kelompoknya masing-masing. Tak jarang, Tuhan dan teks suci pun dibawa untuk melegalkan perbuatannya.

Saya jadi teringat, Cak Nun pernah mengatakan bahwa kebenaran ada 3 macam. Pertama, kebenaran diri sendiri yang belum tentu benar menurut orang lain, dan sebaliknya, Kedua, kebenaran umum hasil kesepakatan bersama. Seperti bahasa, kebudayaan, atau pandangan politik dalam dunia demokrasi. Ketiga, kebenaran sejati yang hanya akan ditemukan saat proses pengembaraan kita sudah menemukan titik puncak. Yakni, manakala kita sudah hidup kekal di akhirat. Sebab, kebenaran sejati hanya milik Tuhan tanpa terjemahan atau interpretasi manusia. Karena, sejauh apa pun kita menerjemahkan maksud Tuhan, tidak akan pernah sama dengan kebenaran yang dimaksud oleh Tuhan itu sendiri,

Maka, Cak Nun pun seketika itu menyatakan bahwa Islam bukan organisasi, tetapi metabolisme kehidupan. Islam tidak sebatas pada FPI, HTI NU, Muhammadiyah, atau LDII sekalipun. Islam merupakan metabolisme kehidupan, tidak hanya terpaku pada Syahadat, Salat, Zakat, Puasa, dan Haji. Sebab rukun Islam hanya merupakan bentuk administratif, tidak lebih. Islam adalah perbuatan yang menjurus pada keselamatan, yang membebaskan siapa dan apa dari cengkraman keburukan menuju kehidupan yang lebih estetik dan dialektik. Hemat saya, ketika ada seorang yang tidak suka atau bahkan anti kepada salah satu organisasi keislaman, maka bukan berarti tidak suka atau anti kepada Islam secara keseluruhan.


Islam lebih luas dari sekadar FPI, HTI, NU, Muhammadiyah, atau LDII. Islam sudah ada sejak manusia pertama diciptakan. Islam adalah perilaku, bukan institusi yang membuat agama suci itu menjadi kecil karena tersekat oleh kepentingan organisasi. Kebenaran yang dibawa oleh masing-masing organisasi keislaman itu bukan kebenaran sejati, hanya sebatas pada kebenaran umum yang disepakati bersama. Dalam hal mencari kebenaran, Cak Nun mengatakan agar umat Islam senantiasa menadabburi kandungan Al-Quran. Meresapi dan menghayati pesan yang terdapat di dalamnya. Tadabbur berbeda dengan tafsir. Output dari tadabbur adalah kebaikan, tawadhu, rendah hati, merasa kecil di hadapan Tuhan. Dengan begitu, siapa pun yang berhasil menadabburi Al-Quran tidak akan menyakiti sesama, menebar kebencian, apalagi melakukan ancaman pembunuhan.

Innaddina 'indallahil Islam. Menurut tafsir Kementerian Agama RI berarti, agama yang paling benar di sisi Allah hanyalah Islam. Sementara hasil penadabburan Cak Nun atas ayat itu berbeda, yakni perbuatan yang paling mulia di sisi Allah adalah memberi keselamatan kepada sesama. Sekali lagi, output dari tadabbur adalah kebaikan, sikap tawadhu, rendah hati, dan merasa kecil di hadapan Tuhan. Tadabbur tidak membutuhkan metode khusus untuk bisa memberi makna pada teks. Siapa pun bisa melakukan tadabbur terhadap firman Tuhan, karena kitab suci diperuntukkan bagi seluruh manusia. Menjadi pedoman agar hidup menjadi baik, menjadi berguna, menjadi manfaat bagi keberlangsungan kehidupan dan peradaban. 


Wallahu A'lam...


Laboratorium Teater Korek Unisma Bekasi, 27 Januari 2017



Aru Elgete  
Previous Post
Next Post

0 komentar: