Jumat, 23 November 2018

Kejahatan Soeharto Terhadap Penyumbang Emas Monas


Sumber: Tirto.id


Teuku Markam, salah seorang saudagar dari Aceh. Ia adalah orang terdekat Presiden Soekarno. Pernah menjadi orang terkaya di Indonesia. 

Markam ikut serta dalam membantu perjuangan Indonesia di bidang ekonomi yang saat itu masih morat-marit. Ia lahir di Seunudon, Kabupaten Aceh Utara pada 12 Maret 1924. Ayahnya, Teuku Marhaban adalah seorang Uleebalang (Sultan Aceh).

Markam tak sempat lulus SD karena hanya sekolah hingga kelas lima. Ia anak bandel dan jarang masuk sekolah ketika masih bocah.

“Paling dua kali seminggu,” kata Markam di buku Apa dan Siapa Sejumlah Orang Indonesia 1983-1984 (1984: 473), ditulis Tirto.id pada 22 Januari 2018.

Ketika itu, Marhaban khawatir sekolah formal ala Barat, akan membuat si anak jadi kafir. Di buku tadi, Markam menyebut dirinya masuk Heiho (pembantu tentara) di zaman Jepang dan dapat pangkat setara letnan dua. Ia mengaku ditempatkan di Manila, Filipina.

Saat Proklamasi 17 Agustus dibacakan Presiden Soekarno di Jakarta, Markam sedang berada di Singapura. Katanya, "Dari sana saya selundupkan senjata ke Pekanbaru untuk perjuangan."

Sebagai mantan Heiho, Markam dianggap punya pengalaman militer. Karena menyelundupkan senjata untuk kepentingan Republik Indonesia, ia diberi pangkat militer. Di masa revolusi, orang seperti Markam bisa jadi letnan sekalipun tak lulus SD.

Ia berdinas di militer setelah Belanda pergi pada 1950. Pangkatnya kapten di tahun 1950-an. Namun, ia akhirnya memilih hengkang dari militer karena berseteru dengan atasannya yang berpangkat mayor. Markam melapor kepada Kolonel Gatot Subroto untuk minta berhenti pada 1957 karena ia tidak sudi harus terus memberi hormat kepada mayor itu.

Pascakeluar dari dinasnya di militer, Markam terjun ke dunia usaha. Ia mendirikan pabrik kulit, namanya Karkam (Kulit Aceh Raya Kapten Karkam). Selain itu, ia juga terlibat dalam proyek pemindahan Ibukota Provinsi Riau dari Tanjung Pinang ke Pekanbaru. Namanya melejit sebagai pengusaha yang punya hubungan dekat dengan Presiden Soekarno.

Markam dan Karyanya untuk Negeri

Bung Karno, ketika itu, sangat berterima kasih kepadanya atas sumbangsih yang diberikan untuk Indonesia, yakni emas yang saat ini berada di pucuk Monumen Nasional (Monas), seberat 28 kilogram.

Kini, orang-orang hanya mengetahui bahwa emas (sekarang beratnya menjadi  50 kilogram) itu memang benar sumbangan saudagar asal Aceh. Akan tetapi banyak yang tidak mengetahui bahwa ternyata saudagar yang dimaksud itu bernama Teuku Markam.

Selain itu, karya Markam lainnya adalah membebaskan lahan Senayan di Jakarta untuk dijadikan sebagai pusat olahraga terbesar se-antero negeri ini.

Markam pun membangun infrastruktur di Aceh. Diantaranya membangun jalan Medan-Banda Aceh, Bireuen-Takengon, dan Meulaboh-Tapaktuan. Ia juga disebut-sebut memiliki beberapa kapal di Jakarta, Makassar, Medan, dan Palembang.

Ia juga ikut membiayai berbagai macam hal dalam upaya melepaskan Indonesia dari penjajahan Belanda. Markam turut andil dalam mensukseskan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Asia-Afrika. 

Namun, Markam justru tak dianggap dan diakui oleh negara. Hal ini terjadi saat Soeharto menjadi Presiden RI.  Markam dijebloskan ke dalam penjara dengan tuduhan sebagai bagian dari Partai Komunis Indonesia (PKI). 

Padahal, tidak ada bukti sama sekali yang menguatkan atau menyatakan bahwa Markam terlibat PKI. Ia dijebloskan ke dalam penjara pada 1966, lantaran punya kedekatan dengan Bung Karno.

Zaman Orde Baru, penderitaan Markam kian bertambah. Ia tidak hanya menjadi korban fitnah Soeharto yang kemudian dipenjara. Akan tetapi ada satu hal lagi yang membuat Markam semakin menderita.

Hal itu adalah seluruh properti dan harta Markam diakusisi menjadi milik negara. Seperti kantor, tanah-tanah, bisnis, dan apa pun yang jadi milik Markam, diambil pemerintah. Kemudian yang lebih menyakitkan adalah tidak sedikit pun hartanya yang disisakan atau tersisa untuk keluarga dan anak-anaknya. 

Lalu PT Karkam yang telah menyumbang cukup banyak dana demi pembangunan Indonesia juga diambil pemerintah dan dijadikannya itu sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Pada 1974, ia dibebaskan dari penjara. Markam terjun kembali ke dunia usaha dengan mendirikan perusahaan kontraktor, PT Marjaya. Di perusahaan itu, ia menjabat Presiden Komisaris. Proyek terbesar yang digarap PT Marjaya adalah pembuatan jalan di Lhokseumawe, Aceh, dan di Cileungsi, Jawa Barat. 

Anhar Gonggong, salah seorang sejarawan negeri ini pun membenarkan bahwa Soeharto beserta antek-anteknya telah mengambil alih harta Markam. Hal ini dibuktikan Anhar, salah satunya adalah Bank Duta milik Soehato yang itu merupakan asetnya Teuku Markam

Teuku Markam meninggal dunia pada awal 1985. Ia meninggal akibat mengidap komplikasi berbagai macam penyakit. Tidak hanya Markam yang mengalami kehidupan tragis, bahkan sekarang anak cucunya menderita lahir batin. Keluarga Markam sudah belasan tahun hidup berpencar ke mana-mana.

Untuk mengenang dan mendoakan jasa yang diberikan Teuku Markam serta berdoa agar pemerintahan gaya Orde Baru tidak kembali terulang, maka setiap kali berwisata ke Monas hendaknya berdiam diri selama sekitar 2-3 menit, untuk mengirimkan doa kepadanya.

Semoga segala amal yang diberikan Teuku Markam untuk negeri ini diterima Allah, dan Indonesia tetap terjaga dari segala macam mara bahaya, terutama bahaya kembalinya gaya Orde Baru di tubuh pemerintahan republik ini di masa mendatang.

Hadzihi hadiyyati khususon ila hadhroti Mbah Markam wa alihi al faatihah...
Previous Post
Next Post