Senin, 19 November 2018

Jancuk, Ungkapan Kasih Sayang dan Perlawanan


Bang Aru, saat di Ranu Kumbolo


Siapa yang tidak pernah mendengar kata Jancuk?

Sebuah kata yang sangat akrab terdengar di telinga warga Jawa Timur itu menjadi sangat familiar ketika diucapkan dengan begitu ringan dalam keseharian.

Siapa pun, manusia Indonesia, yang pernah singgah atau sempat tinggal di Surabaya, Malang, Probolinggo, Lumajang, dan sekitarnya pasti akan mudah tertular virus Jancuk. Sebab, kata tersebut akan sangat sering diucapkan dalam pergaulan, di mana pun dan kapan pun.

Di Surabaya misalnya, Jancuk merupakan sebuah kata yang memberi simbol bahwa keakraban akan tetap terpelihara sepanjang masa. Jancuk menjadi sebutan dan panggilan bagi sahabat terdekat.

Kata itu juga dapat dipakai sebagai respons atas keindahan yang terlihat kasat di hadapan mata. Bahkan, pendukung setia Persija Jakarta dalam yel-yelnya selalu menggunakan kata Jancuk setelah kata Bonek (Bondo Nekat, loyalis Persebaya Surabaya). 

Maksudnya, sebagai pertanda bahwa Bonek dengan Persebayanya adalah sesuatu yang tidak lebih baik dari Persija dan pendukung fanatiknya itu. Selain itu, Budayawan Sudjiwotedjo pun mendaku sebagai Presiden dari rakyatnya yang diberi sebutan Jancukers.

Jancuk tak ubahnya seperti kampret, sialan, brengsek, anjrit, dan umpatan-umpatan lainnya. Namun, dari sekian banyak kata yang memiliki kesamaan dengannya, hanya Jancuk yang punya banyak makna; bisa termaknai sebagai kata positif juga negatif, tergantung pada pengucapan, intonasi suara, dan situasi yang sedang dihadapi.

Ketika melihat wanita cantik, pemuda Jawa Timur akan mengatakan, "Ealaaaaah Jancuk, ayu tenan rek". Kemudian ketika sedang mendapat musibah, bencana, dan lain sebagainya, Jancuk senantiasa terujar.

Saat dua orang sahabat yang sudah lama tidak berkabar kemudian bertemu, mereka akan mengatakan, "Yoopo kabarmu, Cuk? Jancuk! sik urip ae koen?"

Pengucapan Jancuk menjadi sangat variatif dan dapat digunakan di berbagai kondisi. Itulah kesaktian kata Jancuk, ia tak dapat disamakan dengan umpatan-umpatan lain yang bermakna tunggal. 

Misalnya saja anjrit yang oleh sebagian orang ditafsirkan sebagai plesetan dari kata anjing. Maka anjrit adalah kata atau umpatan kasar yang kurang baik ketika diucapkan di berbagai situasi dan kondisi.

Jancuk memang berawal dari akar kata yang diasosiasikan kepada sesuatu yang kurang baik jika diucapkan di sembarang tempat. 

Jancuk berasal dari kata encuk yang memiliki padanan kata bersetubuh. Berasal dari frase diencuk menjadi diancuk lalu dancuk hingga akhirnya menjadi Jancuk.

Namun, karena intensitas pelafalan yang cukup tinggi, dan juga karena Jawa Timur memiliki banyak destinasi wisata dan studi yang sangat potensial, sehingga banyak para pengunjung yang ketika pulang pasti membawa kata Jancuk ke kota dan daerahnya masing-masing.

Dari situlah, Jancuk mengalami perluasan makna. Sebab orang non-Jawa Timur yang tidak tahu maknanya namun senang menggunakan kata Jancuk (karena keunikannya) dalam pergaulan sehari-hari, maka ungkapan Jancuk tidak hanya akan mudah terdengar di sekitaran Jawa Timur tetapi juga di seluruh penjuru Indonesia. 

Jancuk memang sakti. Lama kelamaan, Jancuk serupa wirid yang diucapkan berkali-kali untuk mengusir energi jahat dan juga agar kita terhindar dari perbuatan yang tidak diinginkan.

Berangkat dari dasar pemikiran itu, saya beranggapan bahwa Jancuk juga bisa dimaknai sebagai perlawanan atas kejahatan. Jancuk adalah reaksi dari ketidaksukaan terhadap segala sesuatu yang membuat keadaan semakin terpuruk.

Jancuk juga bisa dimaknai sebagai doa, sebagai harapan, agar hidup menjadi harmoni, agar tercipta keindahan dalam bermasyarakat, juga sebagai sebuah ungkapan cinta atas ketidakberdayaan kita pada kebencian yang kian merajalela. Jancuk adalah cinta.

Jancuk adalah perlawanan kejahatan. Jancuk bersifat reaktif. Jancuk itu sakti. Jancuk itu unik. Mampu melawan kejahatan dan kebencian, sebagai reaksi dari kebersyukuran kita atas nikmat yang selama ini didapat, sebagai ungkapan kekaguman dari kemahabesaran Tuhan.

Makna Jancuk menjadi tidak tunggal, ia multitafsir, bergantung pada situasi saat pengucapannya.

Ketika melihat kekacauan dari sistem perpolitikan yang berdampak pada pemerintahan saat ini, sehingga di mana-mana timbul kebencian dan kedengkian terhadap petinggi negara, kata Jancuk akan sangat sesuai ketika diutarakan sebagai bentuk perlawanan atas kebencian itu dan simbol kasih sayang kepada Ibu Pertiwi agar tak melulu dirundung luka, duka, dan lara.

Jancuk bisa menjadi doa atas lemahnya penegakkan hukum di Indonesia. Jancuk juga dapat dilayangkan kepada wakil rakyat dan pejabat yang tidak merakyat, sebagai teguran dan sapaan akrab kita agar mereka segera sadar dan lekas sembuh dari pesakitan yang didera; korupsi, perselingkuhan, perjudian, dan bahkan pembuatan Undang-undang yang tidak berpihak kepada rakyat.

Juga sebagai bentuk perlawanan kita atas kejahatan yang selama ini mereka lakukan kepada kita, menebar janji, menguntai harapan, dan melempar senyum saat terlibat korupsi. Sementara rakyat hanya bisa mengatakan, "JANCUK!" sebagai simbol kasih sayang dan perlawanan.


Wallahua'lam...
Previous Post
Next Post