Senin, 12 November 2018

Mencari Gaya Kepemimpinan Rasulullah di Pilpres 2019


Sumber gambar: islamforchristians.com


Terhitung, hanya tinggal beberapa bulan lagi, bangsa Indonesia akan segera menentukan pemimpin nasional selama lima tahun ke depan, 2019-2024.

Di satu sisi, ada petahana yang kerja dan pengalamannya telah teruji; di sisi lain ada penantang yang membawa banyak harapan dan impian perubahan.

Wajah dan tubuh para kontestan dibalut dengan pakaian indah yang seolah dicintai rakyat. Kosmetik bernama retorika memperhalus jagat perpolitikan agar dapat mengambil dan bahkan memperbanyak suara konstituen. 

Teori-teori kepemimpinan pun tak luput dipelajari. Bahkan, ada saja yang mencatut nama proklamator negeri ini. Tim sukses salah satu pasang calon, menganggap bahwa junjungannya adalah representasi dari Dwitunggal, Bung Karno dan Bung Hatta. Hingga pada akhirnya diprotes oleh sang cucu.

Sebagai (insyaallah) muslim, saya ingin merefleksikan kemuliaan dari Pemimpin umat Islam, yakni Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Ia merupakan Putra Abdullah yang dalam hal kepemimpinan tidak ada seorang pun yang meragukan. 

Kesempurnaan yang dimiliki, jelas diakui seluruh dunia. Bukan hanya dari kalangan Islam saja, tetapi juga dari ilmuwan yang bukan beragama Islam. Karen Armstrong salah satunya, yang telah menuliskan manaqib Rasulullah berjudul, 'Muhammad A Biography Of The Prophet'.

Kesempurnaan sang suami dari perempuan yang pipinya kemerah-merahan itu tak bisa diukur dengan kemampuan manusia yang tentu sangat terbatas. Meski terdapat berbagai lukisan yang (katanya) adalah saudara sepupu Imam Ali Karomallahu Wajhah itu, tapi sesungguhnya itu tidak benar.

Sebab hanya Allah yang mengetahui wujud aslinya, sementara kesempurnaan bagaimana wujud fisiknya; sungguh bukan kepunyaan manusia biasa. Itulah sebab ia dirindukan oleh seluruh umat Islam di dunia. Bahkan, seluruh umat manusia.

Kita semua sepakat bahwa Kekasih Allah itu suci. Sempurna. Terbebas dari segala keburukan, maksiat, dan dosa. Tidak ada yang mampu melebihi kemampuannya; sebagai pemuda, pemimpin keluarga, panglima perang, hingga kepala pemerintahan.

Kakek dari Imam Hasan dan Husein itu, memiliki empat karakter yang istimewa. Jujur, terpercaya, komunikator yang baik, dan cerdas. Tidak ada satu orang pun yang memiliki kesamaan (sifat) dengannya. Kecuali hanya sedikit sekali. Sebab, Hanya dirinya-lah sebaik-baiknya seorang yang patut dijadikan teladan seluruh umat.

Maka benar saja, Allah mengutusnya untuk memperbaiki sekaligus menyempurnakan perilaku manusia. Dalam keadaan yang genting, ia mampu menjadi pemecah kebuntuan.

Solusi yang lahir darinya, selalu tepat. Tak pernah meleset sedikit pun. Dengan jiwa kepemimpinan dan modal empat karakter tadi, ia berhasil meramu konstitusi terbaik sepanjang masa; Piagam Madinah namanya.

Bahkan, hasil karyanya itu menjadi referensi awal perumusan dasar negara Indonesia, yakni Piagam Jakarta yang disepakati dalam rapat Panitia Sembilan BPUPKI. Kesepakatan itu dihasilkan dari permusyawarahan antara golongan Islam dengan golongan Nasionalis. Kemudian, karena melihat kemajemukan di Bumi Pertiwi ini, Mohammad Hatta mengubah poin yang pertama menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa.

Atas dasar pemikiran itu, maka berdosalah warga negara Indonesia yang tidak mengakui Pancasila sebagai dasar negara. Sebab, runtutannya sudah jelas. Sampai kepada Nabi Muhammad, seorang kepala pemerintahan yang jujur, terpercaya, komunikator yang andal, dan cerdas.

Kalau toh, sampai hari ini Pancasila belum terlihat kesaktiannya, kenapa harus diganti dengan yang lain? Bukankah karena manusianya yang gemar menjadikan dasar negara itu sebagai tameng? Kenapa tidak berlomba dalam mencari pemimpin yang setidaknya (meskipun sangat jauh) mendekati kesempurnaan Nabi Muhammad?

Nabi Muhammad adalah seorang pemimpin keagamaan dan pemerintahan yang enggan berdusta dalam berucap. Tidak pernah lisannya digunakan untuk mencela dan menghina, sekalipun dengan tidak sengaja, langsung atau tidak langsung.

Sekalipun ada yang tersakiti karena ucapannya, padahal ia tak merasa menyakiti, akal dan pikirannya menginisiasi untuk segera meminta maaf kepada pihak yang tersakiti.

Gaya bicara yang santun dan penuh wibawa, membuatnya banjir pujian. Tetapi tidak pernah dirinya terhanyut dalam pujian itu. Ia hanya tersenyum kala salah seorang sahabat membacakan syair di hadapannya, tanda terima kasih atas jasa yang telah diberikan. Tidak pernah melarang dan memerintahkan siapa pun untuk mengagungkan namanya.

Sosoknya ramah. Tak pernah marah-marah. Ia penyayang. Menyayangi anak-anak hingga emak-emak tua yang sudah renta.

Pernah suatu ketika, ia ditanya oleh seorang nenek, "Apakah orang yang sudah tua sepertiku ini bisa masuk surga?" 

"Di surga tidak ada nenek-nenek," katanya bercanda. 

Padahal yang dimaksud adalah di surga nanti semua orang akan kembali menjadi muda. Tidak ada orang tua satu pun. 

Karena itulah, kita bisa menyebutnya sebagai sosok yang humoris. Hal tersebut mungkin karena kecerdasan yang dimiliki, membuatnya pandai berkomunikasi. Siapa pun yang mendengar suaranya, terkesima. Ia ahli dalam menyampaikan pesan. Tidak sembarang bicara. Ia bisa menempatkan posisi dan kedudukannya dengan baik.

Pemimpin Umat Islam sepanjang masa itu adalah tokoh pluralis sejati. Orang atau kelompok yang berbeda agama, tidak dijadikan sebagai objek caci-maki, melainkan sebagai ruang dakwah dalam menyebarkan nilai keislaman. Karena sikap dan perilakunya yang mulia itulah, seorang Yahudi buta dapat merasakan kelembutan tangannya yang berbeda dengan Sayyidina Abu Bakar Ash-Shiddiq. 

Kiranya itu sekelumit gambaran tentang seorang yang tidak pernah melihat ayahnya semasa hidup. Lalu, adakah pemimpin di negeri ini yang sikap, perilaku, adab, akhlak, dan sifatnya (minimal mendekati) seperti Nabi Muhammad?

Jujur, terpercaya, komunikator yang baik, dan cerdas. Penyayang, lembut, anti-kekerasan, serta tidak mengandalkan kekuatan massa untuk menghancurkan seseorang atau suatu kelompok yang tidak suka dengannya; kecuali dalam keadaan terpaksa.

Rasulullah itulah orang yang mencintai dialog dan tidak suka menghina, mencaci, dan memaki. Maka, pantaslah jika kita menjadikannya sosok teladan sepanjang masa. 

Yuk, kita cari pemimpin ala Muhammad.


Laisa azka minka ashla. Qotthu Yaa Jaddal Husaini. 
(Sungguh) tidak ada yang lebih mulia darimu, duhai Mbahnya Imam Husain.

Previous Post
Next Post

0 komentar: