Foto ini diambil di depan ruang Pojok Gus Dur, Kantor PBNU Jakarta |
KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur adalah titisan kiai besar tanah Jawa. Ayahnya, KH A Wahid Hasyim adalah putra KH M Hasyim Asy'ari, pendiri Pondok Pesantren Tebuireng Jombang dan pendiri Nahdlatul Ulama (NU). Sedangkan ibunya, Ny Solichah adalah putri KH Bisri Syansuri, pendiri NU beraama KH Hasyim Asy'ari.
Garis keturunan kakek dan nenek Gus Dur, KH Hasyim Asy'ari dan istrinya Ny Nafiqah bertemu pada Lembu Peteng (Brawijaya VI), yaitu dari pihak ayah melalui Jaka Tingkir (Sultan Pajang, 1569-1587). Sementara dari pihak ibu melalui Ki Ageng Tarub I.
Dalam buku Sejarah Hidup KH A Wahid Hasjim dan Karangan Tersiar karya H Aboebakar (1957) disebutkan bahwa Lembu Peteng mempunyai putra bernama Jaka Tingkir atau Karebet.
Jaka Tingkir punya anak bernama Pangeran Benawa. Kemudian Pangeran Benawa punya anak bernama Pangeran Samba. Anak Pangeran Samba bernama Ahmad. Anak Ahmad bernama Abdul Djabbar. Kiai Abdul Djabbar punya anak bernama Sichah.
Dari sini keturunan menyimpang, yang satu kepada Kiai Hasyim melalui Layyinah dan yang lain kepada KH A Wahab melalui Fatimah dan H Hasbullah.
Ki Ageng Tarub I punya anak bernama Ki Ageng Tarub II, anaknya bernama Kiai Ageng Ketis, anaknya bernama Kiai Ageng Sila, anaknya bernama Kiai Ageng Saba, anaknya bernama Kiai Ageng Ngalawihan Solo, anaknya bernama Kiai Ageng Pemanahan, anaknya bernama Panembahan Senopati, anaknya bernama Pangeran Kadjuruan, anaknya bernama Peringgaliya.
Peringgaliya punya anak bernama Raden Paduraksa, anaknya bernama Raden Panji Darna Santana, anaknya bernama Kiai Ngabdul Ngalim, anaknya bernama Kiai Nala Jaya, anaknya bernama Kiai Ageng Basyariyah, kakek ke-7 dari KH A Wahid Hasyim melalui ibunya.
Dalam buku Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kiai karya Zamakhsyari Dhofier, KH Hasyim Asy'ari disebut sebagai seorang kiai besar dan satu-satunya kiai di tanah Jawa yang dijuluki Hadratus Syaikh.
Kiai Hasyim memusatkan perhatian pada usaha mendidik sejumlah kecil santrinya yang terpilih sampai sempurna betul. Sehingga setelah keluar dari pesantren bisa mendirikan pesantren sendiri.
Kiai Hasyim menjadi besar dan berpengaruh terutama karena murid-muridnya angkatan pertama berhasil mendirikan pesantren besar. Kemudian juga banyak santri Tebuireng yang menjadi tokoh nasional.
Beberapa kiai yang pernah belajar kepada Kiai Hasyim di Tebuireng dan kemudian menjadi kiai-kiai berpengaruh serta memimpin pesantren besar, diantaranya pendiri Pesantren Lirboyo KH Manaf Abdul Karim, pendiri Pesantren Ploso Kediri KH Djazuli, pemimpin Pesantren Tambakberas Jombang, KH A Wahab Chasbullah, yang juga menjadi Rais 'Aam PBNU menggantikan KH Hasyim Asy'ari.
Kemudian ada juga pendiri Pesantren Al-Hidayah Lasem Rembang KH Ma'shum, yang menjadi menantu Kiai Hasyim. Lalu pendiri Pesantren Denanyar yang juga kakek Gus Dur dari jalur ibu, KH Bisri Syansuri. KH Machrus Ali, KH Masykur, dan KH Mahfoedz Siddiq juga pernah menjadi santri Tebuireng.
Selain itu, kebesaran Kiai Hasyim ditunjukkan pula oleh para santri atau keluarganya yang menjadi tokoh nasional. Dalam buku Ijtihad Politik Ulama: Ssjarah NU 1952-1967, Greg Fealy menulis bahwa 15 menteri dari NU di era Soekarno memiliki hubungan keluarga dengan Kiai Hasyim.
KH A Wahid Hasyim menjadi menteri agama pertama setelah pengakuan kedaulatan NKRI. Muhammad Ilyas, keponakan Kiai Hasyim, dan KH Masykur, cucu ipar Kiai Hasyim, pernah menjadi menteri agama. KH Saifuddin Zuhri yang juga pernah menjadi menteri agama merupakan cucu ipar Kiai Hasyim
Sementara itu, sekitar 12 dari 45 anggota parlemen NU tahun 1955 dan 1959 adalah alumni Tebuireng.
Selain mereka, ada KH Mochammad Dahlan (Ketua Umum PBNU 1953-1956), KH Achmad Siddiq (Rais 'Aam PBNU 1984-1991), Munir Abisujak dan Abdullah Ubaid (tokoh Pertanu), KH Moenasir (Sekjen PBNU 1971-1979), dan KH As'ad Syamsul Arifin (Pesantren Asembagus Situbondo). Mereka semua pernah menjadi santri Kiai Hasyim.
Dengan demikian, Gus Dur adalah titisan kiai besar dan penguasa Jawa. Darah kiai dan penguasa besar mengalir dalam dirinya.
Allahuyarhamuh. Al-Fatihah...
(Tulisan di atas disarikan dari buku 41 Warisan Kebesaran Gus Dur karya M Hanif Dhakiri)