Jumat, 26 Januari 2018

Kiai adalah Representasi dari Nabi Muhammad



Sumber: gusmus.net

Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kota Depok menyelenggarakan peringatan Maulid Nabi Muhammad, Haul Sewindu Gus Dur, Harlah NU ke-92, dan Haul ke-21 tokoh NU di Depok H Ismail Taufik, di Pondok Pesantren Ar-Ridho, Cilodong, Kota Depok, Jawa Barat, pada Kamis (25/1) malam.


Pada kesempatan itu, KH Ahmad Mustofa Bisri atau Gus Mus hadir memberikan tausiyah. Kiai yang baru saja menerima penghargaan Yap Thiam Hien Award itu mengatakan bahwa Islam Nusantara beranjak dari tradisi pesantren. Bahkan, jauh sebelum NU lahir sudah ada kiai-kiai kampung yang menularkan ajaran Islam Nusantara.

Ia juga mengungkapkan, istilah kiai dicetuskan pertama kali oleh orang Jawa. Orang-orang Jawa ketika memanggil siapa atau apa pun yang dihormati dengan sebutan kiai. Misalnya keris, tombak, kereta, dan bahkan kerbau.



"Nah, ada orang yang sangat baik, akhlaknya mulia, maka disebut kiai. Mulai dari berobat sampai minta jodoh, semua datang ke kiai. Kalau ada orang di daerah lain menyebut kiai, maka itu pasti meniru orang Jawa. Kiai bukan artinya ulama, itu istilah budaya. Kiai tidak ada padanan kata yang pas dalam bahasa Arab," kata Pengasuh Pesantren Raudlatut Thalibin, Leteh, Rembang, Jawa Tengah itu.

Sebab, imbuhnya, sebagian besar orang yang disebut kiai merupakan sosok yang memiliki akhlak dan ilmu yang berasal dari sumber asli. Yakni, Nabi Muhammad. Kemudian, ilmunya itu memiliki sanad hingga ke Allah dan bisa dipertanggungjawabkan di akhirat nanti.

"Kiai-kiai itu punya ciri yang sama karena cerminnya, panduannya, dan panutannya adalah Nabi Besar Muhammad," katanya.

Gus Mus menambahkan, Allah tidak pernah memuji Nabi Muhammad. Mulai dari pujian atas ketampanannya, kekayaaan, atau pun kecerdasan intelektualnya. Melainkan, dipuji karena akhlaknya.

"Kalau baca Al-Quran, dari Al-Fatihah hingga Annas, anda tidak akan pernah menemukan Rasulullah dipuji Allah karena kegantengannya yang melebihi Nabi Yusuf. Tetapi akhlaknya. Innaka la'ala khuluqin adzhim," kata Gus Mus, disambut riuh tepuk tangan dari hadirin.

Padahal, menurutnya, ilmu yang dimiliki Nabi Muhammad sangat luar biasa. Ilmu dari kejadian alam semesta, di dunia, hingga akhirat, Rasulullah pasti paham. Akan tetapi, suami dari Siti Khadijah itu tidak mendapat pujian berupa kecerdasan melainkan karena akhlak mulianya. Sebab, agama adalah akhlak.

"Makanya sekarang kalau ada kiai tapi akhlaknya buruk, jelas itu tidak mengikuti ajaran yang dibawa Kanjeng Nabi," paparnya.

Jumat, 19 Januari 2018

Tahun Politik, Inilah Kriteria Pemimpin Islami


Sumber gambar: rimbaceloteh.blogspot.co.id


Tahun ini, politik menjadi tokoh utama dari setiap perbincangan ibu-ibu di pasar saban pagi. Pasalnya, sebanyak 171 daerah, mulai tingkat provinsi hingga kabupaten akan segera melaksanakan hajat dan merayakan pesta demokrasi.

Semua gegap gempita menyambutnya. Sementara ada beberapa pihak yang cemas dan khawatir. Terlebih, orang-orang berakal sehat; mereka berharap agar tidak ada konflik sektarian atau ego sektoral dalam pemilihan kepala daerah pada Juni mendatang.

Baiklah, dalam tulisan ini saya sama sekali tidak bermaksud membikin sebuah perpecahan. Namun justru, supaya kita mampu menyatukan segala macam kebaikan yang akan terwujud demi kelangsungan hidup yang lebih berkeadaban. 

Kita, memang sudah ditakdirkan menjadi sesuatu yang terkotak-kotak. Kemudian, kita seperti punya daya ketakutan yang berlebihan saat mencoba keluar dari kotak kenyamanan sendiri.

Maksud saya, begini. Kita, khususnya saya, tentu mengimani bahwa Allah memang bermaksud membikin kita berbeda. Katakanlah, terkotak-kotak. Akan tetapi, yang mesti diperhatikan adalah bahwa Allah memberikan kerenggangan untuk menjalin hubungan baik dengan orang yang berbeda.

Mulanya, Allah turunkan wahyu kepada manusia pilihan. Seorang utusan yang dianggap mampu menyampaikan kebenaran dengan sangat baik kepada seluruh manusia. Kemudian, agar kebenaran itu bisa hidup sepanjang masa, maka ada upaya untuk dibukukan secara permanen. Kitab Suci, namanya. Setiap manusia pilihan, memiliki kitab suci yang diberikan Allah pada zamannya.

Lalu, masing-masing kitab suci itu saling melengkapi dan menyempurnakan. Meski begitu, tetap ada unsur kebaikan yang termaktub di dalamnya, agar tujuan tak menyimpang dari asal.

Kitab suci, menjadi pedoman bagi seluruh umat manusia. Hal tersebut tidak bisa ditawar. Sebab, kitab suci merupakan sesuatu yang mesti diyakini benar, karena terdapat firman Allah yang terpelihara dengan sangat otentik.

Namun, firman Allah tak sedikit. Kemudian, unsur puitik di dalamnya turut menyertai. Sehingga, banyak ragam kiasan dan majas. Maka, diperlukan sebuah penafsiran yang dilakukan oleh ahlinya, yakni ahli tafsir atau mufassir.

Sebagian besar, kitab suci berkisah soal sejarah. Tak jarang, kisah-kisah itu menjadi hukum di masa lalu. Maka sebagian mufassir, dalam menafsirkan ayat suci, berupaya menempatkan konteks di atas teks. Hal tersebut agar kehidupan manusia yang sangat dinamis. Sehingga perubahan dan perkembangan zaman adalah niscaya.

Maka, bukan tidak mungkin, banyak dari kalangan ahli tafsir yang mencoba mengembangkan makna dengan menyesuaikan perkembangan zaman. Sikap seperti itu sangatlah baik dan bijak.

Karena, agama bisa saja menjadi barang yang usang manakala menafsirkan teks secara leterlek saja. Barangkali, itulah alasan mengapa agama hingga kini bertahan. Bahkan, beberapa kali digunakan sebagai kendaraan politik untuk mencapai kekuasaan.

Hemat saya, yang menjadikan agama kian kuat bertahan lama, selain karena atas izin Allah, adalah karena para ahli tafsir senantiasa memaknai teks dengan mengikuti konteks yang terjadi kekinian.

Indonesia merupakan bangunan negara yang didirikan tidak berdasar hukum agama. Melainkan, terdapat ruh keagamaan di dalamnya. Hal tersebut menjadi bagian dari keutuhan bangsa dan negara. Para pemuka agama kita, zaman dulu, sebelum mendirikan negara ini, telah sepakat untuk bersama-sama merumuskan bagaimana hakikat keagamaan dalam sebuah negara.

Kemudian, penafsiran penafsiran yang berkaitan dengan nasionalisme dan cinta tanah air pun dilakukan. Artinya, para pemuka agama menyesuaikan teks suci dengan keadaan yang sedang terjadi ketika itu.

Dewasa ini, di negeri yang jiwa ketuhanan sangat kentara, seringkali muncul konflik sektarian saban pilkada terselenggara. Menjadi pertengkaran hebat manakala calon pemimpin ternyata tidak sesuai dengan kriteria yang terdapat di dalam kitab suci salah satu agama. Padahal, kita sudah sepakat bahwa kitab suci diperuntukkan untuk seluruh umat manusia.

Kemudian kita selalu dipusingkan dengan ragam teks suci yang menggambarkan bahwa Allah arogan dan memiliki sikap seperti algojo. Maskulinitas yang menggambarkan keperkasaan Allah tak selamanya dapat dipercaya sebagai gambaran dari-Nya. Sebab, Dia juga memiliki sifat feminin, yang lembut nan penyayang. Penuh cinta kasih.

Semua kitab suci di setiap agama memang terdapat teks yang seolah mengistimewakan agama sendiri. Namun tak jarang juga, teks suci yang menganjurkan kita untuk memberi kemaslahatan bagi umat manusia. Dari situ, kemudian muncul tokoh-tokoh agama yang humanis.

Mereka menyerap ajaran manusia terdahulu yang mendapat mandat dari Allah untuk menyampaikan kebenaran kepada segenap manusia. Penafsiran pun terus berlanjut. Wahyu tetap mengalir, melalui manusia-manusia yang berpikir.

Dalam tradisi Islam, misalnya, seorang pemimpin punya kriteria tertentu. Yakni, empat sifat Nabi Muhammad. Jujur, dapat dipercaya, cerdas, dan komunikatif. Sayangnya, keempat sifat itu justru menjadi hak paten bagi sebagian besar umat Islam. Kemudian timbul anggapan bahwa pemimpin haruslah beragama, minimal ber-KTP, Islam.

Lebih-lebih saat ada firman Allah yang menyatakan bahwa seorang beragama Islam tidak boleh memilih pemimpin kafir. Kini, makna agama kian dipersempit. Seperti menjadi sebuah institusi, lembaga, atau bahkan instansi. Sempit sekali.

Saya berpendapat, memilih pemimpin harus yang beragama Islam. Bukan kafir. Sebab kita sedang mencari sosok yang mampu mengayomi, melindungi, dan menjaga martabat hidup orang banyak. Kafir, berarti menutup.

Maksudnya, menutupi kebenaran. Pemimpin kafir adalah pemimpin yang dilahirkan dari rahim penuh intrik. Kemudian dimunculkan karena mahar politik. Kerjanya hanya membuat rakyat terusir, dan terusik.

Pemimpin, hemat saya, harus seseorang yang sesuai dengan sifat utama Nabi Muhammad. Saya menolak seorang pemimpin yang tidak saleh. Terlebih yang selalu berbuat kerusakan, sehingga sama sekali tidak memunculkan maslahat bagi kehidupan masyarakat. Selain itu, saya mesti mencari pemimpin yang bersedia menegakkan Syariat Islam dalam kepemimpinannya.

Yakni, pemimpin yang menjaga eksistensi dan spirit keberagamaan; pemimpin yang bersedia menjaga akal budinya untuk senantiasa melindungi rakyat; pemimpin yang menjaga kehormatan warganya; yang mampu menjaga kerukunan; dan pemimpin yang senantiasa menjaga keutuhan jiwa setiap warganya. Saat kelimat poin tersebut dijalankan oleh seorang pemimpin, maka dengan otomatis, Syariat Islam telah ditegakkan. Karena dengan begitu, maslahat akan tercipta.


Seperti itulah, pemimpin yang menurut saya saleh. Maksudnya, layak untuk dipilih. Pemimpin yang berkaca pada Nabi Muhammad dalam bersikap; pemimpin yang tidak kafir; dan pemimpin yang mampu menegakkan Syariat Islam. Pemimpin yang jujur, yang lahir tidak dari rahim penuh intrik. Bukan yang terlibat transaksi jual beli mahar politik. Bukan juga pemimpin yang rakyatnya sendiri diusir dan diusik.

Pilkada serentak pada Juni mendatang segera tiba, siapa pemimpin pilihanmu?


Wallahu A'lam


Bekasi, 19 Januari 2018


Aru Elgete
(Calon Pemimpin Idaman Mertua)

Minggu, 14 Januari 2018

Tradisi Pesantren dan Kitab Kuning Mulai Hilang





Akhir pekan kedua di Bulan Januari, sejumlah orang berjilbab, bersarung, dan berpeci hitam menjejakkan kakinya di Hotel Mercure, Lengkong Besar, Kota Bandung. Mereka tidak sama sekali bermaksud untuk melakukan aksi pencegahan atau bahkan pemukulan terhadap pelaku kemaksiatan yang kerap terjadi di hotel. Melainkan, orang-orang itu, bertujuan untuk saling sedia menyamakan persepsi. Mereka membawa kegembiraan dari daerah asal masing-masing. Kemudian, disinergikan agar menjadi kekuatan yang utuh dan kukuh.

Sebab, selama ini sangat banyak pelaku kekerasan; baik yang dilakukan secara fisik, mental, jiwa, bahkan melalui teks atau tulisan. Kegelisahan bersama atas pemahaman yang kaku nan beku itu, disimpulkan menjadi satu kesatuan. Bahwa ternyata, ruh kedamaian di bumi sudah mulai lenyap tersapu angin peradaban yang kian melesat jauh. Orang-orang yang ternyata dalam dunia nyata masuk ke dalam kategori mayoritas, berubah bentuk menjadi minoritas kala hidup di peradaban yang serba digital.

Pertemuan yang berlimpah kebaikan itu digagas oleh NU Online dan Rumah Kebangsaan. Saling tatap wajah, lempar senyum, dan saut salam dilakukan sebagai bentuk silaturrahim yang merupakan bagian dari kristalisasi kasih sayang Tuhan. Mereka, orang-orang yang hadir itu, adalah kader muda NU yang siap melaksanakan jihad fi sabilillah bil qolam di dunia maya. Pasalnya, di era digital ini, dunia bak sampah. Segala macam konten berbau busuk saling bertumpuk. Karenanya, mereka hadir untuk menyelaraskan dan mengarusutamakan konten Islam Moderat di media online.

“Perlahan, baik disadari atau tidak, peradaban akan terus berubah. Zaman saya dulu, untuk membaca informasi itu melalui koran atau surat kabar. Tapi, secara perlahan, zaman berubah. Kini, anak-anak muda lebih senang membaca informasi melalui smartphone. Hal itu, sebagaimana juga yang kita rasakan ketika televisi hitam-putih yang tanpa disadari kini sudah hilang. Maka, kalau NU tidak bisa mengikuti perubahan zaman, NU akan hancur,” ujar Hamzah Sahal, Pengasuh alif.id, Sabtu (13/1/2018).

Para peserta yang hadir, mengamini. Kegiatan temu Penulis Keislaman se-Jawa Barat itu datang dengan latar belakang yang berbeda; mulai dari penulis pemula, hingga yang telah lihai menulis di berbagai media. Nantinya, mereka akan menggempur habis konten negatif yang bertentangan dengan nilai-nilai keislaman. Sebab, Islam Ahlussunnah Wal Jama’ah yang terdapat di Bumi Pertiwi ini merupakan Islam yang senantiasa mengedepankan nilai-nilai tasamuh, tawassuth, tawazzun, dan i’tidal.

Keberislaman di Indonesia tidak dibawa dengan kekerasan, melainkan melalui cara-cara santun yang mengutamakan adab dan akhlak yang baik. Menjadi tugas bersama bagi para peserta dari pertemuan itulah, untuk membuat konten keagamaan yang damai nan sejuk. Kemudian, memunculkan figur atau tokoh ulama berpengaruh agar diangkat ke permukaan.

Sebab di Jawa Barat sendiri, sebagaimana yang diucapkan Asep Salahudin, seorang kolumnis kenamaan di Bumi Priangan, bahwa yang menduduki peringkat teratas sebagai tokoh keagamaan di Jawa Barat justru bukan ajengan yang punya pengaruh besar bagi kehidupan keagamaan yang sejuk.

“Nama-nama tokoh agama yang muncul di Jawa Barat justru didominasi oleh golongan Islam garis keras. Bukan dari NU; golongan Islam garis ceprut,” kata Wakil Rektor I Institut Agama Islam Latifah Mubarokiyah (IAILM) Suryalaya Tasikmalaya itu, disambut gemuruh tawa dari penulis.

Ia menyebutkan, bahwa Islam ala NU merupakan gaya keislaman yang santai dan selalu diisi dengan candaan yang lucu-lucu. Lalu, Asep menunjuk simbol tali dalam logo NU. Tali itu tidak diikat secara kuat. Artinya secara keagamaan, NU selalu memberikan kecenderungan atau kemungkinan lain untuk menerima segala macam perbedaan.

“Orang NU (di Jawa Barat) itu santai tapi serius. Selalu bisa menyelesaikan beragam masalah dengan gembira. Selalu menerima pandangan yang berbeda. Tidak kaku. Selalu ada warna lain, tidak hanya hitam dan putih,” ucap Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia (Lakpesdam) Pengurus Wilayah NU Jawa Barat itu.

Di hadapan peserta yang hampir semuanya adalah santri, ia katakan bahwa dunia tulis-menulis di kalangan pesantren itu sudah ada sejak dulu. Karenanya, ada yang dinamakan Kitab Kuning. Namun, dirinya sangat menyayangkan orang-orang kekinian yang lebih suka membaca buku Islam Popular dan menjauh dari kitab kuning.

“Banyak orang sekarang yang lebih suka membaca buku-buku seperti itu, daripada membaca kitab kuning. Ada sebuah penelitian yang kesimpulannya adalah, semakin orang menjauh dari tradisi kitab kuning, maka kemungkinan besar dia akan keluar menjadi orang yang puritan. Dan, semakin dekat dia dengan tradisi kitab kuning, maka akan moderat dia,” ucap Kang Asep, demikian ia akrab disapa,

Dia melanjutkan, semakin seseorang hafal al-quran, akan sangat berpeluang menjadi bagian dari kelompok radikal. Tetapi bagi siapa pun yang mampu membaca dan bahkan menghafal kitab kuning, akan semakin terbuka dan lapang. Sebab, di dalam literatur klasik itu terdapat banyak perspektif dan pandangan, sehingga akan memunculkan sifat keterbukaan bagi orang-orang yang mendekat.

“Saat ini, kita sulit mencari orang-orang yang hafal jurumiyah, imrithi, alfiyah ibnu malik, dan lain sebagainya. Tetapi begitu mudahnya kita menemukan penghapal Al-Quran,” ucapnya.

Maka, NU Online membagi dua kategori penulis. Pertama, penulis warta. Artinya, ia mesti sedia mewartakan berbagai kegiatan dan peristiwa NU di daerah masing-masing. Kedua, penulis keislaman. Yakni, penulis yang menyajikan sebuah tulisan dengan tema-tema keislaman yang sesuai dengan tradisi kitab kuning dan pesantren, tetapi disajikan dengan kemasan menarik agar bisa dibaca oleh semua kalangan.




Bandung, 14 Januari 2018




Sabtu, 13 Januari 2018

KH Muhajirin, Sang Ulama Pembelajar



Sumber gambar: mui-jakartatimur.or.id



Di Bekasi, terdapat sejumlah deretan ulama kenamaan. Diantaranya, KH Noer Ali, KH R Ma’mun Nawawi Cibarusah, dan KH Muhammad Muhajirin. Nama terakhir merupakan salah satu tokoh penyebar agama Islam ala pesantren di Bumi Patriot. Ia sangat produktif menulis.

Sebanyak lebih dari 30 kitab, telah ditetaskan dari ilmunya yang menyamudera. Salah satu masterpiece-nya adalah Kitab Misbah Az-zhulam (Syarah Bulughul Maram), sebanyak 4 jilid. Karyanya tersebut telah diterbitkan di  Penerbit Darul Hadits. Seluruh karyanya, ditulis dengan menggunakan bahasa arab.

Putra dari pasangan H Amsar dan Hj Zuhriah itu lahir di Kampung Baru, Cakung, Jakarta Timur, pada 10 November 1924. Ayahnya, seorang pedagang telor di Pasar Jatinegara. Jirin (sapaan akrab semasa kecil), merupakan seorang yang selalu semangat mencari dan menggali ilmu.

Baginya, menuntut ilmu seperti sudah mendarah-daging di tubuh. Sebagaimana termaktub dalam manaqib singkat yang sering disampaikan putranya, KH Dhiya Muhajirin dan KH M Aiz Muhajirin; Jirin kecil senantiasa mengayuh sepeda untuk sampai ke majelis-majelis ilmu para gurunya. 

Suatu ketika, ia pernah dihadang seekor buaya saat hendak menyeberangi Kali Cipinang. Namun, dengan kebesaran hati dan kemantapan tekat yang bulat, rintangan itu akhirnya pupus. Spirit menuntut ilmu rupanya tak lemah hanya karena seekor hewan buas. Barangkali, hal tersebut menjadi bagian dari jihad fi sabilillah.

Saat kecil, ia belajar agama dari kedua orangtua dan orang-orang terdekatnya. Selesai mengkhatamkan Al-Quran, ayah dan ibunya mengirim Jirin kepada beberapa ulama agar dapat mempelajari berbagai dasar ilmu keagamaan.

Guru pertama yang dikunjungi adalah Habib Ahmad bin Kuncung bin Ringgit atau yang akrab disapa Guru Asmat. Seorang pemimpin Islam di daerah Cakung Barat, Jakarta Timur. Kepadanya, Jirin belajar banyak selama kurang lebih 6 tahun. Ilmu Nahwu, Sharaf, Fiqih, Mantiq, Ushul Fiqih, Ilmu Kalam, dan Tasawwuf menjadi lahapan utamanya.

Sembari belajar dengan Guru Asmat, ia juga menyempatkan diri untuk mempelajari Ilmu Tajwid kepada H Mukhayyar. Salah seorang pemuka agama Islam ternama dan terkaya di Kampung Kebon Kelapa, Palmerah, Jakarta. 

Kemudian, dengan semangat yang tak kenal lelah, Jirin menggali ilmu dari As-Syaikh Ahmad Marzuqi bin Ahmad Mirshod bin Hasnum bin Khotib Sa’ad bin Abdurrahman bin Sulthon yang diberi gelar dengan sebutan Laksmana Malayang.

Gelar itu didapat dari salah seorang sultan tanah melayu yang berasal dari negeri Fatani, Thailand Selatan. KH Ahmad Marzuqi adalah seorang Ulama Betawi kelahiran Rawabangke, Jatinegara, Jakarta. Selama 4 tahun, Jirin yang tengah beranjak remaja itu memperdalam Ilmu Nahwu, Arudh (Ilmu tentang Syair), Fiqih, dan Hadits. 

Selanjutnya, ia menuntut ilmu dari KH Hasbiyallah. Seorang pendiri Yayasan Al-Wathoniyah, Klender, Jakarta. Ulama Betawi yang satu itu murid dari KH Abbas, Buntet Pesantren Cirebon. Kemudian, Jirin juga menggali pengetahuan Ilmu Nahwu dan Fiqih dari Ulam Betawi lainnya, KH Anwar. Juga, mengaji Ilmu Mantiq dan Balaghah dari KH Ahmad Mursyidi.

Selain itu, Jirin mengkaji Ilmu Nahwu, Balaghah, Muthalah Hadits (Ilmu tentang peristilahan hadits), Ushul Fiqih, Adabul Bahts wal Munazharah (Ilmu tentang adab dan diskusi) bersama KH Hasan Murtaha, Cawang, Jakarta.

Tak hanya itu, Jirin juga berguru kepada KH Muhammad Tohir Muara. Seorang Ulama Betawi yang sezaman dengan KH Abdullah Syafi’i, Jakarta. Kali ini, Jirin belajar cukup lama. Yakni, Sembilan tahun. Ia mempelajari Ilmu Nahwu, Fiqih, Tafsir, Mantiq, Balaghah, Tasawwuf, Hadits, Adabul Bahts wal Munazharah, dan juga Ilmu Falak.

Setelah itu, ia kembali memperluas wawasan keilmuan dengan belajar Ilmu Gerhana Bulan dan Matahari kepada Syaikh Ahmad bin Muhammad, murid dari Syaikh Mansyur Al-Falaqy; Ulama ahli Falak terkemuka pada zamannya.

Guru terakhir, di Jakarta, adalah Sayyid Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi atau yang lebih dikenal Habib Ali Kwitang. Seorang penyebar agama Islam ternama di Jakarta sekaligus pendiri Majelis Ta’lim Kwitang yang merupakan cikal-bakal berdirinya berbagai organisasi keagamaan di Ibu Kota. 

Dari semua guru yang disambangi, Jirin telah memiliki bekal yang sangat cukup untuk menjadi seorang ulama. Namun rupanya, ia belum merasa puas dari berbagai ilmu yang telah didapat. Hal tersebut menjadi pemicu utama untuk senantiasa menggali ilmu pengetahuan.

Ia semakin haus akan ilmu. Akhirnya, Jirin memantapkan hatinya untuk bertolak ke Mekah dan Madinah, dengan maksud agar intelektualitasnya kian luas dan tajam. Sekitar pertengahan tahun 1947, ia berangkat menuju Jeddah. Kemudian, tidak lama, dirinya melaksanakan ibadah umrah.


Menuntut Ilmu di Tanah Suci


Selama di Mekah, Jirin tinggal di rumah Syaikh Abdul Ghoni Jamal. Lalu, ia pindah ke asrama Jailani. Di sana, pertama kali dirinya belajar kepada Syaikh Muhammad Ahyad; yang mengajar di Masjidil Haram. Kitab-kitab yang dipelajari adalah Fathil Wahhab, Al-Mahalli ‘ala Al-Qalyubi, Riyadhas-Shalihin, Minhaj Al-Abidin, Umdah Al-Abrar, dan beberapa kitab lainnya.

Selain itu, selama di Mekah, Jirin juga belajar kepada Syaikh Hasan Muhammad Al-Masysyath, Syaikh Zaini Bawean, Syaikh Muhammad Ali bin Husein Al-Maliki, Syaikh Mukhtar Ampetan, Sayyid Alwi bin Abbas Al-Maliki, Syaikh Ibrahim Fathani, Syaikh Muhammad Amin Al-Khutbi, dan Syaikh Ismail Fathani.

Selang dua tahun, Jirin melanjutkan studi di Darul Ulum Ad-Diniyah yang didirikan pada tahun 1323 Hijriah oleh Sayyid Muhsin bin Ali bin Abdurrahman Al-Musawa Al-Falimbani; ulama ternama asal Palembang, Sumatera Selatan. 


Selama belajar di sana, ulama yang paling mempengaruhi pemikiran Jirin adalah Syaikh Ahmad Mansuri dan Syaikh Muhammad Yasin Al-Fadani Al-Jawi. Kurang lebih dua tahun, berbagai kitab telah dilahapnya. Yakni, Syarah Ibnu ‘Agil ‘ala Alfiyah, Mukhtashar Ma’ani ‘ala At-Talkhish (Nahwu), Al-Mahalli ‘ala Al-Qalyubi (Fiqih), Muwaththa’ Imam Malik Sunan Abi Dawud (Hadits), Jam’ul Jawami (Ushul Fiqih), Tafsir Ibnu Katsir, dan At-Thahbiq Baina Al-Madzahib Al-Mudawwanah (Kitab tentang persesuaian antara beberapa madzhab).


Kehausan akan ilmu pengetahuan, membuat Jirin yang kini sudah pantas mendapat gelar ulama tidak lantas menjadikannya angkuh dan sombong. Ia tetap rendah hati dan selalu merasa ada ilmu yang belum dipahami secara baik dan benar.

Pada Agustus 1951, ia berhasil menyelesaikan pendididikannya di Darul Ulum dan mendapat gelar sebagai lulusan terbaik. Selang beberapa lama, ia diminta untuk mengajar di almamaternya. Meski telah lulus, Jirin tetap belajar kepada Syaikh Muhammad Yasin; baik di rumah maupun di sekolah tempat mengajarnya.

Akhirnya, ia mendapat ijazah dari Syaikh Muhammad Yasin yang dinamakan Maslak Al-Jali fi Asanid min Asanid Asy-Syaikh Umar Hamdan. Kemudian, ia juga diberi ijazah oleh Syaikh Muhammad Abdul Baqi setelah selesai membaca Al-Manahil As-Silsilah fi Al-Ahadits Al-Musalsalah; baik secara fi’liyah (perbuatan), maupun qauliyah (ucapan).



Pulang ke Tanah Air


Kamis, 6 Agustus 1955 KH Muhammad Muhajirin tiba di tanah air. Dua tahun berselang, ia menikahi Hj Hannah, putri dari KH Abdurrahman Sodri. Ia dianugerahi delapan putra dan empat putri.

Pada 3 April 1963, KH Muhajirin mendirikan Pondok Pesantren bernama Annida Islamy, Jl Ir H Juanda 124, Bekasi, Jawa Barat. Semasa hidup, di penghujung usianya, ia hanya menghabiskan waktu dengan mengajar dan mendidik para santri.

KH Muhajirin, dikenal sebagai ulama yang alim dan ahli dalam berbagai disiplin ilmu, khususnya llmu Falak. Menurut penuturan salah seorang santrinya, KH Muhajirin merupakan ulama yang pertama kali mengemukakan pendapat bahwa bulan atau hilal dapat dilihat dengan ukuran 2,5 derajat secara langsung atau menggunakan alat tradisional. Namun, dalam hal ini, tidak sembarang orang dapat melihat hilal pada derajat tertentu. Semua itu, memerlukan tahapan waktu yang sangat lama.

KH Muhajirin, seorang ulama kenamaan di Kota Bekasi terkenal dengan kegigihan, ketegasan, dan kesabarannya. Karenanya, ia telah banyak melahirkan ulama besar yang juga mumpuni dalam mengkaji kitab dan mengamalkan berbagai kitab yang telah diajarkan. Seorang ulama yang menaruh tonggak keislaman di Bumi Patriot itu, wafat pada 31 Januari 2003.

Kini, Pondok Pesantren Annida Al-Islamy dikembangkan oleh putra-putrinya. Berbagai ilmu yang telah dilahap semasa hidup, terus mengalir bak air di Sungai Kalimalang yang melintang dan melintasi Bekasi; dari Purwakarta hingga Jakarta.


Wallahu A’lam


(Tulisan di atas, didapat dari berbagai sumber)


Bandung, 13 Januari 2018


Aru Elgete
Pelajar dan Pemuda NU 

Jumat, 12 Januari 2018

Kesan Pertama di Kota Bandung, Juara!




Masjid Raya Kota Bandung, Jumat (12/1/2018).




Kota Bandung, beberapa tahun ke belakang; mulai menyedot perhatian banyak orang. Pengelolaan kota yang rapi dan menarik, membuat siapa pun tertarik untuk mengunjungi. Terlebih, ada alun-alun yang beralaskan rumput sintetis. Terletak tepat di depan Masjid Raya Bandung yang megah. Keduanya, alun-alun rumput sintetis dan masjid itu menjadi pusat keramaian.

Tak jauh dari lokasi itu, di Jl Asia Afrika terdapat sebuah tulisan yang tak kalah menarik. Tulisan itu milik Pidi Baiq. Seorang seniman asal Bandung; personil grup musik The Panasdalam. Sejak April 2015, tulisan puitis itu terpampang. Menjadi objek dari lensa kamera siapa pun yang baru pertama menjejakkan kaki ke Bandung.

Tidak hanya itu, di setiap tempat sejauh mata memandang terdapat tulisan-tulisan ala remaja yang tengah dimabuk asmara. Bandung, seperti menjadi pusat dari segala juara. Di halte bus, ada pula tulisan Bandung Juara. Kini, kota kembang itu berubah bentuk menjadi kota metropolitan. Hampir sama dengan Ibu Kota Jakarta dan daerah penyangganya. Kendaraan tumpah ruah saban sore. Macet. Kendaraan bermotor berjejalan.

Jumat (12/1/2018), beberapa menit sebelum azan asar berkumandang, saya tiba di Stasiun Bandung. Sepanjang perjalanan dari Stasiun Bekasi, di atas Kereta Api Argo Parahyangan, mata saya dimanjakan oleh pemandangan yang indah. Sebuah karya cipta Tuhan yang tidak bisa ditemukan di tempat tinggal saya. Entah bukit atau gunung, menjadi kenikmatan tersendiri bagi siapa pun yang baru pertama menumpang kereta ke Kota Bandung.

Tepat azan asar, saya bergegas ke alun-alun. Menumpang ojek online yang menyamar. Sebab, kehidupan pengemudi ojek dan taksi online di Kota Bandung masih sangat terancam. Terdapat beberapa zona merah yang tidak memungkinkan bagi pengemudi moda transportasi online mengangkut penumpang. Kalau nekat, resiko yang bakal diterima cukup berbahaya.

Di jalan menuju alun-alun, saya ditakjubkan dengan tata kelola kota yang kontras dengan daerah tempat saya tinggal. Hawa sejuk turut serta menjadi kenikmatan yang menyentuh dan kemudian menembus sela-sela pori tubuh yang tak tertutup kain tebal. Kebetulan, cuaca sedang mendung. Saya pikir, hal itulah yang barangkali membuat sebagian besar warga Kota Bandung memiliki watak yang tidak keras. Karena kata Brouwer, Bumi Pasundan diciptakan ketika Tuhan sedang tersenyum.

Sesuatu itu, saya dapatkan ketika dibonceng oleh supir ojek online di sepanjang jalan menuju alun-alun. Ia ramah. Tutur katanya yang selalu rendah dan bersedia menjawab segala pertanyaan yang lahir dari mulut seorang awam seperti saya. Andri Yudo, namanya. Dirinya tak segan-segan menjelaskan setiap titik bangunan bersejarah sekaligus nama jalan yang terlewati.

Setibanya di lokasi, di alun-alun Kota Bandung, saya dikagetkan dengan keriuhan orang-orang yang merayakan kebahagiaannya. Mulai dari anak-anak, ibu-ibu muda, dua sejoli yang saling berdekatan tanda cinta, juga pedagang asongan yang melawan larangan. Pasalnya, beberapa kali bahkan hampir setiap 10 menit sekali, saya mendengar pengumuman dari pengeras suara di masjid, bahwa pedagang asongan sebenarnya terlarang. Para pengunjung diarahkan untuk ke bagian basement alun-alun kalau ingin belanja dan makan.

Anehnya, sama sekali tidak ada hukuman bagi para pedagang asongan yang melanggar. Entahlah, barangkali karena pengelola masjid memiliki rasa cinta dan kasih sayang kepada para pencari nafkah itu. Atau, mungkin juga sudah bosan untuk memberi hukuman kepada pedagang asongan yang nakal.

Lepas salat asar, saya duduk santai di serambi masjid. Menikmati sore sembari memandangi arsitektur dan tata kelola alun-alun yang menyedot perhatian banyak orang. Sehingga, selalu ramai oleh pengunjung yang datang dari berbagai kota. Saya melihat banyak adegan yang terjadi. Anak-anak berlarian di atas rumput sintetis. Sepasang kekasih juga terlihat sedang bermesra-ria di hadapan bangunan masjid. Juga, pasangan suami istri muda yang berbahagia menyaksikan anak-anaknya bahagia. Tak kalah juga, gerombolan pemudi berbusana mini yang asik berswafoto dengan teman-temannya.

Sampai lampu di menara masjid menyala, tanda magrib segera tiba; pedagang asongan masih saja menjajakan dagangannya. Anak-anak dan ibu-ibu muda masih berasyik-masyuk dengan canda-ria. Lebih-lebih dua sejoli yang semakin merapatkan tubuhnya tanda cinta. Mereka seolah tak peduli di hadapannya ada masjid yang menjadi simbol juara. Bangunan itu seperti tak punya makna, kecuali berfungsi untuk rebah dan ibadah.

Tak lama kemudian, salawat tarhim menggema. Orang-orang di atas rumput sintesis itu belum juga menyudahi aktivitasnya. Sampai azan magrib berkumandang, hanya sebagian kecil saja yang bergegas ke dalam masjid. Saya pun turut masuk. Berjamaah. Saf terisi hanya sampai baris keenam. Jamaah salat magrib tidak kalah banyak dengan kepala dan kaki yang sedari siang bergerak di luar masjid.

Usai salat, saya penasaran dengan kondisi di basement yang katanya dijadikan sebagai pusat kuliner dan oleh-oleh khas Bandung. Dengan tanpa pikir panjang, saya ke sana. Menapaki beberapa anak tangga hingga tiba di bawah. Saya melihat ada banyak lapak orang berjualan. Mulai dari makanan, warung kopi, pedagang oleh-oleh, hingga tempat untuk men-charge handphone. Dari sekian banyak lapak, saya memilih lapak yang sepi pengunjung.

Selesai makan, saya kembali ke atas. Ke jalan raya, berjalan di sepanjang Jl Asia Afrika. Kemudian, memesan ojek online yang ternyata dikemudi oleh Mojang Bandung bernama Rosi Oktavia. Saya menuju ke Kantor Pengurus Wilayah (PW) Nahdlatul Ulama (NU) di Jl Terusan Galunggung. Bersilaturrahim dengan rekan-rekan Pengurus PW Ikatan Pelajar NU (IPNU) Provinsi Jawa Barat. Bermalam. Karena pada Sabtu dan Minggu (13-14/1/2018), saya mesti menghadiri sebuah forum pertemuan penulis NU zona Jawa Barat yang diadakan oleh NU Online, di Hotel Mercure, Jl Lengkong Besar, Kota Bandung.

Pertemuan itu merupakan sebuah forum yang dirancang sebagai penguatan konten keislaman. Juga, sebagai bagian dari upaya untuk mengarusutamakan konten Islam Moderat di media. Sehingga, yang diharapkan dari pertemuan itu adalah agar para penulis NU dapat melahirkan cara pandang dan kesadaran bersama tentang Islam yang damai dan toleran. Serta mampu membuat informasi yang positif di dunia maya.

Kemudian, menghasilkan output yang bersifat operasional dalam penulisan konten keislaman di berbagai media.

Terlepas dari kegiatan akhir pekan yang saya lakukan, Kota Bandung selain menjadi pusat perhatian banyak orang, ternyata juga mampu menyedot kerinduan bagi sebagian besar pecandu asmara. Mulai dari anak remaja, orangtua muda, hingga kakek dan nenek.

Bandung, memang benar yang dikatakan Pidi Baiq, bukan cuma masalah geografis. Tetapi, lebih jauh dari itu, karena melibatkan perasaan yang bersamanya ketika sunyi. 

Bandung, dulu popular dengan kalimat lautan api. Kini, mungkin berubah dengan sebutan Bandung lautan asmara karena sejauh mata memandang ada sangat banyak tulisan yang bernuansa cinta.

Bandung, Juara!



Wallahu A’lam
Kantor PWNU Jawa Barat, 12 Januari 2018





Aru Elgete

(Orang yang baru pertama melihat Kota Bandung dari kedekatan)

Pemilukada Serentak, Persaudaraan Rentan Retak



Sumber gambar: kanalmedan.com


Gong sudah dibunyikan. Masing-masing partai politik memunculkan nama-nama untuk dipilih masyarakat pada 27 Juni 2018 mendatang. Semua elit politik berbenah, mencari cara dan strategi untuk saling mengalahkan. Bahkan, menjatuhkan lawan main. Entahlah, apa yang sedang direncanakan para dalang di balik layar pertunjukkan.

Sebab, yang pasti; dalam pemilihan kepala daerah dengan sistem elektoral; satu orang satu suara itu, masyarakat hanya dijadikan objek. Misal, kita tidak terlibat dalam menentukan siapa pasangan yang akan dijadikan pemimpin selanjutnya. Kita hanya punya hak untuk memilih pasangan yang sudah disajikan. Namun, tidak bisa turut serta dalam memunculkan nama untuk merekomendasikan seseorang, kecuali kalau kita kader partai.

Politik ala liberal memang seperti itu, macamnya. Kita dipancing dengan iming-iming harga miring. Dipaksa untuk fanatik terhadap pasangan yang didukung. Sehingga, muncul percikkan api perselisihan.

Peninggalan Belanda, kerap diulang dan terulang. Yakni, politik pecah-belah. Masyarakat, antar-warga, bahkan dengan saudara kandung sendiri, bisa saja melakukan baku hantam karena berbeda pandangan politik; fanatik. Seperti itukah yang diharapkan dari pemilukada? Mendukung, tapi dengan menghalalkan segala cara. Dan, akhirnya politik tak lagi sebagai salah satu bagian untuk dididik dan mendidik. Melainkan hanya kepentingan untuk mencapai kekuasaan.

Memangnya siapa yang akan kita pilih? Dia tetap orang lain. Dalam politik, yang fana adalah kawan dan lawan; kepentingan, abadi. Maka itu, kita mesti mengurangi kadar fanatisme pada pemimpin yang dilahirkan dari rahim yang penuh intrik. Bukankah perbuatan yang berlebihan itu tidak disukai oleh Tuhan? Dan, ingat juga bahwa mengikutsertakan Tuhan secara berlebihan ke dalam kubang perpolitikan merupakan perbuatan yang sangat picik. 

Di era kekinian, untuk berkuasa di suatu wilayah sangat mudah. Pertama, adalah mereka yang lebih dulu dikenal warga. Kedua, calon petahana akan mengungkit karya-karya yang telah diciptakan, tetapi menutup rapat-rapat kebobrokan yang kerap dilakukan. Alasannya, "Kami hanya manusia biasa yang tak lepas dari salah dan dosa. Kalau ada kurang, kami akan benahi. Karenanya, kami masih butuh waktu untuk membenahi daerah ini."

Ketiga, punya biaya yang banyak untuk membuat media online dan media sosial sebagai corong pemenangan; kemudian membayar orang-orang yang lihai menulis, untuk membangun citra yang baik di dunia maya. Biasanya, si penulis akan mendapat hadiah yang diinginkan. Iming-iming mobil, smartphone terbaru, atau uang tunai, sudah menjadi rahasia umum. Intinya, menulislah karena dibayar.

Keempat, tentu mendatangi warga yang paling miskin di daerahnya. Menyantuni anak yatim, memberi bantuan kepada janda yang sudah lanjut usia, dan memberikan uang cuma-cuma kepada tukang becak di jalanan. Tidak lupa; santunan, bantuan, dan uang cuma-cuma itu sudah dibumbui oleh penyedap rasa berupa kata-kata. 

Kelima, melakukan kerjasama dengan institusi pendidikan. Kemudian, para tenaga pengajar memberikan tugas kepada anak didiknya untuk membuat karya; tulisan, video, audio-video, dan sebagainya; yang tujuan utamanya adalah meloloskan calon kepala daerah melenggang bebas hingga tiba di singgasana kekuasaan. Anak didik; baik pelajar maupun mahasiswa, tentu tidak tahu apa-apa. Sebab, yang mereka tahu adalah nilai yang mesti bagus agar terhindar dari ocehan ibu di rumah.

Keenam, blusukan ke pelosok kampung. Menemui tokoh masyarakat; seperti ajengan, kiai, dan orang yang punya pengikut banyak (opinion leader); untuk mengerahkan massanya. Tentu, tidak gratis. Sebab, di hadapan harga, semua orang punya kedudukan yang sama.

Terakhir, ketujuh, barangkali masih berkaitan dengan sebelumnya. Yakni, memainkan isu agama. Untuk yang satu ini, saya tidak perlu panjang lebar menjelaskan. Sebab, semuanya sudah jelas.

Dari poin-poin di atas itu, hanya sebagian kecil saja yang bisa dilakukan aktor politik di arena pertempuran. Masih ada ratusan bahkan milyaran cara untuk sampai pada titik kemenangan, dan berkuasa. Agenda pertama usai terpilih sebagai kepala daerah adalah mencari cara untuk mengembalikan modal dan hutang. Agenda kedua, mencari keuntungan untuk orang-orang terdekat, kolega, keluarga, dan tim sukses yang selalu dibangga. Agenda kedelapan puluh sembilan, alias yang akan dilakukan di akhir masa jabatan adalah, membangun daerah kepemimpinannya menjadi baik; minimal secara fisik terlihat menarik.

Jadi, seperti itu opini saya mengenai pemilukada zaman now ini. Semuanya bisa dilakukan, dengan cara bagaimana, melalui apa pun, dan menggunakan apa saja. Intinya, kita dan pasangan calon yang didukung harus menang.

Awas, persaudaraan bisa retak gara-gara pemilukada serentak. Sebab, semua orang jadi galak kalau pilihannya dibilang tidak layak. Yang terpenting, esok atau lusa, ada citra baru yang dimunculkan di setiap lapak. Sementara segala keburukan mesti ditutup rapat-rapat agar tidak membelalak. Hati-hati ditabrak. Jangan sembarangan teriak, nanti dilabrak.


Skak!




Wallahu A'lam



Bekasi, 12 Januari 2018



Aru Elgete
(Bukan Politisi)

Kamis, 11 Januari 2018

Sudahkah Menertawai Agama Sendiri?


Sumber gambar: jantungmelayu.com


Suatu ketika, Presiden Keempat Republik Indonesia KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sedang berada dalam forum diskusi lintas agama. Peserta diskusi adalah umat Hindu, Kristen, dan Islam beserta pemuka agama. Gus Dur, mewakili Islam. Tema besar diskusi adalah, "Mencari Titik Temu; Agama mana yang paling dekat dengan Tuhan?"

Pertama, pemuka agama Hindu angkat bicara. Memberi pernyataan panjang lebar. Seperti memberi nasihat, atau juga semacam ceramah di rumah ibadah. Di akhir, ia mengungkapkan, "Agama kami-lah yang paling dekat dengan Tuhan. Sebab, kami memanggil-Nya dengan sebutan Om. Adakah hubungan yang lebih dekat dari paman dan keponakannya?"

Peserta pertama usai. Tepuk tangan meriah menyertai pemuka agama Hindu itu kembali ke tempat duduk. Kini giliran pendeta menyampaikan pernyataannya mengenai agama yang paling dekat dengan Tuhan.

"Kalau Hindu memanggil Tuhan dengan sebutan Om, kami menyebut Tuhan dengan panggilan akrab, yakni Bapak kami di Sorga," ungkap sang pendeta dengan rasa bangga. Mendapat tepuk tangan yang lebih riuh dari peserta sebelumnya. Ia kembali ke tempat duduk

Kini, giliran Gus Dur mewakili agama Islam untuk menyampaikan pendapatnya mengenai agama yang terdekat dengan Tuhan. Gus Dur, maju. Berdiri di atas mimbar. Namun, aneh. Ia terdiam. Pandangannya menyapu hadirin yang berkerumun di hadapannya.

"Kiai, kenapa diam? Silakan bicara. Bagaimana? Benarkah Islam agama yang dekat dengan Tuhan, lebih dekat daripada agama Hindu dan Kristen?" kata pembawa acara kepada Gus Dur, dan penonton pun terheran. Terlihat, ada penonton yang berbisik-bisik, seperti membicarakan hal buruk untuk Gus Dur.

Setelah menunggu hampir 5 menit, Gus Dur akhirnya angkat bicara.

"Saya bingung. Bagaimana saya bisa menyatakan kalau Islam adalah agama yang paling dekat dengan Tuhan? Lha wong, kalau memanggil-manggil nama Tuhan saja dengan menggunakan TOA dan pengeras suara," kata Gus Dur. Spontan, para hadirin tertawa terbahak-bahak; sembari bertepuk tangan dan berdiri. 

____________________________

Sepulang dari Palestina, Gus Dur bercerita di depan keempat putri dan istrinya. Ia menceritakan bahwa ada sebuah sungai yang sarat sejarah. Gus Dur mengarungi sungai itu dengan menumpang sampan dengan tarif senilai jutaan rupiah sekali naik. Kemudian, sembari menikmati suasana itu, Gus Dur diceritakan sebuah mukjizat Yesus Kristus yang pernah menyeberangi sungai itu dengan berjalan di atas air.

Saat mendengar cerita itu, Gus Dur membatin, "Yesus pasti tidak mampu untuk membayar tarif perahu yang sangat mahal ini, makanya dia lebih memilih jalan kaki," spontan, keempat putri dan Ibu Shinta Nuriyah Wahid tertawa hingga terlihat bagian dalam mulutnya.

____________________________

Seperti itu secuplik banyolan Gus Dur yang menyentil isu agama. Menurut hemat saya, kepercayaan Gus Dur terhadap Islam dan keimanannya sudah sangat kuat, sehingga dirinya mampu menertawai agamanya sendiri, sebelum orang lain dinilai menista agamanya. Karena ia telah berhasil menertawai agamanya sendiri, maka tidak baginya tidak ada istilah penistaan agama hanya karena meledek dan dimaksudkan untuk bercanda.

Menghina agama, menurut Gus Dur, adalah ketika cara beragama kita sangat jauh dari kemanusiaan dan kepekaan terhadap lingkungan. Menistakan agama adalah ketika mencari keuntungan dari balik mimbar atau di atas altar pengimaman. Menghina dan menista agama, bahkan menghina Tuhan; yang paling luhur, menurut Sujiwotejo adalah saat khawatir besok atau lusa tidak bisa makan.

Lalu, seperti apa definisi penistaan agama yang mewajibkan seseorang untuk meminta maaf dan mesti berurusan dengan kepolisian, sementara tidak ada niatan jahat untuk menjatuhkan marwah agama? Lagi pula, menurut saya, memangnya ada manusia yang bisa menjatuhkan agama kalau bukan Tuhan itu sendiri?

Sementara itu, seorang komika ternama beragama Kristen beretnis Tionghoa, pernah melakukan stand up comedy dengan menertawai agama dan keyakinannya sendiri.

Ia merasa heran, karena selama ini yang diurus dan diperhatikan oleh Kementerian Agama (Kemenag) hanya agama Islam saja. Dirinya merasa iri karena Kristen sangat jarang diberi perhatian langsung oleh Menteri Agama.

"Gue kasih contoh nih, ya. Setiap mau puasa, mau lebaran, lebaran haji, itu pasti diadakan sidang isbat. Melihat hilal. Memastikan bahwa hilal sudah naik," katanya.

Kemudian, ia membandingkan dengan agamanya yang tidak diperhatikan oleh Kemenag. Contohnya seperti peringatan Kenaikan Yesus Kristus.

"Harusnya, sebelum hari peringatan Kenaikan Yesus Kristus, Kementerian Agama adakan juga sidang isbat. Pastikan bahwa Yesus sudah naik. Kalau ternyata Yesus tidak naik, ya suruh belajar yang rajin lagi."

_______________________

Demikian, kelucuan yang menurut saya mampu mendewasakan sikap keberagamaan kita. Saya menduga, saat ini kita sudah jauh dari nilai-nilai humanistik yang terdapat dalam setiap agama. Kita menjadi cepat marah, meledak, tetapi pada saat yang sama kita meledek pribadi agama lain atau orang lain.

Kehidupan saat ini seperti paradoks, menertawai yang lain tidak dianggap sebagai penistaan. Sementara, ketika kita ditertawai barulah dianggap sebagai bagian dari penghinaan. Padahal, Gus Dur sudah mengajarkan kita untuk segera menertawai diri sendiri sebelum ditertawai orang lain. Agar ketika orang lain menertawai diri kita, maka kita sudah tidak lagi merasa sakit hati atau tersinggung.

"Kalau Tuhan beranak, bidannya siapa? Makanya, Islam!"






Wallahu A'lam



Bekasi, 11 Januari 2018


Aru Elgete
(Penganut Islam Santai)

Rabu, 10 Januari 2018

Harlah Tahun Lalu: NU Sebagai Ruang Moderasi Pemikiran


Sumber gambar: muslimoderat.net


Tak terasa, Januari 2018 sudah berjalan hampir dua pekan. Di akhir bulan, secara kalender masehi, organisasi Islam terbesar di Indonesia; yakni Nahdlatul Ulama (NU), akan merayakan hari lahir (harlah). Saya bersyukur, karena tahun lalu berkesempatan hadir. Mendengarkan nasihat Rais Aam KH Ma'ruf Amin dan Ketua Umum PBNU KH Sa'id Aqil Siroj.

Saya masih ingat betul, beberapa poin penting yang disampaikan kedua ulama santun itu. Sejarah perjuangan ulama di Indonesia dibahas; mulai dari kisah heroik Hadlratussyaikh KH Hasyim Asy'ari, hingga KH Abdurrahman Wahid yang membuka kran demokrasi.

Perayaan harlah tahun lalu, saya seperti merasakan ada sebuah kesepakatan bahwa NU berkomitmen untuk terus menjaga dan merawat Ibu Pertiwi. Menjadi pelindung dari marabahaya. Tidak ekstrem kiri dan kanan. Tetap berada di tengah. Meskipun gelombang kian menghantam, NU tetap berdiri di atas prinsipnya; laa syarqiyyah wa laa gharbiyyah. Tidak condong ke timur dan ke barat.

Kala itu, 31 Januari 2017, KH Ma'ruf Amin memberikan tausiyah. Beliau katakan, NU wajib untuk senantiasa menjadi ruang moderasi pemikiran kebangsaan dan keagamaan. Bergerak pun, sama. Soal pelayanan keumatan, jangan ditanya.

Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) itu mengungkapkan bahwa NU tidak jumud dalam membaca teks keagamaan, tapi juga tidak terlalu longgar dalam memahaminya. Artinya, tidak kaku dalam hal ritual, juga tidak terlalu fokus pada kehidupan sosial. Tegasnya, NU menolak Liberalisasi dan Radikalisasi Islam.

NU berkewajiban menjaga nilai-nilai tradisi, melestarikan dan mengupayakan agar tetap mengenal masa lalu, tetapi jangan sampai lupa untuk terus melakukan inovasi. Organisasi yang didirikan oleh para ulama pendiri bangsa itu harus menjadi benteng dari segala ancaman yang datang saat ini; yang berpotensi merusak bangunan sejarah berupa kebudayaan.

Selain itu, KH Said Aqil Siroj menyampaikan pidato kebudayaan. Di hadapan ribuan Nahdliyyin yang memadati halaman kantornya itu, ada banyak hal yang diungkapkan. Warga NU, dari yang muda hingga tua, saksama mendengarnya. Bahkan, ada beberapa pejabat dan petinggi negara. Dari mulai menteri hingga tukang becak, hadir dan turut berbahagia merayakan harlah NU ke-91.

Kiai asal Cirebon itu bertutur bahwa di Timur Tengah tidak ada ulama yang nasionalis. Pun sebaliknya. Orang yang nasionalis pasti bukan ulama. Setelah memberi contoh dan perbandingan, seperti Hasan Al-Banna dan Saddam Hussein; beliau kemudian menyebut nama KH Hasyim Asy'ari dengan rasa bangga.

"Pendiri NU itulah; Ulama Nasionalis, Nasionalis yang Ulama," ucap Pengasuh Pondok Pesantren Luhur Al-Tsaqafah, Ciganjur, Jakarta itu.

Dalam perjalanannya, NU selalu tegas terhadap Islam dan negara. Tidak ada pertentangan diantara nasionalisme dan agama. Begitu kata pendiri NU. Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan UUD 1945, tak bisa lagi ditawar-tawar. Harga mati. Siapa yang merusak, berhadapan dengan NU.

Soal membela kehormatan ulama, Nahdliyyin punya cara tersendiri. Tak perlu diragukan lagi. Umat Islam yang tergabung dalam Jam'iyyah Islamiyyah Ijtima'iyyah bi thoriqoh nahdlotul ulama itu selalu memelihara adab kepada orang-orang berilmu. 

Bagi warga NU, takzim kepada ulama merupakan cara menghargai ilmu. Melalui itu pula, Nahdliyyin merasa dekat dengan Allah dan Rasul-Nya. Bahkan, memandang wajah ulama diyakini sebagai keberkahan. Bukan berlebihan. Memang begitulah, adab kepada ulama.

Tanpa diminta dan dikomando, warga NU akan dengan sendirinya membela ulama yang dicinta. Namun, ketika dianjurkan untuk menahan diri, Nahdliyyin tidak akan terprovokasi. Sebagian besar dari mereka adalah santri, pasti pernah belajar kitab ternama; Ta'lim al-muta'alim. 

Ulama-ulama NU juga tidak pernah berlebihan. Mereka tidak mengandalkan kekuatan massa saat dirinya sedang dalam masalah. Pemecahan solusi pun dilakukan. Ide-ide cemerlang selalu lahir seketika. Kuncinya; santun dan cinta kasih.

Semasa di pesantren, warga NU pasti belajar soal prinsip ke-NU-an. Tasamuh, Tawassuth, I'tidal, dan Tawazzun. Kesemuanya menjadi pedoman hidup; bermasyarakat, beragama, dan bernegara. Sebab, Nahdliyyin bukan peledak, tetapi penjinak.

Terakhir, ciri Nahdliyyin adalah santun, tidak kagetan dan latahan, serta pemaaf. Warga NU selalu menerapkan ilmu padi; semakin berisi kian merunduk. Tan Malaka bilang, padi tumbuh tak berisik.

Nahdliyyin tidak pernah seperti balon; isinya kosong. Mudah meninggi. Digesek sedikit, meledak-ledak. Kalau pun ada yang seperti itu dengan mengaku sebagai bagian dari NU, percayalah dia belum menjadi Nahdliyyin yang kaffah.

(Sekali lagi) Nahdliyyin bukan peledak, tetapi penjinak. Menjadi penengah dari kesemrawutan persoalan kemasyarakatan. Menjadi penjernih, bukan malah menjadikan persoalan kian rumit nan keruh.

Umat Islam yang berada di lingkungan NU selalu menghargai perbedaan. Saat melihat kebaruan fenomena tidak pernah kaget dan layanan. Tetap santai. Tidak kesusu. Tetap menjunjung kebebasan berpendapat. Sebab menurutnya, perbedaan adalah niscaya.

Yang terpenting, bukan seorang Nahdliyyin kalau dalam berdiskusi gemar membenci. Kalau berdakwah suka mengumbar amarah. Bukanlah Nahdliyyin senjata yang selalu merasa diri paling benar, hingga kemudian terprovokasi untuk berbuat onar. Karena, Nahdliyyin bukan peledak, tetapi penjinak.



Wallahu A'lam


Aru Elgete
Nahdliyyin Garis Melengkung