Kamis, 30 Juli 2020

Ustadz Google Kepala Batu


Sumber gambar: kenali.co


Sore itu, di sebuah masjid, berlangsung agenda kajian rutin mingguan milik para aktivis agama di kampus. Kebetulan, sebagai jamaah, aku turut di dalamnya. Pemateri, yang dipanggil ustadz itu, mengangkat tema kajian: ma'rifatullah. Tema tersebut membuat Endah, salah seorang jamaah, tertarik untuk berdiskusi. 

Sang pemateri, Ustadz Eki namanya, di dalam kajian itu menyampaikan siapa, apa, dan bagaimana Allah. Sesuai ilmu yang selama ini dipelajarinya, ia berkata bahwa Allah berada di atas arsy atau bersinggasana di langit ke tujuh. Usut punya usut, sumber materi tersebut didapati oleh Ustadz Eki melalui media sosial, yakni instagram. Kemudian, ia memperdalamnya lewat google; mesin pencari nomor satu di era globalisasi ini. 

Setelah lama kudengarkan, aku merasa ada banyak kejanggalan dari cara Ustadz Eki menyampaikan nilai-nilai akidah itu. Namun, aku masih harus menunggu sesi tanya jawab. Saat sesi tanya jawab dibuka, aku kalah cepat dengan jamaah lain yang bernama Endah. Dengan santun, Endah bertanya: "Ustad, jika Allah berada di atas arsy maka di mana Allah sebelum arsy diciptakan?"

Kepalaku mengangguk-ngangguk dengan pertanyaan tersebut. Pikirku, benar juga apa yang ditanyakan si Endah itu. Tapi entah mengapa kelihatannya kok Ustadz Eki malah kebingungan seperti mencari jawaban.

Aku mengira, ia tidak bakal bisa menjawab pertanyaan Endah yang rada filosofis itu. Tapi tidak mungkin bagi dirinya untuk tidak menjawab pertanyaan tersebut. Sebab, hal itu pasti akan menurunkan reputasinya di hadapan jama'ah sebagai ustadz.

”Wallahualam bisshowab, Allah Maha terdahulu dan hanya Dia-lah yang mengetahui keberadaan-Nya. Kita tidak perlu memikirkan bagaimana dan di mana Allah kalau sudah Al-Quran yang berbicara,” kata Ustadz Eki.

Ustad Eki memang terkenal dengan kepandaiannya berkata-kata. Wajar saja, meskipun dalam keadaan kebingungan ia masih tetap bisa menjawab pertanyaan.

”Tapi ustadz, ustadz kan sudah membuka jalan bagi kami untuk memikirkan-Nya,” protes Tika yang sedikit kecewa kepada jawaban melantur itu. 

Aku melihat ustadz gaul itu jadi mulai gemetar seperti tak bisa menerima resiko dari apa yang sudah ia sampaikan. Endah kemudian mempertegas tanyanya kembali.

”Kemudian di mana Allah, ustadz, sebelum arsy diciptakan, karena bagi ustadz Allah berada di atas arsy?"

Endah masih begitu penasaran dan tetiba seorang jamaah lainnya mengangkat tangan. Mungkin, dia akan membantu Ustadz Eki, pikirku. Lalu, Ustadz Eki mempersilakannya untuk membuka suara. 

"Jadi begini ustadz, guru saya berkata bahwa Allah itu tidak di mana-mana, termasuk Allah tidak berada di arsy. Allah ada tanpa tempat dan arah. Karena Allah berbeda dengan makhluknya dan tempat menunjukkan sifat makhluk. Jadi ketika ustadz berusaha menyampaikan bahwa Allah di atas arsy, itu sama halnya ustadz menyamakan Allah dengan makhluknya. Seperti berkata bahwa Allah membutuhkan tempat, mustahil Allah membutuhkan tempat. Justru, bukankah Allah yang menciptakan tempat itu sendiri? Seperti Allah menciptakan bumi untuk manusia?"

Demikian seorang jamaah bernama Lia berargumentasi. Pembicaraannya itu menciptakan sesungging senyum di bibir Endah, sekaligus membuat sang ustadz google itu tetap tak mau kalah dan tidak mau dikalahkan. 

"Wallahualam bishshowab, saya tidak tahu mana kebenarannya. Ini sudah Al-Quran yang berbicara, itu tandanya sudah Allah langsung yang mengatakan. Kita harus meyakini ini sebagai akidah kita," kata Ustadz Eki, memaksa.

Aku bingung, bagaimana ustadz google itu bisa berkata begitu. Ia seolah mampu menafsirkan ayat-ayat Allah yang mutasyabbihat, puisi terindah Allah yang dibungkus diksi terberat, hanya dengan modal kepalanya sendiri. Aku menjadi bingung, apa bedanya Ustadz Eki itu dengan para liberalis?

Dia berpikir sangat radikal, dia berkata bahwa Allah berada di atas langit. Sedangkan aku sangat setuju dengan apa yang dikatakan Lia, bahwa Allah-lah yang menciptakan langit. Bagaimana bisa Allah membutuhkan langit?

"Jangan tafsirkan ayat dengan kepala sendiri,  begitulah yang guru saya katakan. Karena belum tentu, maksud ayat tersebut sama dengan apa yang kita baca. Guruku juga berkata, jangan percaya dengan orang yang belajar agama hanya modal google alias tidak memiliki guru," bisik Lia kepadaku.

Lalu, aku memberanikan diri untuk membuat forum di dalam forum. Aku bertanya kepada Lia, "Li, jadi akidah yang sesungguhnya itu bagaimana?"

"Akidah yang sesungguhnya itu adalah yang mensucikan Allah dari sifat-sifat yang mustahil ada pada-Nya. Allah serupa dengan makhluknya itu tidak mungkin," kata Lia. 

Endah memang murid yang sangat kritis dan idealis. Jelas saja jika pertanyaan-pertanyaannya begitu kronis. Karena dia tidak belajar dari sembarang guru. Gurunya terkenal jago Kitab Kuning.

"Besok, aku tidak ingin hadir ke majelis ini lagi. Gurunya Badung (Bala dan Dungu) tidak bisa menerima nasihat sesama dan selalu merasa benar. Kata guruku, merasa benar dan tidak bisa dinasehati itu tanda kerasnya hati. Oh ya, kamu jangan jadi ustadz google nanti jadi badung," pungkas Endah.


*Kisah ini ditulis oleh Khaifah Indah Parwansyah, Mahasiswa Ilmu Komunikasi Unisma Bekasi

Rabu, 22 Juli 2020

Hari Raya Iduladha: Qurban dan Kemanusiaan Kita


Sumber gambar: www.cnbcindonesia.com

Saat ini, kita sudah memasuki bulan haji; dzulhijjah. Sebuah momentum di mana pelaksanaan haji di seluruh dunia, dilakukan. Namun, karena pandemi corona yang belum juga usai, maka tahun ini, Kerajaan Arab Saudi membatasi jumlah jamaah haji. Indonesia, salah satu negara yang pada tahun ini, tidak ada keberangkatan jamaah haji. 

Namun, untuk memperingati bulan ini, umat Islam masih bisa juga melaksanakan ibadah yang lain, yakni berqurban. Qurban mengajarkan diri kita untuk tidak kikir kepada sesama dalam hidup bermasyarakat. Sebab, kikir adalah penyakit terbesar yang paling sering muncul. Orang yang kikir, terlebih dalam membelanjakan harta di jalan Allah, berarti sama saja dia kikir terhadap dirinya sendiri. Namun sebaliknya, jika ikhlas menginfakkan hartanya di jalan Allah, berarti telah mengangkat derajat dirinya ke tempat yang terpuji.

Dengan demikian, syariat melaksanakan qurban adalah wahana pendidikan umat dalam bermasyarakat. Berqurban bukan sekadar ibadah ritual yang mencerminkan rutinitas, tetapi juga merupakan ibadah yang berdimensi horizontal, membentuk kepedulian sosial terhadap sesama.

Seperti halnya puasa (ibadah yang hakikatnya mendidik seorang muslim agar mempunyai motivasi yang suci dan kuat, serta menaruh belas kasih terhadap orang lain) yang diberlakukan Allah sejak lama (sebagaimana disebut dalam surat Al Baqarah: 183), ibadah qurban juga telah disyariatkan Allah kepada umat terdahulu. Allah berfirman:

“Dan bagi setiap umat telah kami syariatkan penyembelihan (qurban) agar mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzekikan Allah kepada mereka. Maka Rabb-mu ialah Rabb Yang Maha Esa. Karena itu, berserah dirilah kamu kepada-Nya dan berilah kabar gembira kepada orang yang tunduk patuh (kepada Allah).” (QS. Al Hajj 34).

Qurban berarti dekat atau mendekati. Penyembelihan binatang ternak dilakukan pada hari raya haji atau Iduladha, yakni pada 10, 11, 12 dan 13 Dzulhijjah. Dalam sejarah, qurban juga disebut udhiah (menyembelih binatang di waktu matahari sedang naik di pagi hari) yang berasal dari kata dahwah atau dhuha diambil dari kata dahiyah yang jamaknya udhiah.

Dasar Pelaksanaan Qurban

Setidaknya, terdapat tiga dasar pelaksanaan Qurban. Pertama, Firman Allah SWT: “Sesungguhnya kami telah memberikan nikmat yang banyak. Maka dirikanlah salat karena Tuhanmu dan berqurbanlah. Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus.” (QS. 108: 1-3).

Kedua, Firman Allah SWT yang artinya: “Dan telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebagian dari syiar Allah, kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya, maka sebutlah olehmu nama Allah ketika kamu menyembelihnya dalam keadaan berdiri (dan telah terikat).

Kemudian apabila telah roboh (mati), maka makanlah sebagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (tidak meminta-minta), dan orang yang meminta. Demikianlah Kami telah menundukkan unta-unta itu kepada kamu, mudah-mudahan kamu bersyukur.” (QS 22: 36).

Ketiga, Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yang memperoleh suatu kelapangan, tetapi dia tidak berqurban, janganlah ia menghampiri tempat salat kami.” (HR Ahmad dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah).

Berdasarkan ayat dan hadits di atas, dapat dipahami bahwa hukum melaksanakan ibadah qurban bukan wajib, tetapi sunnah muakkad (sunah yang dikuatkan). 

Hal ini didasarkan pada hadits Rasulullah SAW: “Apabila kamu melihat hilal (awan bulan) Dzulhijjah dan salah seorang di antara kamu ingin berqurban, hendaklah ia menahan (diri untuk memotong) rambut dan kuku-kukunya (binatang yang akan diqurbankan).” (HR Jamaah kecuali Bukhari dari Ummu Salamah).

Sejarah Qurban

Asal usul ibadah qurban dalam Islam berawal dari peristiwa Nabi Ibrahim AS bersama anaknya, Nabi Ismail AS. Peristiwa itu berawal dari mimpi Nabi Ibrahim AS. Dalam mimpinya, Nabi Ibrahim mendapat perintah dari Allah SWT untuk menyembelih anaknya. Oleh karena mimpi itu menurut keyakinannya merupakan mimpi yang benar, maka ia menawarkan kepada Ismail.

"Hai, anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu, maka pikirkanlah apa pendapatmu?" (QS. 37: 102).

Mendengar perintah ayahnya, Ismail pun dengan yakin dan ikhlas menjawab penuh hormat, "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu, insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar." (QS. 37: 102). Kemudian  Nabi Ibrahim membawa Ismail ke suatu tempat yang sunyi di Mina. Sebelum penyembelihan dimulai, Ismail mengajukan tiga permohonan. 

Pertama, sebelum ia disembelih hendaknya terlebih dulu Ibrahim menajamkan pisaunya agar ia cepat mati dan tidak lagi timbul kesakitan maupun penyesalan ayahnya. Kedua, ketika menyembelih wajah Ismail harus ditutup agar tidak timbul rasa ragu dalam hati ayahnya, karena merasa kasihan melihat wajah anaknya. Ketiga, bila penyembelihan telah selesai agar pakaian Ismail yang berlumuran darah dibawa ke hadapan ibunya, sebagai saksi bahwa qurban telah dilaksanakan.

Dengan berserah diri kepada Allah, Ismail pun dibaringkan dan dengan segera Nabi Ibrahim menyentakkan pisaunya dan mengarahkan ke leher anaknya. Akan tetapi, Allah SWT mengganti Ismail dengan seekor domba besar (QS. 37: 107). Peristiwa Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail ini kemudian diabadikan oleh Allah SWT menjadi salah satu unsur syariat Islam, yang hingga kini dilaksanakan oleh setiap muslim yang mampu.

Hukum Menyembelih Qurban

Pertama, ketentuan umum:
Sembelihlah (al-dzabihah) hewan yang dihalalkan untuk memakannya dan disembelih secara syariat Islam. Yaitu disembelih dengan cara memotong jalan darah (dua urat nadi) lehernya (wadazain), jalan napas (al-hulqum), dan jalan makanan, minuman, dan kerongkongan (al-mari’u) dengan menggunakan alat yang tajam seperti pisau dan alat lainnya selain gigi, tulang, dan kuku dengan terlebih dahulu menyebut nama Allah (membaca basmalah).

Hewan yang disembelih adalah hewan yang dihalalkan oleh syariat Islam berdasarkan keterangan dari Al-Quran dan hadits.

Kedua, ketentuan hukum:
Bahwa penyembelihan berdasarkan syariat Islam adalah penyembelihan hewan yang dihalalkan dengan mengikuti ketentuan syarat, rukun, dan adab atau etika penyembelihan. 

Syarat bagi penyembelih adalah beragama Islam atau ahli kitab. Telah baligh, berakal, dan mumayyiz. Alat yang digunakan untuk menyembelih adalah benda atau alat yang tajam seperti pisau dan golok. Cara penyembelihan adalah dengan memotong jalan darah dua urat nadi leher (wadazain), jalan nafas (al-hulqum) dan jalan makanan, minuman, atau kerongkonan (al-mari'u).

Sementara itu, syarat bagi hewan yang disembelih adalah hewan yang dihalalkan oleh syariat berdasarkan ketentuan Al-Qur'an dan Hadits. Kemudian, hewan yang tidak cacat karena bisa mengurangi dagingnya atau bisa menimbulkan bahaya.

Tak hanya itu, keadaan hewan juga yang memungkinkan untuk disembelih secara sempurna (maqdur 'alaih). Hewannya pun yang telah cukup umur, yakni untuk unta berusia 5 tahun, sapi atau kerbau berumur 2 tahun, dan kambing atau domba berumur 1 tahun memasuki umur 2 tahun. Sementara waktu yang telah ditentukan syariat untuk melakukan penyembelihan hewan Qurban yaitu pada Hari Raya Iduladha dan Hari Tasyrik (10-13 Dzulhijjah).

Terdapat enam hal yang harus dilakukan saat menyembelih hewan Qurban. Keenam hal ini merupakan adab dan etika yang dianjurkan dalam Islam. Pertama, niat untuk menyembelih sebagai ibadah kepada Allah. Kedua, membaringkan hewan yang akan disembelih ke sebelah kiri dan menghadapkannya ke arah kiblat. Ketiga, membaca basmalah, salawat, dan berdoa.

Keempat, tempat memotong di bagian bawah leher, dan leher tidak sampai putus. Kelima, menguliti hewan baru akan dilakukan setelah yakin bahwa hewan yang disembelih itu benar-benar mati. Keenam, hindari penggorokan leher hewan yang masih sekarat karena dipandang menyakitkan.

Hikmah Berqurban

Rasulullah SAW bersabda: “Tidak ada satu pun perbuatan manusia yang paling disukai Allah pada hari raya haji (selain) dari mengalirkan darah (berqurban). Sesungguhnya orang yang berqurban itu datang pada hari kiamat membawa tanduk, bulu dan kuku binatang qurban dan sesungguhnya darah (qurban) yang mengalir itu akan lebih cepat sampai kepada Allah (darah itu) jatuh di permukaan bumi.” (HR. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah dari Asyiah).

Sesungguhnya Al-Quran mengajarkan dan menyeru kepada kita untuk mencapai ketinggian derajat dan predikat terbaik. Sikap itu harus kita jadikan kepribadian yang senantiasa melekat dalam kehidupan sehari-hari. Firman Allah:

“Hai orang-orang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (Al Baqarah: 267).

Peristiwa-peristiwa yang dialami Ibrahim yang puncaknya dirayakan sebagai Iduladha atau Hari Raya Qurban, harus mampu mengingatkan bahwa yang dikorbankan tidak boleh manusia, tetapi sifat-sifat kebinatangan yang ada dalam diri manusia. 

Sifat-sifat itu semacam rakus, ambisi yang tak terkendali, menindas, menyerang, dan tidak mengenal hukum norma-norma apa pun. Sifat-sifat yang demikian itulah yang harus dibunuh, ditiadakan, dan dijadikan korban demi mencapai qurban (kedekatan) diri kepada Allah SWT.

Itu sebabnya Allah mengingatkan: “Daging dan darahnya sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketawakalanmu-lah yang dapat mencapainya.” (QS. 22: 37).

Dengan demikian, tidak ada kaitan antara daging, darah, dan qurban (kedekatan kepada Allah). Kalaupun ada, maka ia ditemukan antara lain dalam rangka meringankan beban yang butuh, serta mengangkat derajat kemanusiaan.

Bukankah daging-daging qurban itu seharusnya diberikan kepada mereka? Bahkan, bukankah penyembelihan Nabi Ismail itu justru bertujuan menyelamatkan manusia dan untuk menerima kasih sayang Tuhan? Inilah sebagian nilai yang terkandung pada Hari Raya Iduladha.

Jumat, 10 Juli 2020

JUMATAN: Menjaga Relasi Lintas Iman, Wujud Penghambaan Diri kepada Tuhan


Bersama Kang Opi dan Pendeta William

Selamat Jumat. Semoga kita senantiasa diberi kuat dan sehat, agar selalu mampu menjalani hari-hari dengan penuh semangat, hingga segala yang dibutuhi segera didapat. Sesi Jumatan kali ini, saya ingin membahas soal gerakan relasi lintas iman yang saya jalani selama ini.

Sebab bagi saya, menghidupi relasi lintas iman merupakan sebuah perwujudan nyata dalam penghambaan diri kepada Tuhan. Saya akan terus menjalin dan menjaga hubungan ini, bahkan mungkin juga memperluas jangkauan hubungannya, baik secara kuantitas maupun soal kualitas. 

Lalu muncul satu-dua pertanyaan dari banyak orang. Kenapa kok saya mau bersusah-payah menenun hubungan lintas iman? Apakah ada keuntungan yang didapat? Bagaimana awal-mula menjalani sebuah perjalanan 'lintas batas' ini? 

Sebenarnya masih ada banyak pertanyaan lain. Namun, setidaknya tiga pertanyaan itulah yang paling banyak dilontarkan kepada saya. Jujur saja, menenun relasi lintas iman adalah sebuah kebahagiaan bagi saya. Bertemu dengan orang lain yang berbeda secara ideologis-teologis, bahkan mengakrabinya, dapat menambah dan memperluas cakrawala pengetahuan tentang Tuhan. 

Saya jadi tahu bahwa Tuhan—sesuatu yang diyakini punya kekuatan melampaui kekuatan manusia dan yang tak bisa terlihat itu—adalah satu. Ya, Dia satu tetapi orang bijak menyebut-Nya dengan banyak nama. Tuhan adalah sebuah tujuan yang dapat dituju melalui banyak jalan dan cara. 

Kita tentu saja, saya terutama, menganggap cara dan jalan yang kita lakukan untuk menuju Tuhan adalah sebuah kebenaran. Namun, berkat hubungan lintas iman yang telah ditenun dengan baik, saya tidak lantas menganggap jalan dan cara yang digunakan oleh orang lain dalam menuju Tuhan itu, salah. 

Kita ibarat pengendara di jalan raya, jika ingin selamat di jalan, maka harus fokus pada tujuan. Caranya harus melalui jalan yang sudah kita yakini benar dan berkendara dengan baik atau tidak ugal-ugalan, alias tidak mengganggu pengguna jalan yang lain. Sebab, kalau dalam berkendara menuju sebuah tujuan akhir, di jalan raya, kita saling mengganggu satu lain, maka yang terjadi adalah kecelakaan dan mengakibatkan kita tak bisa tiba di tujuan dengan selamat.

Beragama juga harus dilakukan seperti warung nasi. Cara dan jalan kita dalam menyembah Tuhan, harus ditempatkan di belakang layar, sebagaimana proses menyiap-sajikan makanan warung nasi yang mesti dilakukan di dapur. Kemudian, barulah kita sajikan makanan itu ke depan, ruang makan, dengan baik dan disertai senyuman yang hangat. Begitulah cara kita beragama. 

Dengan demikian, kita dapat enjoy dalam beragama. Tidak kaku, tidak kagetan, dan tentu saja tidak mudah marah terhadap kebaruan peristiwa atau perbedaan yang memang telah menjadi sebuah keniscayaan. Selain itu, alasan mengapa saya mau bersusah-payah menenun hubungan lintas iman adalah karena ingin menunjukkan bahwa Islam itu ramah dan penuh rahmah (kasih sayang). Islam tidak ada hubungannya dengan sikap radikal, keras, kaku, apalagi sampai dihubung-hubungkan dengan pelaku teroris. 

Kemudian, apakah ada keuntungan yang saya dapat dalam menjalani dan menenun hubungan lintas iman ini? Tentu saja, ada. Saya merasa beruntung bersahabat dengan banyak orang yang berasal dari latar belakang agama yang berbeda. Perjalanan relasi hubungan lintas iman itu, kemudian saya 'abadikan' dalam skripsi saya, yang lantas mengantarkan saya meraih gelar sarjana sekaligus menyelesaikan studi perkuliahan saya selama 6 tahun. 

Hal itu jelas sangat menguntungkan bagi saya. Sebab, saya jadi berpikir, kalau saja saya tidak menenun hubungan lintas iman, belum tentu saya menjadi diri saya yang saat ini. Perjalanan hubungan lintas iman memberikan dampak positif dan membawa banyak perubahan dalam hidup saya. Soal jaringan dan relasi yang semakin luas? Jangan ditanya. Itu sudah sangat danta (baca: konkret).

Kemudian, terakhir, adalah sebuah pertanyaan mengenai bagaimana awal-mula menjalani sebuah perjalanan lintas iman? Sebenarnya, sejak saya masih di pesantren pun, perjalanan lintas iman ini sudah mulai saya geluti. Saya pernah menjadi utusan dari sekolah (Madrasah Aliyah NU Putra Buntet Pesantren Cirebon) untuk mengikuti kemah lintas iman yang diadakan oleh FKUB Kabupaten Cirebon, pada sekira tahun 2011.

Sejak itu, saya diberi pemahaman soal menjaga relasi lintas iman yang merupakan wujud dari sebuah penghambaan diri kita kepada Tuhan. Singkatnya, seperti yang pernah diungkapkan oleh Gus Dur bahwa memuliakan manusia sama dengan memuliakan pencipta-Nya dan menistakan manusia sama dengan menistakan pencipta-Nya. Ungkapan Gus Dur itulah yang kemudian menjadi penyemangat saya untuk terus menjaga relasi lintas iman, sebagai wujud dari nilai kemanusiaan sekaligus penghambaan diri kepada Tuhan.

Usai mondok, saya diajak abang saya mengikuti kajian-kajian Jaringan Islam Liberal (JIL) di Utan Kayu, dimulai sejak Juni 2013. Di sana, saya belajar tentang pluralisme, sekularisme, dan liberalisme. Bahkan, saya juga belajar bagaimana menciptakan sebuah tatanan masyarakat modern yang berbasis pada multikulturalisme yang berkeadaban serta menjunjung tinggi nilai kemanusiaan. 

Dari JIL inilah, saya mendapat banyak hal, termasuk soal 'tabungan' untuk bekal menenun relasi lintas iman di kemudian hari (saat ini, maksudnya). Di JIL, setiap orang baru, keimanannya pasti akan didekonstruksi terlebih dulu. Setelah mengikuti berbagai proses dan tahap pembelajaran yang rutin dilakukan, baru kemudian keimanannya akan direkonstruksi menjadi sebuah bangunan keimanan yang kokoh dan tak mudah goyah. 

Saya sangat merasakan perubahan itu. Keimanan saya dihancurkan dan dibangun kembali dengan iman yang lebih baik. Sebuah keimanan yang harus ditempatkan di belakang layar, tidak untuk diumbar ke luar sehingga orang lain menjadi risih. Keimanan yang kokoh itu adalah keimanan yang mampu memberikan keamanan kepada siapa saja, orang-orang yang ada di sekitar, dari berbagai latar belakang. 

Dalam soal perjalanan lintas iman ini, saya pernah menjadi utusan dari kampus, pada akhir 2014. Saya diminta untuk mengikuti Kursus Pengelolaan Keberagaman (KPK) yang diadakan oleh Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika (ANBTI), di bilangan Jakarta Pusat. Saya berdua, bersama seorang teman perempuan, menjadi utusan dari kampus. Di sana, saya bertemu banyak tokoh yang membuka perspektif saya mengenai relasi lintas iman ini menjadi lebih luas. 

Beberapa diantara tokoh itu adalah—tentu saja—Ketua ANBTI Mbak Nia Sjarifuddin, Intelektual NU sekaligus politisi PKB Kang Maman Imanulhaq, Sejarawan Bang JJ Rizal, dan Pakar Pancasila Kang Yudi Latif. Dari kursus selama lima hari empat malam itu, saya mendapat banyak buku yang kemudian benar-benar membuka cakrawala pengetahuan saya lebih luas. 

Tak hanya itu, saya juga sempat 'bergabung' dengan ICRP (Indonesian Conference on Religion and Peace), sebuah NGO—sebagaimana juga ANBTI—yang bergerak di bidang agama-agama dan perdamaian lintas iman. Ketika itu, ICRP dikepalai oleh Ibu Musdah Mulia. Ada pula, yang seringkali memberi petuah menyejukkan kepada saya, yakni Almarhum Mas Mohamad Monib.

Di ICRP, saya juga dipertemukan dengan banyak orang hebat. Beberapa diantaranya adalah Penulis Produktif Bang Alamsyah M Djafar, Pelaku Kebinekaan Mas Achmad Nurcholish, dan tentu saja Mahaguru saya; Mas Ulil Abshar Abdalla. Masih ada banyak lagi tokoh di ICRP yang tidak bisa disebutkan satu per satu.

Lalu pada sekitar tahun 2015, saya mengikuti agenda kegiatan atau program yang diadakan oleh ICRP. Yakni berkunjung ke rumah-rumah ibadah besar yang ada di Jakarta dan kemudian live-in atau menginap selama satu malam bersama teman-teman yang berasal dari latar belakang agama yang berbeda-beda, di Pesantren Motivasi Indonesia (PMI), Setu, Bekasi. 

Momentum itulah, awal pertemuan saya dengan Kiai Nurul Huda (Ayah Enha), Pengasuh Pesantren Motivasi Indonesia yang sangat menginspirasi itu. Perjalanan membangun dan menenun lintas iman, ternyata berangkat dari pesantren yang letaknya berada di pedalaman Bekasi, yang hingga kini seringkali saya kunjungi. 

Kini, sejak bergabung dengan Gusdurian Bekasi Raya pada sekira tahun 2018, relasi lintas iman itu benar-benar nyata di hadapan mata. Saya menjadi pelaku kebinekaan yang—katakanlah—bertindak sebagai 'humas' Islam yang senantiasa membawa pesan damai yang terdapat dalam Al-Quran, ke mana pun dan kepada siapa saja. Tak lupa pula, saya pun 'menjual nama' Gus Dur dalam menenun relasi lintas iman itu. Sebab Gus Dur adalah pemersatu anak bangsa, dari suku atau agama mana pun.

Sekali lagi, bahwa relasi lintas iman yang sudah baik saat ini, akan terus saya jaga sekaligus juga meng-upgrade kualitas dan kuantitasnya. Hal ini saya lakukan sebagai perwujudan nyata atas penghambaan diri, yang hina ini, kepada Tuhan. Dia-lah yang telah menciptakan perbedaan, maka tugas kita adalah untuk menjaga ciptaan itu. 

Sampai di sini paham? Sudah, ya. Saya capek. 

Rabu, 08 Juli 2020

Ramai-Ramai Hijrah ke Youtube: 'Nyampah' Link di Grup WA


Sumber gambar: liputan6.com

Virus corona ini, memang harus diakui, telah memberikan dampak yang begitu dahsyat bagi perubahan kehidupan kita. Orang-orang dituntut harus kreatif. Bekerja, sekolah, dan kuliah dari rumah. Secara virtual. Hal itu membuat media sosial kita begitu sangat ramai sekali. 

Tayangan televisi dibatasi. Sehingga banyak selebritis yang merayakan selebrasinya di media sosial. Terutama di platform youtube. Bukan saja selebritis, sebenarnya. Tetapi semua orang yang bekerja atau mendapatkan penghasilan finansial melalui sebuah panggung. 

Maka tak heran, jika banyak para pemuka agama, yang bekerja mengandalkan retorika bicara di atas panggung, harus memutar otak agar bagaimana pesan-pesan yang biasa disampaikan melalui mimbar keagamaan dan disaksikan oleh massa yang besar, kini harus benar-benar bisa menguasai penggunaan media sosial.

Saya melihat, pemuka agama yang berada di lingkaran saya, baik yang muslim (ustadz atau kiai) maupun yang nonmuslim (pendeta dan romo pastur), berbondong-bondong hijrah ke media sosial. Mereka-mereka itu, tetap bisa berceramah dan disaksikan oleh umatnya, hanya saja tidak disaksikan secara langsung. Maka mereka, kini, mau tidak mau juga harus bisa menguasai media sosial, terutama youtube. 

Youtube kini menjadi media sosial nomor satu yang digandrungi banyak orang dari berbagai kalangan. Media sosial lainnya hanya menjadi 'alat' untuk menyebarkan tautan youtube agar tayangan videonya dapat ditonton oleh orang banyak. Saya yakin sekali, orang-orang—termasuk para pemuka agama itu—yang baru hijrah ke youtube, sama sekali tidak punya tujuan agar mendapat penghasilan dari youtube.

Mereka hanya sekadar ingin menyampaikan gagasan, ilmu, dan pemikirannya agar tidak pusing. Saya yakin itu. Kalaupun nanti bisa berpenghasilan melalui youtube—sekalipun corona telah usai—itu hanya bonus. Selebihnya, mereka hanya seperti berkeinginan agar gagasannya tidak sia-sia. Ya, menurut Abraham Maslow, salah satu kebutuhan mendasar bagi manusia adalah aktualisasi diri. 

Jadi dibayar atau tidak, mendapat penghasilan atau tidak, menyampaikan gagasan melalui saluran youtube merupakan bagian dari pengaktualisasian diri. Tujuannya, supaya mendapat penghargaan atau apresiasi dari orang lain. Baik berupa suka (like), langganan (subscribe), komentar, atau justru kontennya itu dibagikan oleh orang lain sehingga menjadi viral. Ini menjadi sebuah kebanggaan tersendiri dan tentu saja ada kepuasan batin yang bisa dirasakan. Nikmat sekali.

Saya pun demikian. Akun youtube saya, Aruelgete ID, sudah ada sejak sekira 5 tahun lalu. Mulanya, akun youtube itu hanya menjadi semacam 'arsip' dari video-video yang menurut saya memorable, memiliki nilai sejarah yang cukup membanggakan untuk ditonton di kemudian hari. Saya juga tidak seperti orang-orang yang membagikan tautan (link) konten youtube ke semua platform media sosial, dan bahkan 'nyampah' atau 'nyepam' di grup-grup whatsapp. 

Bahkan sampai sekarang pun, saya begitu. Saya hanya membagikan link; baik konten video youtube maupun konten tulisan di website ini, di akun media sosial milik saya pribadi. Tidak nyampah dan nyepam di grup whatsapp. Sebab pada prinsipnya, menurut saya, di media sosial ini kita berperan sebagai sales of personal branding. Tidak lebih. Kalau penjual atas brand diri kita sendiri, maka cukup untuk menawarkannya melalui akun media sosial. Tidak sampai 'memaksa' orang lain untuk mengklik tautan yang kirim ke grup-grup whatsapp itu. 

Kita boleh berbeda pandangan dengan pandangan ini. Karena jujur saja, saya merasa risih dengan orang-orang yang punya konten di youtube, kemudian membagikan tautan ke banyak grup whatsapp; atau bahkan sampai mengirimnya melalui chat personal. Ini, jujur, mengganggu sekali. Apalagi, membagikan link itu dilakukan setiap hari. Walaupun itu hak pribadi masing-masing orang, tapi menurut saya, itu sangat mengganggu. 

Di era pandemi ini, kita dituntut untuk kreatif. Kita semua, kini menjadi content creator atau kreator digital. Tetapi, orang-orang yang memasarkan konten dengan 'seperti' memaksa, bagi saya, sangat kampungan sekali. Toh, kalau kontennya bagus dan konsisten, orang lain pasti akan tertarik dan bakal berlangganan untuk kemudian menjadi penonton setia. 

Konten-konten di saluran youtube milik saya, Aruelgete ID atau anda bisa mengaksesnya melalui www.youtube.com/c/AruelgeteID, sangat sederhana sekali. Sehingga, saya tidak berani untuk 'memaksa' orang lain agar menonton tayangan video yang saya buat. Saya membuat empat segmentasi tayangan di sana.

Pertama, segmentasi vlogging. Kegiatan ngevlog atau sebuah perjalanan saya ke suatu tempat untuk menginformasikan bahwa saya tertarik dengan tempat itu, seraya mengajak atau merekomendasikan orang lain agar berkunjung ke situ. Kedua, podcast. Sebuah tayangan yang hanya berupa audio dengan tampilan gambar foto lawan bicara saya dilengkapi spectrum suara. 

Ketiga, obral-obrol. Ini mirip seperti podcast. Tapi bagi saya beda. Segmen ini adalah video ngobrol dengan lawan bicara saya, membahas tema apa saja, tetapi dengan tampilan audio-video dan berdurasi agak panjang dari podcast. Betah atau tidak betah anda menonton tayangan obral-obrol, saya tidak peduli. Kalau menurut anda, konten saya itu menarik sekaligus mendidik, maka silakan tonton sampai tuntas. 

Keempat, dialog tokoh. Ini adalah segmen yang sudah lama terhenti. Segmen ini merupakan konten dimana saya berdialog dengan seseorang yang saya anggap sebagai tokoh dan ditokohkan oleh banyak orang. Tetapi karena jangkauan pergaulan saya kurang cukup luas, maka segmen ini belum saya aktivasi lagi. 

Dari keempat segmen itu, anda bisa melihat betapa semua konten yang saya buat adalah bagian dari implementasi pemikiran dan idealisme saya. Secara sederhana, jika anda ingin tahu bagaimana ideologi atau pemikiran seseorang, maka lihatlah dari apa yang orang itu buat dan lakukan. Kini, kita bisa melihat bagaimana pemikiran seseorang melalui postingan-postingan atau konten di media sosialnya, termasuk youtube. 

Tetapi bagaimana dengan selebritis? Ya namanya saja selebritis, maka yang dilakukan hanya sebatas selebrasi atau sebuah perayaan eksistensi yang dilebih-lebihkan. Bisa saja hanya gimik atau berpura-pura. Selain selebritis, saya yakin, konten-konten digital yang diposting melalui saluran youtube atau media sosial lainnya adalah bentuk pengejawantahan atas pemikiran atau arah ideologinya.

Jadi, mari bagikan konten-konten video youtube kita dengan tanpa mengganggu kenyamanan orang lain, karena mengirimnya ke grup-grup whatsapp atau bahkan sampai mengirim link konten youtube itu lewat chat personal. Sekali lagi saya tekankan, kalau toh konten anda bagus, orang lain pasti tertarik kok. Jadi nggak usah dipaksa-paksa begitu lah. 

Sampai di sini paham? Sudah, ya. Saya capek.

Kamis, 02 Juli 2020

Evie Effendi dan Angkuhnya Dakwah Kita


Evie Effendi. Sumber: rakyatjabarnews.com

Saya sebenarnya tidak mau larut dalam persoalan Evie Effendi, yang sering keliru bicara dalam ceramahnya dan salah tajwid dalam membaca ayat suci Al-Quran. Jelas, dia bukan ustadz. Bukan seorang guru agama yang baik.

Dia hanya semacam PR atau humas dari Islam yang menyampaikan kebenaran-kebenaran agama agar dengan mudah diterima di kalangan anak-anak muda. Namun, sebagaimana manusia pada umumnya, dia jauh dari sempurna. Evie hanya modal berani. Selebihnya, soal-soal agama, dia pelajari secara otodidak. 

Dia sering salah omong yang kemudian menyinggung atau bahkan menyakiti hati muslim yang lain. Kasus pertama kali, yang viral kemudian dilaporkan ke kepolisian sebagai penistaan agama, dan berakhir pada permintaan maaf adalah pada sekira tahun 2018. Dia mengatakan bahwa perayaan maulid Nabi Muhammad sama dengan merayakan kesesatan Muhammad (dia ucapkan tanpa sebutan embel-embel nabi).

Sejurus kemudian, dia dilaporkan. Lalu minta maaf. Saya pikir, Evie ini sudah tidak akan berani tampil sebagai ustadz yang membicarakan agama. Ternyata masih juga. Ya, keberaniannya saya acungi jempol. Dia petarung, tapi petarung yang konyol. Selalu berbuat kesalahan yang sama.

Baca: Evi Effendi, Kesesatan Muhammad, dan Perayaan Maulid Nabi

Belakangan ini, video ceramahnya viral lagi. Dia bilang, hadits tentang nisfu sya'ban adalah cacat alias tidak ada sanad yang menyambung ke Nabi. Kemudian dengan intonasi gaya bicara yang agak meledek, dia menganalogikan dalil yang dianggap cacat itu dengan konteks yang lain. 

"Saya juga bisa bikin dalil baru. Qala Rasulillah, Rasul bersabda 'Barang siapa memakai topi Jerussalem, dia terancam masuk neraka' pasti laku," kata Evie. 

Tentu saja, pernyataan Evie Effendi menyulut emosi umat Islam yang lain. Terlebih, Evie tidak sama sekali menjelaskan soal kedudukan hadits itu bagaimana. Hanya dibilang cacat saja. Ini menunjukkan bahwa pengetahuan Evie tentang hadits sangat minim. Di kanal berita media online yang lain, dalam sebuah wawancara, Evie Effendi mengaku bahwa dia belajar agama secara otodidak dan mengatakan bahwa guru agamanya adalah Rasululullah langsung. 

"Saya belajar agama otodidak. Saya membeli buku dan majalah bekas, sekarang lihat di youtube, membeli kaset ceramah, kemudian saya banding-bandingkan. Saya tidak belajar dari satu guru. Guru saya mah Rasulullah SAW dan para sahabat. Kalau berguru sekarang mah rariweuh, pada sombong dengan ilmunya."

Pernyataan Evie itu menggelikan banget. Evie pasti tidak pernah mengaji kitab Ta'lim Al-Muta'alim. Syaikh Tajuddin Nu'man bin Ibrahim bin Al-Khalil Az-Zarnuji menukil dua bait syair yang dibuat oleh Imam Ali bin Thalib. Kemudian, syair itu menjadi semacam referensi bagi para pencari ilmu agar tidak salah jalan. 

اَلا  لاَ  تَناَلُ  اْلعِلْمَ   إِلاَّ  بِسِتَّةٍ  سَأُنْبِيْكَ عَنْ مَجْمُوْعِهَا بِبَيَانٍ
ذَكاَءٍ وَحِرْصٍ وَاصْطِباَرٍ وَبُلْغَةٍ   وَإِرْشَادِ أُسْتَاذٍ وَطُوْلِ زَمَانٍ

"Ingatlah! Engkau tidak akan mendapatkan ilmu kecuali dengan memenuhi enam syarat. Saya akan beritahukan keseluruhannya secara rinci. Yaitu: kecerdasan, kemauan, sabar, biaya, bimbingan guru, dan waktu yang lama."

Kalau toh, Evie berguru langsung kepada Rasulullah dan sahabatnya, dia pasti tahu mengenai enam syarat untuk mendapatkan ilmu ini. Saya jadi membayangkan sebuah dialog imajiner Evie dengan Imam Ali bin Abi Thalib.

"Assalamualaikum, wahai sahabat Rasulullah."
"Waalaikum salam, ada apa anak muda?"
"Saya ingin berguru kepada antum, Syaikh?" (Kemudian Imam Ali bin Thalib menyampaikan syair itu).
"Saya ingin langsung berguru kepada antum saja, Syaikh. Berguru ke orang-orang zaman sekarang mah pada sombong-sombong."
"Kamu yang sombong!"
"Lho kok saya?"
"Kamu sombong karena tidak ada kemauan untuk belajar dan mencari guru, serta tidak dalam durasi waktu yang lama saat mencari ilmu. Kamu belajar otodidak, tapi kemudian sudah berani mendaku diri sebagai ustadz. Kamu itu sombong!"
(Kemudian tanpa ba-bi-bu Evie tiba-tiba saja kesal diomongi begitu oleh Imam Ali bin Abi Thalib. Dia dengan pongah, berbalik badan dan pulang). 

Angkuhnya Dakwah Kita

Munculnya Evie Effendi ini, seharusnya menjadi ladang dakwah bagi kita, bagi para pendakwah Nahdlatul Ulama maksudnya. Kita, sebagai warga NU, kenapa kok malah justru menghakimi dakwah yang dilakukan Evie? Apa yang salah dari kita? Bisakah kita melakukan introspeksi?

Teman-teman pembaca yang baik hati, di dalam tulisan ini, saya ingin mencoba mendudukkan perkara. Bukan sedang ingin mendiskreditkan siapa pun. Saya bukan pendakwah agama, tapi setidaknya mari kita bedah bersama bagaimana seharusnya kita melakukan dakwah bil hikmah (dengan bijaksana).

Gara-gara Evie yang selalu salah omong itu, orang-orang NU jadi berbondong-bondong keluar untuk menghakimi Evie. Ya, kita memang harus sadari bahwa Evie bukan ustadz, bukan guru agama yang baik. Tapi persoalan tidak hanya sampai di situ. Inilah tantangan dakwah yang sesungguhnya. 

Bagi saya, metode dakwah yang baik sudah ada di dalam Al-Quran. Misalnya di dalam surat An-Nahl ayat 125. Kata Allah kepada Nabi:
"Ajaklah (objek yang sedang didakwahi) ke jalan Tuhanmu dengan penuh kebijaksanaan, (tegur) dengan nasihat-nasihat yang baik, serta bantahlah mereka (objek yang sedang didakwahi) dengan santun. Sesungguhnya Tuhanmu yang lebih tahu soal siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia pula yang lebih tahu siapa orang yang mendapat petunjuk."

Dari ayat tersebut, kita bisa belajar bagaimana seharusnya menyikapi dakwah Evie Effendi yang tidak karuan itu. Apakah pantas bagi kita, sebagai orang yang mengaku beragama, membully dan mempermalukan orang lain karena ketidaktahuannya atas ilmu? Kenapa tidak dirangkul dan kemudian dipesantrenkan saja? Ajak Evie dengan hikmah dan tegur dia dengan nasihat-nasihat yang menyejukkan atau bantah dia dengan santun. Tidak dengan mencelanya dengan membabi-buta. 

Guru saya, Ustadz Muhib Tibri, di dalam laman facebook-nya menulis sebuah status sebagai sindiran kepada orang-orang yang terlalu semangat atas ilmunya, dan kemudian merasa berhak menghakimi kekeliruaan Evie Effendi. Berikut ini status Ustadz Muhib Tibri di facebook. 

Saat-saat ini Lagi trand kesalahan atau dosa yang dilakukan seseorang, langsung diburu netizen, mungkin maksudnya mengingatkan tapi ujung-ujungnya jadi celaan. Imam hasan al bashri pernah menyampaikan.

 كانوا يقولون من رمي أخاه بذنب قد تاب إلى الله منه لم يمت حتى يبتليه الله به

"Para sahabat dan tabi’in memiliki konsep, barang siapa yang mencela saudaranya, karena dosa-dosanya, sedangkan saudaranya itu sudah bertaubat kepada Allāh, maka si pencela tidak akan meninggal dunia kecuali dia akan mengalami dosa saudaranya tersebut."

*****

Kemudian saya ingat pesan yang seringkali disampaikan oleh Kiai Muhammad Ainun Najib atau Cak Nun, pengasuh Masyarakat Maiyah. Katanya, jangan terburu-buru menghakimi kekeliruan orang lain. Sebab, barangkali penghakiman kita yang membabi-buta itu dihitung sebagai dosa besar karena telah menyakiti hati makhluk-Nya. 

Cak Nun lantas membuat analogi. Kalau ada pencopet di jalan yang mencuri dompet ibu-ibu. Maka, dalam kasus itu, pencopet bisa kita hukumi sebagai orang yang telah berbuat salah. Kita harus membela si ibu itu dengan membawa pencopet ke pihak yang berwajib agar dihukum sebagaimana hukum yang berlaku. 

Namun, pembelaan kita harus berubah ketika si pencopet ini dihakimi oleh warga setempat sampai babak-belur atau bahkan saat warga mencoba membakar hidup-hidup si pencopet. Sikap kita, jika demikian, harus membela si pencopet karena dia statusnya telah berubah sebagai korban penghakiman. Inilah yang disebut Cak Nun, sebagai objektif. Pembelaan kita berpihak kepada korban. 

Lalu bagaimana soal kaitannya dengan Evie Effendi?

Dalam kasus Evie yang salah omong, karena tidak punya ilmu yang memadai, dia salah. Maka, Evie ini sebenarnya harus kita bawa dan serahkan kepada pihak yang berwajib; yakni yang berkewajiban untuk mendidik dan memberikan asupan gizi keagamaan untuknya. Yakni para kiai di pesantren. 

Tetapi ketika dengan angkuhnya orang-orang menghakimi Evie dengan cacian dan celaan yang menyakitkan, saya membela Evie. Dia adalah objek dakwah kita. Jangan 'dipukuli' habis-habisan karena dia salah karena ketidaktahuannya atas ilmu. Kita, yang mengaku punya ilmu yang lebih, harusnya punya kewajiban untuk mendakwahinya sesuai dengan cara-cara yang terdapat dalam An-Nahl ayat 125.

Saya menduga, orang-orang yang mencela Evie Effendi itu adalah mereka yang sebenarnya iri dengan ketenaran keagamaan seorang Evie Effendi. Harusnya, menurut saya, kita belajar dari bagaimana strategi Evie Effendi bisa menjadi tenar dan tokoh publik di kalangan muda. Ini kok malah dibully habis-habisan?

Atau, mungkin juga, saya menduga bahwa penghakiman yang dilancarkan kepada Evie Effendi adalah semacam balas-dendam karena ceramah-ceramahnya Evie Effendi yang penuh penghakiman? Mari kita lihat surat Asy-Syuro ayat 40 bahwa balasan sebuah kejahatan adalah kejahatan yang serupa. Tetapi bagi siapa saja yang mampu memaafkan dan kemudian berbuat baik atas kejahatan itu, maka akan mendapat kebaikan di sisi Allah. 

Sampai di sini paham? Sudah, ya. Saya capek. Wallahu'alam...

Rabu, 01 Juli 2020

Membela Pancasila di Jalan yang Benar


Salam Pancasila di Gedung BPIP, Jakarta


Sejak awal tahun ini, jujur saja, saya hampir tidak pernah mengonsumsi berita konflik. Lebih-lebih merespons isu yang sedang hangat, seperti para pakar yang sangat ahli di segala bidang yang tersebar di seluruh penjuru media sosial itu. Saya, yang semenjak 2014, kuliah di jurusan Jurnalistik, rasa-rasanya sudah paham dengan bagaimana pembingkaian media terhadap suatu berita. Jelas, kepentingan pasti bermain di sana. 

Maka, daripada terbawa oleh arus kebencian akibat mengonsumsi berita-berita konflik, saya mencoba untuk menyibukkan diri dengan kegiatan yang lebih positif. Mengerjakan skripsi, misalnya. Aktivitas penggarapan skripsi yang saya lakukan itu sangat bermanfaat, terutama soal upaya membahagiakan kedua orangtua. Iya, kan?

Maaf, itu hanya intermezzo. Bagi teman-teman yang sedang berjuang dalam menyelesaikan tugas akhir, semoga dimudahkan dan dilancarkan. Bagi yang sudah selesai, mari kita beri semangat kepada yang belum selesai dengan ledekan penuh kesombongan. Hahahahahaha...

Teman-teman pembaca yang budiman, meskipun sudah sejak awal tahun tidak mengonsumsi berita-berita konflik di media massa, tapi bukan berarti saya tidak tahu sama sekali soal perkembangan kabar terbaru yang sedang hangat diperbincangkan. Kabar terbaru itu adalah mengenai fenomena mendadak pancasilais. Ini sangat menggelikan. 

Saya tidak sedang mencoba masuk ke dalam perdebatan mengenai RUU Haluan Ideologi Pancasila, tetapi saya ingin mengomentari soal bagaimana reaksi sebagian orang merespons isu RUU HIP itu. Kalau saya, sudah jelas, bagaimana reaksi saya soal RUU HIP itu, silakan lihat saja sikap PBNU. Selesai. 

Tetapi ada hal lain yang menggelikan. Yaitu sekelompok orang, yang gemar demo berjilid-jilid dengan mengangkat isu agama, bahkan berani dengan terang-terangan menolak Pancasila, tetiba jadi balik haluan; demo membela Pancasila. Gila, bos, kacau dunia persilatan kita. Mereka bilang, RUU HIP yang diusulkan partai berlambang banteng itu telah tersusupi oleh paham komunis karena akan memeras Pancasila menjadi Trisila, dan bahkan Ekasila. 

Ya Allah kariiiimmmm. Rasa-rasanya orang-orang seperti itu ingin saya tabok saja dengan buku-buku kepancasilaan yang saya punya di rumah. 

Okelah, kalau alibinya adalah mengemukakan pendapat di muka umum. Itu hak demokrasi. Siapa pun bebas berbicara dan berekspresi di negara yang—sudah jelas-jelas—bukan negara berdasarkan agama ini. Tetapi kalau dalam penyampaiannya itu justru bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi (lebih-lebih bertentangan dengan Pancasila), lantas apa yang dirasa? Bingung saya. 

Bahkan, hanya lantaran tidak suka dengan RUU HIP kemudian membingkai persoalan bahwa PDI Perjuangan adalah perpanjangan tangan dari Partai Komunis Indonesia (PKI) yang sudah lama menjadi almarhum. Bukan cuma itu, mereka bahkan membakar bendera kebanggaan partainya Mas Gibran si tukang martabak dari Solo itu. 

Nah, permasalahannya ada di sini. Pernah ada seseorang yang mengajak saya diskusi terkait pembakaran bendera. Orang ini, saya curigai, memiliki afiliasi dengan kelompok massa yang mendadak pancasilais itu. Katanya, lebih parah mana; bendera partai (dengan intonasi TAI yang lebih ditekan) atau bendera tauhid panji Rasulullah yang dibakar? Deg! Rasanya saya ingin berkata kasar saja. 

Akhirnya pelan-pelan saya jelaskan, bahwa bendera bertuliskan huruf arab yang bagi umat Islam merupakan kalimat yang suci itu, bukanlah bendera atau panji Rasulullah. Di Timur Tengah, bendera-bendera yang serupa itu, walaupun dengan beragam gaya kaligrafinya, dipakai oleh organisasi-organisasi teroris yang sudah resmi dilarang negara. Termasuk di Indonesia, yang bendera itu dipakai oleh Hizbut Tahrir Indonesia.

Di puluhan negara, bahkan di negara kelahirannya sendiri, HT sudah dilarang karena merupakan organisasi berbahaya yang sangat berpotensi besar melakukan makar dan mengganti ideologi atau sistem negara. Paling-paling Arab Saudi lah yang memakai bendera negara dengan tulisan kalimat tauhid itu, berlatar warna hijau, dan ada pedang di bawahnya. 

Itu yang pertama.

Kedua, tidak mungkin bendera itu adalah panji Rasulullah Muhammad Saw. Toh, beliau itu dikisahkan di banyak literatur adalah seorang yang buta huruf; tidak bisa menulis dan membaca. Seluruh wahyu atau pengetahuan yang datang dari Allah melalui Jibril, pasti langsung dihafalnya. Sedangkan segelintir orang yang sudah bisa menulis, saat itu, menuliskan wahyu Allah itu di berbagai media; di pelepah daun kurma, di batu putih yang tipis-halus, dan lainnya. 

Barulah ketika kekhalifahan dipegang oleh Sayyidina Utsman bin Affan, wahyu-wahyu Allah yang semula dihapal oleh Rasulullah dan yang 'tercecer' di mana-mana itu, dikumpulkan menjadi satu dan kemudian dikanonisasikan atau diberi nomor-nomor dan dibukukan sebagaimana Al-Quran yang saat ini kita bisa dapati.

Jadi, Rasulullah itu tidak pernah menciptakan gaya kaligrafi (apalagi kaligrafi yang terdapat dalam bendera teroris itu). Kalau ada yang bilang bahwa bendera itu adalah panji Rasulullah yang dibuat langsung oleh Rasulullah sendiri, maka sesungguhnya pernyataan itu merupakan sebuah kesesatan dan penyesatan yang nyata. 

Apa perlu saya kabarin panji petualang, panji pragiwaksono, atau panji manusia milenium, untuk mengklarifikasi itu panji Rasulullah apa bukan? Jangan main-main sama panji, deh!

Nah kemudian bagaimana soal pembakaran bendera PDI Perjuangan? Ya jelas itu pelecehan dong, pak. Partai banteng itu masih sebagai organisasi politik yang sah di negeri ini. Diakui oleh negara. Pemenang pemilu dua periode, setelah 'berpuasa' juga selama dua periode. Lho kok tiba-tiba cuma gara-gara mengusulkan RUU yang ilmiah, malah dibantai dengan demo jalanan-kampungan dan sekaligus bendera kebanggaannya itu dibakar? Wajar saja, kalau kader banteng di seluruh Indonesia marah. 

Saya yakin, kader-kader banteng itu pasti sakit hati banget karena dituduh sebagai the new PKI di era modern. Kalau saya yang dituduh PKI, saya masih bisa terima karena saya memang benar tercatat sebagai anggota PKI (Pengikut Kiai Indonesia). Lucu, nggak?

Jadi daripada ngalor-ngidul dan ngetan-ngulon, saya ingin menyampaikan bahwa daripada kita sibuk mendaku diri sebagai pribadi yang paling paham tentang ideologi bangsa ini, lebih baik kita menggali ilmu yang lebih dalam lagi mengenai Pancasila ini. Saya, sebagai contoh, adalah orang yang tidak pernah mau belajar dari satu sudut pandang saja. Termasuk belajar memahami Pancasila. 

Beruntung sekali, beberapa pekan lalu, saya dikabari oleh jaringan lintas iman di Jakarta, untuk ikutserta dalam sebuah perjalanan intelektual bersama Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Saya dipertemukan kembali oleh jaringan lintas iman yang skalanya lebih luas lagi, tidak hanya Bekasi, untuk kembali menggali sesuatu yang direnungi oleh Bung Karno di bawah pohon sukun itu. 

Kemarin, 30 Juni 2020, di penutup bulan Juni, saya bersama teman-teman jaringan lintas iman, yang merupakan para petinggi organisasi pemuda (agama masing-masing) di tingkat nasional, berkunjung ke kantor BPIP, di Jakarta. Saya merasa tidak ada apa-apanya dibanding mereka. Inilah, barangkali, sebagai sebuah teguran bagi saya, untuk terus belajar dan tidak pernah merasa puas atas pencapaian yang selama ini telah didapat. 

(FYI, setelah tulisan ini, insyaallah saya akan menulis selayang pandang profil masing-masing para petinggi organisasi pemuda keagamaan itu)

Jadi maksud saya begini lho, bro. Pancasila yang masih berupa wacana dan gagasan itu, bagi saya, benar-benar dapat menimbulkan perspektif yang berbeda, dan hanya akan memercik konflik jika Pancasila selalu diperdebatkan konsepsi dan definisinya. Maka, lebih baik, Pancasila ini diwujudkan ke dalam tindakan nyata sehingga orang lain benar-benar dapat merasakan bahwa Pancasila itu memang benar ada. Tidak hanya sekadar cuap-cuap-cuan. Eh.

Oleh karena itu, saya dan teman-teman jaringan lintas iman yang kemarin sowan ke BPIP, bermaksud akan menjadikan Pancasila tidak hanya sekadar wacana yang selalu saja memunculkan perdebatan, tetapi mewujudnyatakan Pancasila itu sendiri ke dalam aksi konkret di dalam kehidupan. Minimal kita saling berbagi pengalaman, soal tindakan Pancasila apa yang sudah dilakukan selama menjadi anggota masyarakat. 

Apabila Pancasila berkali-kali diperdebatkan, bahkan menimbulkan pertentangan dengan mengorganisir massa yang sangat banyak karena merasa paling Pancasila, bahkan mendadak Pancasila, itu sebenarnya sama saja dengan merusak Pancasila sebagai pandangan hidup berbangsa kita. Kalau yang namanya saja sudah pandangan hidup, maka Pancasila seharunya menjadi titik-temu dalam kehidupan kita sebagai bangsa, bukan justru menjadi bara api yang menyulut konflik sektarian. 

Dengan demikian, izinkan kami—saya dan teman-teman lintas iman itu—membela Pancasila di jalan yang benar, yang tidak punya maksud untuk merusuhi siapa pun, yang tidak punya maksud untuk merasa paling Pancasila, dan yang tidak punya maksud untuk menyulut konflik sektarian. Kami, terutama saya, ingin belajar lebih dalam bagaimana memaknai Pancasila di dalam keseharian, dan mewujudkannya ke dalam tindakan. 

Sampai di sini paham? Saya capek. Sudah, ya. Wallahua'lam...