Kamis, 30 Juli 2020

Ustadz Google Kepala Batu


Sumber gambar: kenali.co


Sore itu, di sebuah masjid, berlangsung agenda kajian rutin mingguan milik para aktivis agama di kampus. Kebetulan, sebagai jamaah, aku turut di dalamnya. Pemateri, yang dipanggil ustadz itu, mengangkat tema kajian: ma'rifatullah. Tema tersebut membuat Endah, salah seorang jamaah, tertarik untuk berdiskusi. 

Sang pemateri, Ustadz Eki namanya, di dalam kajian itu menyampaikan siapa, apa, dan bagaimana Allah. Sesuai ilmu yang selama ini dipelajarinya, ia berkata bahwa Allah berada di atas arsy atau bersinggasana di langit ke tujuh. Usut punya usut, sumber materi tersebut didapati oleh Ustadz Eki melalui media sosial, yakni instagram. Kemudian, ia memperdalamnya lewat google; mesin pencari nomor satu di era globalisasi ini. 

Setelah lama kudengarkan, aku merasa ada banyak kejanggalan dari cara Ustadz Eki menyampaikan nilai-nilai akidah itu. Namun, aku masih harus menunggu sesi tanya jawab. Saat sesi tanya jawab dibuka, aku kalah cepat dengan jamaah lain yang bernama Endah. Dengan santun, Endah bertanya: "Ustad, jika Allah berada di atas arsy maka di mana Allah sebelum arsy diciptakan?"

Kepalaku mengangguk-ngangguk dengan pertanyaan tersebut. Pikirku, benar juga apa yang ditanyakan si Endah itu. Tapi entah mengapa kelihatannya kok Ustadz Eki malah kebingungan seperti mencari jawaban.

Aku mengira, ia tidak bakal bisa menjawab pertanyaan Endah yang rada filosofis itu. Tapi tidak mungkin bagi dirinya untuk tidak menjawab pertanyaan tersebut. Sebab, hal itu pasti akan menurunkan reputasinya di hadapan jama'ah sebagai ustadz.

”Wallahualam bisshowab, Allah Maha terdahulu dan hanya Dia-lah yang mengetahui keberadaan-Nya. Kita tidak perlu memikirkan bagaimana dan di mana Allah kalau sudah Al-Quran yang berbicara,” kata Ustadz Eki.

Ustad Eki memang terkenal dengan kepandaiannya berkata-kata. Wajar saja, meskipun dalam keadaan kebingungan ia masih tetap bisa menjawab pertanyaan.

”Tapi ustadz, ustadz kan sudah membuka jalan bagi kami untuk memikirkan-Nya,” protes Tika yang sedikit kecewa kepada jawaban melantur itu. 

Aku melihat ustadz gaul itu jadi mulai gemetar seperti tak bisa menerima resiko dari apa yang sudah ia sampaikan. Endah kemudian mempertegas tanyanya kembali.

”Kemudian di mana Allah, ustadz, sebelum arsy diciptakan, karena bagi ustadz Allah berada di atas arsy?"

Endah masih begitu penasaran dan tetiba seorang jamaah lainnya mengangkat tangan. Mungkin, dia akan membantu Ustadz Eki, pikirku. Lalu, Ustadz Eki mempersilakannya untuk membuka suara. 

"Jadi begini ustadz, guru saya berkata bahwa Allah itu tidak di mana-mana, termasuk Allah tidak berada di arsy. Allah ada tanpa tempat dan arah. Karena Allah berbeda dengan makhluknya dan tempat menunjukkan sifat makhluk. Jadi ketika ustadz berusaha menyampaikan bahwa Allah di atas arsy, itu sama halnya ustadz menyamakan Allah dengan makhluknya. Seperti berkata bahwa Allah membutuhkan tempat, mustahil Allah membutuhkan tempat. Justru, bukankah Allah yang menciptakan tempat itu sendiri? Seperti Allah menciptakan bumi untuk manusia?"

Demikian seorang jamaah bernama Lia berargumentasi. Pembicaraannya itu menciptakan sesungging senyum di bibir Endah, sekaligus membuat sang ustadz google itu tetap tak mau kalah dan tidak mau dikalahkan. 

"Wallahualam bishshowab, saya tidak tahu mana kebenarannya. Ini sudah Al-Quran yang berbicara, itu tandanya sudah Allah langsung yang mengatakan. Kita harus meyakini ini sebagai akidah kita," kata Ustadz Eki, memaksa.

Aku bingung, bagaimana ustadz google itu bisa berkata begitu. Ia seolah mampu menafsirkan ayat-ayat Allah yang mutasyabbihat, puisi terindah Allah yang dibungkus diksi terberat, hanya dengan modal kepalanya sendiri. Aku menjadi bingung, apa bedanya Ustadz Eki itu dengan para liberalis?

Dia berpikir sangat radikal, dia berkata bahwa Allah berada di atas langit. Sedangkan aku sangat setuju dengan apa yang dikatakan Lia, bahwa Allah-lah yang menciptakan langit. Bagaimana bisa Allah membutuhkan langit?

"Jangan tafsirkan ayat dengan kepala sendiri,  begitulah yang guru saya katakan. Karena belum tentu, maksud ayat tersebut sama dengan apa yang kita baca. Guruku juga berkata, jangan percaya dengan orang yang belajar agama hanya modal google alias tidak memiliki guru," bisik Lia kepadaku.

Lalu, aku memberanikan diri untuk membuat forum di dalam forum. Aku bertanya kepada Lia, "Li, jadi akidah yang sesungguhnya itu bagaimana?"

"Akidah yang sesungguhnya itu adalah yang mensucikan Allah dari sifat-sifat yang mustahil ada pada-Nya. Allah serupa dengan makhluknya itu tidak mungkin," kata Lia. 

Endah memang murid yang sangat kritis dan idealis. Jelas saja jika pertanyaan-pertanyaannya begitu kronis. Karena dia tidak belajar dari sembarang guru. Gurunya terkenal jago Kitab Kuning.

"Besok, aku tidak ingin hadir ke majelis ini lagi. Gurunya Badung (Bala dan Dungu) tidak bisa menerima nasihat sesama dan selalu merasa benar. Kata guruku, merasa benar dan tidak bisa dinasehati itu tanda kerasnya hati. Oh ya, kamu jangan jadi ustadz google nanti jadi badung," pungkas Endah.


*Kisah ini ditulis oleh Khaifah Indah Parwansyah, Mahasiswa Ilmu Komunikasi Unisma Bekasi
Previous Post
Next Post

0 komentar: