Sabtu, 01 Agustus 2020

Berjalanlah Keluar, Agar Tak Jadi Kaum Cuti Nalar


Kutipan Ayah Enha di Pesantren Motivasi Indonesia

Akhir-akhir ini, saya sering berkunjung ke Pesantren Motivasi Indonesia di Kampung Cinyosog, Desa Burangkeng, Kecamatan Setu, Kabupaten Bekasi. Sebuah istana yatim yang berada di pelosok kampung tetapi memberikan berbagai keindahan dan keunikan di dalamnya. Ya, sebagaimana mestinya istana. Istana untuk anak-anak yatim dan anak-anak yang diyatimkan oleh keadaan. 

Pesantren itu diasuh oleh seorang ulama muda Betawi jebolan Pondok Pesantren Al-Falah, Ploso, Kediri, yakni KH Ahmad Nurul Huda atau yang akrab disapa Ayah Enha. Ilmunya yang menyamudera, ditumpah-ruahkan menjadi sebuah pengabdian dan pelayanan yang total kepada sesama sebagai bagian dari penghambaan diri kepada Allah.

Maka tak heran, jika kita masuk ke dalam pesantren, kita akan disuguhkan dengan sebuah panggung yang mahamegah dan di atasnya bertuliskan "kalimat sakti" yang mulanya adalah jargon dari Hard Rock Cafe, dan kemudian diubah menjadi tagline Pesantren Motivasi Indonesia, yakni "Love All Serve All".

Kemudian jika kita agak ke dalam, ada sebuah cafe kecil-kecilan yang dinamai "Cafe-Trend" atau kependekan dari Cafe Pesantren. Di sana, kita akan disuguhkan banyak varian kopi yang dilabeli "Ngopi Santri". Ngopi Santri pun adalah sebuah wadah diskusi yang merupakan kependekan dari "Ngobrol Pemikiran dan Kesadaran Literasi". Namun, karena pandemi yang tak kunjung usai, diskusi yang awalnya dilaksanakan seminggu sekali itu dihentikan untuk sementara waktu sampai batas waktu yang belum bisa ditentukan.

Selain itu juga ada bingkai foto ulama-ulama dari kalangan Nahdlatul Ulama. Beberapa diantaranya adalah foto Hadlratussyaikh KH Hasyim Asy'ari, KH Wahid Hasyim, dan KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Tetapi yang menarik, bagi saya, adalah sebuah kutipan di dinding di atas dapur tempat santri mengantri makan. Kutipan itu adalah sebuah ungkapan yang saya juga sering dengar langsung dari Ayah Enha, berbunyi: "Berjalanlah keluar, agar engkau tak menjadi kaum cuti nalar". 

Sependek pemikiran saya, kalimat itu dibuat oleh Ayah Enha sebagai reaksi dari fenomena umat beragama kekinian yang gemar merasa paling benar seraya menganggap orang lain salah. Kalimat itu juga, bagi saya, menjadi sebuah motivasi bagi diri agar mampu menjelajahi banyak hal untuk—tentu saja—menambah wawasan dan memperluas cakrawala pemikiran. Sehingga dengan demikian, kita jadi tidak mudah menghakimi orang lain. 

Tetapi kalimat itu bukan hanya sekadar kalimat. Ayah Enha benar-benar mewujudkan kutipannya itu. Ia mampu menerima siapa saja, tanpa memandang latar belakang apa pun, untuk menjadi lawan diskusi. Sehingga, orang-orang yang datang ke Istana Yatim itu benar-benar dibuka pemikiran, pengetahuan, dan wawasannya. 

Kalau kita berteman dengan Ayah Enha di media sosial sejak beberapa tahun lalu, kita akan menyaksikan betapa aktivitas Ayah Enha bukan hanya sebatas di lingkaran lokal dan nasional, tetapi sudah internasional. Ia beberapa kali memenuhi undangan dari Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) di luar negeri untuk memberikan ceramah atau motivasi keagamaan. Berbagai negara sudah dijajakinya, sehingga itulah barangkali yang membuat Ayah Enha membuat "kalimat sakti" itu tadi. 

Dalam kalimat yang lain, Ayah Enha juga pernah berujar: "Berjalanlah ke seluruh muka bumi agar engkau sadar bahwa sempit itu hanya ada dalam kerangkeng pikiranmu".

Sebab, menurut saya atas penafsiran kalimat Ayah Enha itu, bagaimana mungkin kita bisa memahami keadaan di luar jika kita selalu disibukkan dengan "benang-kusut" persoalan di dalam. Persoalan-persoalan keagamaan yang kerap muncul di permukaan, sebenarnya hanyalah pengulangan-pengulanan peristiwa yang jika kita mampu ke luar, maka kita akan santai menghadapi persoalan itu. 

"Kalimat sakti" milik Ayah Enha itu merupakan interpretasi atas firman Allah dalam Al-Quran, yakni yang termaktub pada surat Ali Imran ayat 137. Secara leterlek, firman Allah itu berbunyi: "Sesungguhnya telah berlalu sebelum kamu sunnah-sunnah Allah; Karena itu berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul)". 

Dalam berbagai diskusi bersama Ayah Enha, saya seringkali menangkap gagasannya yang sangat visioner. Yakni bahwa telah berlalu masa di mana kaum mukmin mengalami kekalahan pada perang Uhud yang tentu saja meluluhlantakkan peradaban ketika itu. Kini, Ayah Enha seringkali mengajak, kepada siapa saja, agar kita meninggalkan sejarah peristiwa konflik itu dan membangun peradaban yang mampu saling mengasihi dan saling melayani. Inilah yang menjadi muasal dari lahirnya jargon "Love All Serve All" di Pesantren Motivasi Indonesia.

Maka, menurut saya, Ayah Enha dalam beberapa perbincangannya bersama saya, senantiasa melecut semangat agar mampu membuka relasi kepada siapa saja. Tidak menutup diri terhadap berbagai perubahan yang pasti terjadi, termasuk juga tidak menutup diri dengan berbagai keragaman yang ada di hadapan mata. Sementara kedewasaan dalam membangun peradaban itu hanya bisa dilalui ketika kita mampu keluar dari berbagai kerangkeng yang membelenggu daya pikir dan nalar kita. 

Sebagai manusia biasa, tentu saja kita akan mengalami hari-hari di mana hidup kita terasa jenuh dan membosankan. Hal itu yang kemudian dapat berimbas pada menurunnya semangat hidup dan tidak punya gairah untuk menatap masa depan yang lebih cerah. Maka, jika kita sedang berada dalam kondisi tersebut, alangkah baiknya kita segera keluar. Sebab, pada kondisi itu, sebenarnya kita sedang berada dalam kerangkeng yang membelenggu. 

Oleh karenanya, kita perlu segera melakukan aktivitas yang mampu menghidupkan kembali semangat dan memantik gairah hidup. Aktivitas itu bisa beragam. Saya misalnya, jika sedang jenuh dengan aktivitas yang begitu-begitu saja, saya akan mengajak teman-teman antariman atau jaringan lintas agama yang berada di lingkaran hidup saya untuk sekadar bertukar pikiran atau merencanakan sebuah agenda bersama. 

Berjalan keluar, yang dimaksud Ayah Enha, saya maknai sebagai sebuah aktivitas ke luar rumah yang dapat menambah wawasan, memperkaya pengalaman, dan memperluas cakrawala pemikiran saya. Dengan demikian, ketika saya melihat dunia luar yang berbeda dengan dunia "dalam" saya, maka saya akan mendapati beragam pengalaman hidup baru yang akan membuka mata sekaligus meluaskan pandangan tentang makna hidup yang sesungguhnya.

Dari sekian perjalanan saya ke luar, menjumpai hal-hal baru yang belum pernah saya temui sebelumnya membuat saya merasakan bahwa hidup ini berasa sangat indah dan penuh warna. Saya jadi tahu bagaimana orang yang memiliki latar belakang yang berbeda dengan saya menjalani hidupnya sendiri. Tentu saja, hal itu menjadi sebuah pengalaman berharga bagi saya. Sehingga, secara otomatis juga, dapat memperhalus rasa untuk senantiasa menghormati dan mengasihi yang lain.

Saya jadi teringat petuah salah seorang kiai saya di Pondok Buntet Pesantren Cirebon yang mengutip ungkapan Imam Syafi'i, seorang ulama besar dalam perjalanan kehidupan beragama umat Islam. Imam Syafi'i berkata: "Bepergianlah, kamu pasti akan mendapatkan pengganti apa yang ‎kamu tinggalkan. Berusaha keraslah, karena kenikmatan hidup ada ‎pada kelelahan usaha keras. Aku melihat, air yang berhenti itu ‎merusak dirinya, kalau ia mengalir pasti akan baik, kalau ia berhenti ‎akan buruk. Dan, kalaulah singa tidak meninggalkan tempatnya ia ‎tidak akan mendapat buruan. Demikian juga panah, kalau tidak ‎bergerak meninggalkan busur, dia tidak akan mengenai sasaran".

Kutipan itu masih dan akan terus terngiang dalam benak saya. Betapa inspiratif dan penuh motivasi pesan yang disampaikan Imam Syafi'i itu. Hal tersebut menjadi sebuah cerminan betapa perjalanan hidup seorang Imam Syafi'i yang sangat kaya, dewasa cara berpikirnya, dan peduli dengan masa depan umat. Menurut saya, Imam Syafi'i seperti meyakini bahwa dengan melakukan perjalanan ke luar, seseorang akan dapat tumbuh menjadi dewasa dalam bersikap dan bertindak. Dalam kalimat Ayah Enha, tidak menjadi kaum cuti nalar. 

Imam Syafi'i seperti mengibaratkan seseorang yang hanya berdiam diri dan tidak beranjak dari kerangkeng yang membelenggu hidupnya, laksana air yang menggenang, tidak mengalir, dan justru akan menjadi sumber penyakit. Sementara orang yang mau melakukan perjalanan ke luar untuk menggali pengalaman, menambah wawasan, dan memperluas cakrawala pemikiran akan dapat memberi manfaat bagi dirinya sendiri, bahkan untuk orang lain yang berada di sekelilingnya. 

Jadi, bagaimana? Sudahkah kita melakukan perjalanan ke luar? Keluar dari kerangkeng yang membelenggu hidup kita selama ini? Berjalanlah keluar, agar engkau tak menjadi kaum cuti nalar; demikian kalimat Ayah Enha yang sangat berkesan di dalam perjalanan hidup saya selama ini. 
Previous Post
Next Post

0 komentar: