Minggu, 07 Agustus 2016

Masihkah (boleh) aku merindumu?


Dalam lamunanku dinihari
aku tetap merindumu meski tak berarti
keluh peluh bercucur deras meniti
menjadi mimpi yang tersimpan
esok hari
atau nanti
sampai semesta beri makna tentang rindu
tentang bayang semu
tentang pertemuan yang tak bermuara
sebab entah di mana hulu

Kekasih...
malam ini aku tetap menanti
sampai rindu tak lagi hanya menjadi pikir
dzikir
dan buah bibir
oleh perindu yang getir
menahan laju waktu untuk tak ke mana
bertahan 
hingga kita manunggal
rekat
dekat
lekat
dekap
tiba pengap
sesak 
di pengujung waktu
atau di beranda rindu
esok
atau entah

Engkau perasa tak berperisa
kekasih tiada dua
hanya kau berada di dada
dalam hening
sepi
sunyi
di kegelapan malam
aku mendekapmu dalam mimpi
pada angan yang tak tertahan
bayangmu hadir di sepertiga malam
dalam sujud sepiku
di keheningan malam
hadirmu ada
aku merasa hadirmu
meski tanpa rupa
di kesunyian malam
namamu membasahi bibir
menjadi bahasan para penyair
dalam puisi
pada sajak
juga rima yang serupa doa

Kekasih...
kau tetap ada
meski diri sudah tiada
yakinku kita mengada
di suatu pagi bahagia
atau sore penuh suka
lampiaskan rindu bersama
senandungkan senja
hingga surya terlelap dalam tidurnya

Bahagiaku tak terdefinisi 
jika namamu tetap mengisi
hari-hariku penuh arti
walau kau tak jua mengerti
atau pura-pura tak pahami 
arti rindu yang hakiki

Kekasih...
sampai ajal menjemputku nanti
aku akan tetap merindumu 
meski sedikitpun kau tak memberi

Kekasihku yang semata wayang
rindu ini adalah kasih sayang
untuk kebahagiaan di akhir menjelang
semoga kau riang
air mata tak pernah berlinang

Kekasih...
Masihkah (boleh) aku merindumu?



Bekasi, 7 Agustus 2016/4 Dzulqo'dah 1437

Jumat, 05 Agustus 2016

Perbedaan Awliya', Amir, dan Rais (3)

Sumber: https://penjalabaja.wordpress.com/

Tulisan kali ini adalah sebagai kelanjutan dari Perbedaan Awliya', Amir, dan Rais 2 dan Perbedaan Awliya', Amir, dan Rais 1 yang membahas soal makna dan gaya kepemimpinan. Awliya' yang selama ini dimaknai sebagai kepemimpinan atau Wali yang berarti pemimpin, ternyata memiliki pemaknaan berbeda; yakni Awliya' berarti adalah orang terdekat, yang karenanya kita bisa menaruh kepercayaan yang sangat mendalam kepadanya. Adapun anjuran Tuhan dalam al-Quran yang menyatakan bahwa kita dilarang untuk menjadikan orang kafir sebagai Awliya', itu memang benar adanya. Kafir yang dimaknai sebagai pendusta, tidak boleh dijadikan sebagai orang yang memiliki kedekatan yang sangat intim kepada kita. Sebenarnya Tuhan mempersilakan kita untuk berteman baik dengan pendusta asalkan memiliki siasat agar tidak terjerumus ke dalam lembah kekafiran, karena kalau tidak memiliki siasat yang baik dan matang, bisa jadi justru kita yang akan dirugikan. Jadi, Awliya' atau Wali bukanlah diartikan sebagai pemimpin yang memiliki batas teritorial, seperti gubernur, walikota, bupati, kepala desa, ketua RT/RW, kepala dusun, atau bahkan presiden. Awliya' atau Wali adalah orang yang memiliki hubungan atau kedekatan emosional yang sangat intim, sehingga kita dapat menaruh kepercayaan kepadanya.

Sementara Amir atau Ulil Amri berarti seseorang yang memiliki kehendak untuk memerintah berdasarkan kemauan dari rakyat. Artinya, Amir atau Ulil Amri ini adalah pemimpin yang berhubungan dengan batas teritorial tertentu. Di dalam al-Quran ada anjuran bahkan perintah untuk mematuhi Allah, mematuhi Rasulullah, dan Ulil Amri di sekitar kita. Silakan buka surat Annisa ayat 59. Untuk lebih jelasnya, pembahasan mengenai Amir atau Ulil Amri ini silakan klik Perbedaan Awliya', Amir, dan Rais 2 sebagai referensi untuk pemaknaan yang lebih baru dan segar.

Selanjutnya adalah Rais atau Ro'is atau Ro'isun. Sebutan Rais mulai digunakan oleh orang-orang modern, sebagai pembaruan kata atau panggilan untuk seorang pemimpin dari yang sudah lama menjadi baru. Rais atau Ro'is ini berasal dari kata Ro'sun yang berarti kepala; رئيس جامعة (Ro'isun Jaami'ah) berarti Rektor atau pemimpin tertinggi di sebuah Universitas. Atau رَائِسُ الْمَدْرَسَةِ yang berarti kepala sekolah, dan masih banyak lagi padanan kata Ro'sun yang dimaknai sebagai pemimpin. Secara fisik, kepala adalah salah satu bagian tubuh yang paling menonjol dan terlihat, padanya terdapat beberapa panca indera yang fungsinya sangat dibutuhkan. Maka tidak heran jika kepala dimaknai sebagai bagian tubuh yang paling jemawa, angkuh, dan bahkan sombong.

Di zaman modern ini, menjadi seorang pemimpin sebuah instansi atau institusi merupakan sebuah penghargaan agar harkat, martabat, dan derajat diri menjadi lebih tinggi dan meningkat, bukan lagi menjadi sebuah amanah yang harus dipegang teguh agar instansi atau institusi yang dikepalai bisa menjadi lebih baik dan berkembang dengan tujuan bersama yang sudah ditentukan sejak awal. Menjadi seorang pemimpin adalah sebuah kebanggaan yang akan mengangkat status sosial dan juga akan menuai penghormatan yang berlebih dari orang sekitar. Pemimpin yang seperti itu, akan menganggap bawahannya hanya sebagai hamba yang tidak boleh melawan atau membantah perintahnya, ia tidak akan mendengarkan keluh dan arahan dari bawahannya karena sudah menganggap kedudukan dirinya lebih tinggi daripada bawahannya.

Kira-kira seperti itulah kepala, ia merasa paling tinggi dan merasa paling bisa mengerjakan semuanya. Padahal untuk mengangkat dan memindahkan kertas pun, ia tidak mampu mengerjakannya sendiri dan membutuhkan kaki tangan untuk membantu pekerjaannya. Kepala memang seperti itu, apalagi kalau kepalanya sudah keras (baca: keras kepala), akan semakin sulit untuk mendengarkan masukan baik yang akan mengubah segalanya menjadi lebih baik. Seperti itulah kepala, ia selalu ingin menang sendiri, layaknya Bos, berlagak sok ini-itu, berlenggak-lenggok semaunya, ingin menang sendiri, dan lain sebagainya.

Maka itu, kepala yang baik adalah yang selalu turun ke tanah, menyejajarkan posisinya dengan sesuatu yang biasanya diinjak dan terinjak, menganggap sahabat kepada semua orang yang biasa ditindas dan tertindas, itulah kepala yang senantiasa dipergunakan untuk bersujud, mencium langsung bawahannya, bahkan ia berani merendahkan dirinya sendiri dari bawahannya yang berada di bagian belakang (bokong). Itulah kepala yang harus mendapat apresiasi, ia bukan kepala yang gila hormat, bukan juga kepala yang ingin menang sendiri, ia adalah kepala yang tahu diri, kepala yang mengetahui bagaimana kondisi bawahannya, dialah kepala yang hebat.

Jadi, seperti itulah gambaran Rais secara harafiyah berarti kepala namun secara istilah dimaknai sebagai pemimpin atau kepala dari sebuah instansi, institusi, atau organisasi. Selain Rais, Amir, dan Awliya', juga ada istilah lainnya yang berarti pemimpin, yakni Imam. Untuk pembahasan lebih lanjut, tunggu postingan berikutnya.




Wallahu A'lam



Bekasi, 5 Agustus 2016/2 Dzulqo'dah 1437

Kamis, 04 Agustus 2016

Aku mencinta karena keindahanmu, kekasih...


Kekasih...
Karena cinta dan kasih yang kau beri tanpa pamrih, aku berjalan menyusuri tepi rindu yang terjal, melangkahkan kaki hingga tiba di pelataran kauniyahmu yang membuat rindu semakin dalam, seperti tak ingin bergegas pergi dari tempat itu; pelataran kauniyah kepunyaanmu. Untuk menggapai pelampiasan rindu yang mendalam, kecintaan yang kian tebal, serta hasrat ingin memeluk erat tubuhmu yang perkasa, dibutuhkan kerendahan hati yang terpatri dalam diri, sebab engkau tercipta bukan dari energi negatif yang mengantarkan diri pada bara api kedurjanaan, keangkuhan, dan kesombongan.

Masih di pelataran kauniyahmu, kekasih...
Kau berbisik dengan lembut penuh kasih, katamu, aku masih belum diberi izin untuk masuk ke dalam ruang kerinduan, sebab masih tersimpan bara api kesombongan di dalam diri yang mencemari kesucian, sebagaimana sang kekasih yang di dalam dirinya segala kesucian bermuara. Menuju pelataran kauniyahmu itu, kekasih, aku belajar untuk tetap menebar kasih dan damai pada sesama dan semesta. Karena cinta, engkau melarangku dari perbuatan merusak dan mengganggu kekasih-kekasihmu yang lainnya. Semuanya berjalan dengan cinta, atas dasar kerinduan, serta ingin merasakan perjumpaan yang tak biasa denganmu, dengan kekasih yang memberi cinta dan kasih tanpa sedikit pun berharap pamrih.

Kekasih...
Di pelataran kauniyahmu saja, aku sudah merasa bahwa raga kita sudah manunggal, menjadi satu, rekat, tak berjarak dan berpisah; engkau adalah bagian dari tubuhku dan diriku merupakan bagian dari cintamu. Kepasrahan, kerendahan hati, serta peniadaan kesombongan dan ramah terhadap sesama adalah wujud dari kerinduan nan suci. Dari pelataran kauniyahmu, engkau berpesan kepadaku bahwa pelajaran untuk menggapai lampias rindu haruslah terejawantah di dalam kehidupan sehari-hari. Katamu, lampias rindu dan kemanunggalan bisa didapat tidak hanya dengan bertandang pada kauniyahmu saja, tetapi ketika cinta dan kasih menjadi teladan utama dalam kehidupan.

Engkau, kekasihku yang terkasih, yang selalu saja menciptakan kubangan rindu sehingga sewaktu-waktu siapa pun dapat terkubur di dalamnya, menggunakan bahasa alam untuk bercengkrama denganku, dengan seorang yang mengasihimu, yang merindumu di setiap desah nafas dan derap langkah sepanjang hidup. Kau katakan ketika itu, bahwa "barangsiapa yang keluar dari ruang kerinduan dan pelataran kauniyah, tetapi justru menciptakan bara api kesombongan, keangkuhan, dan kedurjanaan, maka dia bukanlah perinduku. Karena yang pantas merindu dan mencintaku adalah dia yang senantiasa mengikis habis bara api kesombongan, kedurjanaan, dan keangkuhan dengan cinta dan kasih yang mendalam kepada sesama dan semesta".

Kekasih...
Tolong sampaikan kepada mereka yang gemar bertandang ke pelataran kauniyahmu dan ruang kerinduan itu, agar senantiasa engkau, sang kekasih, sebagai tujuan utama, bukan sombong dan keangkuhan yang menjadi prioritas. Kekasihku, sampaikan juga kepada mereka, kekasih-kekasihmu yang lainnya, agar senantiasa mengejawantahkan rasa cinta dan kerinduan kepadamu ke dalam bentuk teladan kebaikan pada kehidupan sehari-hari. Semoga engkau tetap menjadi objek kerinduan dan tujuan utama dari para kekasihmu. Sungguh, aku mencinta, merindu, dan memeluk karena keindahanmu, kekasih...



Bekasi, 4 Agustus 2016/1 Dzulqa'dah 1437


Aru Elgete